13

Family Completed 2798

Esoknya, Adam pulang pagi-pagi sekitar pukul enam. Tanpa mengatakan apa-apa kepada Kristin yang menyambutnya ia segera masuk ke kamar mandi, berpakaian, dan kemudian sarapan sambil membaca koran. Ia bersikap seolah tak ada apa-apa.

Kristin ikut sarapan. Ia pun tidak bertanya apa-apa. Ia sabar menunggu. Setelah semalaman bergulat dengan perasaannya, ia berhasil mengatasi dan memutuskan untuk bersikap pasif sementara waktu. Kepergian Adam semalam ada baiknya. Ia bisa berpikir tenang. Sambil makan ia pun masih memikirkan hal itu. Aneh juga rasanya bahwa ia bisa bersikap dingin dalam situasi yang mestinya membangkitkan amarah itu. Di mana tanggung jawab Adam sebagai suami dan ayah? Kalau dulu-dulu mana mungkin ia bisa bersabar seperti itu. Pasti ia segera saja meledak pada

kesempatan pertama. Apalagi sikap Adam tampak begitu melecehkan. Dia seolah dianggap angin. Tapi sekarang perlakuan itu tidak mengusik emosinya. Ada masalah yang lebih besar.

Dari balik koran yang dibacanya sebentar-sebentar Adam mengintip ke arah Kristin. Ia melihat Kristin makan pelan-pelan lalu menghirup susunya pelan-pelan juga. Tatapan Kristin ke meja, tanpa beralih ke tempat lain. Melihat kepadanya pun tidak. Ia heran juga kenapa Kristin bisa begitu diam. Bahkan tenang. Padahal bila seorang suami pergi semalaman tanpa memberitahu apa-apa, mestinya merupakan kesalahan besar di mata istrinya. Rasa herannya berubah menjadi curiga. Bila seseorang tidak bersikap seperti biasanya, pastilah ada sesuatu yang luar biasa.

Selesai makan, Kristin segera naik ke loteng untuk mengurus Jason. Adam sudah pergi lebih dulu ke ruang duduk membawa korannya. Tapi setelah melihat Kristin pergi, Adam memanggil Bi Iyah. Perempuan itu memang sudah menunggu bagai abdi yang setia. Sejak awal bekerja dan punya dua majikan, ia sudah tahu kelak akan ada kemungkinan di mana ia harus memilih kepada siapa kesetiaannya harus ditujukan. Ia memutuskan akan berpihak kepada yang punya uang! Kristin menyusui Jason sambil bersenandung pelan mengikuti irama musik yang dipasang. Ia ingin menguraikan kekusutan pikirannya supaya air susunya tetap lancar. Konon kelancaran air susu juga bisa dipengaruhi secara psikologis. Jadi pada saat itu ia berusaha tidak memikirkan Adam. Segala sesuatu mengenai Adam disingkirkannya dari pikirannya. Tetapi

rasanya sulit untuk mengosongkan pikiran sama sekali. Maka ia memikirkan yang lain. Sesuatu yang menyenangkan dan menimbulkan kedamaian di hati. Tom!

Ia teringat kehangatan sentuhan Tom. Genggamannya yang erat dan akrab itu terasa melindungi. Belum pernah ia merasa begitu yakin akan ketulusan seorang lelaki seperti yang ditemukannya pada diri Tom. Bahkan Adam... Oh, tidak. Jangan berpikir tentang Adam. Pada Tom saja. Itu lebih menyenangkan. Dan lebih aman!

Kenapa Tom tahan menduda selama bertahun-tahun? Tak bisa menghapus trauma atau dendam kepada perempuan? Tapi sikap Tom kepadanya, yang begitu ramah dan hangat, tidak mengindikasikan hal itu. Lelaki yang membenci perempuan pasti bersikap dingin dan tak mau dekat-dekat, kecuali kalau terpaksa. Tiba-tiba Kristin merasa khawatir jangan-jangan Tom memiliki teman kumpul kebo di Amerika. Orang sana biasa begitu. Ah, apa pedulinya tentang hal itu? Yang penting perhatian Tom sangat menyenangkan.

Tahu-tahu Jason telah selesai dan tertidur kekenyangan. Entah sejak kapan. Kristin mengembalikan pikirannya yang mengembara sambil tersenyum. Ternyata Jason tidak merasa kurang. Ia tidak perlu mencemaskan air susunya. Kristin tidak menyadari, Adam mengamatinya dari celah pintu yang terpentang.

Adam yakin, ekspresi Kristin yang melamun sambil tersenyumsenyum itu pasti bukan karena memikirkan dirinya. Apa yang telah ia lakukan bukanlah sesuatu yang pantas mengundang senyum keceriaan di wajah Kristin. Ia tahu siapa yang ada di

benak Kristin. Laporan yang diberikan Bi Iyah kepadanya barusan cocok dengan apa yang disimpulkannya. Adam dibakar api cemburu. Kristin harus menyadari dia bukanlah suami yang bisa diperlakukan seenaknya. Kalau ia membiarkannya, maka lama-kelamaan ia akan diinjak. Tapi masih ada kesadaran untuk tidak dikuasai emosi. Ia sudah belajar, Kristin bukanlah orang yang bisa ditaklukkan dengan deraan fisik. Sebaliknya, kekerasan cuma membuat Kristin semakin menentang dan melawan.

Kristin terkejut mendapati Adam sudah berada di kamar tidur mereka, yang bersebelahan dengan kamar bayi. "Mau apa Tom datang ke sini semalam? Kau memanggilnya mentang-mentang aku tidak ada, ya?" Adam mulai. Ternyata sesudah memulai, emosinya pun bekerja.

"Ya. Aku memanggilnya karena dia dokter. Aku takut Jason kenapa-kenapa karena dilempar olehmu."

"Oh, begitu? Memangnya tak ada dokter lain? Dia kan bukan dokter anak." "Tapi dia bisa dipanggil."

"Aku tidak percaya! Kok mesra-mesraan?" "Apa?!" Kristin melotot. "Siapa yang mesra-mesraan?"

"Kalian berdua. Bi Iyah saksi mata. Lupa, ya?" "Apa katanya?" "Pokoknya, apa yang dia lihat adalah apa yang kalian lakukan." Adam mulai sulit mengendalikan emosinya.

"Apa yang dia katakan belum tentu sama dengan apa yang dia lihat. Kau sampai hati menyuruh pembantu memata-matai istri." "Itu bukan memata-matai namanya. Ah, terserahlah kau mau bilang apa. Awas saja! Jangan nyeleweng! Atau sudah?" Muka

Adam memerah, membayangkan tempat di mana mata Bi Iyah tak bisa menjangkau. Itu adalah rumah Maria. Bila Kristin ke sana lalu Tom pun ke sana, maka...

Kristin menjadi takut. Di matanya Adam sudah menjadi orang yang berbahaya. Maka ia diam, berusaha untuk tidak memancing emosi Adam. Tapi sikap diamnya justru membuat Adam semakin marah.

"Bila kau diam, berarti kau mengaku!" ia berseru.

"Aku tidak nyeleweng dengan siapa pun!"

"Lantas kenapa kau dan dia begitu akrab? Pandang-pandangan. Pegang-pegang tangan. Bahkan kaubiarkan dia mendorong kereta si Jason. Sikapnya kepada anak itu juga sudah seperti dialah ayah kandungnya. Apa yang kelihatan itu tidak bisa membohongi orang!"

Kristin diam lagi. Ia menyadari kesalahannya telah bertindak impulsif. Tapi ia tidak menyesal. Yang disesalinya hanyalah ia membiarkan Bi Iyah melihatnya. "Kertas apa yang kauberikan kepadanya?" "Itu miliknya sendiri yang terjatuh dari sakunya waktu mengambil stetoskop."

"Apa isinya? Kau membacanya, bukan? Kau kaget membacanya, bukan? Lalu kau membawanya ke kamar. Kemudian Tom datang lagi. Dia kelihatan takut kalau-kalau kau membacanya. Tapi kau bilang tidak membacanya. Jelas bohong, kan?" Kristin tertegun. Wajahnya memucat tanpa dikehendakinya. Tiba-tiba saja ia takut kalau-kalau Adam bisa menebak apa sesungguhnya yang telah dibacanya itu. Beberapa saat kemudian baru ia sadar bahwa hal itu tidak mungkin. Adam

boleh saja mencurigai, tapi ia takkan tahu apa yang ia pikirkan. Bahkan Adam pasti takkan menyangka sedikit pun mengenai apa yang telah dibacanya itu. Dalam hal itu Bi Iyah tidak tahu apaapa.

"Lihat! Mukamu pucat! Nah, memang ada sesuatu, kan?" "Kalaupun memang ada sesuatu, aku tidak mau bicara! Kau tidak berhak memaksaku bicara!"

"Oh ya? Mungkin aku tidak berhak, tapi aku bisa."

Kristin diam. Rasa takut mulai menguasainya kembali. Adam menatap arlojinya. "Masih ada waktu," katanya. Lalu ia menatap Kristin dengan ekspresi mencemooh. "Pakai bahasa Inggris segala, ya? Itu malah semakin kentara bahwa kau menyembunyikan ke-busukanmu. Supaya nggak dimengerti Bi

Iyah, kan?"

Kristin masih tak menyahut. Sebenarnya ia ingin keluar kamar menghindar dari Adam, tetapi ia tak mau meninggalkan Jason. Bagaimana kalau Jason diapa-apakan oleh Adam? Sudah terbukti Adam sangat tega. "Tak mau menjawab, ya? Berarti kau memang salah!" "Bagimu, semuanya selalu salah! Aku tidak mengerti kenapa kau jadi berubah begini."

"Kau tidak mengerti? Sejak kelahiran anak itu." Adam menunjuk kamar bayi. "Semua menjadi kacau!"

"Kau menyalahkan Jason?"

"Ya! Dia biang kekacauan!"

Kristin tertegun. Ia menganggap, tuduhan itu sangat keji. Tetapi dengan demikian menjadi semakin jelas baginya. "Kalau kau tidak menghendaki kami berdua di rumah ini..."

Belum selesai Kristin bicara, Adam sudah tertawa. "Siapa

bilang begitu, Sayang? Aku tidak memintamu pergi. Kau kan istriku."

"Baiklah. Kalau kau tidak menginginkan aku pergi, suruhlah dia pergi!" "Dia siapa?"

"Bi Iyah!"

Adam tertawa keras. "Lantas siapa yang akan membantumu?"

"Aku tidak perlu dibantu!"

"Oh, tidak. Aku kasihan sama kau. Bi Iyah tidak akan pergi." "Kalau begitu biar saja aku pergi sama Jason. Itu lebih baik daripada kita ribut melulu."

"Kau mau ke mana?" tanya Adam dengan nada mencemooh. "Aku mau pulang ke Semarang!"

"Dan membebani orangtuamu?"

Kristin tidak menyahut. Gagasan itu memang terlalu mendadak. Ia spontan saja bicara karena dorongan emosi. Sesungguhnya situasi tidak memungkinkan baginya untuk menumpang di rumah orangtuanya, apalagi dengan membawa Jason. Bukan saja Jason masih terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, tapi menurut kabar terakhir yang diterimanya dari ibunya, ayahnya mengidap penyakit paru-paru yang gampang menular. Di samping itu sekarang ini ia bergantung sepenuhnya kepada Adam. Ia sudah berhenti bekerja atas permintaan Adam, yang ia setujui sepenuhnya karena ingin memberi seluruh waktunya kepada Jason. Kelak ia akan bekerja lagi, bila Jason sudah berusia lebih dari lima tahun.

Ia bisa saja pindah ke rumah kontrakan dengan menggunakan tabungan pribadinya bila motivasinya cuma untuk menjauh dari Adam. Tapi untuk seberapa lama? Pergi ke mana pun Adam masih tetap suami dan ayah Jason. Ia takut kepada Adam! Seseorang yang di masa lalu mampu melakukan kekejian, kemungkinan bisa mengulanginya di masa mendatang. Itu disebabkan karena perasaan teganya kepada orang lain sudah tumpul akibat pengalaman sebelumnya. Semakin sering sebuah pisau digunakan untuk memotong, semakin cepat tumpulnya. Orang yang tak pernah memukul akan berpikir seribu kali bila keinginan itu muncul. Tetapi orang yang pernah memukul tak perlu berpikir lagi untuk mengulanginya. Dan orang yang pernah membunuh... Ah, bukankah ada cinta yang bisa jadi penghalang?

Tetapi ia sendiri mengalami, bahwa cinta itu memiliki kadar yang tidak pasti karena ketergantungannya pada banyak hal. Ada kalanya cinta itu terasa selangit. Luar biasa. Tetapi anehnya bisa menjadi benci di saat yang lain!

Kristin masuk ke kamar bayi dan menutup pintunya. Pada saat konflik dengan Adam, cuma tempat itulah yang bisa memberinya rasa aman. Dia berdua Jason. Ia baru akan keluar bila Adam sudah pergi.

Sebelum pergi ke kantor, Adam berpesan kepada Bi Iyah, agar bertahan di rumah itu bila Kristin menyuruhnya pergi. Bukan Kristin yang menggajinya. Tentu saja Bi Iyah setuju. Dia memang tak ingin pergi.

Sebelum mengeluarkan mobilnya ke jalan, Adam baru menyadari ia belum mengenakan dasi. Biasanya Kristin tak

pernah lupa menyediakan perangkat pakaiannya untuk ke kantor. Dengan jengkel ia bergegas kembali masuk rumah dan meninggalkan mobilnya dalam keadaan hidup. Bi Iyah yang menunggui.

Setibanya di depan kamar tiba-tiba muncul rasa iseng. Ia tahu tadi Kristin masuk ke kamar bayi dan akan menunggu sampai ia pergi baru keluar. Bila ia tiba-tiba berada di kamar tanpa suara, tentulah Kristin akan kaget sekali. Pelan-pelan ia membuka pintu lalu masuk setelah sebelumnya melepas sepatu di depan pintu.

Tetapi Kristin masih berada di dalam kamar bayi. Pintunya masih tertutup. Terdengar suara ocehan Kristin. Pasti bicara kepada Jason. Lama-lama ia bisa sinting, pikir Adam. Bayi yang belum mengerti apa-apa itu diajak bicara. Adam berindap-indap ke depan pintu kamar bayi. Di situ ia menguping. Suara Kristin memang samar-samar, tapi masih bisa terdengar.

"Kenapa Papa begitu ya, Son? Mama sungguh tidak ingin punya kesimpulan begitu. Sungguh tidak ingin. Tapi kenapa kesimpulan seperti itu muncul? Apa yang telah dilakukan Papa kepada Sonny? Membunuhnya? Ah, barangkali cuma membuatnya pingsan. Masa sih dia sekejam itu, ya?"

Adam terkejut bukan kepalang. Rasanya seperti mendapat tamparan keras sekali. Mukanya pucat dan badannya terasa dingin. Ia syok. Lalu bulu romanya berdiri ketika mendengar isakan Jason. Tiba-tiba isak tangis bayi itu berubah menjadi rintih kesakitan Sonny! Adam berlari keluar kamar.

Kristin sadar, tak ada gunanya bersikap emosional dengan mengusir Bi Iyah, walaupun ia sangat ingin melakukannya. Ia harus menempuh cara lain untuk keluar dari kemelut itu tanpa melakukan sesuatu yang sudah disadari kesia-siaannya. Berpikirlah dengan kepala dingin. Demi dirinya sendiri dan tentu saja demi Jason. Setakut-takutnya kepada Adam, ia tidak boleh memperlihatkannya secara berlebihan. Saat itu ia membutuhkan udara segar. Maka ia mendorong kereta Jason ke rumah sebelah. Sebelum pergi ia berkata kepada Bi Iyah, "Bi, aku ke sebelah. Jadi Bibi nggak usah melongok keluar untuk melihat sendiri."

Bi Iyah tersipu memalingkan muka. Ia cuma meng-iyakan dengan suara lirih. Tapi memutuskan untuk tidak perlu merasa malu. Semuanya toh sudah jelas. Ia cuma menjalankan perintah majikan. Untuk itulah ia dipekerjakan.

Setelah Kristin pergi, Bi Iyah ke dapur lalu membuat kopi susu untuk dirinya sendiri. Ia menikmatinya bersama kue kering dalam setoples yang biasanya jadi camilan majikannya. Ia perlu juga menghibur diri. Mendengarkan pertengkaran demi pertengkaran yang tak ia pahami ujung-pangkalnya membuatnya ikut stres.

XI Jakarta, pertengahan bulan Juli. Atas desakan Debbie, pada hari Minggu pagi Vivian menelepon untuk mengajak Tom berekreasi ke Taman Impian Jaya Ancol. Ke tempat favorit Debbie, yaitu Sea World. Ternyata Tom mau, dan itu membuat Debbie senang bukan kepalang. Mereka pergi dengan mobil yang dikendarai Vivian.

Ketika Debbie tak mendengar, Vivian mengatakan pada mulanya ia pesimis Tom mau ikut mereka. Sudah beberapa hari sejak pertemuan pertama ia tak memberi kabar atau membuat janji bertemu seperti yang disepakati semula. Tom menceritakan kesibukannya mengunjungi sanak keluarga. Tapi Tom tidak berminat menceritakan kasus yang membuat keluarganya

gempar. Tentu Viv tahu peristiwa tragis yang menimpa Sonny. Tapi Tom tidak menginginkan simpati Viv dalam kasus itu. Vivian memahami kesibukan Tom. Tapi sesungguhnya ia juga khawatir kalau-kalau Tom tidak mau bertemu lagi dengannya sesudah pertemuan pertama itu. Mungkin luka lamanya berdarah lagi. Entah dia atau Debbie penyebabnya. Setelah melihat sikap Tom yang penuh perhatian kepada Debbie, kekhawatiran Viv itu lenyap. Tom memang sibuk dan sepantasnya memprioritaskan keluarganya lebih dulu. Tetapi diam-diam muncul kekhawatiran lain dalam diri Viv. Sampai saat itu Tom belum juga menanyakan hal yang dulu sangat ingin diketahuinya. Siapa ayah Debbie?

Memang Debbie hampir selalu menyertai mereka. Tapi kalau mau diusahakan mereka bisa mencari waktu untuk bicara berdua saja. Tampaknya Tom tidak melakukannya. Kenapa?

Apakah Tom menunggu dia yang berinisiatif lebih dulu? Ataukah Tom sudah tidak peduli karena menganggap mereka

bukan apa-apanya lagi sekarang? Dulu Tom peduli karena situasinya lain. Sekarang tak ada masalah lagi. Seharusnya aku merasa lega karena tak lagi dikejar-kejar, pikir Viv. Tapi ternyata tidak. Ia merasa tak berguna.

Selama berada di Sea World Debbie berlaku seperti guide terhadap Tom. Ia mengajaknya ke sana kemari sambil berceloteh seolah dia paling tahu.

"Pasti kau sudah sering ke sini," komentar Tom tertawa. "Oh iya, Oom. Hampir tiap minggu!" Debbie mengakui dengan bangga.

"Pantas! Rupanya kau suka laut, ya?"

"Suka sekali, Oom. Kelak Debbie ingin jadi pelaut, naik kapal besar."

"Wah. Jadi Sinbad the Sailor?"

"Betul, Oom!" Debbie bersorak.

Viv mengamati keakraban kedua orang itu dengan perasaan pedih. Tom cuma hadir sebentar. Tapi yang sebentar itu mampu menggugah kerinduan Debbie akan keberadaan seorang ayah. Padahal anak itu tahu betul, orang seperti Tom tidak mungkin jadi ayahnya. Kalau sedang menonton film Barat di televisi, Debbie akan menunjuk aktor yang paling tampan. "Daddy pasti seperti itu!" katanya. Aktor yang ditunjuknya itu tentu saja berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru!

Viv memperkirakan bahwa bagi Debbie, Tom adalah seorang companion yang menyenangkan. Mungkin juga ia menganggapnya sebagai substitusi seorang ayah, di mana dalam angan-angannya ia membayangkan Tom berkulit putih, berambut pirang, dan

bermata biru. Debbie akan kehilangan Tom bila ia kembali ke Amerika nanti. Dan itu tak lama lagi. Setelah itu bisa terjadi dua kemungkinan. Pertama, Debbie akan semakin merasakan kekosongan itu. Kedua, ia cukup terhibur dan terobati hingga tidak lagi merasa kosong. Viv berharap kemungkinan kedualah yang terjadi.

Viv bersyukur dan berterima kasih kepada Tom karena sikapnya yang begitu menyenangkan kepada Debbie. Sungguh sesuatu yang di luar persangkaannya. Mimpi atau berkhayal pun tidak. Justru ia menyangka Tom akan menghindar dari Debbie atau menatapnya dengan benci bila perjumpaan terjadi. Itulah yang disampaikan Ron kepadanya lewat e-mail. Tom pernah mengatakan kepada Ron bahwa ia takut bertemu atau melihat Debbie karena dalam diri anak itu ia melihat kehancuran kebahagiaannya. Di samping itu ia takut melihat wajah ayah kandung Debbie di wajahnya. Jadi melihat apa yang terjadi sekarang, Viv merasa aneh sekali, karena segala

kemungkinan buruk itu tidak terjadi. Bahkan justru sebaliknya. Tom menerima Debbie bukan cuma dengan dua tangan terbuka, tapi juga dengan kehangatan seorang ayah.

Mata Viv menjadi basah saat mengamati kelakuan Tom dan Debbie. Kedua orang itu benar-benar bertingkah seperti ayah dan anak. Tom sangat natural. Tak ada kepura-puraan atau kepalsuan. Baru pada saat itu mata Viv terbuka melihat kebenaran. Tom orang yang baik. Terlalu berharga untuk disisihkan demi kesenangan sesaat. Penyesalan meroyak perasaannya. Kenapa penyesalan selalu datang terlambat?

Arogansi Viv runtuh. Pada saat itu mau rasanya ia mencium kaki Tom sambil menyampaikan segala penyesalannya. Tetapi ia juga cukup menyadari bahwa apa pun yang ia lakukan tidak bisa memulihkan kerusakan yang telah diperbuatnya di masa lalu. Ia tahu, tanpa harus diucapkan pun, Tom telah memaafkannya. Kesediaan Tom menemuinya saja sudah menyatakan hal itu. Pada suatu kesempatan, ketika Debbie sedang asyik mengamati kura-kura sambil mendengarkan penjelasan seorang guide, Viv mengutarakan isi hatinya itu dengan suara perlahan. Tom terkejut, tak menyangka bahwa Viv mengatakannya di tempat

itu. Padahal saat mereka hanya berdua, di mana Viv punya banyak kesempatan untuk mengutarakannya, Viv malah bicara tentang hal lain dan menghindari topik peka itu. "Sudahlah, Viv. Aku sudah memaafkan, bukan? Sebagai manusia, berapa pun usia kita, kita takkan henti-hentinya belajar memahami kehidupan. Kita berulang kali jatuh-bangun. Lihat, kita sudah sama-sama bangkit kembali. Bukan cuma aku yang mengalami masa pahit. Kau juga. Tak bisa dibilang, siapa yang lebih menderita. Aku cuma sendirian. Kau berdua dengan Debbie." "Tapi semua itu terjadi karena aku."

"Bisa juga aku. Siapa saja bisa khilaf."

"Aku kagum padamu, Tom. Kau jadi begitu bijak."

Tom tertawa. "Apa iya begitu? Wah, rasanya jadi tambah tua!" Viv merasa terhibur oleh gurauan itu. "Aku berdoa, Tom, supaya kau segera mendapat seorang pendamping yang mencintai dan dicintai olehmu! Kau berhak mendapatkannya."

Tom tertegun sejenak. Ucapan yang tulus itu membuatnya terharu. Cinta! Masih adakah yang seperti itu untuknya? Tibatiba saja muncul wajah Kristin dan Jason dalam anganangannya! Dua orang sekaligus! Ah, sungguh absurd! Bukankah mereka milik orang lain?

"Aku juga mendoakan hal yang sama untukmu, Viv!" katanya cepat-cepat sambil menghalau angan-angan absurd itu. "Terima kasih, Tom. Maukah kau menerimaku sebagai sahabat?"

"Ya. Tentu saja mau. Kau dan Debbie."

"Oh, terima kasih!" Viv sadar, cuma itu yang bisa dimintanya dari Tom. Itu pun sudah luar biasa.

"Kelak kita memelihara hubungan lewat e-mail. Seperti yang

kaulakukan dengan Ron." Viv tersipu. "Ya, dia teman yang baik." Mereka diam sejenak mengamati Debbie dengan kura-kuranya. "Sampai saat ini kau tidak menanyakan siapa ayahnya," Viv memberanikan diri.

"Aku menunggu kau mengatakannya sendiri."

"Jadi kau masih ingin tahu? Kukira kau tak peduli lagi. Menurut

Ron..."

"Ron memang punya banyak perkiraan."

"Tapi ada satu hal yang mengganjal perasaanku, Tom. Bila kukatakan, apa yang akan kaulakukan terhadapnya?" "Ya. Pertanyaan itu pun sudah kupikirkan sendiri. Aku tidak akan melakukan apa-apa!"

"Apakah itu bisa kuanggap sebagai janji?" "Ya. Jadi kau masih peduli padanya."

"Bukan. Aku tak ingin membuat kerusakan lagi."

"Itu niat yang baik. Percayalah padaku."

Lalu Viv mencondongkan tubuhnya ke dekat Tom dan membisikkan sebuah nama. Wajah Tom tidak berubah ketika mendengarnya. Viv menoleh lalu mengamatinya dengan cermat dan waswas.

"Aku sudah mengira," Tom menenangkan.

"Dari wajah Debbie?"

"Itu salah satu."

Viv diam. Ia sudah memperhitungkan. Begitu soal itu dikemukakan pastilah perasaannya menjadi tidak enak. Malu dan bersalah. Tetapi ia sadar, kalau tidak mengemukakannya sekarang bisa jadi akan terpendam tanpa penyelesaian. Bukan cuma untuk dia dan Tom, tapi lebih-lebih untuk Debbie. Padahal pertemuan dengan Tom bisa jadi cuma sekali-sekalinya ini saja.

Tom mengamati wajah Viv dari pinggir. Ia tahu apa yang dirasakan Viv. Lalu ia meraih tangan Viv dan menggenggamnya. "Ingatlah, Viv. Kita sudah memutuskan untuk bersahabat. Kita harus menjalani hidup ini dengan cara yang terbaik menurut masing-masing. Dan tentu saja terus belajar dari kesalahan yang dulu."

Viv terharu. Kalau saja tidak berada di tempat umum tentu sudah dipeluk dan diciumnya Tom se-bagai ungkapan terima kasihnya.

Debbie kembali, lalu menyita perhatian Tom. Begitu pulang, Tom segera mengirim e-mail pada Ron. Ia menceritakan pertemuannya dengan Vivian dan Debbie.

Begitulah, Ron. Aku sudah tahu sekarang. Mestinya aku sudah menyangkanya dari dulu. Tapi aku tak ingin mempercayai. Mestinya kau juga tahu, ya? Tapi kau tentunya serbasalah. Di sini teman, di sana juga teman. Masalahnya dialah yang tidak ksatria. Tolong sampaikan padanya. Aku tidak marah. Semua sudah lewat. Aku juga sudah berdamai dengan Viv. Hidup dengan kedamaian itu sangat, sangat membahagiakan. Tapi ada masalah dengan Debbie. Ia merindukan ayahnya, seorang lelaki kulit putih yang berambut pirang dan bermata biru. Selama ini gambaran tentang si ayah itu melulu didapatnya dari film Hollywood. Dan kalau diajak ke mal oleh ibunya, ia suka benar memelototi lelaki kulit putih, pirang, dan bermata birui Daddy-kah itu? Yang mengibakan, sebelum berpisah ia tak lupa berpesan agar kalau aku kembali ke Amerika tolong carikan Daddy-nya, lalu menyuruhnya ke Jakarta untuk menemuinya. Ia sangat rindu! Sampaikan kepadanya, Debbie seorang anak yang bukan cuma cantik, tapi juga cerdas. Dia sepatutnya bangga punya anak seperti itu!

Usai mengirim e-mail itu, Tom merasa sudah berhasil menyelesaikan salah satu misinya dengan sukses. Sekarang ada lainnya yang menunggu. Tetapi yang satu ini, yang sekarang disebutnya sebagai kasus Adam, merupakan persoalan yang mahasulit.

Sampai saat itu, dia dan kedua orangtuanya sepakat untuk menyimpan dulu informasi dari Anwar itu sampai mereka menemukan cara yang terbaik untuk menyelesaikannya. Bahkan kepada Henry dan Maria pun mereka belum berani

mengatakannya. Kedua orang ini adalah tetangga yang akrab dengan Kristin, istri Adam. Bagaimana kalau Kristin sampai tahu? Bagaimana kalau Adam sampai tahu bahwa Kristin tahu? Itu riskan sekali. Padahal selama ini hubungan suami-istri itu sudah kritis. Tom senang bahwa kedua orangtuanya pun menyayangi Kristin dan Jason seperti anak dan cucu sendiri. Mungkin karena sikap Kristin yang selalu mengorangtuakan mereka, seperti pengganti orangtuanya sendiri. Sedangkan Jason, walaupun dia anak Adam, tapi punya riwayat kelahiran yang unik. Dan panggilannya pun sama dengan Sonny! Soal yang tampaknya sepele itu sangat menyentuh perasaan mereka. Tapi Tom masih suka memikirkan apakah benar Kristin tidak membaca catatan Harun yang ditemukan- nya itu. Semakin lama dipikirkan, semakin terasa kemustahilannya. Setiap orang memiliki rasa ingin tahu. Pada saat menemukan kertas itu, sewajarnya bila Kristin melihat dulu kertas apakah itu, agar dia bisa menentukan pemiliknya. Mungkin saja milik Adam atau miliknya sendiri yang tercecer entah dari mana. Ia membuka lipatannya lalu melihat tulisan. Masuk akalkah bila tulisan itu tidak dibacanya? Mau tak mau tentu terbaca. Lalu ia menemukan nama Adam di situ dan karenanya menjadi lebih serius. Pasti ia terpukul karenanya. Istri mana yang tak terpukul bila suaminya disangka terlibat dalam suatu peristiwa pembunuhan? Catatan Harun memang tak langsung menuduh seseorang. Tetapi cuma mengindikasikan saja. Dan Kristin terlalu cerdas untuk tidak menemukan sesuatu di dalamnya. Selanjutnya hampir dapat dipastikan ia akan mencocokkan fakta yang disebutkan dengan perilaku

Adam yang dilihatnya sendiri. Pantas Jason menolak Adam! Pantas Adam melempar Jason dari pegangannya! Dua peristiwa itu tidak rasional. Tetapi hal-hal yang tidak rasional cukup familiar bagi Kristin.

Kemudian Tom membayangkan lagi bagaimana manisnya sikap Kristin saat mengembalikan kertas itu kepadanya. Kristin berpura-pura tidak tahu. Dia pandai berpura-pura karena rasa kagetnya sudah lewat. Tentunya karena ia sudah cukup memahami isinya dan memutuskan bagaimana harus bersikap. Yang meresahkan Tom, seandainya kesimpulan itu benar kenapa Kristin tidak mendiskusikan hal itu dengannya? Kenapa Kristin tidak membicarakannya dengan orang lain, misalnya dengan

Maria sebagai 349

orang yang selalu menolongnya bila dibutuhkan? Nyatanya Maria belum tahu. Bila tahu, pasti Maria sudah ribut. Apakah

Kristin merasa malu karena Adam adalah suaminya? Atau

Kristin takut terlibat? Atau ada sesuatu yang akan dilakukan

Kristin sendirian, misalnya dengan mengkonfrontir Adam

dengan fakta yang disebutkan? Bila itu benar, maka tindakan itu mengandung risiko. Siapa bisa memprediksi tentang apa yang akan dilakukan Adam terhadap Kristin bila dia dikonfrontir seperti itu?

Semakin dipikirkan, Tom semakin cemas. Ja belum memberitahu kedua orangtuanya mengenai kekhawatirannya. Ia merasa bersalah telah menjatuhkan kertas itu. Karena kelalaiannyalah Kristin jadi tahu dan ikut menanggung beban. Jadi sepantasnya ia mengajak Kristin untuk mendiskusikannya.

Ia harus tahu apa yang dipikirkan Kristin dan membantu meringankan bebannya.

Tapi ada juga pemikiran lain. Bagaimana kalau Kristin benarbenar belum tahu seperti yang diakuinya sendiri? Mungkinkah itu?

Ia sadar, pertanyaan itu tak mungkin dijawabnya sendiri.

Padahal ia tak boleh ragu-ragu terus.

Tom menelepon Maria. Setelah berbasa-basi sejenak, ia menanyakan Kristin.

"Waduh, kebetulan amat. Punya insting ya, Tom?" Maria tertawa. "Dia di sini kok. Sama Jason lho!"

"Bisa bicara dengannya sebentar, Tante?" Tom senang. Hal itu sebetulnya bukanlah kebetulan. Ia sudah memperhitungkan. Ia memang tak mau menelepon Kristin di rumahnya walaupun Adam tak ada. Seperti yang dikatakan Kristin, pembantunya di rumah selalu memberitahu Adam mengenai apa saja yang dilakukannya.

Tak lama kemudian terdengar suara Kristin. Kedengaran gembira. "Hai, Tom! Ada kabar baru?"

"Jason baik-baik saja, Kris?"

"Oh, dia baik, Tom. Tuh lagi bercanda sama Tante."

"Begini, Kris," Tom berkata serius, "aku ingin sekali bicara denganmu tanpa didengarkan Tante Maria atau pembantumu.

Tapi kayaknya susah, ya. Kau tak bisa ke mana-mana."

"Memangnya kenapa, Tom?"

"Eh, ngomongnya hati-hati, Kris. Jangan sampai Tante ingin tahu lho. Ingat kertas terlipat yang kautemukan waktu aku ke sana itu? Betulkah kau tidak membacanya? Serius lho, Kris."

Diam sejenak. Lalu terdengar jawaban Kristin yang di telinga

Tom terdengar kurang tegas. "Betul, Tom." "Jadi kau tidak tahu apa yang tertulis di situ?" "Tidak," jawab Kristin lebih cepat. "Seandainya kau sudah membacanya, aku ingin mendiskusikannya denganmu. Kapan saja terserah kau."

"Dan kalau belum?"

Tom tertegun. Ia semakin yakin bahwa Kristin memang sudah membacanya tapi tak ingin mendiskusikannya. "Ah, kalau begitu, ya nggak usah. Sori ya, Kris. Tapi bila kau ada ide, apa

saja, jangan ragu menghubungiku."

"Ya, Tom. Itu pasti."

"Cium untuk Jason, ya?" Tom terpaksa mengakhiri pembicaraan. Ia merasa Kristin sedang tidak ingin berbincang. Kristin juga tidak bersemangat mendiskusikan materi yang dimaksudkannya itu. Bagaimana ia bisa mengungkapkannya bila Kristin tetap mengatakan tidak pernah membacanya?

Tom merenung. Ia teringat kepada diskusi yang berlangsung antara dirinya dengan kedua orangtuanya.

"Pasti si Adam yang berbuat jahat kepada Sonny!" kata Lien yakin. "Si Sonny itu sayang sama motornya. Mana mungkin dipinjami, apalagi sampai beberapa hari seperti yang ditulis Harun itu. Jadi pastilah dibawa lari oleh Adam sesudah dia

membunuhnya!"

"Jangan terlalu pasti, Ma," sanggah Bun Liong. "Itu tuduhan yang serius. Membunuh kan bukan main-main."

"Ingat, Pa! Ada laporan rekening bank. Beberapa hari sebelum kejadian, si Sonny menarik dolarnya dalam jumlah besar.

Setengah juta! Ke mana tuh?"

"Yah, tentu saja ludes diambil penjarah. Atau hangus terbakar." "Siapa yang tahu?"

"Betul, Ma," Tom mencoba menenangkan emosi ibunya. "Kita tidak punya bukti apa-apa. Apa yang kita miliki cuma kesimpulan dari rangkaian kejadian. Saksi yang masih ada, si Angga itu, cuma bisa mengatakan bahwa Adam memakai motor Sonny pada hari yang sama. Tetapi siapa yang tahu sebabmusababnya?"

"Jadi kalian tidak punya prasangka terhadap Adam?" tanya Lien gemas.

"Punya, Ma. Cuma kita perlu bukti."

"Oh, bagaimana mencari keadilan dong?" keluh Lien sedih. "Pelan-pelan saja, Ma. Yang penting sekarang kita sudah punya pegangan," hibur Tom.

"Dan ingat pada Kristin. Adam itu suaminya," Bun Liong mengingatkan.

Tom memang ingat. Dan ia merasa tak rela, bagaimana Kristin bisa bersuamikan orang seperti Adam. Bagi Kristin, masalahnya memang menjadi sulit. Bagaimanapun, Adam adalah suaminya dan ayah dari anaknya. Membela atau menentang? Salah satu harus dipilih, padahal sama sulitnya.

Ada dorongan besar untuk pergi menemui Kristin sekarang juga dan membicarakannya secara terbuka. Tetapi ia juga

menyadari bahwa ia harus menghargai keinginan Kristin untuk tidak membicarakannya. "Ngapain si Tom?" tanya Maria.

"Dia nanyain Jason. Apa baik-baik saja."

"Perhatiannya besar, ya? Dia sayang sama Jason."

"Apa dia memang penyayang anak, Tante?"

"Wah, nggak tahu, Kris. Tapi kukira ada hubungannya dengan pengalaman pahitnya. Dulu dia begitu senang menunggu kelahiran anaknya dari Viv. Tahu-tahu yang lahir anak bule.

Bayangin."

Kristin mengangguk. Tapi dia tidak begitu yakin apakah perhatian yang ditunjukkan Tom kepada Jason memang semata-mata disebabkan karena trauma itu. Bukankah Tom juga memberi perhatian besar kepada dirinya? Pikiran itu membuatnya malu.

Lalu mengenai telepon Tom barusan. Ia tahu, Tom tidak percaya akan pengakuannya. Itu masuk akal. Kedengarannya Tom resah. Mungkin itu pertanda perhatiannya yang lain. Atau semata-mata ka- 353

rena Adam? Sonny itu adik Tom, anak keluarga Lie. Ia malu mengetahui perbuatan Adam. Sesungguhnya, orang seperti apakah yang mampu melakukan perbuatan keji kemudian menempati rumah korbannya tanpa merasa bersalah atau dikejar dosa? Dia pasti bermental kuat. Seseorang yang patut ditakuti. Sebaiknya Tom jangan mendekati dirinya dan Jason bila tidak ingin keselamatannya terancam.

Sebenarnya ia sangat ingin berbicara dengan Tom mengenai masalah itu. Menurut perkiraan Tom, cukup kuatkah dugaan

bahwa Adam telah berbuat keji kepada Sonny? Apakah Tom juga punya kesimpulan sama seperti dirinya? Tetapi Tom merahasiakannya dari Maria dan Henry. Kenapa? Apakah untuk melindungi dirinya? Dari apa dan siapa? Oh, betapa inginnya dia mengetahui jawaban semua pertanyaan itu. Cuma Tom yang bisa memberinya jawaban. Tetapi ia tak bisa menanyakannya. Tom menghadapi dilema. Waktunya yang singkat di Jakarta seperti memaksanya untuk menuntaskan segala masalah. Mumpung ia masih di situ. Sebagai anak yang tinggal satusatunya dari orangtuanya dan kakak Sonny yang dicintainya, ia merasa bertanggung jawab untuk menyingkap misteri masa lalu. Sebenarnya, Sonny dibunuh massa perusuh atau dibunuh

Adam? Padahal menanyai kedua pihak adalah kemustahilan. Mana ada pembunuh yang mau mengakui perbuatannya selama ia merasa aman?

Tetapi bukan itu saja. Ada Kristin di situ. Dan juga Jason. Seandainya memang Adam pelakunya, bagaimana perasaan mereka nanti? Tentu saja dia dan orangtuanya, begitu pula orang-orang lain, akan tetap menerima keduanya seperti semula tanpa cacat cela. Bahkan ia siap mencurahkan simpati dan empatinya kepada mereka dengan sepenuh hati. Tetapi hampir pasti Kristin tetap terluka hati dan harga dirinya. Tom tidak tega.

Ibu dan ayahnya agak berbeda pendapat. Bila ibunya keras hati dalam hal itu, ayahnya bersikap lunak.

"Kita memang tidak punya bukti," begitu pendapat ibunya.

"Tapi tak ada salahnya mengkonfrontir dia dengan temuan Pak Harun itu. Lihat bagaimana reaksinya. Pasti dia tidak akan mengaku. Kalau perlu kita ancam dia."

"Apakah Mama akan melapor ke polisi?" tanya Tom ngeri. "Kalau perlu. Yang penting kita bikin dia takut, lalu lihat reaksinya."

"Bagaimana kalau reaksinya itu membahayakan?" tanya ayahnya.

"Ah, dia bisa apa? Dia kan tahu kita sulit mencari bukti." "Lantas buat apa segala susah payah menuntutnya?" Tom dan ayahnya bingung.

"Yang penting melihat reaksinya. Aku yakin bisa membaca kebohongan orang dari kelakuannya atau jawaban-jawabannya. Biarpun dia tidak bisa dituntut atau dihukum, aku puas kalau bisa mengungkap misteri itu."

Bun Liong tak seyakin itu. "Ada orang yang pintar menutup kebohongannya, Ma. Bagaimana kita bisa membaca isi hatinya? Amatilah si Adam selama ini. Dia sopan dan hormat. Dia juga akan bilang, 355

kalau dia memang telah membunuh Sonny, mustahil dia berani menempati rumahnya."

"Justru itu, Pa. Itu menandakan dia orang yang kejam. Pikirkan

juga kejanggalan yang diungkapkan Pak Harun. Dan keanehan lain."

"Bagaimana dengan Kristin, Ma?" tanya Bun Liong. "Dia juga harus tahu suami macam apa yang dimilikinya. Kita harus jujur kepadanya! Dengan menutup-nutupi, maka kita akan membuatnya menderita. Aku kan sama-sama perempuan, Pa. Aku mencoba menempatkan diriku di tempatnya."

Pendapat ibunya itu terpaksa dibenarkan oleh Tom. Mampukah Kristin mengatasinya?

Bun Liong tetap tidak setuju. "Jadi tujuanmu cuma menyudutkan Adam, sesudah itu meninggalkannya saja di sudut? Aku takut membayangkan bagaimana orang yang keji akan bereaksi, Ma."

"Kalau takut-takut terus orang tidak akan menghasilkan apaapa. Berbuat maupun tidak berbuat, tetap ada risikonya." "Aku lebih suka membiarkan saja si Adam itu. Di dalam hati kita kan sudah tahu kesalahannya."

"Belum, Pa. Kita belum tahu pasti. Di dalam hati kita cuma

menyimpan tuduhan saja."

"Kan tak ada bukti, Ma."

"Ah, kau ini muter-muter saja. Kita bisa mengetahui dari reaksi yang diperlihatkannya bila dia dihadapkan pada fakta yang kita dapatkan. Memang tak banyak, tapi arahnya jelas. Dia harus tahu bahwa kita tahu."

"Biarkan dia menerima hukum karma saja, Ma!" Tapi Lien menggeleng tak setuju. Maka dalam hal itu tak ada kesepakatan yang bisa dicapai. Ketika mereka berpaling pada Tom untuk mengetahui kepada siapa ia berpihak, ternyata Tom pun tak bisa menentukan. "Dua-duanya ada benarnya," katanya. Bukan sekadar diplomatis, tapi memang benar demikian. Lalu kedua orangtuanya menyerahkan tindakan selanjutnya kepadanya. Dialah penentu dan juga penindak. Maka dia pun sarat beban.

Untuk kedua kalinya Kristin tercengang menghadapi sikap Adam. Seperti waktu pertama kali Adam mengajaknya

berbaikan setelah konflik hebat di antara mereka, kali ini pun demikian. Adam membawakannya bunga mawar dan kue kesukaannya. Adam juga meminta maaf untuk sikap kasarnya dan berjanji tidak lagi berbuat demikian. Dan seperti dulu, Kristin pun tak bisa lain daripada menyatakan kesediaannya memaafkan. Tapi bedanya, kali ini ia tidak tulus. Ia justru merasa ketakutannya bertambah. Kenapa Adam begitu mudah berubah-ubah? Tetapi tentu saja ia tidak bisa mengatakannya terus terang. Demi ketenangan suasana ia harus menerimanya saja. Tapi ia yakin dan pasti akan satu hal. Ia tidak akan pernah lagi mencoba mendekatkan Adam kepada Jason! Tekad Kristin itu bukan cuma sepihak. Adam sendiri memiliki tekad yang sama walaupun dengan tujuan yang berbeda. Ia sudah menanamkan keyakinan di dalam dirinya, bahwa Jason bukanlah anaknya! Rasional atau irasional, ia merasa berhak akan 357

keyakinannya sendiri. Tentunya Kristin tidak perlu diberitahu hal itu bila ia tidak ingin menimbulkan konflik baru lagi. Ia memang tak bermaksud men-ciptakan konflik. Sebaliknya, ia akan berusaha menghindarinya sedapat mungkin. Dulu ia bukan cuma mengangankan punya rumah, tapi juga sebuah keluarga. Rumah bagus tak ada artinya bila tidak diisi oleh keluarga, yaitu istri dan anak-anak. Itu tentunya anganangan wajar dari setiap orang nomal. Tetapi bila keluarga yang ia miliki tidak menyukainya dan juga tidak disukainya, maka ia berhak mengganti mereka! Apa artinya punya keluarga yang tidak suka dan tidak respek kepadanya, bahkan mencurigainya sebagai pembunuh? Bukan saja tidak berguna, tapi bisa

menghancurkan! Maka ia harus bertindak proaktif. Sebelum dihancurkan, ia akan menghancurkan terlebih dulu! Tom mengantarkan seperangkat komputer berikut sarana internet ke rumah Maria. Suami-istri itu merasa kurang enak menerimanya. Ada rasa malu seolah mereka tidak mampu atau terlalu pelit untuk membeli sendiri. Tetapi Tom mengatakan, "Ini untuk Susan juga, Oom dan Tante. Mumpung saya di sini, kapan lagi? Jadi saya bisa ikut mendengar berita apa saja yang disampaikan Susan lewat e-mail kepada Oom dan Tante berdua"

Begitu mendengar nama Susan disebut, segera hilang segala pertimbangan tak enak pada diri Maria, diganti oleh kegembiraan. "Kau dengar itu, Pa?" katanya kepada Henry. "Demi Susan, katanya. Berarti dia benar-benar sayang pada anak kita!" Henry cuma terperangah. Lalu memutuskan untuk ikut bergembira. Sekarang ia sudah memiliki komputer yang bisa ia manfaatkan bukan cuma untuk mengirim e-mail kepada Susan, tapi juga buat pekerjaannya. Sudah lama ia ingin membeli benda itu, tapi Maria selalu menghalangi dengan mengatakan belum saatnya. Ia memang tak bisa menyalahkan Maria yang sekarang menjadi manusia penuh perhitungan kalau tak mau dikatakan pelit. Nasib selalu punya andil dalam membentuk seseorang.

Dengan adanya benda itu Tom punya alasan untuk mengunjungi rumah Maria setiap hari. Ia yang memasangkan kabel-kabel dan segala sesuatunya supaya bisa digunakan senyaman mungkin. Lalu ia datang lagi keesokan harinya untuk mengecek apakah

segala sesuatu berjalan lancar. Dan begitu seterusnya. Waktunya di Jakarta tinggal sebentar lagi. Mula-mula masih dalam hitungan minggu, lalu hitungan hari. Semakin lama jadi semakin bernilai.

Dengan demikian ia bisa bertemu Kristin dan Jason setiap hari. Mereka bermain dan mengobrol. Tentu saja Maria ikut serta. Tetapi Tom bisa menikmati waktunya yang berharga. Selama waktu itu mereka tak pernah membicarakan Adam atau Sonny atau Harun.

Tom ingin tahu juga mengenai Adam. Tapi ia tidak berani menanyakannya langsung kepada Kristin. Baru setelah Kristin pulang ke rumahnya ia bertanya kepada Maria, "Apakah mereka tak ribut lagi, Tante?" "Oh, mereka baikan lagi, Tom."

"Baikan?" Tom tak mengerti. Entah kenapa, ada rasa kecewa yang mendalam di hatinya. Apakah kasus itu justru membuat Krstin berbaikan dengan suaminya padahal dia sudah tahu orang macam apa suaminya itu? Ia mengenang kembali keceriaan dan kecerahan wajah Kristin saat berbincang dan bercanda dengannya. Itukah sebabnya? "Ya. Kristin bercerita, Adam minta maaf dan berjanji tidak akan kasar lagi."

"Oh, begitu? Untuk kedua kalinya? Dan Kristin percaya kepadanya?"

"Tom, Adam itu suaminya. Apa lagi yang harus dilakukannya?

Masa ribut terus-terusan?"

"Pasti ia terpaksa, Tante. Demi Jason."

"Yah, apa lagi?" keluh Maria. "Ia sangat menyayangi Jason."

"Lebih daripada Adam?" Tom ingin tahu. Tiba-tiba Maria menatap curiga. "Kenapa kau bertanya begitu?"

Tom terkejut ketika menyadari kecurigaan Maria. Ia tidak hati-hati. Cepat-cepat ia memperbaiki, "Semata-mata demi Jason, Tante. Ia harus menyayangi Jason lebih daripada Adam supaya bisa melindunginya dengan baik."

Maria bernapas lega. Jadi itulah maksud Tom. "Ya. Mudahmudahan saja begitu. Kukira Adam itu perayu ulung. Aku pernah mengintipnya beberapa hari yang lalu. Ia membawa satu buket bunga mawar merah tua. Wow! Indah sekali, Tom. Aku jadi iri. Orang setua aku jadi sentimentil. Aku ingat, seumur perkawinanku Henry tidak pernah membawakan bunga untukku. Yang murah sekalipun! Ih, kok aku jadi gitu, ya?" Maria tertawa geli.

Tom ikut tertawa. Untunglah ia sudah memperbaiki suasana. Ada rasa bersalah. Ia tahu, Maria dan Henry sudah menganggapnya sebagai calon menantu. Ia tak ingin mengecewakan mereka.

Tapi tawanya lenyap ketika kekecewaan tadi muncul lagi. Begitu mudahkah Kristin hanyut oleh rayuan walaupun tahu siapa Adam sebenarnya? Itukah sebabnya kenapa Kristin tak ingin memasalahkan tulisan pada kertas yang ditemukannya itu? Apakah cinta jadi penyebabnya? Nyatanya memang ada orang yang tetap mencintai dan setia pada seseorang yang diketahuinya sebagai psikopat, atau orang yang tetap ingin menikahi seorang terpidana mati!

Rasanya tidak adil. Kenapa dirinya yang selalu setia kepada Viv dan berusaha memelihara cintanya justru dikhianati? Ah, dia jadi ikut-ikutan sentimentil seperti Maria! XII Jakarta, menjelang akhir Juli. Bi iyah merasa diperlakukan tak adil ketika pagi-pagi Adam menyuruhnya pulang ke kampung. Atau dengan kata lain memberhentikan dirinya! Ia diberi pesangon dua bulan gaji.

Alasannya terasa aneh.

"Ibu menyuruh aku memilih. Dia yang pergi atau Bibi," begitu kata Adam.

"Tapi..."

"Sudah. Carilah pekerjaan di tempat lain saja, Bi." Adam bicara dengan wajah keras, hingga Bi Iyah takut menyampaikan protesnya. Ia tidak berdaya. Bahkan ia tidak diperbolehkan pamitan dulu kepada Kristin yang ketika itu berada di kamar bayi, hingga ia yakin sesungguhnya Kristin tidak tahu-menahu.

Dulu, saat terjadi keributan Adam justru mempertahankannya.

Sekarang di saat damai ia malah disuruh pergi.

"Mestinya Bapak mendapatkan pembantu baru dulu, baru saya pergi. Kasihan Ibu dong," Bi Iyah mencoba mengulur waktu. "Itu urusanku, Bi! Tak usah mengajari!" kata Adam tak senang. Ekspresi yang diperlihatkan Adam membuat Bi Iyah ingin cepat-cepat pergi. Tak ada gunanya mengulur waktu. Ia cuma bisa mengutuk dalam hati. Adam cuma memanfaatkannya. Kalau sudah tak terpakai lagi lalu dibuang. Barangkali Adam sudah punya calon pembantu yang lebih disukainya dan akan segera dijemputnya setelah ia pergi. Barangkali pembantu itu muda dan cantik.

Adam memberitahu Kristin, "Bi Iyah pulang mendadak, Kris. Barusan ada kerabatnya dari kampung menjemput. Ngomongnya sih mau seminggu di sana. Lantas bagaimana kau di rumah, Kris?" tanyanya dengan sikap iba.

Kristin malah senang. "Ah, itu bukan masalah buatku. Bila

Jason tidur aku bisa bekerja."

"Aku punya ide. Mintalah bantuan pada pembantu Tante Maria. Bayar harian. Dia toh tidak sibuk sepanjang hari, bukan?" "Oh, itu ide yang baik, Mas," Kristin mengiyakan saja.

"Kau tak usah masak. Pulang kantor aku beli makanan matang."

"Begitu juga baik."

Setelah Adam pergi, Kristin menikmati kesendiriannya di rumah. Hari itu ia tidak berkunjung ke rumah Maria. Ia pun tidak bermaksud meminta bantuan pembantu Maria. Ia ingin mengecek kemampuannya sendiri dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bila suatu waktu kelak ia terpaksa mandiri, ia sudah siap.

Lalu Maria menelepon. "Kau baik-baik saja, Kris?" "Baik, Tante."

"Kok nggak main ke sini?"

"Sibuk, Tante. Bi Iyah pulang kampung."

"Kenapa?"

"Entah, Tante. Kata Adam, ada kerabatnya yang datang menjemput. Saya sendiri tidak tahu karena sedang mengurus

Jason."

"Oh, jadi Adam bilang begitu?"

"Ya, Tante. Memangnya kenapa?"

"Ah, nggak apa-apa. Tapi... apa kau tidak kecapekan nanti, Kris? Perlu bantuan? Kusuruh si Iyem ke sana, ya? Dia toh tak banyak kerja di sini."

Itu memang ide Adam, pikir Kristin. Tapi saat itu ia tidak merasa capek. Ia menikmati pekerjaannya. Selama Jason baikbaik saja tak ada masalah baginya. "Terima kasih, Tante. Nanti kalau saya membutuhkan, saya telepon, ya?" "Ingat, Kris. Kau tak boleh capek lho. Nanti air susumu berkurang!"

Maria meletakkan telepon lalu menatap Tom yang belum lama tiba. Ia sudah tahu maksud kunjungan Tom. Pasti bukan untuk menemuinya. Tom ingin melihat Jason. Rasa sayangnya kepada anak itu sudah diketahui semua orang. Toh naluri Maria masih mencurigai sesuatu yang lain. Sungguhkah cuma Jason yang ingin ditengok Tom?

"Kalau kau ingin menjenguk Jason, pergi saja ke rumahnya, Tom. Pembantunya kan tak ada," Maria menguji Tom. Naluri Tom juga bekerja. Sebelumnya ia sudah menyadari kecurigaan Maria. Jadi untuk selanjutnya ia harus berhati-hati. Maka ia menggelengkan kepala. "Wah, jangan, ah. Nggak enak, Tante. Kalau Adam cemburu, kasihan Kristin. Apalagi dia sedang sibuk."

Kembali Maria merasa lega. Tetapi kelegaannya cuma sebentar. Iyem, pembantunya, kembali dari warung lalu melapor, "Tadi ketemu Bi Iyah dari rumah sebelah, Bu. Katanya dia dipecat dan diusir!"

Maria terkejut. Demikian pula Tom.

"Siapa yang memecat dan mengusir?" tanya Maria.

"Pak Adam!"

"Lho! Kenapa? Apa dia nyolong?"

"Nggak tahu, Bu. Katanya, tiba-tiba aja. Nggak hujan, nggak angin."

Maria berpandangan dengan Tom. Setelah Iyem menghilang ke

dalam rumah, baru Maria bersuara, "Kok ceritanya lain ya,

Tom?"

"Kristin pasti tidak bohong, Tante. Yang bohong itu Adam."

"Lantas apa maunya? Mungkin mau mengambil hati Kristin, ya?" "Mungkin. Tapi kalau mau mengambil hati kan lebih baik berterus terang saja."

"Barangkali dia tidak mau kehilangan muka. Dulu Kristin kan ingin Bi Iyah itu pergi, tapi Adam tidak mengizinkan." "Ya. Mungkin begitu." Tom tak mau menentang pendapat Maria.

Tak lama kemudian Tom pamitan. Ia menyadari ketidakpuasan Maria karena tak biasanya ia terlalu cepat pergi. Ia juga tahu bahwa Maria mengamati kepergiannya dari pintu pagarnya. Pasti Maria masih menyimpan kecurigaan kalau kalau ia berkunjung 365

diam-diam ke rumah Kristin. Dengan sengaja ia melangkah ke arah yang berlawanan. Baru setelah berada pada jarak yang

aman, ia mengeluarkan telepon genggam yang dipinjamnya dari ayahnya.

Tom senang mendengar suara Kristin

"Kuharap tidak mengganggu kesibukanmu, Kris."

"Sama sekali tidak, Tom. Sedikit lagi selesai kok."

"Jangan capek-capek ya, Kris."

"Oh, nggak. Senang kok. Eh, menelepon dari rumah Tante, ya?"

"Nggak. Dari jalan."

"Di jalan? Kukira kau ada di rumah Tante tadi."

"Ya. Saat Tante meneleponmu aku ada di sana. Tapi karena kau dan Jason tak ada, aku pamitan saja. Nggak enak sama Tante." "Kenapa?" Kristin tertawa. Kedengaran ceria. "Aku punya feeling dia curiga maksud kedatanganku bukan cuma untuk menjenguk Jason."

"Tapi apa?"

"Ah, nggak usahlah. Malu mengatakannya." Kristin terdiam sejenak.

Cepat Tom meneruskan, "Kau sekarang baik-baik saja, kan?" "Ya. Baik, Tom."

"Jadi Bi Iyah pulang kampung karena dipanggil kerabatnya?" "Kata Adam begitu. Memangnya kenapa?" Nada suara Kristin terdengar risau.

"Ah, nggak. Cuma menegaskan saja."

"Tapi kau seperti kurang percaya."

"Bukan begitu. Aku cuma prihatin. Kau sendirian dengan Jason." Kristin tertawa menenangkan. "Kan ada Tante Maria dan Oom Henry. Aku sudah janji, kalau ada apa-apa aku akan berteriak sekeras-kerasnya."

"Baiklah. Hati-hati saja ya, Kris?"

"Terima kasih, Tom."

Ketika hubungan akan diputuskan, terdengar panggilan Kristin,

"Oh ya... Tom!"

"Ya, ada apa, Kris?" Tom menjadi tegang. "Ah... nggak deh.

Nggak apa-apa." "Katakan saja."

"Nggak. Nggak apa-apa. Sudah ya, Tom?"

Hubungan putus. Tom penasaran. Apa sebenarnya yang mau dikatakan Kristin? Ia terdorong untuk menghubunginya lagi, tapi kemudian mengurungkan niatnya.

Kristin termangu. Rona merah masih mewarnai mukanya. Tadi begitu saja muncul dorongan untuk mengundang Tom ke rumahnya. Tiba-tiba muncul niat untuk membicarakan catatan pada kertas yang ditemukannya itu dan akibat yang timbul pada dirinya. Satu-satunya orang yang bisa diajaknya berbagi tentang soal itu hanyalah Tom. Lama-lama ia merasa tak enak karena memendamnya terus-terusan. Apalagi tingkah Adam semakin lama tampak semakin tidak wajar. Kepura-puraan yang diperlihatkannya kepada Adam, seolah dia menerima dan senang dengan kebaikan dan kemesraan Adam kepadanya, lamalama jadi menyiksa. Sampai kapan hal itu bisa berlangsung? Ia sedang memikirkan jalan keluar. Tapi ia ingin membicarakannya dulu dengan seseorang yang bisa dipercaya. Bukankah Tom sudah 367 mengindikasikan bahwa ia pun ingin membicarakan masalah itu? Tetapi pada saat berikutnya ia pun teringat pada pada ucapan Tom yang lain, bahwa Maria mencurigai sesuatu. Kristin bisa menebaknya. Apalagi Tom kedengaran malu mengatakannya. Ya,

dia sendiri pun malu. Dia mengakui adanya ketertarikan di antara mereka berdua. Tapi dia merasa malu. Sebab dia istri orang, sementara Tom masih bebas. Jadi wajarlah kalau tak pantas ia mengundang Tom ke rumah pada saat ia hanya sendirian, meskipun motivasinya jauh dari hal-hal yang negatif. Apalagi Maria sudah curiga. Bagaimana kalau Maria memergoki Tom di rumahnya padahal tadi dia mengaku pada Maria akan pulang? Bayangkan bagaimana malu dan rikuhnya dia. Rasanya ia seperti membalas air susu dengan air tuba. Padahal, ia tahu betul bahwa Maria sudah menganggap Tom seperti calon

menantu. Ia sering sekali bercerita mengenai Tom dan Susan.

Bukan cuma Maria dan Henry yang berpendapat begitu. Orangtua Tom sendiri pun memiliki keyakinan dan harapan yang serupa. Tentu akan ideal sekali bila Tom menjadi pengganti Sonny bagi Susan. Keluarga itu akan kembali bersatu. Dan apa haknya menjadi pengacau, walaupun ia sama sekali tak bermaksud mengacau? Siapa yang akan percaya? Dia cuma orang luar yang tiba-tiba nimbrung.

Padahal, selama ini mereka semua sangat baik kepadanya dan Jason. Mereka selalu siap membantunya. Tapi, rupanya dalam masalah yang satu ini ia harus mandiri. Ada saatnya ia harus berdiri sendiri!

Kristin teringat lagi saat tangan Tom menggenggam tangannya, sementara mata mereka saling berpaut. Begitu hangat sentuhannya, terbawa dalam aliran darah di seluruh tubuhnya, membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dan, tatapan Tom yang penuh makna itu hanya bisa dipahami oleh mereka yang punya perasaan yang sama! Padahal Tom bukanlah

jenis lelaki yang gampang mengeskpresikan rasa tertariknya pada perempuan. Kristin yakin akan hal itu dari pengamatannya sendiri maupun dari cerita yang didengarnya. Ia cuma bisa mengungkapkan isi hatinya kepada Jason. Sore itu Adam pulang membawa beberapa jenis masakan di dalam rantang.

"Rantangnya aku beli dulu, Kris. Dan tadi sudah dicuci di restoran."

Kristin mengangguk saja.

"Tadi aku ke Penyalur Pembantu. Tapi lagi kosong." "Bukankah Bi Iyah cuma sebentar di kampung? Untuk sementara biarlah begini dulu." "Nggak capek?" "Nggak." "Katamu kau benci sama Bi Iyah. Nggak senang dia pergi?"

"Senang." "Nah."

"Penggantinya belum tentu lebih baik." "Cari yang baik dong.

Masa sih nggak dapat," kata Adam optimis.

Tapi bagi Kristin kesannya Adam menggampang- kan Mungkin dia memang tak peduli. Ah, dia pun tak perlu terlalu memikirkannya. Kehadiran pembantu bukanlah sesuatu yang penting.

"Kau lebih senang begini kelihatannya."

"Kenapa?" Kristin khawatir jangan-jangan Adam berniat memancing keributan lagi.

"Kau bisa bebas, ya? Aku yakin tadi ada yang datang bertamu." Kristin tertegun. Ditatapnya Adam dengan sikap waspada. Aku takkan terpancing, pikirnya.

Tapi Adam lalu tertawa. "Hei, peka amat sih kau!" serunya. "Aku cuma bercanda kok!"

Kristin tak ikut tertawa. Suara tawa Adam telah membuat bulu romanya berdiri.

Usai makan malam, Adam memaksa mencuci piring. Ia menyuruh Kristin beristirahat. "Kau sudah capek seharian mengurus rumah. Sekarang giliranku."

Adam bahkan menolak dibantu. "Masa begini aja tak bisa sendiri," katanya.

Kristin menurut saja. Mestinya aku merasa tersentuh, pikirnya.

Tetapi kenapa malah tidak?

Untuk menyembunyikan perasaan sesungguhnya ia ke kamar bayi dengan membawa setumpuk bacaan. Pintu penghubung dengan kamar tidurnya ia biarkan terbuka. Kalau ditutup nanti Adam berprasangka buruk.

Setelah menyusui Jason ia duduk di dipan lalu mulai membaca. Tak ada keinginan sedikit pun untuk turun ke bawah, bergabung dengan Adam. Atau melakukan kegiatan lain bersama Adam. Ketika mulai mengantuk, terdengar suara memanggil. Ia membuka matanya yang sudah hampir menutup. Adam berdiri di ambang pintu. Tangannya yang satu membawa telepon genggam, sedang yang lain memegang sebuah kaleng minum yang sudah dibuka dengan sedotan di dalam lubangnya. "Oh, kau. Masuk saja, Mas," kata Kristin. Adam mendekat. Ia melirik sejenak ke boks Jason, tapi tak mendekatinya. Ia mengulurkan kaleng minuman. "Minumlah. Jus jeruk," katanya. Kristin menerimanya. Kebetulan ia sedang haus. Jus itu langsung dihirupnya.

"Kris, aku perlu membicarakan urusan pekerjaan dengan seorang rekan. Urusan ini tak bisa kuselesai-kan lewat telepon.

Gimana, ya?"

"Sudah malam," kata Kristin.

"Kalau kau keberatan ditinggal, tak usah saja. Tapi..."

"Ah, tidak apa-apa, Mas. Aku sudah biasa sendirian, kok."

"Ini malam hari." "Sungguh tidak apa-apa."

"Mau minta tolong sama Tante Maria supaya dia menemanimu di sini?"

Kristin terperangah. Dia tak pernah minta bantuan seperti itu dari Maria. Rasanya seperti bayi atau anak kecil yang perlu dijaga. "Tidak usah. Kau tidak lama, kan?"

"Kuusahakan tidak. Tapi supaya lebih terjamin, teleponlah Tante Maria dan bilang bahwa kau sekarang sendirian. Jadi mereka tahu dan bisa berjaga-jaga untuk membantumu kalau ada apa-apa."

Kristin mengerutkan kening. Cara Adam berbicara itu seolah mengesankan memang akan terjadi apa- apa. Sebelum ia menjawab, Adam sudah menyodorkan telepon genggamnya. "Ini, bicaralah. Aku segera pergi. Tapi tidak pakai mobil, supaya tidak repot membuka dan menutup pintu pagar." Lalu ia mengeluarkan secarik kertas di mana tertulis sebuah alamat dan nomor telepon. "Ini tempat yang kutuju. Beritahu Tante Maria nomor telepon ini. Suruh dia mencatatnya. Kalau ada sesuatu hubungi nomor itu."

Kristin mengikuti instruksi itu. Anjuran Adam itu untuk kepentingannya sendiri.

Seperti sudah diduga, Maria menyambut hangat permintaannya. "Kalau ada apa-apa, teriak saja yang keras ya, Kris!" gurau Maria seperti biasa.

"Nah, sekarang aku merasa lega meninggalkanmu. Kau tak usah turun mengantarkan aku. Aku bawa kunci sendiri. Jadi tidurlah bila kau sudah mengantuk."

Pada saat Kristin masih tertegun, Adam mendekat lalu mencium dahinya. Bibirnya terasa dingin di kulitnya. Lalu Adam melangkah ke pintu. "Aku pergi, ya!"

"Hati-hati, Mas!" seru Kristin. Mestinya ia mengantarkan kepergian Adam sampai ke pintu, pikirnya. Tapi ia merasa malas sekali. Tubuhnya terasa berat.

Tak lama kemudian ia mendengar pintu rumah tertutup keras.

Sepertinya Adam ingin memberitahu bahwa ia sudah keluar. Kristin kembali merasa lega. Ia menghirup minumannya dengan nyaman.

Setelah membuka pintu pagar Adam melihat Henry sedang berdiri di balik pintu pagar rumahnya sendiri. Adam mendekati. "Selamat malam, Oom!" "Oh, selamat malam, Dam! Mau ke mana?" "Ke rumah teman, Oom. Urusan kantor. Saya titip Kris ya,

Oom?"

"Oh ya, tentu saja. Nggak pakai mobil?"

"Nggak, Oom. Pakai taksi saja. Pergi dulu, Oom." Setelah Adam berlalu, Maria muncul ke sisi Henry. "Tumben dia perhatian begitu. ya Pa?"

"Mungkin lagi lurus!"

Mereka tertawa, lalu masuk rumah.

Seperempat jam kemudian Adam kembali lagi. Ia membuka pintu pagar perlahan-lahan supaya tak berbunyi. Tadi sore engselnya sudah ia minyaki supaya derit-deritnya tak kedengaran lagi. Kemudian ia melangkah pelan-pelan lalu membuka pintu rumah dengan hati-hati. Bila Kristin memergoki ia bisa beralasan bahwa ada barang yang ketinggalan. Adam menaiki tangga dengan cepat setelah mencopot sepatunya. Ia membuka pintu kamar tanpa menutupnya kembali lalu terus ke kamar bayi yang pintunya masih terbuka. Sama seperti saat ia pergi tadi. Di ambang pintu ia melihat Kristin masih berada di atas dipan. Tetapi sekarang Kristin sudah terkulai setengah bersandar dengan kaleng minuman di atas pangkuannya. Matanya terpejam. Tubuhnya tak bergerak. Adam tersenyum puas. Sesaat ia melirik ke boks Jason yang ditutupi kelambu. Dari tempatnya berada ia tak bisa melihat sosok Jason dengan jelas. Tapi itu lebih baik. Ia memang tidak perlu menjenguknya. Ia punya rencana yang harus dikerjakan dengan cepat.

Mula-mula ia melepaskan celana panjang dan kemejanya yang diletakkannya di atas dipan, dekat kaki Kristin. Dengan bercelana pendek dan berkaus singlet ia segera bekerja. Sebuah tangga diletakkannya di bawah plafon di sudut kamar bayi. Sebagai perancang rumah itu ia tahu semua selukbeluk rumah. Juga peralatan listriknya. Ia naik sambil membawa sebuah tas kecil, lalu membongkar plafon. Di samping punya ahli dalam bidang arsitektur, ia juga memahami perlistrikan. Di bagian atas kamar, antara plafon dengan atap, berseliweran kabel-kabel listrik. Ia naik ke atas

dengan hati-hati, kepalanya ditundukkan supaya tidak terbentur. Kemudian ia berjongkok dan mengeluarkan obeng, tang, gunting. Ia harus ekstra hati-hati supaya tidak terkena arus listrik. Bila ingin aman, mestinya ia mematikan arus listrik dulu, lalu bekerja dengan senter. Tapi penerangan yang tibatiba padam di seluruh rumahnya bisa memancing kecurigaan tetangga. Apalagi bagi Maria dan Henry yang mengira ia sudah pergi jauh. Jadi hal itu tak mungkin dilakukan. Pekerjaannya tak membutuhkan waktu lama. Segera keluar percikan api dari kabel yang terkelupas dan berbenturan. Percikan itu menyambar kayu kaso! Memang tak segera membakar, karena berlangsung sedikit demi sedikit. Dengan demikian ia masih punya waktu untuk merapikan sisa pekerjaannya, menyimpan tangga, mengenakan pakaiannya, lalu bergegas ke luar rumah. Tentu dengan harapan tidak terlihat siapa pun. Cuaca yang gelap dan suasana malam yang dingin akan menyembunyikan kepergian-nya dari pandangan tetangga, karena pada saat seperti itu mereka lebih suka berada di dalam rumah. Ter- 374

masuk Henry dan Maria. Sesudah itu ia harus pergi secepatnya ke rumah teman yang alamat dan nomor teleponnya sudah ada pada Maria. Itu adalah alibinya.

Adam sudah bertekad. Rumah yang tadinya menjadi kebanggaannya akan ia korbankan. Demikian pula keluarganya. Ia tak merasa sayang karena kebanggaan itu sudah tak ada lagi. Dan tentunya bukan cuma itu. Perasaan terancam dan tersudut menjadi pendorong utama. Anak setan di sana itu misalnya. Masih kecil saja sudah bisa menerornya, apalagi bila

sudah besar. Jadi mumpung masih kecil harus cepat dimusnahkan. Dan rumah ini? Sebagus apa pun hasil karyanya, tapi bila tak bisa ia kuasai seutuhnya, untuk apa dipertahankan? Dari asal puing biarlah ia kembali menjadi puing!

Adam terkejut ketika mendengar bunyi gemeretak. Ah, ia tak boleh membuang waktu lebih lama lagi. Tapi bunyi itu bukan berasal dari kayu kaso yang tepercik api. Bunyi itu adalah isakan Jason! Mula-mula yang terdengar cuma isakan, tapi kemudian berubah menjadi rintihan Sonny! Ketika Jason mulai menangis, lanjutannya adalah jeritan kesakitan Sonny! Ia segera menyadari, bahwa Jason bisa membangunkan tetangga. Jadi ia harus membungkam bayi itu lebih dulu. Saking terburu-buru kakinya yang kesemutan terpeleset. Ia terjerembab dan jatuh justru di atas kabel yang terbuka! Ia menjerit kesakitan, sementara tubuhnya menggelepar. Bersamaan dengan itu percikan api sudah mulai membakar kayu kaso, dan dengan cepat menjalar ke mana-mana. Jason melengkingkan tangisnya. Kristin tetap diam tak bergerak.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience