Teruntuk Ikka Vertika

Family Completed 2798

Cerita ini merupakan khayalan belaka. Setelah lebih dari tiga puluh dua tahun lamanya dikurung dan dipasung, liong dan barongsai diperbolehkan turun ke jalan untuk menari. Mereka meliuk-liuk dengan gagah dan penuh semangat. Bukan cuma menghibur, tapi juga mengharukan, karena menjadi simbol dari kembalinya harga diri dan martabat.

Semoga masa lalu yang mengerikan tak akan terjadi lagi. Damailah di tanah merdeka, berbagi bersama, dalam suka dan duka. I Jakarta Utara, kawasan Pantai Nyiur Melambai. Pertengahan bulan Mei 1999.

Baru sebulan Kristin menempati rumah barunya bersama Adam, suaminya, dan calon bayinya, yang diperkirakan akan lahir bulan depan. Sebelumnya mereka mengontrak sebuah rumah kecil. Toh mereka hanya bertiga dengan seorang pembantu. Rumah kecil lebih gampang diurus. Dan saat itu mereka memang tengah menunggu pembangunan rumah baru itu selesai. Kristin sangat berharap mereka dapat menempatinya sebelum bayinya lahir. Untunglah harapannya terwujud. Jadi ia punya cukup waktu untuk menyiapkan sebuah kamar bayi. Membenahi rumah memang cukup merepotkan untuk Kristin yang sedang hamil tua. Tapi Adam dan Bi Iyah, pembantunya, tidak membiarkan ia bekerja terlalu keras. Adam tidak hentihentinya mengingatkannya. Padahal kalau sedang asyik bekerja, Kristin sering kali lupa akan kondisinya.

Kristin sangat puas akan rumah itu. Hadiah luar biasa dari

Adam. Begitu yang selalu dikatakan Adam kepadanya. Padahal sesungguhnya rumah itu tetap milik Adam, bukan diberikan untuknya. Tetapi ia memang menganggapnya sebagai hadiah.

Rumah itu merupakan surprise bagi Kristin, karena Adam tak pernah mengajaknya untuk melihat proses, pembangunannya. Jadi ia tidak pernah tahu sampai di mana kemajuannya dan kapan kira-kira bisa ditempati. Adam cuma menjanjikan, "Sebentar lagi, Kris! Sabarlah!" Bahkan ia tidak diberitahu di mana lokasinya! Karena itu ia sempat berprasangka, janganjangan Adam cuma membual saja.

Lalu ketika hari memamerkan rumah itu tiba, Adam juga tidak memberitahu dia lebih dulu. Adam membawanya ke sana seakan sambil lewat saja usai berjalan-jalan. Lokasinya di Jakarta Utara, di sebuah kawasan perumahan bernama Pantai Nyiur Melambai.

Sebuah nama yang menggelitik perasaannya, sebab nama itu mengingatkannya kepada sebuah tragedi yang terjadi setahun yang lalu. Tragedi di pertengahan Mei tahun sembilan belas sembilan delapan. Sebuah^ tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Dan tempat itu, lokasi di mana rumahnya berada, sampai sekarang masih mengingatkan orang akan tragedi itu.

Dulu, sebelum tragedi itu terjadi, kawasan Pantai Nyiur Melambai merupakan lokasi pemukiman yang sangat nyaman dengan deretan rumah berdesain indah. Sebuah kawasan untuk golongan elite. Tapi sekarang, bahkan setelah lewat setahun, kawasan itu masih saja terlihat merana bagaikan habis mengalami perang atau terkena rudal. Ada rumah yang hancur lebur, ada yang cuma tinggal puing atau dinding menghitam. Semua merupakan saksi bisu dari sejarah yang kelam.

Kristin terkejut melihat rumahnya berada di kawasan seperti itu. Memang tidak semua rumah dalam kondisi buruk. Hanya sekitar empat puluh persen saja yang ambruk dan karenanya tidak berpenghuni. Biarpun demikian, kesannya tetap tidak nyaman. Dengan tinggal di situ orang akan selalu diingatkan kepada tragedi itu. Jangankan empat puluh persen, satu-dua rumah saja yang hancur menghitam, akan jadi monumen. Kenangan abadi suatu tindak kekejian yang luar biasa. Bahwa manusia pada suatu ketika bisa berperilaku seolah dia bukan manusia.

Tetapi Kristin jatuh cinta kepada rumahnya. Adam pun menyodorkan alasan yang sangat masuk akal.

"Cepat atau lambat, pemilik rumah-rumah itu akan kembali dan merenovasi rumah mereka, atau menjualnya dan pemilik baru yang membangun. Lalu kondisi pemukiman ini akan pulih." Kristin bisa menerima alasan itu. Ia tidak lagi risau karena rasa tertariknya pada rumah itu jauh lebih besar. Desain rumahnya sungguh unik. Bagus luar dan dalam. Adam, seorang arsitek, merancangnya sendiri. Kristin bangga akan rumahnya. Dan bangga pada Adam.

Beberapa hari setelah menempati rumah itu ia mulai bermimpi. Seperti halnya setiap mimpi, tak ada ujung-pangkalnya. Tetapi mimpi itu beberapa kali berulang sama. Di situ ia melihat dirinya terbaring di atas brankar yang dilarikan kencang. Ia tak bisa bergerak sedikit pun karena tangan dan kakinya terikat erat
ke sisi kereta. Yang mendorongnya Adam! Ia bisa melihatnya karena posisi Adam berada di bagian kakinya. Wajah Adam tampak aneh, mengerikan dan tidak manusiawi. Ia berteriakteriak minta dilepaskan, tapi sedikit pun Adam tak menatap kepadanya. Pandangnya lurus ke depan.

Akhirnya mereka masuk ke sebuah ruang yang tampaknya seperti kamar bedah. Ia diletakkan di bawah lampu besar yang terang sekali nyalanya. Kemudian ia melihat Adam mengambil sebuah pisau besar yang ujungnya runcing. Pisau itu berkilat kena cahaya. Lalu Adam menjulurkan tangannya yang menggenggam pisau itu ke arah perutnya yang membuncit! Ia berteriak... Lalu terbangun dengan tubuh berkeringat dingin.

Ternyata ia masih aman dan nyaman di atas tempat tidurnya.

Sementara Adam di sisinya tetap tidur nyenyak tanpa terusik.

Rupanya teriakannya kurang nyaring untuk bisa membangunkan Adam.

Ia tak pernah menceritakan mimpi-mimpinya kepada Adam.

Takut Adam tersinggung. Juga takut kalau-kalau dicemooh. Menurut penilaiannya Adam memiliki ego yang tinggi. Superior dan cenderung otoriter. Suami adalah raja dalam rumah tangga. Pantang ditentang, apalagi dilawan. Tetapi Adam bisa menetralisir segi negatif itu dengan ekspresi cinta, dalam kata dan perbuatan! Itu juga salah satu sebab kenapa Kristin tak perlu menderita stres berkepanjangan. Obatnya adalah cinta!

Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan.

Akhir bulan Mei.

Mimpi itu tak datang lagi pada saat Kristin mulai menerimanya sebagai bagian dari tidurnya. Ia tak lagi memikirkannya. Tapi muncul masalah lain. Yang ini bukan mimpi, tapi riil. Dan justru karena itu jadi menakutkan. Tiba-tiba ia tak lagi merasakan gerakan bayi di dalam perutnya. Padahal sebelum pindah ke rumah itu ia masih merasakan kuatnya gerakan si bayi. Dan dokter yang secara rutin memeriksanya menyatakan dirinya dan bayinya baik-baik saja. Ia jadi teringat lagi kepada mimpinya. Bagaimana kalau mimpi mengerikan itu benar-benar jadi kenyataan?

Bayangkan! Ia akan melahirkan bayi yang tak bernyawa! Betapa marahnya Adam! Suaminya itu pasti akan menyalahkannya karena telah melalaikan keselamatan si bayi. "Barangkali kau terlalu capek mendandani rumah ini! Sudah dibilang jangan capek-capek! Suruh saja Bi Iyah kalau perlu apa-apa!"

Mestinya ia segera memeriksakan dirinya lagi ke dokter. Cuma dokter yang bisa memastikan kondisi si bayi. Tetapi ia takut mengetahui kebenaran. Ia juga takut mengatakannya kepada Adam. Sepertinya memberitahu salah, tidak memberitahu juga salah. Maka ia cuma bisa berharap dan berdoa, semoga si bayi bergerak lagi. Ayolah, anakku! Jangan keenakan tidur betapapun nyamannya di dalam! Ayolah bergerak lagi! Kristin membelai perutnya yang buncit. Sejak menyadari kelainan itu ia benar-benar mengurangi kegiatannya. Ia lebih banyak tidur-tiduran di kamar. Padahal ia masih ingin mendandani rumahnya, kamarnya dan kamar si bayi. Ia berharap istirahat bisa menjadi solusi kecemasannya.

Setelah bosan tiduran ia duduk di depan jendela kamarnya yang terletak di loteng dan menghadap ke jalan. Dari sana ia bisa melihat objek bergerak. Sayang suasana di jalan dan sekitarnya sering kali sepi. Untuk orang yang menyukai ketenangan dan kenyamanan, tentunya kawasan ini dianggap ideal. Tetapi suasana sepi di situ kadang-kadang terasa keterlaluan. Sering kali ia berupaya mengatasinya dengan memutar musik keras-keras. Tapi sepanjang-panjangnya sebuah lagu, tetap ada akhirnya. Lalu sepi yang sama kembali menyergap.

"Bila anak kita lahir, rasa sepi itu akan hilang," hibur Adam.

"Dia akan mengisi rumah kita dengan tangis dan teriakannya.

Kau akan sibuk. Tidak seperti sekarang ini. Tak ada kegiatan.

Jadi bersabarlah."

Tentu saja ia akan bersabar. Sebenarnya ia juga tidak menganggur sama sekali. Ia mengisi waktu dengan menjahit, baik pakaiannya sendiri maupun baju-baju kecil untuk si bayi. Ia memilih warna putih untuk baju bayi, dinding kamar, maupun perlengkapannya. Warna itu dianggapnya netral, untuk lelaki maupun perempuan. Ia dan Adam sudah memutuskan untuk tidak melakukan USG. Biarlah kemunculan si bayi menjadi surprise yang menyenangkan. Lelaki atau perempuan kan sama saja. Dalam hal itu ia dan Adam se-pendapat tanpa yang satu mempengaruhi yang lainnya.

Ketika memandang ke luar jendela dan melihat pemandangan di seputar pemukimannya, mau tak mau ia membayangkan kembali tragedi itu. Meskipun tidak mengalaminya secara langsung, tetapi dari tayangan televisi dan berita di koran ia bisa mem- bayangkannya. Ketika itu sekelompok massa seperti kemasukan iblis. Mereka mengamuk, menjarah, menghancurkan, menganiaya, memerkosa, membunuh, dan membakar. Hampir berbarengan, di berbagai sudut kota Jakarta pun terjadi kerusuhan besar-besaran dengan cara yang mirip satu sama lain. Gedung dibakar, isinya dijarah ramai-ramai, sementara penghuninya dianiaya, diperkosa, atau dibunuh. Sebagian besar korban adalah orang Tionghoa atau orang Indonesia keturunan Cina. Jelasnya kerusuhan itu bermotifkan rasialisme. Serangan ditujukan secara khusus kepada kelompok etnis tertentu. Dalam hal ini Tionghoa. Tragedi luar biasa itu menimbulkan kegemparan di seluruh dunia. CNN memberitakannya ke mana-mana. Menyakitkan tapi juga memalukan! Banyak orang Indonesia merasa malu mengaku sebagai orang Indonesia bila berada di luar negeri. Orang lain yang berbuat, diri sendiri kena getahnya. Mereka kerap kali

ditanyai, "Mengapa Anda membiarkan saja penganiayaan berlangsung di depan mata Anda tanpa berusaha menolong Anda malah sibuk memasang label-label pengaman di depan rumah sendiri! Takut membela kebenaran?"

Pertanyaan itu tentu saja sulit dijawab!

Saksi mata mengatakan para perusuh sangat ganas. Mereka seperti bukan manusia. Bahkan perempuan dan anak-anak yang ikut serta pun tidak kelihatan seperti manusia. Memang tidak masuk di akal, bagaimana mungkin orang bisa bergembira ria di atas penderitaan orang lain. Apakah mereka kerasukan setan? Cuma iblis yang bisa menari-nari di api neraka. Atau mungkinkah mereka dihinggapi sejenis virus pengacau otak? Pertanyaan itu memang masih tetap menjadi pertanyaan lama kemudian. Tak ada yang bisa menjawabnya. Tak bisa atau tak mau? Konon, segala sesuatu yang berhubungan dengan setan memang tak bisa dijawab. Sementara yang namanya virus sering kali belum ditemukan obatnya. Dan kalaupun suatu saat berhasil ditemukan obat atau vaksinnya, ia telah memakan korban yang jumlahnya tak terhitung!

Kristin tahu betul tentang hal itu. Semua orang Indonesia, yang peduli maupun yang tak peduli akan negerinya, pasti tahu. Bagaimanapun semua berkepentingan karena identitas yang disandang. Bukan cuma Jakarta atau kota-kota lain yang dilanda kerusuhan, tapi juga seluruh pelosok negara. Bukan cuma korban langsung yang sakit hati, tapi juga mereka yang beruntung tidak menjadi korban. Bagaimana mungkin hal

seperti itu bisa terjadi? Tapi nyatanya itu terjadi. Bahkan lebih buruk dari mimpi buruk atau khayalan yang mengerikan! Khusus mengenai kompleks perumahan yang dihuninya sekarang ini, Kristin tidak tahu banyak. Ia mengetahui kisahnya dari Adam yang memang warga Jakarta sejak lahir. Kristin sendiri berasal dari Semarang. Baru dua tahun belakangan ia menetap di Jakarta. Ia pindah ke Jakarta karena mendapat promosi di kantor pusat perusahaan tempatnya bekerja, sebuah perusahaan telekomunikasi ternama. Orangtua-nya sebenarnya berat hati melepasnya ke Jakarta. Di Jakarta banyak bandit! Tetapi ia berkeras hati. Kalau tidak diambilnya kesempatan itu,

maka rekan lain akan menyambarnya. Padahal zaman sekarang ini 18

pekerjaan susah dicari. Krisis moneter yang sudah berlangsung lama tak mungkin pulih dalam sekejap. Pengangguran pun berlipat ganda setelah pemecatan karyawan di mana-mana terus saja terjadi.

Lalu ia bertemu dengan Adam, berpacaran, dan kemudian menikah. Semuanya serba singkat. Tetapi ia yakin akan cintanya. Tak ada orang yang sempurna. Sama seperti dirinya sendiri. Setiap orang pun memiliki kelebihan dan kekurangan.

Seperti Adam. Seperti dirinya.

Dulu, di kota kelahirannya dan kemudian saat indekos di Jakarta, ia tinggal di kawasan hunian yang padat. Banyak tetangga, ramai dengan celoteh kiri-kanan. Tak pernah sepi siang-malam. Tiba-tiba lingkungan barunya berbeda seperti bumi dan langit.

"Justru karena keadaannya begini, aku mampu membeli rumah ini," Adam menjelaskan. "Pemiliknya tak mau menempati lagi. Ia ingin segera menjualnya tapi tak kunjung laku. Jadi dia terpaksa menjual supermurah."

"Kenapa?" Kristin tak mengerti. "Bukankah tanah dan rumah di sini nilainya mahal?"

"Mereka ingin melupakan pengalaman pahit yang mereka alami tahun lalu. Jadi tak ingin kembali ke sini. Sedang orang lain telanjur menganggap daerah ini kelam karena sejarahnya." "Tapi toh ada yang kembali. Seperti para tetangga kita yang sedikit itu."

Adam tertawa. "Untung ada yang kembali, bukan? Jadi kita bisa punya tetangga. Yah, kukira mereka terpaksa kembali karena tak punya tempat lain." Lalu Adam merengkuhnya dengan ekspresi cemas. "Kau tidak takut tinggal di sini, bukan?"

"Takut? Ah, nggak. Cuma tidak biasa saja." Adam tampak lega. "Sesuatu yang baru memang harus

dibiasakan. Semua perlu waktu."

"Kukira begitu. Rumah ini bagus dan menyenangkan kok." "Syukurlah. Tetangga sebelah tidak cerita macam-macam, kan?"

"Macam-macam apa?"

"Bukan apa-apa." Adam seperti kelepasan bicara. "Tapi mereka yang pernah mengalami kengerian masa lalu bisa saja mendramatisasi ceritanya."

"Aku yakin mereka akan berusaha sedapat mungkin membuatku betah di sini. Jadi tak mungkin menakut-nakuti dengan ceritacerita ngeri."

Adam sangat lega. Kristin memang sungguh-sungguh. Ia senang pada rumah barunya. Dan sudah tidak sabar ingin membanggakan rumahnya itu pada Papa dan Mama. Mereka akan mengagumi. Tapi saat ini kedua orang tua itu masih sangat takut pada kota Jakarta. Mereka terlalu banyak mendengar dan melihat peristiwa mengerikan dari media massa. Mungkin kalau cucu mereka lahir nanti, barulah daya tarik untuk datang lebih besar daripada rasa takut itu.

Kristin teringat lagi. Ia membelai perutnya. Sudahkah terasa gerakan di dalam sana? Ketika sedang berkonsentrasi, tatapannya tertuju ke luar jendela. Langsung ke satu titik. Ia terkejut. Orang itu ada lagi di sana. Dia seorang lelaki bertubuh tinggi ramping dengan pakaian rapi seperti orang kantoran. Celana 20

panjang hitam dan kemeja putih lengan panjang. Cuma tak pakai dasi. Wajahnya tampan. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya tebal agak gondrong. Ia berdiri dengan posisi santai. Kedua tangan ke belakang. Ekspresinya seperti orang yang tengah meninjau situasi. Tubuhnya menghadap ke rumah Kristin.

Sedang di belakangnya tegak sebuah rumah kosong yang sudah tak beratap dan sebagian dindingnya hancur.

Kristin tak ingat persis sudah berapa kali ia melihat orang itu di sana, di tempat yang sama dan dalam posisi yang sama. Pandangannya selalu ke arah rumahnya. Pada mulanya ia berpikir, orang itu sedang mencari rumah yang cocok

mengingat di daerah itu" ada banyak rumah yang mau dijual. Atau mungkin juga ia sedang mengagumi rumahnya. Tapi, kenapa tak cukup sekali dua kali saja? Yang membuatnya terkejut sekarang adalah karena tatapan orang itu lurus kepadanya, langsung ke matanya. Mereka beradu pandang. Tak mungkin dibelokkan atau dialihkan. Padahal biasanya tak pernah begitu. Biasanya orang itu tak pernah mengarahkan matanya ke jendela kamarnya meskipun tatapannya berputar ke sana-sini. Karena itu biasanya Kristin tak begitu memedulikan. Tentunya sah-sah saja bagi siapa pun untuk berdiri di tepi jalan mengamati suasana. Yang penting orang itu tidak sedang mengamati dirinya.

Segera setelah beradu pandang orang itu tersenyum, mengangguk dan membungkuk dengan amat sopan. Kristin jadi tersipu dibuatnya. Cepat-cepat ia membalas senyumnya sambil menganggukkan kepala juga. Karena merasa tak enak untuk terus duduk di 21

situ sementara orang itu pun berada di seberang sana, ia berdiri. Tampak olehnya tatapan orang itu masih tertuju kepadanya. Kristin tersenyum dan mengangguk lagi sebagai isyarat bahwa ia akan pergi dari situ. Tiba-tiba orang itu mengangkat sebelah tangannya lalu bergerak menyeberang jalan. Kristin tertegun sejenak. Kalau ia tak salah tangkap tampaknya orang itu berniat untuk mendatangi rumahnya. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk turun dan melihat.

Di ruang depan ia berpapasan dengan Bi Iyah, pembantunya, yang tampaknya baru saja masuk dari luar rumah. "Ada tamu ya, Bi?" tanyanya.

Bi Iyah diam sejenak, memandangnya dengan heran. Lalu ia menggeleng. "Tamu mana, Bu? Nggak ada."

"Tadi Bibi di luar?"

"Iya, Bu. Tapi nggak ada siapa-siapa yang datang." "Coba lihat lagi, Bi."

Kristin mengikuti langkah Bi Iyah. Mereka keluar. Memang tak ada siapa-siapa di depan pagar. Jalan depan rumah pun sepi. Hanya kendaraan bermotor melintas sesekali. Di seberang jalan pun tak ada siapa-siapa. Orang itu sudah tak tampak.

Kristin merasa kecele. Rupanya orang itu tidak bermaksud bertandang. Ia cuma menyeberang lalu pergi. Lalu Kristin menyadari tatapan Bi Iyah yang tampak bingung. Cepat-cepat ia tersenyum. "Tadi dari jendela aku melihat ada orang menyeberang dari sana." Ia menunjuk rumah di seberang. "Kukira dia mau ke sini. Mungkin mau nanya-nanya soal rumah." Bi Iyah mengerutkan keningnya. "Rasanya mah nggak ada siapasiapa, Bu. Lelaki atau perempuan, Bu?"

"Lelaki."

Bi Iyah menggeleng. "Nggak ada, Bu."

"Ya sudah. Mungkin Bibi lagi nyapu atau apa hingga tak melihat."

"Bibi nggak ngapa-ngapain tadi, Bu."

Kristin merasa seperti orang bodoh ketika menatap perempuan setengah baya di depannya. Siapa sebenarnya yang bodoh? "Ya

sudah. Mungkin Bibi kebetulan saja nggak melihat ke seberang."

"Ah, Bibi justru lagi santai di depan pagar menghitung mobil lewat, Bu. Masa nggak melihat kalau ada orang," Bi Iyah berkeras.

Kristin tak mau lagi berdebat dengan Bi Iyah. Ia mengalihkan persoalan.

"Hati-hati sama orang yang tak dikenal, Kris," Adam mengingatkan ketika Kristin menceritakan hal itu. "Tampaknya dia orang baik-baik, Mas. Sepertinya dia sedang bingung dan membutuhkan informasi. Habis sudah beberapa kali kulihat dia di sana, memandang ke sana-sini." "Siapa tahu dia sedang mencari calon korban untuk dirampok atau ditipu. Jangan cepat mempercayai orang tak dikenal. Kelihatannya saja baik-baik. Dalamnya belum tentu." "Jangan-jangan dia sedang mencari anggota keluarganya yang pernah jadi korban kerusuhan," kata Kristin penuh iba. "Lalu dia melihat keadaan di sini dan menjadi syok karenanya." "Setelah lewat setahun? Kenapa menunggu begitu lama?" "Siapa tahu tadinya dia di luar negeri. Baru sekarang dia sempat ke sini," Kristin berimajinasi.

Adam mengerutkan kening. Sekarang tampak serius. "Apa dia orang Tionghoa?"

Kristin berpikir sejenak. "Sepertinya iya. Kulitnya memang kuning. Rambutnya hitam lurus. Tapi matanya biasa-biasa saja. Seperti matamu dan mataku." Kristin tertawa. "Ya. Kita berdua juga punya darah Cina, ya? Biarpun fifty-fifty, tapi ada. Susah juga memastikan etnis seseorang. Bisa salah."

Adam tidak ikut tertawa. "Coba gambarkan dengan lebih jelas ciri-cirinya, Kris," katanya serius.

"Dia lebih tinggi sedikit darimu. Ramping. Wajahnya cakep juga. Alisnya tebal. Sorot matanya tampak ramah. Mungkin dari situ kusimpulkan dia orang baik-baik. Pakaiannya rapi. Langkahnya tegap. Ah... apa lagi, ya? Nantilah kalau dia muncul lagi dan kau kebetulan di rumah, kau bisa melihatnya sendiri." "Lain kali hindarilah orang tak dikenal. Jangan suka berandaiandai."

Adam tampak tidak tertarik lagi. Masalah itu tak lagi dibicarakannya.

Kristin tak mengerti. Apakah Adam tidak senang? Adam juga tak mengerti. Belakangan dia lebih intens memperhatikan Kristin. Secara diam-diam tentunya. Ia juga minta pada Bi Iyah agar lebih baik menjaga nyonyanya dan selalu melapor padanya bila terjadi sesuatu. Hal itu penting mengingat usia kandungan Kristin dan sikapnya yang terasa agak aneh belakang

an ini. Ia mengajari Bi Iyah bagaimana menggunakan telepon. Nomor teleponnya di kantor dan juga nomor telepon genggamnya ia tulis besar-besar dan ia tempelkan di dinding dekat meja telepon. Kalau sampai terjadi sesuatu dan Kristin tak bisa menelepon sendiri, maka Bi Iyah bisa melakukannya. Beberapa kali ia melatih Bi Iyah untuk mempraktekkan. Tentu saja dengan sepengetahuan Kristin yang memahami tindakan itu sebagai upaya melindunginya. Jadi wajar-wajar saja. Adam sering mendapati Kristin mengusap-usap perutnya dengan pandangan melamun. Ekspresinya tampak cemas, seolah

benaknya sedang dipenuhi pemikiran berat. Kalau ditanya, "Kenapa, Kris?", ia terkejut seolah pertanyaan itu bunyi geledek. Lalu tersipu sejenak sebelum menjawab, "Oh... nggak apa-apa." "Betul nggak apa-apa?"

"Betul. Memangnya kenapa?"

Kristin suka sekali membalas pertanyaan dengan pertanyaan.

"Perutmu sakit?"

"Perut?" ulang Kristin seolah itu pertanyaan yang tidak logis. "Ah, tentu saja perutku nggak apa-apa. Kau mengejutkan aku karena aku lagi asyik melamun."

"Belakangan ini kau suka melamun, ya? Sampai-sampai kehadiranku di sisimu tak kausadari."

"Ah, masa iya. Memangnya ada larangan melamun, Mas?" Kristin tertawa.

"Tentu saja tidak. Boleh tahu nggak, apa sih yang kaulamunkan?" Kristin tersenyum misterius. "Ih... rahasia dong." Lalu Adam tak tahan lagi untuk tidak melemparkan pertanyaan yang mengganggu pikirannya. "Bukan lelaki yang suka kaupandangi dari jendela kamar, kan?"

Kristin terkejut lagi. Nah, kedapatan! "Kenapa kau bertanya begitu?" "Nanya kan boleh, Kris." "Pertanyaanmu seperti menuduh. Cemburu, ya?" "Wah, buat apa aku cemburu pada orang yang tidak mengenal dan dikenal olehmu?"

"Kalau begitu, jangan bertanya yang bukan-bukan dong!"

Kristin tampak jengkel. Maka keingintahuan Adam tidak mendapatkan jawaban. Bila suasana sudah tidak menyenangkan seperti itu, tentu mustahil melanjutkan topik yang sama. Selanjutnya Adam jadi suka mengamati ke luar jendela kamarnya. Tentunya bila Kristin tak ada. Tetapi ia tak pernah melihat orang yang diceritakan Kristin itu. Mungkin saatnya tidak tepat. Orang itu hanya muncul pada jam kerja." Sungguh menyebalkan.

Ada kalanya ia menertawakan kelakuannya sendiri. Bila ia menilai kelakuan Kristin itu aneh dan tidak wajar, tentunya ia tidak boleh ikut-ikutan bersikap tak wajar juga. Mungkin perempuan yang sedang hamil memang suka begitu. Buktinya kalau hamil muda suka macam-macam, misalnya mengidam makanan yang tak masuk akal. Orang bilang, itu bawaan anak.

Jadi mestinya tingkah Kristin itu tidak perlu dianggap aneh.

Ia berpikir tentang kemungkinan lain. Adakah pengaruh buruk dari rumahnya? Rumah itu punya sejarah yang kelam. Mungkin ia menyimpan dan merekam kengerian. Padanya terpercik darah dan air mata. Mungkinkah hal itu menetap, tak bisa hilang dalam perjalanan waktu?

Tetapi ia sangat menyukai rumah itu. Kalau tidak karena tragedi itu, ia tak mungkin bisa memilikinya. Harganya mahal sekali. Walaupun saat ini ia harus mengeluarkan biaya tinggi untuk merenovasinya, hal itu masih bisa terjangkau kemampuannya. Apalagi arsitekturnya dirancang olehnya sendiri.

Sudah lama ia berangan-angan ingin punya rumah di situ.

Angan-angan itu tak pernah padam meskipun rasanya mustahil.

Jangankan rumah mewah di daerah elite, rumah kecil sederhana di gang pun belum mampu ia miliki. Siapa sangka bahwa ada saatnya angan-angan itu jadi kenyataan! Memang ironis dan menyedihkan bahwa tragedi berdarah harus terjadi lebih dulu sebelumnya.

Sesungguhnya, cerita Kristin tentang lelaki aneh itu membangkitkan nostalgia tentang dirinya sendiri. Dulu ia juga suka mengamati rumah-rumah di situ sambil melamun. Janganjangan orang yang dilihat Kristin itu pun sedang menaksir rumahnya! Ia merasa kagum lalu ingin meniru desainnya.

Tetapi Bi Iyah memastikan tak pernah melihat orang itu. Padahal pembantunya itu senang sekali berangin-angin di balik pagar sambil mengamati suasana jalan bila tak ada pekerjaan. Memang bisa saja kemunculan orang itu tidak bersamaan dengan kehadiran Bi Iyah di balik pagar. Tetapi kejadian terakhir tidak demikian. Bi Iyah ada di sana pada saat Kristin melihat orang itu, lalu memutuskan untuk menemuinya!

Tapi ia tidak mau menyimpulkan hal-hal yang tidak rasional, baik kepada Bi Iyah maupun kepada Kristin. Itu berbahaya sekali. Bayangkan kalau mereka berdua ketakutan. Padahal sudah jelas dan terbukti bahwa mereka merasa nyaman di rumah itu. Baik Kristin maupun Bi Iyah sama-sama senang tinggal di situ. Mereka berdua juga tahu sejarah kawasan itu.

Jadi tak perlu cemas berlebihan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience