11

Family Completed 2798

Tentu saja Harun tidak mempercayai hal-hal seperti itu. Semua takhayul belaka. Buktinya sekarang saat dia mengamati benda itu, ia tidak merasa apa-apa. Biasa-biasa saja. Lalu dia mulai berpikir tentang Adam dan cerita Angga tentang motor yang digunakan Adam. Seandainya cerita Angga itu benar, berarti Adam memang menggunakan motor milik Sonny. Karena kejadiannya pada saat yang sama, maka tidak mungkin

Sonny bisa menggunakan motornya karena sedang digunakan oleh Adam. Jadi bukan Sonny yang keluar dari rumah seperti yang diperkirakannya. Itu Adam! Tanpa berprasangka jelek, maka diasumsikan Adam kebetulan meminjam motor Sonny pada waktu itu. Artinya, pada saat bersamaan Sonny berada di rumah. Sonny tidak ke mana-mana. Mustahil Adam keluar dari rumah orang yang sedang kosong sambil membawa serta motor pemilik rumah. Itu namanya maling. Tapi kenapa Sonny tidak menanggapi waktu digedor dan diteriaki agar pergi mengungsi? Dan kenapa Adam tidak mengatakan apa-apa ketika ia mempertanyakan siapa gerangan orang yang keluar dari rumah Sonny dan membawa motornya itu? Adam bersikap seolah tidak tahu-menahu. Bahkan ia bertanya, apa saja yang diceritakan Angga tentang dirinya. Adam tidak ingat ataukah ingin mengecek saja?

Seandainya cerita Angga tidak benar, apa pula motivasinya? Orang tak begitu saja memfitnah orang lain bila tak mendapat keuntungan dari situ. Kalau Angga mempunyai dendam kepada Adam atau membencinya, tentu ia takkan berusaha menolongnya saat dikepung massa. Pemikiran itu sebenarnya sudah muncul setelah pertemuannya dengan Angga. Tetapi ia tak mau mengemukakannya kepada Adam. Hal itu bisa menjauhkannya Adam darinya, padahal sekarang ini ia membutuhkan bantuannya. Harun mengelus pinggiran guci dan merasakan tonjolan reliefnya. Ia mengagumi kemilau emasnya. Lalu ia menariknya lebih dekat ke bawah matanya. Sungguh benda yang cantik. Tega sekali orang yang menggunakannya untuk wadah abu

jenazah, pikirnya. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan menarik kepalanya ke belakang. Tercium bau yang menyengat. Segera ia menoleh berkeliling, mengendus-endus ke segala sisi. Tetapi bau itu tak tercium lagi. Sepertinya melintas dengan cepat. Ia buru-buru keluar lalu turun ke halaman. Tetapi di sana yang tercium adalah bau sate ayam yang sedang dibakar. Yang jelas bukan bau itu yang tadi tercium. Yang tadi baunya sangat tidak enak. Bukan bau bangkai atau bau busuk lainnya, tapi bau yang aneh.

Ia masuk lagi lalu menatap guci di atas meja. Ia mencurigai benda itu. Tetapi ia tidak berani menelitinya sekali lagi. Ia takut pengalaman tadi berulang. Cepat-cepat ia membungkus kembali guci itu dengan taplak. Lalu memasukkannya ke dalam lemari.

Sekarang ia mulai meragukan keyakinannya mengenai benda itu. VIII Jakarta, bulan Juli. "Siapa lelaki itu?" tanya Adam kepada Kristin ketika tengah sarapan pagi.

"Lelaki mana?" Kristin bingung karena pertanyaan itu tak ada ujung-pangkalnya.

"Yang kemarin menemanimu di rumah sebelah. Pantas sering ke sana. Jadi tempat pertemuan rahasia rupanya," gerutu Adam. Kristin tertawa. "Oh, itu Tom, Mas!" "Tom siapa?" Adam melotot.

"Abangnya Sonny. Dia baru datang dari Amerika. Kebetulan saja aku berkenalan dengannya ketika main ke sebelah." Adam terkejut. Dia tahu mengenai Tom, tapi belum pernah bertemu.

"Dia ingin berkenalan denganmu. Katanya akan ke sini lagi karena perlu bertemu dengan Oom Henry juga." Pikiran Adam segera bekerja. Barangkali momen itu bisa ia manfaatkan.

"Wah, kalau begitu kebetulan sekali!" ia berseru.

Kristin tertegun. Semula ia berprasangka jelek. "Begini, Kris. Kemarin aku ketemu Pak Harun. Dia berhasil menemukan sebuah guci antik yang dikenalinya sebagai milik keluarga Lie, orangtua Tom. Benda itu berada di tangan seseorang yang tak mau ditemui atau dikenali. Maklum penjarah. Orang itu bersedia melepaskan barang itu dengan imbalan. Pak Harun mintaku sebagai penghubung mereka, karena ia khawatir dianggap sebagai tukang catut. Sebenarnya aku segan..."

"Biar aku saja yang ngomong sama Tante!" potong Kristin dengan bersemangat. Ia gembira karena bisa berbuat sesuatu. "Nanti kau yang dianggap tukang catut!"

"Biar Pak Harun ikut ngomong. Supaya bisa lebih pasti."

"Justru itu. Dia tidak mau ikut ngomong." "Kenapa?" "Dia takut dianggap kerja sama dengan penjarah. Atau bisa jadi dialah yang dituduh sebagai penjarah-nya."

"Oh, begitu."

"Habis gimana baiknya, Kris? Aku tidak ingin terlibat. Apalagi sampai dituduh macam-macam."

"Jangan begitu, Mas. Kita harus membantu. Memangnya dia minta imbalan berapa?" "Lima juta!"

"Wah, banyak amat!"

"Maka itu aku jadi segan. Nanti maksud baik malah ditanggapi jelek."

"Terserah mereka mau menanggapi apa, tapi sebaiknya kita bicarakan saja."

"Kalau begitu, kau saja yang ngomong."

Kristin setuju.

"Lima juta?" seru Maria. "Banyak amat! Nyatut kali!" "Ya. Adam juga merasa itu kemahalan. Makanya dia segan karena takut disangka nyatut."

"Adam sih nggak mungkin nyatut. Tapi Pak Harun itu. Mentangmentang bisa nemuin. Mana mungkin dia nggak nyatut?" "Saya kira dia patut juga diberi imbalan, Tante. Sebagai balas jasa untuk jerih payahnya." "Siapa tahu dia sendiri penjarahnya."

"Dia juga takut disangka begitu. Tapi kalau memang benar, masa sih dia mau mengembalikan kepada pemilik?! Mendingan jual saja kepada orang lain."

"Oh iya. Benar juga. Tapi mintanya kemahalan." "Sebaiknya

Tante hubungi saja Tom dan orangtuanya."

Maria segera melompat ke pesawat telepon. Sementara dia berbicara, Kristin mengamati sambil berpikir. Mungkin kejadian itu ada hikmah untuknya. Adam tidak marah kepadanya setelah mendapat laporan dari Bi Iyah perihal Tom.

Padahal ia sudah bersiap-siap menghadapi reaksi Adam yang paling buruk.

Maria kembali ke sampingnya. "Wah, Ci Lien antusias sekali, Kris. Sayang cuma ada dia di rumah. Tom dan ayahnya sedang keluar. Tapi ia akan segera memberi kabar bila mereka pulang. Katanya, guci itu sangat disayangi suaminya. Bukan cuma karena barang warisan turun-temurun, tapi karena dulu 244

dipakai untuk menyimpan abu jenazah moyangnya. Mungkin dianggap keramat, ya?" "Mungkin, Tante."

"Tapi aku sebal sama Pak Harun itu, Kris. Kenapa dia tidak memberitahu aku juga perihal penemuannya? Padahal selama ini dia suka menelepon. Aku juga yang mendorongnya untuk menyelidiki. Eh, dia cuma bilang sama Adam."

"Katanya dia takut disangka jelek." "Jadi dia takut sama aku?" Maria tertawa sinis. "Kalau tak punya salah, kenapa mesti takut?"

Kristin memahami kejengkelan Maria. Ketidaksukaan Maria kepada Adam-lah penyebabnya.

Telepon berdering. Dari Tom. "Mereka sekeluarga akan datang ke sini nanti sore, Kris. Kau dan Adam diundang juga lho. Nanti kita bicarakan bersama-sama," Maria menyampaikan. "Bagaimana kalau Pak Harun diundang juga?" Kristin mengusulkan. Tentu dia masih ingat ucapan Adam, bahwa Harun tak mau ikut dalam perbincangan. Tapi tak ada salahnya mencoba.

Maria menyetujui usul itu. Tetapi dia menjadi jengkel setelah berhasil berbicara dengan Harun lewat telepon. "Katanya dia sudah memberikan kuasa kepada Adam untuk berbicara. Jadi

kehadirannya tidak perlu lagi," cerita Maria. "Dia tidak mau membocorkan hal-hal yang sudah dijanjikannya, begitu alasannya. Lalu cepat-cepat dia menyudahi pembicaraan. Sok sekali!"

Pada mulanya Adam segan diajak ke rumah Maria untuk membicarakan hal itu. Ia menganggap Kristin cukup mewakili. Tetapi kemudian Tom datang menjemput mereka.

Sebenarnya Tom bukan cuma sekadar menjemput, tapi ia juga ingin melihat rumah Adam. Ketika duduk menunggu di ruang tamu tatapannya berkeliling. Ia mengagumi dengan perasaan sedih. Ingatannya kepada Sonny kuat sekali. Ah, di ruang manakah Sonny ditemukan?

Adam tidak menyukai tatapan Tom ke seputar rumahnya. Pujian Tom juga tidak membuatnya senang. Seharusnya ia tidak membiarkan dirinya dijemput seperti itu. Seharusnya ia pergi saja sendiri. Tetapi Kristin malah senang dan merasa dianggap penting. Seharusnya Kristin tidak perlu ikut serta. Tapi Tom mengundangnya juga. Dan karena Kristin ikut, maka Jason pun ikut.

Maria dan Henry menyambut Adam dengan ramah hingga Adam menjadi kikuk. Ia menganggap keramahan itu sengaja dibuat berlebihan untuk menyindirnya. Ia juga jengkel karena merasa sikap Kristin sama-sama berlebihan. Kenapa Kristin bertingkah seperti di rumah sendiri? Lihat pula si Jason yang membiarkan dirinya ditimang-timang orang-orang asing tanpa protes, bahkan tampak senang. Padahal dia, ayahnya sendiri, ditolak mentah-mentah!

Sikap Adam yang dingin dan mahal senyum tidak jadi beban buat orang-orang lain di situ. Suami-istri Lie dan Tom sudah diberitahu oleh Maria perihal kelakuan Adam hingga mereka tak heran lagi. Jadi sebaiknya berpura-pura tidak tahu saja. Lien dan Bun Liong cepat akrab dengan Kristin. Mereka sudah mendengar lengkap cerita seputar Kristin dari Maria dan merasa senang karena bisa berkenalan. Lagi pula mereka menilainya positif sekali. Sedang Kristin yang jauh dari orangtua punya kecenderungan menganggap orangorang tua yang dekat dengannya sebagai orangtuanya sendiri. Maria memberitahu perihal percakapan teleponnya dengan Harun. Itu memastikan kebenaran ucapan Adam, bahwa Harun sudah mempercayakan urusannya kepada Adam. Keterangan Maria itu menambah kejengkelan Adam, sebab ia merasa Maria tidak mempercayainya.

"Jadi sebaiknya kita tidak perlu berpanjang-panjang," kata Adam. "Yang saya perlukan cuma kata putus dari Oom Bun. Bersedia atau tidak menerima tawaran itu. Selanjutnya saya akan mengabari Pak Harun. Dia menunggu berita saya." Mereka tertegun sejenak mendengar ucapan Adam yang bernada dingin. Kristin terkejut dan merasa malu. Ia tahu, tujuan mereka berkumpul adalah untuk membicarakan berbagai kemungkinan seputar penemuan benda jarahan itu. Jadi bukan cuma untuk merundingkan keputusan yang akan diambil. Bun Liong mengeluarkan dompetnya. Sehelai cek dikeluarkannya dari situ. Ia memperlihatkannya kepada Adam. "Ini cek tunai senilai lima juta, Dam. Saya tidak menolak ataupun berniat menawar. Saya menginginkan barang saya

kembali. Itu saja. Tetapi cek ini baru saya serahkan kalau barangnya saya terima. Apakah barangnya ada di rumah Adam sekarang?"

Ucapan Bun Liong yang tegas itu membuat suasana sunyi sekejap. Adam mendapat balasannya. Dia salah tingkah sejenak. Ia tidak menyangka bahwa Bun Liong tidak melakukan tawar-menawar. Mungkin uangnya banyak dan ia sangat menginginkan barang itu.

"Tentu saja tidak, Oom. Barang itu disimpan Pak Harun. Untuk menyingkat waktu saya akan menghubungi Pak Harun sekarang juga. Biar dia segera membawa barangnya ke sini," kata Adam. Ia mengeluarkan telepon genggamnya, lalu pergi ke sudut ruang.

Pada saat itu Jason bergerak-gerak gelisah dan mulai merengek. Kristin berdiri lalu berbisik kepada Maria. "Saya perlu menyusui Jason sekarang, Tante." Kemudian mereka berdua masuk ke dalam sambil mendorong kereta bayi. Lien berdiri. Ia mengikuti mereka. "Boleh ikut?" tanyanya. Maria menggandengnya, mengajak serta.

Yang tertinggal di ruang depan melulu para pria. Sambil menunggu Adam menelepon, ketiga pria yang lain menjalin percakapan dengan suara pelan.

"Mestinya ditawar dulu, Koh Bun," kata Henry. "Tidak apa-apa. Saya punya feeling itu sudah harga mati." "Mestinya Adam mau membantu," bisik Tom. "Ya. Sepertinya dia juga tak mau banyak bicara seperti Pak Harun," kata Henry.

"Jangan membicarakan dia di depan Kristin," bisik Tom lagi.

Adam segera kembali. "Maaf, bicaranya agak lama, Oom," katanya sopan. "Saya perlu meyakinkan Pak Harun bahwa dia tidak akan diapa apakan di sini. Dia memang khawatir kalau dirinya ditangkap dengan tuduhan menjarah atau menyimpan barang jarahan." "Seharusnya memang begitu. Barang jarahan mestinya dikembalikan bukannya dijual. Apalagi kepada pemiliknya," kata Henry dengan nada kesal.

"Ya. Dia juga tahu itu. Maka dia sempat bilang, mau membatalkan saja janjinya dengan orang yang memberikan itu.

Tapi masalahnya dia tidak tahu ke mana harus menghubungi.

Anak yang jadi perantara itu pun tidak ada alamatnya." "Ya, tidak apalah. Saya tidak akan menuntut," kata Bun Liong tak sabar. "Lantas bagaimana? Mau nggak dia ke sini dengan membawa barang itu? Berikanlah jaminan kepadanya bahwa dia nggak akan diapa-apakan."

"Dia akan menyuruh kurir ke sini membawa barang itu, Oom. Tunggu sajalah barang sejam dua jam. Saya permisi pulang saja. Toh urusan saya sudah beres."

Adam mengangguk, mengarahkan pandangannya pada ketiga orang itu bergantian. Lalu dia beranjak ke pintu membelakangi tiga orang yang melongo. "Adam! Ceknya!" seru Bun Liong.

Adam membalik tubuhnya. "Kan barangnya belum diterima, Oom."

"Apa kurir itu bisa dipercaya?" tanya Bun Liong. "Saya sudah janji sama Pak Harun. Kalau barangnya sudah diterima dan Oom yakin itu memang barang yang dimaksud,

berikan saja ceknya pada Kristin. Kan dia masih di sini. Sudah ya? Permisi."

"Lho, nggak bilang dulu sama Kris?" tanya Henry.

"Kasih tahu saja, Oom! Permisi!"

Adam melangkah cepat-cepat. Ia menghilang. Ketiga lelaki berpandangan. 249

"Dasar...!" gerutu Henry.

"Kelihatannya dia merasa kurang nyaman,". komentar Tom. "Mungkin dia ikut main sama Harun," kata Henry. Ia menganggap sikap Adam itu tidak sopan. Seandainya Adam memang marah kepadanya, apa sebabnya?

"Biar sajalah. Yang penting barang itu kembali," kata Bun Liong. Sepanjang jalan menuju rumahnya Adam menggerutu,

"Mentang-mentang orang kaya. Gampang saja melepas uang.

Bapak dan anak sama saja. Aku menyesal tidak minta enam juta saja!"

Setelah kejengkelannya mereda ia mulai menyusun rencana selanjutnya. Besok ia akan menguangkan dulu cek itu lalu ke rumah Harun untuk memberinya uang tiga juta rupiah sesuai perjanjian sebelumnya. Sesudah itu masih ada lagi yang perlu dikerjakannya.

Sampai saat itu semuanya berlangsung sesuai keinginannya. Bahkan terlalu gampang. Ia memang sudah mengatur caranya dengan Harun lewat telepon.

"Jangan mau kalau disuruh datang, Pak! Mereka menaruh curiga kepada Bapak. Istri saya yang bilang," begitu ia menghasut. Rupanya Harun percaya saja kepadanya. Atau memang tak ada jalan lain.

Pada saat memikirkan rencananya itu ia sama sekali tidak ingat kepada Kristin dan Jason yang ditinggalkannya begitu saja. "Ah, dia sudah pulang?" Kristin kecewa dan malu. Rasanya ia tidak dihargai. Apa salahnya Adam bilang

dulu kepadanya atau menunggu sebentar sampai ia keluar? Menyusui Jason kan tidak lama.

"Dia sudah berpesan untuk memberitahumu," Tom berkata dengan nada menghibur.

"Nggak apa-apalah, Kris. Kan rumahmu dekat. Nanti kami anterin pulang, ya?" Lien menghibur juga. "Kita antarkan ramai-ramai," sambung Bun Liong. Kristin jadi tertawa. Ia mengangguk senang karena membayangkan Adam akan jengkel.

"Bilang aja, Ko Bun dan Ci Lien ingin melihat rumah Kristin!" seru Henry.

"Ya, ya. Memang betul," Bun Liong mengakui. "Boleh kan, Kris?" "Tentu saja boleh, Oom."

"Rumahnya bagus, Pa," kata Tom.

"Dari luar saja sudah kelihatan. Adam memang arsitek yang pintar," Bun Liong mengakui.

"Katanya dulu ia mau kerja sama dengan Sonny, Pa," tanya Tom. "Ya. Katanya begitu. Tapi masih rencana kok. Adam baru membuat gambar."

"Kalau begitu, dulu Papa dan Mama sering juga ketemu Adam." "Ah, nggak sering. Kayaknya cuma dua kali, ya Ma?" sahut Bun Liong.

Lien mengangguk. "Betul. Belakangan kita kan libur ke tempatmu di New York, Tom."

Kristin mendengarkan saja percakapan itu. Dengan demikian mungkin ia bisa mengetahui lebih banyak perihal Adam. Lalu percakapan mulai beralih kepada Harun dan barang temuannya. "Apa salahnya dia datang dan bercerita bagaimana dia bisa menemukan guci itu," kata Tom. "Masa sih kita sembarangan menuduh orang. Apalagi peristiwanya sudah begitu lama." "Dan kita juga tidak bisa membuktikan bahwa guci itu memang milik kita," kata Bun Liong. "Tak ada surat atau bukti tertulis apa pun." "Ada saksi kok," kata Maria. "Kami berdua! Ya, Pa?" Ia menatap Henry.

"Oh ya, tentu saja."

"Kalau kau mau menemui Harun, aku masih menyimpan kartu namanya, Tom."

Maria berdiri lalu masuk ke dalam. Ketika keluar lagi ia menyerahkan kartu nama yang dulu diberikan Harun kepadanya. Tom menatapnya sejenak kemudian memasukkannya ke dalam sakunya. "Ya. Saya ingin sekali bertemu dengannya. Barangkali dia harus diberi kepercayaan lebih dulu bahwa kita tak mungkin mencurigainya. Bukankah pada saat kerusuhan itu dia sibuk membantu warga yang mengungsi? Mana sempat dia menjarah." "Dia sendiri memang tidak sempat. Tapi bagaimana dengan anaknya atau saudaranya?" kata Maria.

"Yang terpenting buat saya adalah saya ingin tahu dan bicara dengan orang yang memberikan guci itu kepada Harun," kata Tom.

"Untuk apa?" tanya Lien.

"Si penjarah itu pastilah melihat Sonny dikeroyok. Saya ingin menanyakan kenapa orangnya mesti dibunuh kalau hartanya bisa diambil dengan gampang. Mustahil Sonny melawan. Dia kan tahu itu mustahil."

"Jangan lupa ketika itu orang seperti kesetanan, Tom. Mereka tidak ragu-ragu membunuh. Itu bukan perampokan biasa," Henry mengingatkan.

Lien membelalakkan matanya. Kecemasan tampak di wajahnya. "Tidak! Kau tidak boleh melakukan itu, Tom! Buat apa? Sekadar melampiaskan keingintahuan saja? Jangan! Itu berbahaya sekali. Bagaimana kalau mereka membunuhmu juga?" Bun Liong juga cemas. "Betul sekali. Jangan laku-kan itu, Tom." "Berjanjilah kepadaku, kau tak akan melakukannya!" kata Lien dengan ekspresi memelas.

Tom memandang kedua orangtuanya bergantian, lalu menatap Kristin dan menemukan kecemasan yang sama di wajahnya. Akhirnya ia mengangguk. "Oke. Tapi menemui Harun boleh, kan?"

Kedua orangtua Tom bernapas lega. "Tapi hati-hatilah bicaranya, Tom. Jangan menyudutkan orang. Apalagi orang yang takut," Lien menasihati.

"Kalau kau bertemu dengan Harun, tanyakan padanya apakah dia sudah menemukan jejak orang yang keluar dari rumah sambil mendorong motor Sonny? Apa dia betul Sonny atau bukan? Dan kalau bukan, siapa?" Maria mengingatkan. Lalu kurir yang diutus Harun datang. Dia menyerahkan sebuah dus yang terbungkus kertas koran. Bun Liong memeriksa dulu isinya sementara si kurir menunggu di teras. Segera mereka semua terpukau pada guci itu. Kristin terpesona kagum. Demikian pula Maria dan Henry. Sedang pemiliknya terpesona dengan perasaan aneh karena tak pernah terpikir oleh mereka bisa mendapatkan kembali benda berharga itu. "Pa! Cepat buatkan tanda terimanya!" Lien mengingatkan suaminya.

Setelah sang kurir berlalu Kristin pun pamitan. Ia menolak dititipi cek, dan mengusulkan agar Tom atau orangtuanya menyerahkannya secara langsung kepada Adam. Bukankah mereka berniat mengantarkan sekalian melihat rumahnya? Adam terperangah melihat rombongan pengantar istrinya. Ia sangat tidak senang melihat Tom mendorong kereta bayinya. Apalagi Tom terus-menerus memandangi Jason dengan ekspresi sayang. Seandainya Tom itu perempuan tentu ia tidak ambil pusing. Sungguh menyebalkan!

Tetapi demi sopan santun ia harus menerima tamu-tamunya dengan penuh keramahan. Ia menimbun kejengkelannya yang sudah menumpuk saat melihat Kristin mengajak tamu-tamu itu melakukan "tur" ke seluruh pelosok rumahnya. Bahkan sampai ke loteng karena Kristin ingin membanggakan kamar bayinya.

Mentang-mentang para tamu itu dulu pernah tinggal di situ.

Pujian mereka sama sekali tidak menyenangkan hatinya. Akhirnya para tamu itu pamitan. Meskipun mereka tidak sampai duduk-duduk dulu, tetapi bagi Adam waktu yang mereka gunakan di rumahnya bagaikan seabad lamanya. Emosinya sudah mendekati titik ledak ketika para tamu tidak merasa cukup berpamitan hanya kepadanya dan Kristin. Mereka juga berpamitan secara khusus kepada Jason! Padahal bayi itu

belum bisa bereaksi. Mereka menciumi Jason, membelai kepalanya, dan mengajaknya bicara macam-macam.

Menggelikan, 254

memuakkan, dan menjijikkan! Anehnya, biarpun "dikeroyok" seperti itu Jason tidak menangis. Dasar anak tak tahu diri! Setelah rumahnya menjadi "bersih", ia pun meledak. "Kenapa kaubiarkan orang-orang itu mengotori anak kita dengan ciuman dan sentuhan mereka? Bagaimana kalau tangannya kotor? Bagaimana kalau mereka mengidap tebece?" omelnya. Kristin terperangah. Ia tak menyangka bahwa Adam benarbenar tidak menyukai keluarga Lie. Alasan yang dikemukakan itu sangat tidak wajar. Mungkin Adam merasa iri karena Jason menerima orang-orang asing, padahal dia menolak ayahnya. Sebelumnya ia sempat berpikir bahwa Adam bakal senang menerima pujian.

"Mereka menyayangi Jason, Mas." "Huh, sayang apaan? Itu cuma pura-pura! Munafik!"

"Kita mestinya senang kalau anak kita banyak yang sayang,

Mas!"

"Tidak! Aku tidak senang!" "Kau iri?"

"Tentu saja! Manusiawi, kan? Ke mana perasaanmu?"

Kristin terdiam. Ia merasa bersalah. Mestinya ia lebih peka.

"Ya, sudahlah. Maaf, Mas. Jangan meributkan lagi soal itu." "Apa gunanya maafmu itu? Dulu sudah kularang kau dekatdekat dengan tetangga sebelah. Eh, masih saja ke sana tiap hari. Bawa-bawa si Jason lagi. Lama-lama dia jadi anak orang banyak!" 255

"Aku butuh sosialisasi, Mas! Cuma mereka teman-ku." "Huh! Alasan saja! Aku tak mau dengar! Kularang kau ke sana lagi!"

"Tidak! Aku tak mau dilarang!"

Begitu saja tangan Adam terayun. Plak! Pipi Kristin ditamparnya. Bukan cuma Kristin yang terbelalak, tapi Adam juga. Ia benar-benar lepas kontrol. Lalu diam tertegun. "Kau! Kau...!Kau...!" Kristin tersedak, tak bisa bicara lagi. Ia memegang pipinya yang memerah. Terasa nyeri. Air matanya sudah membanjir. Seumur-umur belum pernah ada yang memukulnya, termasuk orangtuanya.

"Maaf, Kris," Adam menyesal.

"Aku tidak terima!"

Sikap Kristin membuat Adam panas lagi. Ia sudah merendahkan diri dengan minta maaf. Ia sudah menyesal, bukan? "Lalu kau mau apa?" Adam berkacak pinggang. Ekspresi menantang.

"Seorang suami yang gampang memukul istri akan kehilangan integritasnya!"

"Apa?" Adam mendoyongkan wajahnya ke wajah Kristin. "Kau menghina aku?"

"Itu kenyataan!"

Adam melotot. Kedua tinjunya mengepal. "Jadi kau minta dipukul lagi?" katanya sengit.

"Aku tidak takut!" Kristin menantang. Wajahnya merah padam hingga pipinya yang barusan kena tampar menjadi lebih merah. Ia teringat masa kecilnya, ketika berantem dengan anak lelaki seusianya. 256

Ketika itu ia menang, karena berhasil membuat lawannya lari sambil menangis. Tapi itu tentu pada saat dirinya masih kecil dan lawannya pun kecil.

Pada saat yang kritis itu tangis Jason melengking. Kristin seperti disiram air dingin. Ia berlari ke kamar bayi. Adam pun terduduk dengan lunglai. "Semua gara-gara anak itu!" keluhnya.

Esok paginya, sampai Adam pergi kantor mereka tak berbicara. Semalam Kristin tidur di kamar bayi dan menutup pintu penghubung meskipun tidak menguncinya.

Siangnya, memanfaatkan istirahat siang, Adam pergi ke bank untuk menguangkan cek yang diperolehnya dari Bun Liong, lalu ia menghubungi Harun lewat telepon. Siang itu juga ia berencana ke rumah Harun. Lebih cepat selesai lebih baik.

Harun setuju.

Adam menyerahkan uang tiga juta yang sudah dimasukkannya ke dalam amplop kepada Harun. "Tiga juta, Pak!" katanya. Harun menghitungnya. "Jadi semudah itu ia setuju? Tanpa tawar-menawar?" tegasnya.

"Ya. Semudah itu."

"Lima juta? Pak Adam tidak minta lebih?" Harun menatap selidik.

Adam tertegun. Pertanyaan itu mengindikasikan kecurigaan. Tetapi bukan materi pertanyaan itu yang membuatnya terkejut. Sepertinya kecurigaan yang terbuka dan terus terang itu tidak sesuai dengan sifat Harun yang dulu dikenalnya. Harun benar-benar sudah berubah sekarang.

"Kalau Bapak tidak percaya, telepon saja Ibu Maria sekarang. Atau Pak Henry. Mereka saksinya waktu Pak

Bun menyerahkan cek kepada saya."

"Ya, ya. Percaya. Percaya. Bercanda saja kok." Harun tertawa.

"Bapak sekarang suka bercanda, ya?" sindir Adam. "Bukan begitu. Habis semalam ruwet banget. Nyuruh pakai kurir segala."

"Oh, itu kan demi kebaikan Bapak sendiri. Kalau Bapak yang datang sendiri ke sana, pasti Bapak dikepung ramai-ramai. Terutama abang Sonny yang dari Amerika itu. Dia penasaran sekali ingin menanyai Bapak. Dia meminta supaya Bapak sendiri yang membawa barangnya. Jadinya sayalah yang ketumpu-an dicurigai kanan-kiri. Mereka curiga saya nyatut. Bapak juga begitu."

Harun tertawa. "Maaf deh, Pak Adam. Jangan ambil di hati, ya?"

Adam mengangguk. Ia memang tak bisa marah kepada Harun. "Jadi mereka mencurigai sayalah yang menjarah benda itu," tegas Harun.

"Ya. Maklum sajalah. Namanya juga orang-orang penasaran."

"Biar sajalah. Duitnya toh sudah keluar."

"Saya juga ingin menyarankan supaya selama beberapa minggu ini Bapak pindah dulu dari sini. Berlibur ke luar kota kek. Kan baru dapat rejeki."

"Kenapa?" Harun menyipitkan matanya.

"Tom berniat mencari Bapak. Ingat. Kartu nama Bapak ada pada Bu Maria."

Harun mengangguk-angguk. "Saya tidak takut sama dia." "Kan lebih baik menghindar. Toh dia cuma sebulan di sini."

"Saya akan pikirkan itu. Terima kasih. Oh ya, Pak Adam." Harun menahan langkah Adam yang hendak pergi. "Waktu kerusuhan di bulan Mei sembilan delapan itu Bapak sempat dihadang perusuh, ya?"

Adam menatap tajam. "Ya. Benar, Pak. Untung selamat."

"Tapi motornya dibakar, kan?"

Adam tertegun. "Angga yang cerita, bukan? Jadi soal itu yang dia ceritakan kepada Bapak."

"Betul. Tadinya tak mau saya bicarakan. Tapi rasanya kok mengganjal."

"Bilang saja. Nggak apa-apa."

"Benar nggak apa-apa, ya? Katanya, motor itu milik Pak Sonny!" Adam tidak kaget lagi. Ia sudah siap. "Bagaimana Angga bisa tahu bahwa itu motor Sonny?" ia balas bertanya. Ia harus mendapat keyakinan dulu.

"Ada ciri khusus pada motor itu yang dikenalinya."

"Ciri apa?"

"Gambar tempel di bawah tempat duduk. Ia pernah melihatnya sebelumnya. Jadi ia mengenali tanda itu."

Adam mempercayainya. Ketika itu tentu saja ia tidak punya waktu untuk mengamati motor tersebut. Ia memperlihatkan sikap pasrah. "Ya. Terus terang itu memang motor Sonny. Saya meminjamnya."

"Kapan pinjamnya? Apakah pada hari itu?"

"Oh, tidak. Sudah dua hari sebelumnya motor itu ada pada saya. Kenapa?"

"Saya jadi mikir. Apakah pada hari yang naas itu 259

Pak Adam yang saya lihat keluar dari rumah Sonny sambil membawa motornya?"

Adam menggeleng. "Saya tidak ke rumahnya pada hari itu," katanya mantap.

"Kalau motor itu sudah dipinjam Pak Adam sebelumnya, berarti Sonny tidak keluar pakai motor. Lantas siapa orang yang saya lihat itu?"

Adam tertawa. "Yang punya motor itu kan bukan cuma Sonny sendiri, Pak. Dia juga punya teman lain yang memiliki motor." "Tapi kalau dia baru melepas tamunya saat itu, berarti dia ada di rumah. Kenapa dia tidak keluar waktu pintunya digedor? Kejadiannya kan berdekatan waktunya. Tak mungkin dia ketiduran misalnya."

"Wah, jangan tanya saya dong. Mana saya tahu?"

"Ya, ya. Betul juga. Tapi Pak Adam kok nggak bilang-bilang soal motor itu."

"Saya malu, Pak. Gara-gara dipakai saya maka motor itu dibakar orang."

"Ah, kalau motor itu ada di rumah malah ikut dijarah atau

dibakar bersama rumahnya."

"Saya harap Bapak tidak menceritakan soal motor itu kepada orangtuanya atau abangnya."

"Apa karena itu Pak Adam menyarankan saya menghindari mereka?" Harun tertawa, menikmati reaksi Adam. "Ah, bukan. Kok sekarang Bapak suka berprasangka buruk, ya?" Harun tertawa senang. "Itu bukan prasangka, Pak. Tapi kecerdikan berpikir."

Adam mengangkat bahu. "Terserah kepada Bapak mau cerita atau tidak," katanya kesal. "Tunggu sebentar, Pak Adam. Saya memang perlu menghindar supaya tidak sampai keceplosan bicara kalau nanti ditanyai. Lidah itu tak bertulang, kan? Boleh juga usul pergi berlibur itu. Tapi kayaknya uang segitu tidak cukup." Harun menunjuk amplop di meja yang barusan diberikan Adam.

"Itu cukup untuk pergi ke Bali."

"Saya mau lebih jauh lagi dari Bali. Ke luar negeri, misalnya." Adam memahami tujuan Harun. Ia mendongkol sekali karena merasa diperas. "Memangnya kurang berapa sih, Pak?" tanyanya.

"Nggak banyak, Pak Adam. Tambah satu juta juga cukup." Tanpa bicara lagi, Adam membuka tasnya. Ia mengeluarkan satu juta dari amplop dari bank, lalu menyodorkannya kepada Harun. Sesudah itu, tanpa berbicara ia melangkah ke luar.

Harun tidak mengantarkan. "Terima kasih, Pak Adam!" serunya. Adam tidak menyahut. Ia terus menuju mobilnya. Ia merasa uap kemarahan mengepul dari ubun-ubunnya. Harun tertawa gembira. Ia memasukkan uang yang barusan diberikan Adam ke dalam amplop, lalu menyimpannya di lemari. Ia juga lega karena tak menyimpan guci itu lagi. Sejak mencium bau misterius itu ia jadi merasa tak nyaman. "Tapi beda dengan orang lain yang diberi kesialan, aku diberi kemujuran," ia bicara sendiri. "Karena jasakulah ia kembali kepada pemilik asal. Dan sepertinya aku juga diberinya tambahan ilmu, yaitu kecerdikan!" Kemudian ia berpikir tentang Adam. Ia merenung dan mengingat-ingat lagi. Ke bulan Mei sembilan delapan. Beberapa

hari sebelum tragedi itu terjadi. Ketika itu dia masih bertugas seperti biasa. Adam juga. Seingatnya ia tidak pernah melihat Adam mengendarai motor. Ia tahu di mana Adam kos. Lokasinya dekat kantor, hingga ia cukup berjalan kaki saja untuk mencapainya. Bila keterangan Adam tadi benar, bahwa ia telah meminjam motor Sonny dua hari sebelum tragedi itu, mestinya terlihat ia menggunakannya. Buat apa pula meminjam motor orang sampai dua hari lamanya?

Ia hampir yakin bahwa Adam berbohong. Karena itu ia akan mencari tahu lebih banyak lagi.

"Siapa yang mau ke luar negeri?" katanya sendiri dengan senyum mengembang.

Dari rumah Harun Adam tidak kembali ke kantornya. Ia menelepon minta izin tidak kembali dengan alasan perlu mengantarkan anaknya yang tiba-tiba jatuh sakit ke rumah sakit. Ia juga tidak pulang ke rumah, melainkan menuju kawasan pemukiman yang berdekatan dengan lokasi Pantai Nyiur Melambai, yaitu Kampung Belakang. Tapi ia tidak menggunakan mobilnya, karena situasi di pemukiman itu kumuh dan semrawut. Ia menitipkan mobilnya kepada satpam sebuah apotek dengan imbalan uang. Halaman parkirnya cukup luas. Ia berjalan kaki ke kampung itu tanpa membawa tasnya, yang ia sembunyikan di kolong tempat duduk. Dengan demikian ia tidak tampil mencolok atau membangkitkan rangsangan bagi orang yang berniat 262

jahat. Ia cukup mengenal wilayah itu. Sebagai karyawan proyek yang sering diberi tugas sebagai mandor, ia mengenal cukup

banyak penghuni di sana, karena mereka bekerja sebagai buruh bangunan.

Ternyata ia masih dikenali. Beberapa orang menyapanya dengan hormat, yang dibalasnya dengan ramah. Karena belum makan siang, ia mampir dulu di warteg. Pada saat itu ia merasa seperti kembali ke masa lalu.

Beberapa orang duduk di sebelahnya untuk makan juga. Ada yang mengenali lalu mengajak berbincang. Ia mengatakan ingin mencari Angga untuk suatu keperluan. Orang yang diajak berbincang menjanjikan untuk membantu. Adam menyatakan rasa terima kasihnya dengan mentraktir orang itu. Dalam waktu singkat Angga sudah ada di sisinya. Ia menyuruh Angga makan dulu. Pada mulanya Angga segan dan tampak curiga. "Aku ingin membalas bantuanmu dulu itu. Ingat?" kata Adam.

Tentu saja Angga masih ingat. Apalagi kedatangan Harun sebelumnya telah menyegarkan ingatannya. Maka ia percaya benar kepada Adam. Orang yang ingin membalas budi tentunya harus dimanfaatkan. Ia pun makan dengan rakus, mengisi perutnya sebanyak-banyaknya.

Lalu Adam mengajak Angga berjalan karena sulit bicara di tempat itu tanpa terdengar orang lain. Mereka berjalan perlahan-lahan. "Begini, Ngga, tempo hari Pak Harun bicara denganmu, ya?"

Angga bersikap siaga. Ia memandang berkeliling. Tempat itu ramai. "Iya, Pak. Memangnya kenapa?" "Kamu nggak usah waswas begitu. Aku juga

sudah bicara dengan - Pak Harun. Dia yang kasih tahu. Aku bilang padanya, kamu pernah menolongku dulu. Jadi kamu jangan sampai diapa-apain." "Diapa-apain kenapa, Pak?" Angga kaget.

"Hati-hati saja sama dia. Jangan percaya kalau dia membujukbujuk. Aku mengingatkan kau karena aku berutang budi padamu."

"Memangnya dia mau apa sama saya, Pak?" Angga cemas.

"Kamu menyerahkan barang jarahan padanya, kan?"

"Iya, Pak. Lantas kenapa?"

Angga berhenti berjalan. Adam menariknya ke pinggir. Mereka berteduh dari sengatan panas di bawah emperan sebuah warung. Adam bicara lebih pelan, "Apa kamu beritahu dia siapa orang yang menyimpan barang itu?"

"Nggak, Pak. Kan udah janji. Kata Pak Harun, dia nggak perlu tahu. Cuma perlu barangnya saja."

Adam merasa lega. Jadi Harun belum tahu. Karena itu Harun pasti akan mencari Angga lagi untuk memuaskan keingintahuannya. "Dia bohong, Ngga. Tunggu saja. Nanti dia akan ke sini lagi mencarimu untuk membujukmu supaya memberitahu siapa orang itu. Hati-hati saja. Kamu bisa terlibat. Bila orang itu ditangkap, banyak yang lain akan ditangkap juga. Demikian pula kamu. Mereka perlu saksi, kan?"

"Habis saya mesti gimana, Pak?"

"Sebaiknya kamu jangan mau ketemu dia. Atau kalau kepergok, jangan mau dibujuk. Dengan uang sekalipun." "Baik, Pak. Terima kasih." "Jadi hitung-hitung aku sudah membalas budimu, Ngga."

Sebelum pergi, Adam menjejalkan uang lima puluh ribu ke dalam tangan Angga. Uang itu memang sudah ia sediakan di dalam sakunya. Tak enak mengeluarkan dompet di depan umum lalu terang-terangan memberikan uang kepada Angga. Orangorang di situ pasti sudah tahu siapa dan bagaimana Angga itu. Dia adalah pecandu dan seorang kriminal kecil-kecilan. Adam merasa sangat puas. Perlakuan tak menyenangkan yang diterimanya dari Harun tadi tidak lagi mengganjal perasaannya. Biarlah sekarang Harun bersenang-senang atas keberhasilannya. Cerdik memang. Dan culas juga. Seingat Adam, dulu Harun tidak begitu.

Ia tahu, Harun tidak begitu saja mempercayai ceritanya tentang motor itu. Karena tidak percaya itulah Harun pasti merasa penasaran. Lalu terdorong untuk menyelidiki lebih jauh. Bila Harun berhasil menemukan orang yang menjarah guci itu, maka rahasia yang disimpannya bisa terbongkar. Penjarah itu tentu tak mau dituduh telah membunuh Sonny. Ia akan mengatakan bahwa pada saat ia memasuki rumah itu, Sonny sudah tewas. Guci itu berada di dekatnya. Siapa yang membunuh Sonny? Menurut pemikiran si penjarah, si pembunuh tentunya orang yang memasuki rumah itu sebelum dia. Konon ketika itu para penjarah bagai kerasukan. Mereka bertebaran memasuki rumah-rumah lalu kebingungan apa yang mau diambil karena dua tangan mereka tak mampu mengangkut. Jadi orang satu menyangka orang lainnya telah membunuh Sonny. Mereka saling menyangka. Padahal kemungkinan mereka tidak tahu siapa saja yang masuk ke rumah Sonny atau rumah lainnya. Semuanya tegang oleh

kerakusan. Tetapi Harun yang cerdik dan culas tidak akan begitu saja mempercayai pemikiran ku. Sekarang Adam tinggal berharap bahwa Angga mempercayainya dan melaksanakan sarannya. Tapi ia yakin telah membangkitkan kecemasan Angga. Dan mungkin juga kemarahannya karena merasa dibohongi. Ini namanya taktik mengadu domba.

Sebelum pulang ke rumah, Adam mampir ke toko bunga. Ia membeli satu buket bunga mawar merah. Ia juga mampir ke toko kue dan membeli sekotak kue kesukaan Kristin. Ia membayar semua itu dari uang satu juta yang tersisa itu. Jangan sampai rejeki yang diperolehnya itu tak dimanfaatkan atau terbuang sia-sia.

Ternyata apa yang dilakukannya itu telah membantu menyejukkan darahnya yang memanas.

Apalagi kemudian Kristin menyambut sikapnya dengan positif. Kristin memaafkannya. Ia berjanji tidak akan mengulang perbuatan serupa. Kristin pun berjanji untuk lebih peka dan menghargai perasaannya. Mereka berdamai. Tetapi Adam tetap menjaga jarak dengan Jason.

Terhadap suami-istri tetangga, Maria dan Henry, ia mengubah sikapnya. Ia ramah, sopan, dan hormat. Ia sudah bertekad, tidak akan "menciptakan" musuh. Itu merugikan diri sendiri.

Kata orang, kalau mau cari selamat bersikaplah seperti politisi. Marah di dalam, ramah di luar. Benci di dalam, simpati di luar. Dengan kata lain, belajarlah menjadi licik.

Bun Liong meletakkan guci kesayangannya di tempat yang aman, di atas meja di kamarnya. Benda itu tak lagi bisa dipandangi sembarang orang seperti dulu karena diletakkan di ruang tamu. Ada kalanya kebanggaan tidak membawa manfaat, malah merugikan.

"Heran juga ya. Kenapa barang ini tidak pergi jauh-jauh? Kok jatuhnya ke tanganku juga?" katanya berulang-ulang dengan takjub.

"Itu berarti ada untungnya dulu diletakkan di ruang tamu. Jadi ada yang mengenali bahwa barang itu memang milikmu," kata Lien.

"Ya, ya. Benar sekali."

"Saya akan dekati si Adam lagi, Pa. Kayaknya dia tahu lebih banyak daripada yang dia ceritakan kepada kita," kata Tom. "Ala, sudahlah, Tom. Orang kayak gitu didekati. Belum apa-apa mukanya sudah ditekuk," cegah Lien.

"Iya, sudahlah. Tahu lebih banyak juga tak ada gunanya. Semua sudah terjadi," Bun Liong membenarkan.

Tom mengangguk. Ia tidak mau adu argumentasi dengan orangtuanya. Ia punya rencana sendiri. Sesungguhnya ia ingin menemui Harun untuk berbincang lebih banyak. Bukan untuk menyelidiki, tapi sekadar mendapat kejelasan. Hal itu merupakan pesan Susan juga. Dengan bicara dan berhadapan empat mata dengan Harun ia bisa mendapat kesan lebih mendalam daripada mendengar ceritanya dari orang lain. Jadi ceritanya bisa lebih berbobot.

Esok paginya setelah Adam pergi ke kantor, Kristin meraih pesawat telepon. Ia baru saja menyuruh Bi Iyah ke pasar

hingga tak ada yang memata-matai atau menguping pembicaraannya. Ia menghubungi rumah keluarga Lie dan minta bicara dengan Tom.

"Hai, Kris!" suara Tom terdengar senang. "Baik-baik saja?

Bagaimana Jason?"

"Dia masih bobo, Tom. Aku cuma ingin menanyakan, apa kau jadi menemui Pak Harun seperti yang kaurencanakan itu?"

"Mungkin jadi. Kenapa?"

"Hati-hatilah sama dia. Orangnya licik."

"Oh ya? Gimana liciknya?"

"Semalam Adam bercerita. Dia menyerahkan cek yang diberikan Oom Bun itu kepada Pak Harun. Ternyata Pak Harun curiga apakah Adam sesungguhnya minta lebih dari jumlah itu. Tentu saja Adam jengkel. Ia menyarankan supaya Pak Harun menelepon sendiri untuk memastikan, tapi rupanya dia segan melakukan hal itu. Padahal Adam tidak minta bagian satu sen pun darinya."

"Kenapa dia mesti menyangka begitu, ya?"

"Entahlah. Menurut Adam, yang dulu cukup dekat dengannya, sekarang ia berubah sekali. Dulu orangnya baik. Sekarang cenderung mata duitan. Jadi kalau kau menemui dia, mungkin dia akan berupaya supaya kau memberinya uang. Karena Oom Bun tidak menawar permintaannya yang lima juta itu, disangkanya kalian sangat kaya." "Aku akan berhati-hati, Kris. Terima kasih untuk pemberitahuannya."

"Jadi kau tetap akan menemuinya?" "Kemungkinan besar iya."

"Jangan buru-buru, Tom. Kemungkinan dia mau menghindar untuk sementara waktu. Tentu dia sadar bahwa kalian penasaran ingin mendengar ceritanya. Adam tidak banyak ceritanya, ya?"

"Kalau begitu aku akan menunggu beberapa hari dulu."

"Mau keliling Jakarta?"

Terdengar suara tawa Tom. "Boleh juga usulmu itu. Tapi aku masih ada urusan yang perlu dikerjakan lebih dulu. Bila semuanya sudah selesai baru jalan-jalan." "Jadi hari ini tidak ke rumah Pak Harun, kan?"

"Tidak. Aku mau ke tempat lain. Oh ya, boleh aku mampir ke rumahmu sebentar saja? Aku ingin menjenguk Jason." Kristin tertegun. Menjenguk Jason? Ia teringat pada Adam dan janji mereka satu terhadap yang lainnya semalam. Mungkin karena Kristin tak segera menjawab, Tom berkata, "Tak usahlah, Kris. Kau pasti keberatan. Kedatanganku mengganggu saja, ya?"

"Bukan begitu, Tom." Kristin memutuskan untuk berterus terang. Mestinya Tom tahu banyak mengenai dirinya dari Maria. Dengan berterus terang, konflik atau salah paham bisa dicegah. "Pembantuku selalu memberitahu Adam mengenai apa

saja yang kulakukan. Dia sangat jengkel kalau orang lain bisa men- 269

dekati Jason, tapi dia... dia... ya, kau tentu tahu ceritanya dari

Tante Maria, ya?"

Tom tak segera menjawab. Mungkin berpikir dulu. Tapi saat berbicara, suaranya terdengar hangat dan penuh simpati. "Ya. Aku mengerti, Kris. Mungkin Adam perlu bersabar. Dekatilah

Jason dengan hati-hati dan lembut. Pelan-pelan saja. Sekarang kan masih kecil sekali."

"Ya. Terima kasih untuk pengertianmu, Tom."

"Terima kasih juga untuk informasinya, Kris." Setelah meletakkan telepon Kristin merasa lega. Ia yakin, keadaan akan menjadi lebih baik. Sudah ada pertanda positif. Semalam ia sudah berbaikan dengan Adam. Sore sebelumnya Adam sudah mau menyapa Maria dan Henry dengan ramah sekali. Padahal sebelumnya ia melengos saja kalau bertemu. Pura-pura tak melihat atau konsentrasi ke hal lain. Perubahan itu cukup mendadak. Kedua orang tetangganya itu sampai terbengong-bengong keheranan. Termasuk dirinya sendiri. Apa yang telah terjadi, tentu cuma Adam sendiri yang tahu. Tom termenung sejenak menatap telepon. Maria memang sudah bercerita banyak mengenai "konflik" antara Jason dan Adam. Kisah yang aneh. Tetapi ia juga mengetahui "keanehan" Kristin. Kisah yang membangkitkan kedekatannya dengan ibu dan anak itu. Bahwa Kristin memilihnya sebagai tempat berbagi sangat dihargainya. Ia merasa tersentuh. Barangkali Kristin menggunakan intuisinya dalam hal itu. Dia dianggap cocok, lalu tanpa pertimbangan ia pun membuka diri. Orang seperti Kristin pastilah langka. Ia pernah mendengar kisah orang-orang seperti itu. Mereka bukan cuma peka, tapi bisa superpeka. Mereka memiliki kemampuan melihat, mendengar, dan merasakan, yang lebih tajam daripada orang kebanyakan. Hal itu suatu kelebihan yang jelas berbeda, dibanding halusinasi yang dialami penderita gangguan jiwa.

Tetapi mereka yang peka atau superpeka itu tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya. Mereka sering bingung sendiri dengan apa yang dilihat dan dirasakan. Apalagi bila mereka harus mencernanya dengan pemikiran yang rasional. Tak jarang mereka bukan mensyukuri kelebihan itu, melainkan menyesalinya sebagai kemalangan. Mereka ketakutan lalu menganggap diri sendiri tidak beres. Tak mengherankan kalau kemudian ada di antaranya yang mengalami gangguan jiwa.

Kepekaan dianggap sebagai halusinasi.

Untunglah Kristin tidak seperti itu. Dia bisa menerimanya tanpa merasa terganggu atau jadi beban. Karena itulah dia bisa tetap tinggal di rumahnya dengan nyaman. Bahkan Kristin bisa menerima "kehadiran" Sonny di rumahnya!

Tetapi yang sekarang dipikirkan Tom adalah Jason. Kenapa anak itu, yang usianya belum lagi genap sebulan, menolak ayahnya sendiri dengan cara yang unik seperti itu? Apakah Jason sudah mewarisi keanehan yang dimiliki Kristin dalam usia di mana dia belum jadi manusia yang sempurna? Katanya, begitu matanya terbuka ia sudah "menolak" Adam. Padahal dengan orang-orang lain, termasuk pembantu rumah tangga, ia biasabiasa saja. Tak mengherankan bila Adam menjadi stres lalu bertingkah macam-macam. Tom simpati kepadanya. Sepertinya mereka senasib meskipun kasusnya jauh berbeda.

Masih ada satu hal yang dirasanya unik. Yaitu ketertarikannya kepada Jason. Keinginannya menjenguk Jason saat menerima telepon dari Kristin muncul begitu saja. Ingin sekali melihat

dan membelai kepalanya yang mungil lembut itu. Anehkah keinginan yang seperti itu? Perlukah penjelasan?

Ternyata ibunya juga mengamati sikap dan perilakunya itu. Lalu mengomentari, "Itu berarti kau juga ingin punya anak!" Ah, benarkah itu? Ternyata sulit sekali menyelami diri sendiri. Vivian tinggal di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dan bukan cuma alamat rumah yang diberikan Ron kepadanya, melainkan juga alamat kantor, juga nomor telepon rumah serta kantor. Dengan kelengkapan itu jelas keseriusan Viv ingin bertemu dengannya.

Mungkin pemikiran tentang Kristin dan Jason tadi pagi yang memunculkan niat Tom untuk memenuhi permintaan Viv itu. Secara mental ia sudah siap. Ia yakin akan hal itu. Ia toh bukan manusia statis.

Sekarang ini pastilah Viv sudah tahu dari Ron mengenai kehadirannya di Jakarta. Lalu menunggu-nunggu. Menurut Ron, Viv masih sendiri. Sama seperti dirinya. Dengan demikian, ia bisa berhadapan dengan Viv secara lebih leluasa. Tak ada orang ketiga yang akan menanggapi macam-macam. Tetapi niatnya yang muncul tiba-tiba dan segera dilaksanakannya itu belum disampaikannya kepada Viv lewat telepon seperti seharusnya. Ia juga tidak memberitahu kedua orangtuanya mengenai rencananya itu. Pada saat itu ia ingin bertindak murni oleh kehendak dan pemikiran sendiri, tanpa dipengaruhi orang lain.

Jam sepuluh pagi ia berdiri di depan rumah Viv, sesuai alamat yang ada padanya. Sebuah rumah ukuran sedang yang merupakan bangunan lama. Jalan di depan rumah cukup lebar.

Ia memiliki ruang gerak yang leluasa. Dari pengalaman sebelumnya, saat mengamati rumah Kristin, ia sadar tidak patut mengamati rumah orang secara terang-terangan. Maka ia memperhatikan sekilas, berjalan ke ujung jalan, kemudian kembali lagi. Pada saat itu Viv berada di kantornya, di kawasan Jalan Jenderal Sudirman. Tetapi anaknya pasti berada di rumah.

Tom melakukan hal itu secara spontan saja tanpa pertimbangan apa-apa. Ia ingin melihat Debbie dulu tanpa dihadiri Viv. Ia tak ingin membuat Viv bersiap-siap menerima kedatangannya. Biarlah wajar-wajar saja. Aneh juga kalau dipikir bahwa selama bertahun-tahun perasaannya dingin saja terhadap anak itu. Bahkan saat awal ia menginjak Jakarta, tak muncul sedikit pun keinginan untuk melihatnya. Bertemu dengan Viv oke saja, tapi tidak Debbie. Sampai terpikir untuk menemui Viv di kantornya saja.

Sekarang ia sudah berada di situ. Pagar rumahnya rendah sehingga pemandangan ke halaman dan bagian depan rumah tidak terhalang. Pintunya tertutup. Halamannya cukup apik, dihiasi tanaman hias yang subur. Beberapa pot gantung dengan tanaman menjuntai ke bawah berderet di bawah plafon teras. Orang-orang yang berlalu lalang melewatinya. Seorang perempuan gemuk mendekatinya. "Cari siapa, Mas?" tanyanya sopan.

"Ini rumahnya Ibu Vivian?"

"Betul. Tapi setahu saya dia ada di kantor."

"Kalau begitu saya mau nitip pesan saja. Apa ada yang jaga?" tanya Tom sambil menatap ke arah rumah.

"Biar saya panggilin. Ada pembantu dan susternya kok."

Perempuan gemuk itu mengetuk pintu sambil berteriak,

"Mbaaak! Mbaaak! Ada tamu!"

Tak lama kemudian pintu terbuka, disusul munculnya seorang perempuan bergaun putih. "Nah, itu suster anaknya, Mas!" kata si perempuan gemuk.

"Terima kasih, Bu!"

Perempuan gemuk itu berlalu. Rupanya tetangga sebelah rumah. Tom kembali mengalihkan perhatian ke dalam rumah Viv. Suster tadi sudah berada di depannya. Tom sudah membuka mulut untuk berbicara, tetapi kata-katanya tak jadi keluar. Ia melihat Debbie berlari keluar menghampiri susternya. Siapa lagi kalau bukan Debbie, karena gadis kecil berusia sekitar lima tahun itu berkulit putih, berambut ikal berwarna kuning keemasan, dan bermata biru! Ia mengamatinya dengan saksama. Benarlah kata ibunya, bahwa Debbie mirip boneka Barbie!

"Cari Ibu ya, Pak?" tegur Suster.

"Oh ya. Tapi dia di kantor, bukan?"

"Betul, Pak." Suster ragu-ragu apakah sepatutnya menyilakan si tamu masuk. Tapi ia tidak berani. Bagaimana kalau tamu ini orang jahat?

Perhatian Tom hanya tertuju kepada Debbie. Anak itu pun balas memandangnya.

"Ini pasti Debbie. Hai, Deb!" tegur Tom.

"Hai!" sahut Debbie lincah. Dia bukan anak pemalu.

"Sudah sekolah?"

"Sudah, Oom. Kelas nol kecil. Oom siapa? Temannya Mami?"

"Ya. Saya Oom Tom, teman Mami dari Amerika."

"Wow! Kata Mami, nanti saya juga akan ke Amerika. Daddy ada di sana."

Tom tertegun. Kemudian ia menyadari tatapan Suster. "Biar saya telepon Bu Viv saja."

"Tapi... tapi telepon di rumah lagi rusak, Pak," Suster berbohong. Ia sudah diajari bahwa orang yang berniat jahat suka berdalih pinjam telepon supaya diizinkan masuk. "Saya bawa telepon sendiri, Mbak. Tunggu sebentar, ya."

Tom mengeluarkan telepon genggam milik ayahnya sementara Suster bersama Debbie tetap di balik pagar. Debbie terus mengawasi Tom dengan pandangan tertarik. Tak lama kemudian Tom sudah berbicara dengan Viv. Kedengaran Viv mengeluarkan seruan surprise.

"Aduh! Kukira kau tidak mau datang! Kenapa tidak bilang dari kemarin?" "Aku kebetulan lewat saja." "Sekarang di mana?" "Di depan rumahmu. Maksudku di luar pagar. Di depanku ada

Debbie dan Suster."

"Oh!" seruan kaget. "Jadi... jadi sudah ketemu, ya?"

"Ya. Dia memanggilku Oom Tom."

"Begini saja, Tom. Maukah kau menungguku sebentar? Atau kau ada keperluan lain? Mungkin kau akan datang lagi di sore hari, usai aku kerja. Atau hari Minggu? Kalau kau mau menungguku, aku akan datang."

"Oke. Aku tunggu. Tapi sebaiknya bicara dulu sama Suster, ya.

Dia sangat berhati-hati."

Tom menyerahkan teleponnya kepada Suster yang kemudian terlibat pembicaraan dengan Viv. Tak lama kemudian ia

menyerahkan kembali telepon kepada Tom sambil meminta maaf. Pintu terbuka untuk Tom. Begitu ia masuk, Debbie meraih tangannya, lalu membimbingnya masuk rumah.

IX Jakarta, bulan Juli. Harun berangkat ke Kampung Belakang dengan penuh percaya diri. Ia sudah mematangkan rencananya. Di dalam dompetnya terdapat uang lima ratus ribu rupiah. Bekal uang selalu penting untuk membujuk dan melunakkan hati orang. Bila ia sampai harus melepaskan uang itu, ia tidak akan rugi, karena ia masih punya sisa lima ratus ribu dari bagian Adam yang diberikan kepadanya. Ia memuji kecerdikannya sendiri. Ia tahu, perbuatannya itu akan meretakkan hubungannya dengan Adam. Tapi apa pedulinya? Kalau ia renungkan lagi berbagai peristiwa ke belakang, diawali dari-pertemuan pertamanya dengan Adam setelah sekian tahun tidak bertemu, maka sekarang menjadi jelas apa sebenarnya yang mendorong Adam hingga bersikap ramah dan bersahabat kepadanya. Kenapa Adam mengejarnya sampai ke halte bus dan kemudian mentraktirnya makan segala? Padahal kalau cuma ingin bertemu dan berbincang, masih ada hari esok. Ketika itu ia merasa tersentuh karena mengira Adam merasa dekat dengannya akibat hubungan masa lalu. Rupanya tidak ada hal yang sentimental seperti itu.

Sebenarnya Adam juga tidak peduli kepadanya, ia hanya terpaksa peduli.

Biasanya, orang yang punya kesalahan itu gampang menaruh curiga. Demikian pula Adam. Pantaslah Adam berusaha mengorek segala yang diketahuinya mengenai tragedi yang menimpa kawasan Pantai Nyiur Melambai di bulan Mei tahun sembilan delapan. Khususnya kemalangan Sonny. Kenapa Adam berusaha menyembunyikan kasus motor Sonny itu? Seandainya pun orangtua Sonny tahu mengenai motor yang dibakar massa itu, mereka juga tak akan menuntut ganti rugi. Itu bukanlah kesalahan Adam. Yang ingin disembunyikan Adam adalah kenapa ia sampai menggunakan motor itu! Orang yang mengambil guci itu punya posisi penting. Jadi harus ditanyai dengan hati-hati. Pada saat mengambil benda itu, adakah ditemuinya Sonny di rumahnya? Apakah waktu itu Sonny bersembunyi karena tak sempat lagi melarikan diri, hingga ia terbakar hangus bersama rumahnya? Bila Sonny memang masih hidup sampai memutuskan bersembunyi, maka itu berarti ia mendengar saat pintunya digedor dan bisa bersiap lebih dini. Tapi kenyataannya Sonny tidak menjawab dan juga tidak keluar. Naluri Harun mengatakan, Sonny memang masih ada di rumahnya ketika pintunya digedor tapi ia tak mampu bereaksi. Sudah matikah dia? Yang bisa memberi jawaban pasti adalah orang yang mengambil guci itu. Tapi yang menyulitkan adalah mereka takut bicara. Bila mereka menceritakan apa yang mereka lihat, maka

itu berarti mengakui bahwa waktu itu mereka ikut menjarah. Siapa sih yang mau mempersulit diri sendiri?

Semakin lama dipikirkan dan segala segi dipertautkan, maka ia jadi semakin tergelitik. Semangatnya meninggi drastis seperti mendapat suntikan adrenalin ke dalam pembuluh darahnya. Dia akan mencari orang itu. Kuncinya ada pada Angga. Pasti tidak susah mengorek keterangan dari Angga. Anak itu selalu haus uang.

Angga sudah melihatnya. Ia mendekati Harun dengan senyum manis. "Selamat siang, Pak Harun!"

"Siang, Ngga."

"Apa kabar, Pak? Barangnya udah dikasih?"

"Oh, sudah. Pemiliknya senang sekali."

"Bapak dapat imbalan, nggak?"

Harun sudah siap menerima pertanyaan itu. "Dapat sih. Orang yang kesenangan dan kebetulan banyak duit pasti tak segan memberi. Jangan khawatir, Ngga. Kamu pasti dapat bagian.

Juga orang yang memberikan guci itu padamu."

"Kasih saya saja, Pak. Nanti saya bagi dia."

"Jangan begitu. Nanti dia menuduhmu curang. Sebaiknya aku saja yang kasih langsung kepadanya."

Angga tidak segera menjawab. Ia mengerutkan mukanya.

"Kenapa?" tanya Harun.

"Lapar, Pak. Belum makan dari pagi."

"Kalau begitu, ayo kita makan dulu. Aku juga belum makan." Mereka singgah di warteg. Seperti sebelumnya, Angga makan dengan gembulnya. Tapi Harun cuma makan sedikit. Ia tak mau memenuhi perutnya dengan makanan kampung. Sebentar lagi ia akan memanjakan dirinya dengan makan enak di restoran mahal.

"Kalau tiap hari ketemu Pak Harun, saya bisa gemuk," kata Angga.

Harun cuma tertawa. Ia sabar menunggu Angga. Setelah Angga melicinkan piringnya ia bertanya pelan, "Bagaimana, Ngga?" "Bagaimana apa?" Angga balas bertanya.

"Itu masalah yang tadi. Kamu mau dapat persen, nggak?"

"Mau dong!"

"Aku punya usul, kita pergi sama-sama aja ke rumah orang itu. Nanti di sana kita bagi-bagi rejeki-nya secara terbuka. Supaya nanti tidak saling tuduh, yang satu mencurangi yang lain."

"Memangnya bagian saya berapa?"

"Bagianmu dan bagiannya harus sama besar. Barang itu kan hasil jarahan."

"Saya takut, ah. Dulu kan udah janji saya nggak boleh kasih tahu. Dia bisa marah besar sama saya."

"Kalau kamu nggak mau kasih tahu, ya sudah. Kamu tak jadi mendapat persen."

Angga menatap kecewa. "Ah, kok gitu sih, Pak." Harun masih punya jurus lain. "Begini saja, Ngga. Kamu tak

usah terang-terangan menunjukkan dia. Cara tersembunyi saja."

Angga menggeleng tak mengerti.

"Kamu jalan menuju rumahnya. Aku mengikuti saja dari belakang. Tapi kamu tak usah masuk ke dalam. Beri isyarat saja. Supaya aku tahu itulah rumahnya." "Ketahuan juga dong, asalnya dari saya."

"Saya tidak akan menyebut namamu. Sepertinya kebetulan saja saya ke rumahnya."

"Memangnya mau apa sih Bapak ke rumahnya?"

"Ada yang mau kutanyakan."

"Cuma nanya doang? Kan Bapak mau ngasih bagiannya. Ketahuan juga dong."

"Habis gimana? Aku perlu ketemu dia. Bantulah aku. Kan kamu perlu duit juga."

Angga berpikir. "Gini aja, Pak.. Berikan saja semua uangnya.

Biar saya yang bagi dia. Nanti saya kasih tahu." Harun tertawa. Dia tentu tidak sebodoh itu. "Kalau sudah dapat duit kamu lari, gimana?"

"Saya nggak lari. Saya jalan pelan-pelan. Bapak ngikutin dari belakang. Bapak lihatin saya masuknya ke mana. Tapi Bapak jangan langsung nemuin dia. Tunggu sampai besok atau lusa." Harun berpikir. Tampaknya tak ada jalan lain. Seandainya sekarang ia dikibuli Angga, ia bisa mencarinya lagi lain kali. Ia tidak akan menyerah begitu saja. "Baiklah. Jangan bohongi aku, ya?"

"Nggak, Pak. Duitnya dulu dong. Kasih di bawah meja aja." Harun merogoh sakunya. Ia mengambil dua lembar lima puluh ribuan, lalu menyodorkan ke bawah meja. Tangannya disambar Angga. Dia mengintip ke bawah. "Jadi cuma dua lembar, Pak? Saya dan dia masing-masing selembar?" tegasnya kecewa. "Itu cuma uang muka. Kalau kamu nggak bohong, besok dapat lagi." Angga memonyongkan mulutnya. "Tambahin dong, Pak!" ia merengek.

Harun menambahkan selembar lagi.

Kemudian mereka berjalan beriringan dengan jarak sekitar tiga sampai lima meter. Angga di depan. Harun di belakangnya, berusaha menjaga jarak. Ia juga khawatir kalau-kalau Angga menghilang di belokan gang. Apalagi kalau melewati kerumunan orang.

Mereka mendekati pasar loak. Tempat itu sedang ramai dengan orang-orang yang sedang bertransaksi baju-baju bekas. Sebagian badan jalan digunakan untuk menggelar baju-baju. Di tempat itu Harun kesulitan untuk terus-menerus mengamati Angga. Orang-orang berlalu-lalang di depannya. Ke mana anak itu? Ia celingukan ke segala arah, kehilangan jejak.

Tiba-tiba terdengar teriakan, "Copet! Copet! Maliiing! Maliiing!" Harun terkejut. Teriakan itu dekat sekali dengannya. Belum sempat menemukan sumber teriakan, tiba-tiba ia melihat tudingan ke arahnya. Orang-orang memandang kepadanya.

Wajah mereka memerah karena amarah. Harun ketakutan.

"Itu malingnya!" Tudingan semakin banyak. Harun sadar akan bahaya. Bisakah mereka menerima bantahannya? Paling aman adalah lari secepat-cepatnya. Tetapi orang-orang mengejarnya. Tambah lama tambah banyak. Dan semakin beringas pula.

Lalu Harun tersandung. Ia jatuh terjerembap. Tak lama kemudian orang-orang yang beringas itu menyerbunya. Ia tak kelihatan lagi.

Belasan meter dari tempat itu Angga berdiri memandangi.

Ekspresinya memperlihatkan kepuasan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience