6

Family Completed 2798

"...jadi aku mau minta tolong, Tom. Bila kau sudah berada di Jakarta, temuilah Pak Harun dan bicara lebih serius dengannya. Minta dia merenungkan lagi, betulkah orang yang dilihatnya keluar itu Sonny? Ada ciri-ciri yang diingatnya? Tinggi badan, postur, atau apa saja. Mama punya teori mengejutkan. Tapi dia minta aku tidak berpikir yang mulukmuluk. Tentu saja nggak. Sekarang dan dulu kan lain. Oh ya, kau tentunya belum kenal sama Pak Harun. Mintalah alamatnya sama Mama.

Satu hal lagi, Tom. Carilah alasan supaya bisa mengunjungi tetangga baru Mama itu. Kenapa mereka berlaku aneh? Terutama sang istri, Kristin namanya. Kenapa anaknya diberinya nama Jason? Kok sama-sama ada kata 'Son' di situ. Padahal sebelumnya ia sudah menyiapkan selusin nama yang lain. Kebetulan?

Tolong ya, Tom. Terima kasih banyak. Dari adikmu, Susan."

Tom tersenyum. Susan selalu menganggapnya sebagai kakak.

"Hei, kok senyum sendirian!"

Tom mengangkat kepala, melihat tubuh jangkung berdiri di depannya. Lalu tampak wajah Ronald Brown yang hitam tersenyum ceria. Tangannya memegang baki tempat makan

siang. Tom tersenyum, menunjuk kursi di depannya. "Biasa, Ron!

Lagi melamun!" katanya.

"Siapa yang kaupikirkan?" tanya Ronald simpati. "Aku sedang mengatur rencana. Apa saja yang mau kukerjakan di Jakarta nanti."

"Sudah aman di sana?" tanya Ronald sambil mengunyah.

"Oh, sudah."

"Apakah kau berencana menemui dia?"

"Dia?"

"Viv."

Tom tertegun sejenak. Dia tak menyangka Ron bertanya begitu. Selama ini nama Vivian tak pernah disebut. "Kenapa kautanyakan itu?" tanyanya.

Ron memandang selidik. "Kuharap tidak menyinggung perasaanmu, Tom," katanya hati-hati. "Sori, ya. Tak usahlah dijawab kalau kau tak mau."

"Oh, tidak apa-apa, Ron. Terus terang aku sama sekali tidak berpikir ke sana. Ingat dia pun tidak. Tentu saja aku tidak punya rencana menemuinya. Kami tak pernah berhubungan lagi,

Ron."

Ronald mengangguk-angguk. "Jadi kau sudah bisa melupakan hal itu. Senang kau sudah sembuh."

Giliran Tom mengamati Ron dengan selidik. Sepertinya bukan tanpa alasan Ron menyinggung soal itu lagi.

"Ya. Sebenarnya memang ada sesuatu, Tom," Ron mengakui. Tom mengerutkan kening. Kalau saja si Ron ini berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru, pastilah dia yang menjadi ayah Debbie. "Ayolah, Ron. Katakan saja."

Ron meneguk minumannya. "Begini, Tom. Viv mengirimiku e-mail. Dia ingin bertemu denganmu. Ingin bicara, katanya. Jadi kalau kau ke Jakarta..." "Bagaimana dia tahu aku mau ke Jakarta?" potong Tom. "Sebenarnya sudah beberapa bulan belakangan aku dan Viv menjalin hubungan e-mail. Dia duluan yang mengirim. Aku yang bilang kau mau cuti ke Jakarta tak lama lagi. Boleh, kan?" "Boleh-boleh saja, Ron. Tapi... dia yang bertanya atau kau yang bercerita?"

"Dia yang bertanya. Dia selalu ingin tahu tentang dirimu. Apa kau baik-baik saja. Sudah punya pasangan baru atau belum."

"Oh!"

Ron mengamati wajah Tom. "Cuma oh?" tanyanya tidak puas.

"Lantas aku mesti bilang apa, Ron? Semuanya sudah berakhir."

"Tidak ada lagi yang tersisa?" "Tidak."

Ron menarik napas. "Tapi tak ada salahnya kau menemuinya."

"Apakah itu penting, Ron?"

"Kalau tidak penting tentu dia tidak berpesan begitu kepadaku."

"Kau pasti tahu. Kau tentu ingin tahu. Tidak kautanyakan?" "Ingin sih menanyakan, tapi aku harus tahu diri. Itu urusan pribadi."

"Kok dia minta tolong sama kamu?"

"Dia kan tahu hubungan kita cukup akrab."

"Jadi kau tidak tahu apa yang dia kehendaki dariku?"

"Ayolah. Jangan cerewet." "Aneh juga. Setelah lima tahun..." "Oh, sudah lima tahun, ya?" potong Ron. "Cepat sekali waktu berlalu." "Kau punya saran,

Ron?"

"Menurutku, tak ada salahnya kautemui dia. Kan dia cuma mau bicara."

"Bicara itu berarti ada sesuatu yang dia kehendaki. Kalau cuma say hello kenapa dia tidak kirimi aku e-mail saja?"

"Ya terserah kau. Aku cuma memberi saran."

"Baik kalau begitu. Aku akan temui dia."

Ron tersenyum. "Kalau begitu dia akan kuberitahu. Kapan tepatnya kau mau berangkat?"

Tom terkejut oleh antusiasme Ron. "Ah, tak usahlah diberitahu, Ron. Setibanya di Jakarta aku akan telepon dia dulu."

"Bukankah kau tidak tahu di mana dia tinggal dan berapa nomor teleponnya?"

Tom tertegun. "Dia sudah pindah?"

Ron merogoh sakunya, lalu mengeluarkan secarik kertas. "Ini alamat baru dan nomor teleponnya."

Tom mengamati sekilas lalu memasukkan kertas itu ke dalam sakunya.

"Kalau kau menghilangkannya, kau bisa tanya lagi padaku." Ron tersenyum.

Lama setelah itu Tom masih saja bertanya-tanya sejauh mana sebenarnya hubungan Ron dengan Vivian. Apakah Ron cuma sekadar perantara? Ia terpaksa mengingat kembali masa lalu. Meskipun Viv sudah mengantungi ijazah MBA, tapi setelah menikah ia tidak berminat untuk bekerja. 110

Tom memang tidak menganjurkan karena gajinya lebih dari cukup untuk hidup mereka. Ia sudah terbiasa dengan kehidupan yang sederhana meskipun tinggal di kota besar yang menawarkan segala jenis hiburan mahal. Ia justru merasa senang bila pulang kerja disambut istri dan ia tidak perlu lagi mengerjakan segala urusan rumah tangga seperti dulu ketika masih bujangan. Ia cuma khawatir kalau-kalau Viv kesal sendirian di rumah tanpa kesibukan. Tapi Viv mengatakan ia lebih suka begitu karena bisa bebas mengerjakan apa saja yang dikehendakinya. Bisa nonton teve, baca buku, atau jalan-jalan. Viv senang bersosialisasi. Dengan cepat ia bisa bergaul akrab dengan semua teman Tom. Bila pada awalnya mereka agak segan berkunjung dan main ke tempatnya karena khawatir Viv tidak suka, lama-kelamaan mereka kembali lagi pada kebiasaan lama ketika Tom masih bujangan. Mereka bukan saja tidak canggung dengan kehadiran Viv, tapi malah jadi tambah bersemangat. Hal itu membuat Viv tidak kesepian bila lama ditinggalkan sendiri. Teman Tom adalah teman Viv juga.

Itulah salah satu sebab kenapa kemudian Tom mencurigai salah satu di antara teman-temannya yang kulit putih telah menjalin hubungan intim dengan Viv. Ada tiga orang yang paling memenuhi syarat, yaitu Danny Martin, John Rowe, dan Peter Rogers. Masih ada lagi yang kurang begitu memenuhi syarat, yaitu dua-tiga orang, yang biarpun berkulit putih tapi tidak berambut pirang atau bermata biru, tapi tidak tertutup kemungkinan mereka jadi tersangka. Bisa jadi orangtua atau kakek-neneknya yang berambut pirang dan bermata biru yang mewariskan ciri itu kepada Debbie. Teman-temannya itu punya kesempatan menyelinap masuk ke apartemennya pada saat ia tak ada karena tahu betul kapan, saja jam kerjanya, misalnya saat ia dinas malam. Lagi pula mereka semua tinggal di kompleks bangunan apartemen yang sama, yang memang dikhususkan bagi mereka yang punya hubungan dengan rumah sakit Columbia Presbyterian.

Tetapi ia tidak bisa menanyai mereka satu per satu. Siapa di antara kalian yang pernah bercinta dengan Viv? Alangkah konyolnya. Menanyai bisa berarti menuduh. Bahkan memelototi saja punya makna sama. Toh mereka punya naluri dicurigai. Lalu menjaga jarak biarpun tetap dekat. Mereka seperti sepakat berbuat begitu. Hati-hati menjaga sikap meskipun tetap simpatik dan bersahabat. Karena kesamaan sikap itulah ia jadi tambah sulit mendeteksi. Mustahil juga mengharapkan satu per satu dari mereka mengatakan kepadanya, "I didn't do it!" Seharusnya Viv yang mengatakan.

Sebelumnya ia tidak pernah punya prasangka buruk. Ia percaya sepenuhnya kepada Viv dan teman-temannya. Ia percaya, teman-temannya bukan jenis orang yang tega mengkhianati teman sendiri. Mereka justru sayang dan melindungi Viv. Lagi pula Viv sendiri mencintainya dan mereka masih dalam masa mesra bulan madu. Mustahil ada yang namanya perselingkuhan. Tom menganggap, pasangan suami-istri yang suka berselingkuh adalah mereka yang sudah lama kawin dan karenanya menjadi bosan satu sama lain. 112

Di Amerika, perilaku seks itu bebas sepanjang mau sama mau dan sudah cukup umur. Tetapi sebebas-bebasnya, pasti ada batasan juga. Kalau tak ada, maka tak ubahnya hewan. Batasan itu terletak pada hati nurani. Tegakah mereka mengkhianatinya? Kalau mereka melakukannya, berarti mereka tega. Mereka tak menghormatinya atau mereka menganggapnya tak punya harga diri. Itu yang paling menyakitkan. Setelah Viv pulang dari rumah sakit, ibu Viv masih menemani. Ayahnya menginap di hotel. Orangtuanya sendiri sudah pulang ke Jakarta setelah memberinya petuah ketabahan dan tahan diri, juga memintanya berjanji untuk tidak bertindak sembarangan, seperti mengamuk tanpa kendali hingga mencederai Viv dan bayinya. Ia memberikan janjinya. Puncak emosi sudah berlalu. Tapi ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit. Ia tidur di ruang istirahat dokter atau menginap di apartemen teman yang mau ditumpanginya, lalu bekerja lagi. Ia hanya pulang kalau harus mengambil baju atau ada keperluan lain. Ia tahu orangtua Viv belum mau pulang karena khawatir putrinya diapa-apakan olehnya. Mereka sangat malu dan marah besar kepada Viv, tapi melindunginya dari kemungkinan diamuk suami yang dendam.

Akhirnya mereka bermusyawarah karena sadar hal itu tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kesepakatan dicapai. Jelas sulit sekali baginya untuk serumah dengan si bayi, yang akan terus mengingatkannya pada perselingkuhan Viv. Padahal bayi itu tak bersalah. Maka Viv ikut dengan kedua orangtuanya pulang ke Jakarta dengan membawa bayinya. Maksudnya untuk sementara. Biar suasana mendingin kalau kalau ada pemikiran

lain. Tapi yang maksudnya sementara itu jadi keterusan.

Mereka bercerai.

Karena itulah ia tidak punya waktu dan kesempatan untuk mendesak Viv supaya berterus terang siapa sebenarnya kekasih gelapnya. Pada saat itu Viv selalu dikawal oleh ibunya. Tak ada pengakuan dari Viv. Mungkin Viv juga ingin melindungi kekasihnya dari amukannya. Yang satu ingin melindungi yang lain. Pastilah dia menakutkan sekali. Seperti menyimpan bom amarah yang siap meledak. Kemudian ledakannya akan menghancurkan Viv, pacarnya, dan bayi mereka. Terpikirkah oleh mereka bahwa ledakan itu, andaikan bomnya memang ada, mungkin cuma akan menghancurkan dirinya sendiri? Untunglah dia masih punya teman yang memperhatikan, yang tidak cuma merasa iba dan memberi simpati. Merekalah yang memberinya kekuatan dan tak bosan-bosan menyadarkannya bahwa dia tidak sendirian. Masih ada teman yang tidak cuma bisa diajak hura-hura. Dan mungkin juga lingkungan kerjanya ikut membantu pemulihan dirinya. Di sana banyak orang yang mendambakan hidup dan berjuang untuk hidup. Mustahil dia merusak diri sendiri bila profesinya adalah memulihkan orang lain dari kerusakan. Dia menghargai hidup orang lain dan juga hidupnya sendiri.

Kalimat terakhir yang diucapkan Viv ketika mereka berpisah hanyalah, "I'm' sorry!" Tak ada ucapan, "Forgive me!" atau

"Maafkan aku!" Yang melakukannya justru mertuanya. "Maafkan Viv ya, Tom?" kata ibu mertuanya berulang kali sambil menangis. Perempuan yang biasanya tampil arogan itu tampak luluh oleh

kesedihannya. Tetapi Tom tidak menjawab permintaan itu.

Mana mungkin minta maaf itu diwakilkan?

Ia pernah mencecar Ron dan teman-teman lain, yang bukan kulit putih, kalau-kalau mereka tahu siapa lelaki itu. Bila dia tak tahu karena tak sempat melihat, tentu ada di antara mereka yang kebetulan melihat. Mungkin ada yang secara tak sengaja menangkap tatapan atau sentuhan mesra. Tetapi mereka semua tidak tahu!

"Aku pikir, kau sebenarnya tahu, Ron," kata Tom pada pertemuan berikutnya dengan Ronald Brown.

"Tahu apa?"

"Siapa ayah Debbie?"

"Oh itu. Katanya sudah tak peduli lagi." "Tak peduli bukan berarti tak ingin tahu. Kau yang membangkitkan keingintahuanku."

"Jadi selama ini sebenarnya kau menyimpan keingintahuanmu itu di sini." Ron menunjuk kepalanya.

"Kalau sudah tahu, aku jadi punya bahan untuk menghadapinya." "Kautanyakan sendiri kepadanya. Mungkin itu yang mau dia katakan."

"Kenapa dia harus menunggu begitu lama? Ayolah, Ron. Katakan siapa dia."

"Aku sungguh tidak tahu, Tom. Swear!" Ron mengangkat jarinya. Tom sadar, tak bisa memaksa. Ron tampak tulus. Ia tidak ingin menyudutkan seorang sahabat.

Sore itu Tom berjalan pulang sendirian menuju apartemennya yang jaraknya cuma beberapa ratus meter. Kadang-kadang ia

jalan bersama teman yang kebetulan pulang bersamaan dan tinggal di kompleks apartemen yang sama. Ron juga tinggal di sana. Apartemen itu memang khusus dihuni oleh mereka yang berkepentingan dengan Presbyterian Hospital. Bukan cuma para dokter, tapi juga karyawan lain dan mahasiswa. Dulu ketika akan menikahi Vivian, ia ragu-ragu apakah Viv bisa betah tinggal bersamanya di situ. Sebenarnya suasananya cukup menyenangkan. Cukup nyaman dan tenang. Cuma yang terasa mengganggu adalah bunyi sirene ambulans yang tidak kenal waktu. Bunyi yang maknanya sama. Ada manusia menghadapi maut. Tetapi Viv mengatakan tak ada masalah. Ia akan dan bisa beradaptasi. Padahal jika Viv keberatan ia bersedia mencari tempat tinggal yang agak jauh, di mana hiruk-pikuk kegiatan rumah sakit tak terasa dan tak terdengar. Tetapi Viv tegas dengan tekadnya. "Nanti sajalah, Tom. Kucoba dulu, ya? Kalau benar-benar tidak betah, aku bilang terus terang!"

Ia mengagumi kemampuan Viv beradaptasi. Ia tahu temantemannya juga punya andil untuk membuat Viv merasa betah. Mereka berusaha menyenangkan Viv dan menyertakannya dalam kelompok mereka. Viv adalah salah satu dari mereka. Suatu keuntungan untuk dirinya sendiri. Dengan demikian ia tidak perlu mengubah kebiasaan dan rutinitas hidupnya. Tapi siapa sangka bahwa yang dianggap sebagai keuntungan itu bisa jadi malapetaka!

Ia menghirup udara segar dari taman rimbun yang dilewatinya.

Taman itu dipelihara baik. Di musim panas seperti saat itu bunga-bunga bermekaran indah sekali dan menjadi kebanggaan

Joe si tukang kebun. Hidung Joe selalu kembang-kempis bila ada yang memuji. Dia memang bekerja dengan penuh dedikasi. Para dokter berurusan dengan manusia. Aku dengan tanaman, katanya. Jadi aku dokter juga. Dokter tanaman! Ketika hatinya masih sakit karena ulah Viv, Tom banyak menghabiskan waktunya di situ. Bahkan di musim dingin pun dia berkerebong dengan mantel tebalnya yang berpenutup kepala. Lalu diseret paksa oleh teman-temannya. Kalau tidak, tentu dia akan menjadi patung beku yang duduk di bangku taman. Tetapi kecenderungannya menelantarkan diri itu tidak berlaku sama kepada para pasiennya. Ia tetap teliti dan cermat. Tidak melakukan kesalahan sedikit, pun. Padahal banyak rekannya yang khawatir kalau-kalau emosinya bisa mempengaruhi kecermatannya. Seluruh departemen bedah sudah mengetahui kisahnya. Direkturnya memintanya cuti sambil menjalani terapi kejiwaan. Tapi ia menolak. Justru dalam keadaan seperti itu ia harus mengisi waktunya dengan bekerja. Konsentrasinya menajam dan empatinya kepada pasien lebih mendalam. Dengan cara demikian ia bisa melupakan kepailitannya Tahun demi tahun berlalu, ia berangsur menjadi "normal" kembali. Ia tidak lagi memelototi teman- temannya yang kulit putih. Ia sudah pasrah. Gaya hidupnya sudah kembali seperti dulu. Mereka yang semula menghindarinya karena takut dicurigai atau ditanyai mendekat kembali. Kehidupan memang harus berjalan. Apartemennya berada di lantai tujuh, memiliki dua kamar. Ketika masih bujangan, ia menempati lantai dasar yang ruangannya lebih kecil dengan hanya satu kamar. Ia memang

tidak memerlukan kamar ekstra. Bila sekali waktu ibu atau ayahnya datang berkunjung, ia bisa tidur di sofa. Sejak masih mahasiswa ia di situ. Setelah menikah ia harus pindah ke tempat yang lebih luas. Tapi sekarang ia belum berpikir untuk pindah lagi. Ia sudah terbiasa dengan ruangan yang lebih luas. Ia tidak menggunakan lift melainkan tangga. Ia bisa sekalian berolahraga. Itu sehat untuk jantung, walaupun cukup melelahkan. Napasnya sudah bertambah cepat ketika akhirnya ia mencapai lantai tujuh. Tetapi kemudian langkahnya terhenti dengan mendadak. Matanya membelalak kalau kalau salah lihat. Seorang perempuan muda sedang duduk di lantai di depan pintu apartemennya dengan beralaskan trav-elling bag di pantatnya. Ia bersandar ke dinding dan sedang asyik membaca buku dengan mulut komat-kamit. Rambutnya panjang mencapai punggung, diikat satu dengan jepitan. Kulitnya kekuningan.

Hidungnya kecil mancung. Cantik. Dia Susan!

Tom memekik senang. "Hai! Suuus!" panggilnya. Benar-benar kejutan yang luar biasa. Susan melompat bangun. Tubuhnya tampak ringan. Dia lumayan jangkung. Semampai dibalut T-shirt dan celana jins. Sekitar seratus tujuh puluh. Tom lebih tinggi sepuluh senti. Mereka berpelukan. Lalu saling mencium pipi. Setelah kematian Sonny dan perceraian Tom, mereka jadi lebih dekat meskipun cuma sebatas kakak dan adik. Keduanya merasa patut memberikan perhatian satu sama lain sebagai orang-orang yang sama-sama mengalami musibah.

"Sudah lama kau di sini, Sus?"

"Ada sejam, Tom."

"Kenapa tak meneleponku di rumah sakit? Kenapa tak memberi kabar kalau mau ke sini? Aduh, kasihan sekali kau. Sampai sejam menungguku."

Tom mengeluarkan kunci, membuka pintu, lalu mengajak Susan masuk. Ia membawakan tas Susan yang gembung. "Aku tak mau menyusahkan kau, Tom. Menunggu di sini kan sama saja. Di sana juga menunggu. Bagaimana kalau ke sana tahu-tahu kau sudah pulang? Kalau nunggu di sini kan sudah pasti," sahut Susan sambil melangkah masuk. Ia memandang berkeliling sementara Tom terus masuk dan meletakkan tasnya.

"Wow! Enak ya apartemenmu? Punyaku cuma setengahnya," kata Susan.

"Punyaku yang dulu juga kecil, Sus. Kau pernah ke situ, kan? Begitulah kalau bujangan. Tapi sekarang ada untungnya aku mempertahankan yang ini. Ada ruang buatmu. Eh, kau menginap, kan? Kamarnya dua kok." "Ya, Tom. Tapi cuma semalam saja."

"Berapa malam juga tidak masalah."

Susan menuju jendela lalu membukanya. Mulutnya terbuka. Kagum. Ia melihat pemandangan Sungai Hudson dan jauh di sana jembatan George Washington. Tampak sorot lampu kendaraan berderet memanjang sepanjang jembatan. "Wow!

Hebat sekali, Tom!" serunya.

Tom mendekat di belakangnya lalu menyodorkan minuman kaleng. Root Beer. Mereka bersama-sama duduk di sofa sambil menyeruput minuman masing-masing.

"Ceritakan, Sus. Pasti ada tujuannya ke sini. Bukan sekadar kunjungan sosial, kan? Biar kutebak. Kau memutuskan jadi ikut denganku ke Jakarta, kan?" kata Tom bersemangat. Ia membayangkan betapa gembiranya ibu Susan bisa bertemu dengan putrinya ini.

"Ah, bukan begitu, Tom. Aku ditugasi bosku ke New Jersey.

Aku tak sempat mengabarimu lebih dulu. Besok aku ke sana.

Sekarang sekalian mampir di sini."

"New Jersey?" Tom heran. "Ada apa di sana? Tugas apa?" "Ada yang mesti kuliput." Susan tertawa melihat wajah Tom mengerut keheranan. "Ah ya, aku memang belum cerita. Aku sudah kerja jadi wartawan, Tom!"

"Wah, selamat dong! Kau benar-benar sudah mandiri, Sus. Akan kuceritakan kepada ibumu."

"Oh ya!" Susan melompat. "Aku titip barang untuk Mama. Dan

Papa juga." Ia mengeluarkan sebuah bungkusan berwarna cokelat lalu meletakkannya di atas meja.

"Ya. Nanti kusampaikan. Mereka pasti senang sekali. Sayang cuma titipan. Bukan orangnya sekalian."

"Ah, sudahlah, Tom. Nanti juga tiba saatnya." "Oke. Ngomongngomong, kau sudah jadi warga negara Selandia Baru?"

"Belum." "Akan jadi?"

"Ya." Susan tampak segan membicarakan soal itu. Dia kelihatan lelah.

"Istirahat dulu, Sus. Itu kamarmu." Tom menunjuk. "Mau mandi?"

"Ya. Supaya segar." Susan bangkit, mengambil tasnya, lalu menuju kamar yang ditunjuk.

Tom mengamati Susan dari tempat duduknya. Masih terpesona. Serasa mimpi bisa bertemu dengan Susan. Gadis itu tampak jauh berbeda dibanding saat terakhir ia melihatnya. Ketika itu Susan datang mengunjunginya bersama Sonny. Dulu gadis itu lembut dan manja. Suaranya pun halus dan kadang-kadang ada nada rengekan dalam pembicaraannya. Sekarang semua sudah berubah jadi kebalikannya. Kalau saja Sonny bisa melihatnya sekarang. Ia sendiri lebih menyukai Susan yang sekarang dibanding yang dulu, meskipun baru melihat sebentar.

"Nanti kita makan malam di luar ya, Sus!" teriaknya. "Memangnya kau tidak punya bahan makanan?" Susan berteriak juga dari dalam kamar yang tampak terbuka pintunya. "Ah, ngapain repot-repot. Kita sekalian jalan-jalan!" "Oke!" Tom masih saja duduk dengan kaleng minuman di tangannya.

Tiba-tiba ia baru menyadari sesuatu.

Susan keluar lagi dengan handuk tersampir di pundak dan sudah berganti pakaian dengan daster. "Aku mandi dulu, Tom," katanya. Kemudian ia berhenti dan memandang Tom. "Kau kelihatan aneh. Masih merasa surprise?"

"Tidakkah kau menyadari sesuatu, Sus?" tanya Tom sambil menatap Susan.

"Sesuatu apa?" Susan keheranan. Ia mengamati diri sendiri sejenak kalau-kalau ada yang tak beres.

"Sejak bertemu tadi kita langsung bicara bahasa Indonesia. Bukan bahasa Inggris yang jadi bahasa kita sehari-hari," Tom menjelaskan.

Susan tertegun. Tak menyangka. "Apakah itu aneh? Wajar saja, kan? Bila dua orang yang berasal dari negara yang sama bertemu di negeri asing, maka dia akan berdialog dengan bahasa ibu."

"Tapi kita tidak asing lagi di sini."

Susan geleng-geleng kepala. "Ah, sudahlah. Itu cuma spontanitas. Kalau kau menganggapnya aneh, kita ngomong

Inggris saja, ya?"

"Jangan, Sus. Aku cuma mikir betapa asal-usul itu sangat kuat mengakar dalam diri seseorang."

Susan mengerutkan kening. "Apakah kau menyesal pindah warga negara?"

"Oh, tentu saja tidak. Aku cuma bingung perihal istilah. Di

Indonesia kita disebut sebagai orang Indonesia keturunan

Cina. Lalu di sini aku disebut sebagai orang Amerika keturunan apa? Keturunan Indonesia? Mana bisa begitu kalau di Indonesia kita disebut sebagai keturunan Cina. Tapi kalau disebut sebagai Amerika keturunan Cina juga tidak tepat karena aku jelas tidak sama dengan Felix Wong misalnya, yang benar-benar keturunan Cina karena lahir dan besar di Taiwan."

"Itu gampang. Sebut saja dirimu sebagai orang Amerika asal

Indonesia," kata Susan cuek. "Begitu?"

"Ya. Jangan terlalu rumitlah, Tom. Pusing. Aku sudah benci dan bosan dengan istilah seperti itu. Koran-koran di Indonesia saja bingung menyebut kita. Bila mereka senang dan bangga, mereka tidak menyinggung soal keturunan. Tapi kalau benci mereka

menyebut si warga keturunan, atau nonpri, atau si kulit kuning dan mata sipit!" kata Susan dengan nada emosi. Tom merasa telah menyentuh bagian yang peka.

"Sori, Sus. Sudahlah. Mandi, ya?"

Susan tersenyum. Wajahnya ramah kembali. Ia menepuk pundak Tom, lalu berjalan. Tapi baru beberapa langkah ia berhenti. "Oh ya, Tom. Tadi sewaktu menunggumu di depan pintu, aku berkenalan dengan bule temanmu yang cakep banget. Wajahnya kayak Kevin Costner. Siapa pula namanya aku lupa. Dia menyilakan aku menunggu di apartemennya saja. Tapi mana aku berani? Bagaimana kalau dia itu psikopat? Tahu-tahu aku dipotong-potongnya lalu dimasukkan dalam kulkas untuk disantap," celotehnya.

Tom tertawa. "Di sini tidak ada psikopat, Sus! Aku tahu siapa

yang kaumaksud. Pasti dia Danny Martin. Dia memang suka memotong-motong orang. Seperti aku. Tapi bukan untuk disantap!" Susan tertawa keras kemudian pergi.

Tom merasa senang sekali. Tawa Susan membuat apartemennya menjadi hangat dan ceria.

Setelah mandi Susan berubah pikiran. "Kita makan di rumah saja, Tom. Kulihat ada cukup bahan di kulkas. Nanti kusiapkan saat kau mandi."

"Makan di luar kan lebih enak, Sus. Oh, aku ngerti. Kau capek, ya?"

"Bukan soal capek, Tom. Aku ingin ngobrol banyak denganmu.

Pergi keluar cuma buang waktu saja. Nantilah lain kali kalau waktuku lebih banyak. Aku juga kepengin jalan-jalan. Ke pusat kota, misalnya. Manhattan. Wow! Asyik banget!" Tom tertawa. "Untuk itu kau perlu menyediakan waktu ekstra supaya leluasa. Jangan diburu-buru pekerjaan. Kau harus menghibur diri sendiri juga."

Susan tersenyum. "Ya. Aku janji. Tapi kau juga harus membalas kunjunganku ini ke tempatku. Dulu kau sudah janji."

"Oke. Aku masih ingat janji itu."

Mereka menyiapkan makanan bersama-sama dari bahan yang tersedia. Omelet, daging goreng, kentang goreng, dan salad. "Aku belanja seminggu sekali. Baru dua hari yang lalu belanjanya. Untung, ya? Jadi masih banyak," jelas Tom. Susan terkejut. "Wah, aku membuat persediaanmu menipis!" "Tidak apa-apa. Aku kan masih bisa belanja lagi. Sudah, jangan dipikirkan soal itu. Coba kau telepon dulu tadi. Aku akan membeli champagne." Susan menggelengkan kepala. "Jangan. Aku tidak suka minuman

keras. Jangan dibiasakan, Tom."

"Ah, aku juga tidak suka minum. Cuma sesekali saja. Ini kan saat yang luar biasa, Sus. Serasa mimpi."

Susan tertawa. "Jangan ngomong begitu. Bagaimana kalau benar-benar cuma mimpi?"

"Cubitlah aku."

Susan mencubit lengan Tom yang mengaduh keras. Pura-pura.

Lalu mereka tertawa.

Tetapi Tom tetap saja merasa seolah bermimpi. Bukan Susan yang hadir di dekatnya, melainkan Vivian! Nostalgia mengusik pikirannya. Beberapa kali hampir saja ia memanggil Susan

dengan "Viv!" Untung masih terkendali. Betapa malunya dia kepada Susan kalau hal itu terjadi.

Sambil menikmati makan malam yang terasa sedap mereka berbincang-bincang. Banyak sekali yang dibicarakan. Susan menyampaikan lagi pesan-pesannya yang sebenarnya sudah diutarakannya lewat e-mail. Ia juga bercerita mengenai pengalaman jatuh-bangun-nya di negeri orang dan terutama saat-saat sulit di bulan Mei 1998. Lalu tiba giliran Tom untuk bercerita perihal dirinya dan Vivian. Sebenarnya kisahnya itu sudah diketahui oleh Susan, tapi tidak selengkap bila diceritakan sendiri oleh yang mengalami.

Obrolan seperti itu tergolong "berat", apalagi sambil makan. Namun nyatanya mengalir ringan saja. Malah terasa seperti penyedap. Mungkin karena kandungan emosinya tinggal sedikit. Keduanya pun merasa menemukan orang yang cocok untuk diajak berbagi.

"Semua pesanmu itu sudah kucatat, Sus. Jadi kalau aku ke Jakarta tidak ada yang terlewatkan," Tom menegaskan.

Susan tersenyum. "Kau memang orang yang cermat. Cocok dengan profesi."

"Bukan cuma itu. Kalau sampai ada yang kelupaan, sayang sekali."

"Kau bermaksud menemui Viv?"

"Sebenarnya aku sudah berjanji, tapi aku masih ragu-ragu."

"Kenapa?"

"Sebenarnya bagiku tak ada masalah untuk menemui Viv, tapi aku..." Tom diam sejenak, menatap piringnya dan memutar-

mutar sendoknya. Lalu meneruskan, "Aku segan melihat

Debbie."

"Kenapa?"

"Umurnya sekarang sudah sekitar lima tahun. Cukup besar, ya? Wajahnya tentu sudah terbentuk. Sampai sekarang aku belum tahu siapa ayahnya. Jadi aku takut akan melihat secara gamblang dan jelas di wajah Debbie siapa sebenarnya ayahnya itu. Seandainya aku sudah tahu, tentu aku tidak perlu merasa segan."

Sekarang keluarlah unek-unek itu! Padahal ia tak pernah mengatakannya kepada Ron.

Susan mengamati wajah Tom saat berbicara. Wajah Tom perlu diperhatikan agak lama kalau ingin menemukan kemiripannya dengan Sonny. Tentu saja Tom jauh lebih tua. Rambut di pelipisnya sudah ditumbuhi uban. Kerut di dahinya pun sudah banyak. Mungkin karena dia orang yang serius. Atau karena stres berat akibat pengalaman hidupnya yang pahit bersama

Vivian. Karena hal-hal itulah Susan sangat respek kepada Tom. Kagum karena lelaki itu bisa mengatasi stresnya dengan baik. Ia senang sekali bisa memiliki Tom sebagai kakak.

Tetapi ia tak menyangka bahwa orang seperti Tom bisa merasa takut seperti yang dikatakannya itu.

"Bukankah dulu kau sangat ingin tahu? Saat pertemuan itulah yang paling baik. Amati anak itu. Bila kurang jelas, kau bisa tanya Viv. Mungkin itu yang mau dikatakannya."

"Dia tidak perlu bertemu denganku hanya untuk mengatakan itu. Kirimi aku e-mail atau surat. Telepon juga bisa. Aku tak harus bertemu atau melihat Debbie sebelumnya."

"Aku tak mengerti."

"Aku tidak ingin membenci anak kecil, Sus." Susan tertegun. Tentunya Tom terlalu cerdas untuk mengarahkan sakit hatinya kepada orang yang tidak bersalah. Tapi sulit juga untuk menyalahkan Tom. Dalam diri Debbie ia melihat kegagalannya sebagai seorang suami dan ayah. Seharusnya Debbie memperlihatkan kesamaan fisik dengannya sebagai ayah kandung. Bukan dengan orang lain yang identitasnya masih misteri.

Tiba-tiba Susan menyadari, bahwa penderitaannya sendiri terbilang kecil bila dibandingkan dengan pengalaman Tom. Ia marah sekali kepada Vivian. Istri macam apakah sebenarnya perempuan itu?

"Untuk mendapat kepastian, kukira kau harus menghadapi

Debbie, Tom. Aku yakin kau tidak akan membencinya."

"Kau yakin?" Sebelum Susan menjawab, terdengar pintu diketuk. Mereka berdiri. Tom menggoyangkan tangannya. "Biar aku saja yang ke depan," katanya.

Di depan pintu berdiri Ronald Brown dan Danny Martin. Keduanya tersenyum-senyum menggoda dan mata mereka mengarah ke dalam, mencari-cari. "Ada apa?" tanya Tom, merasa terganggu. "Kami tidak diizinkan masuk?" tanya Ron dengan nada menggoda.

Sebelum Tom menyahut, ia melihat keduanya mengarahkan tatapan ke belakangnya kemudian membungkuk dan mengangguk hormat. Ia menoleh dan melihat Susan di belakangnya. Terpaksa ia menyisih.

"Ini adik iparku," katanya, dengan penekanan pada katakatanya.

Susan bersalaman dengan Ron. Kepada Danny ia mengatakan, "Aku sudah berkenalan denganmu tadi, kan?" katanya tanpa menyambut uluran tangan Danny, yang segera menarik kembali tangannya. Danny cuma bergurau.

Tom tidak segera menyilakan masuk, sementara kedua tamunya masih saja berdiri dengan wajah penuh senyum. Lalu Susan mengambil inisiatif. "Silakan, Tom. Kalian tentu ada perlu, kan? Maaf, kukira sebaiknya aku tidur siang-siang. Besok pagi sekali mau berangkat ke New Jersey. Ada janji di sana. Nice to meet you." Ia mengangguk kepada Ron dan Danny bergantian, kemudian cepat menghilang ke kamarnya.

Ron dan Danny terperangah. Dan Tom tak menyilakan mereka untuk masuk. Ia berdiri sambil memegangi daun pintu. "Tadi juga dia bilang mau ke New Jersey besok. Wartawan, ya?" kata Danny.

"Ya," sahut Tom singkat. Berpanjang-panjang cuma menghabiskan waktu. "Sama kau perginya?" tanya Ron.

"Tidak. Lupa, ya? Besok aku ada jadwal operasi."

Lalu Ron menarik tangan Danny. "Ayolah, kita pergi, Dan.

Sampai nanti, Tom!"

Tom segera menutup pintu dan menguncinya.

"Betulkah itu adik iparnya?" tanya Danny kepada Ron.

"Kalau dia bilang begitu, ya begitu."

"Setahuku adik Tom satu-satunya sudah meninggal."

"Memang."

"Jadi itu jandanya?"

"Entahlah. Kok tanya sama aku?"

"Barangkali kau tahu. Kau kan sahabatnya."

"Seorang sahabat tidak harus tahu semua, Dan."

"Tapi kau kepengin tahu juga."

"Ya. Untuk membuktikan bahwa Tom sudah pulih. Kita harus bergembira untuknya."

Danny menggeleng tidak percaya. "Itu adik ipar. Bukan pacar!" sungutnya.

Di apartemennya, Tom dan Susan sudah kembali duduk di depan meja makan.

"Aku sudah khawatir kau akan menyilakan mereka masuk dan mengajak makan," kata Tom senang. "Ah, ngapain ngajak orang asing. Mereka temanmu tapi bukan temanku. Lagi pula makanan ini takkan cukup buat mereka." Ya, Susan memang bukan Vivian, pikir Tom. "Aku punya usul, Sus. Teleponlah orangtuamu." Susan tertegun.

"Mereka sangat ingin mendengar suaramu. Tentunya kau juga, bukan?"

"Dari sini? Kan mahal, Tom."

"Jangan menilai kebahagiaan dengan uang, Sus!"

Susan tersenyum. "Terima kasih, Tom!"

V Jakarta, awal bulan Juni.

Maria menunggu kepulangan suaminya dengan rasa tak sabar. Begitu Henry muncul ia langsung memberi tahu dengan penuh emosi kegembiraan, "Paaa! Tebak, siapa yang tadi menelepon?" Henry mengamati sejenak wajah istrinya. Ia tak susah menebak. "Susan!" serunya.

"Papa pinterrr! Betul sekali. Dan tebak, dia menelepon dari mana?"

Kembali Henry mengamati wajah Maria. Sekarang lebih susah menebaknya. Istrinya tampak begitu gembira. Mungkinkah terjadi sesuatu yang mustahil? Ia perlu mengatur suaranya.

"Dari bandara?" tanyanya tegang.

Maria menggeleng. "Ah, bukan. Ayo tebak!"

"Nggak, ah. Menyerah saja." Henry tak sabar.

"Dari apartemen si Tom. Dia menginap di sana." Henry ternganga sejenak. Itu adalah salah satu kemungkinan yang tak terpikir olehnya. "Tom?" tegasnya kemudian. "Ngapain dia di sana? Kok nginap? Apa mau sama-sama Tom ke Jakarta?" tanya Henry penuh harap. "Begini, Pa. Katanya, dia mau ke New Jersey besok pagi. Ah ya, tentunya pagi-pagi waktu sana. Dia kerja sebagai wartawan lalu ditugaskan ke sana. Karena dekat ke tempat Tom, maka dia mampir untuk menitipkan sesuatu buat kita pada Tom." "Ah, kenapa tidak ditugaskan ke Jakarta saja ya, Ma?" kata Henry dengan sesal.

"Aku juga bilang begitu kepadanya. Katanya, siapa tahu nanti,

Ma. Suaranya sudah ceria lagi, Pa. Kayaknya ada harapan baru." "Harapan apa, Ma? Bahwa Susan akan membatalkan sumpahnya?"

"Bukan. Tentang dia dan Tom."

"Dia dan Tom bagaimana?"

"Bukankah mereka bisa jadi pasangan yang cocok, Pa? Yang satu menggantikan yang lain. Kalau Susan nggak respek dan percaya sama Tom, mana mungkin dia mau menginap di apartemennya."

Henry termenung sejenak. Maria terlalu antusias hingga Henry jadi takut kalau-kalau tidak kesampaian. Maria terlalu khawatir kalau-kalau Susan memilih orang asing sebagai jodohnya. "Kukira dia menginap di tempat Tom karena mau menitipkan barang buat kita."

"Biarpun begitu Tom kan lelaki. Masa anak gadis menginap di apartemen lelaki yang sendirian?"

"Di sana sudah biasa begitu."

"Tapi buat orang kita itu tidak biasa. Apa kau menyangka

Susan begitu gampang?"

"Eh, kok jadi sewot, Ma? Bukan begitu maksudku. Aku cuma mau mengingatkan supaya kau jangan berharap terlalu muluk." "Apa kau tidak senang kalau mereka jadi akrab?" "Oh, tentu aku senang. Tapi sebaiknya jangan senang duluan kalau belum tercapai."

"Aku juga bicara dengan Tom. Katanya dia jadi datang akhir bulan. Dia tanya mau pesan apa dari sana? Aku bilang, maunya sih dia bawa Susan ke sini. Katanya, dia juga ingin begitu. Tapi

sekarang harus sabar dulu. Kudengar Susan bertanya keras dari sisinya. Sabar apaan? Kedengaran Tom menyampaikan ucapanku kepada Susan. Mereka ketawa-ke-tawa, Pa. Kedengaran akrab. Sama sekali tak ada nada emosi dalam suara Susan. Jadi aku bilang sama Tom, aku nggak mau pesan barang apa-apa, tapi kabar baik saja."

"Wah, senang ya, Ma. Anak kita sudah pulih. Kita memang mesti bersabar, seperti kata Tom. Oh, nggak sabar rasanya menunggu dia datang."

"Aku akan menelepon Ci Lien dan Koh Bun, ya?" kata Maria bersemangat.

Kedua orang yang disebutkannya itu adalah ibu dan ayah Toni, suami-istri Lie, Lien Nio dan Bun Liong. Mereka lebih tua sekitar sepuluh tahun daripada Henry dan Maria. Henry tidak ingin memadamkan semangat istrinya. Dia sendiri juga bersemangat. "Ya. Telepon saja. Tapi yang tenang ngomongnya, Ma. Kalem saja."

Maria tertawa saat meraih telepon. Dia senang kalau didukung Henry. Biasanya Henry suka mengkritik dirinya terlalu ribut dan terburu nafsu. Tapi dalam hal Susan, mereka berdua sepakat dan kompak.

Tak lama kemudian Maria sudah terlibat dalam percakapan telepon yang tampak mengasyikkan. Henry mengawasi dan mendengarkan di sampingnya. Ia melihat kebahagiaan di wajah istrinya.

Maria meletakkan telepon, lalu memandang suaminya dengan wajah ceria. "Ci Lien senang sekali, Pa. Tom tidak menelepon mereka. Mungkin belum. Atau merasa tidak perlu menelepon

karena orangtuanya toh sudah tahu perihal kepulangannya nanti. Dan berita yang kusampaikan itu jadi kejutan besar buat Ci Lien. Senang sekali karena Susan bisa akrab sama Tom, katanya."

"Syukurlah kalau begitu. Kau tidak menelepon Ike juga?" Maria tidak begitu bersemangat. "Mau juga sih. Tapi tidak perlu sekarang."

Henry tersenyum. Ike memang agak jengkel kepada Susan yang dinilainya keras kepala dan tidak ingat sama orangtua. Jadi Maria tentu merasa percuma bila kegembiraan yang dirasakannya sekarang tidak bisa ikut dirasakan oleh yang dikabari. Berbeda dengan suami-istri Lie. Mereka adalah orang-orang yang sepenanggungan.

"Pa, Ci Lien juga cerita tentang mantan besannya. Orangtuanya Vivian, Budiman dan istrinya," sambung Maria. "Kenapa mereka?" Pikiran Henry beralih kepada Budiman, konglomerat terkenal di era Orde Baru. Berita terakhir yang didengarnya, harta Budiman disita karena ia tak mampu melunasi utangnya yang besar kepada negara.

"Sekarang mereka tinggal di Singapura."

"Sama Viv?"

"Viv masih di Jakarta bersama anaknya yang bule itu. Katanya, Viv bekerja di suatu perusahaan asing dengan posisi yang bagus. Ci Lien bilang, ia bertemu dengan Viv secara kebetulan di pasar swalayan bersama anaknya. Viv bersikap hormat tapi canggung. Mungkin karena selama ini mereka tak ada hubungan."

"Tak mengherankan. Ia tentunya masih malu."

"Tapi Ci Lien sudah tak dendam dan marah. Semua sudah berlalu, katanya. Ia terpesona melihat anak Viv. Cantik banget,

katanya. Kayak boneka Barbie. Heran ya, Pa?"

"Heran kenapa?"

"Kok hasil selingkuh bisa bagus, ya?" Henry cuma tertawa.

Kebersamaan mereka terusik oleh tangis bayi yang nyaring.

Arahnya dari rumah sebelah, rumah Kristin.

"Itu si Jason nangis. Nyaring sekali tangisnya ya, Pa? Punya

bakat jadi penyanyi rupanya." Mereka diam mendengarkan.

"Kok lama amat nangisnya. Cobalah tengok, Ma. Barangkali

Kristin butuh bantuan."

Maria tampak segan. "Ada Adam di rumah, Pa. Nggak enak sama dia. Nanti disangkanya mau ikut campur urusan mereka." Henry memaklumi. Sejak Kristin tahu mengenai kasus kematian Sonny di rumah yang ditempatinya dan kemudian mengonfirmasikannya kepada Adam, sikap Adam kepada dirinya dan Maria jadi dingin. Adam mengira merekalah yang menceritakan hal itu kepada Kristin. Tetapi karena Adam tidak pernah bertanya, maka mereka pun tidak bisa menjelaskan.

Kurang enak juga bercerita kepada Adam perihal keanehan yang diperlihatkan Kristin saat ia mengamati foto Sonny. Sedang Kristin sendiri tidak pernah mengungkit peristiwa itu. Mungkin Kristin sudah melupakannya atau memang tak ingin membicarakannya. Tapi Kristin tetap bersikap akrab pada mereka dan sering meminta tolong ini-itu bila ia menemui kesulitan saat merawat Jason.

Selama seminggu ibu Kristin dari Semarang menemani dan membantu Kristin merawat Jason. Kristin tidak mau menggunakan perawat bayi dan bertekad mengurusnya sendiri. Tetapi ibunya tidak bisa lama-lama menemani karena ayah

Kristin yang sedang sakit memerlukan bantuannya. Maka Kristin kembali berpaling kepada Maria yang dengan senang hati selalu bersedia membantunya. Tapi bila ada Adam di rumah Kristin berusaha mandiri. Kristin berterus terang bahwa Adam melarangnya minta bantuan tetangga terus-terusan.

"Maafkan sikap Adam, Tante," kata Kristin dengan malu.

"Nggak apa-apa, Kris. Nanti juga dia biasa lagi," hibur Maria. Sesungguhnya Henry dan Maria merasa kesal atas sikap Adam itu. Seharusnya Adam berterima kasih kepada mereka. Bukan sebaliknya. Terima kasih Adam hanya terucap pada saat awal, setelah Kristin melahirkan dengan selamat.

"Mestinya dia senang bahwa Kristin tidak mengajaknya pindah rumah setelah tahu sejarah rumah mereka," gerutu Henry. "Ya. Dia juga mesti bersyukur bukan dia yang memberitahu." "Apa Kristin tidak menjelaskan dari mana dia tahu, Ma?" "Tidak. Mana aku berani tanya-tanya?! Sudahlah." Sementara itu tangis Jason terus terdengar.

"Barangkali dia sakit," Henry menduga.

"Heran, kalau sore-sore begini dia sering nangis, ya? Pagi dan siang dia manis sekali."

"Ssst...." Henry menempelkan telunjuknya ke bibirnya. "Tuh, dengar."

Kedengaran Adam berteriak keras, "He, diam! Diaaaam! Diaaaam!"

Keduanya berpandangan. Bila suara dari rumah sebelah berhasil menembus tembok tebal hingga sampai ke telinga mereka, pastilah diucapkan dengan keras sekali. Mereka menjadi cemas. Patutkah mereka ikut campur? Kemudian tangis Jason berhenti. Suara Adam pun tak kedengaran lagi. Keduanya menjadi tegang. Kecemasan meningkat. Apa yang telah dilakukan Adam? Suara Kristin tidak kedengaran karena ia bersuara lembut. Maria menghambur ke depan rumah. Henry mengikuti di belakangnya. Ia khawatir kalau-kalau Maria lupa diri lalu menerobos ke rumah Adam. Tetapi setelah berada di halaman keduanya tertegun. Dari celah pagar mereka melihat Kristin sedang mendorong kereta bayi, berjalan pelan di trotoar, melewati rumah mereka lalu berbalik lagi. Kristin sedang membawa bayinya berjalan-jalan.

Maria bergegas membuka pintu pagar lalu turun ke trotoar, menyusul Kristin. Henry tidak ikut. Ia hanya memandangi dari balik pintu. Kristin menoleh dan tersenyum kepada Maria. "Sore, Tante," ia menyapa.

"Sore, Kris." Maria menatap tajam sejenak. Tak tampak emosi di wajah Kristin. Ia mengalihkan tatapan kepada si bayi. "Hai, Jason!" sapanya sambil membungkuk.

Jason yang terbungkus selimut linen tampak tenang. Matanya terbuka tapi tidak memperlihatkan kegelisahan. Anak itu masih terlalu kecil untuk bisa bereaksi terhadap sapaan orang. Tapi ketenangannya mengherankan Maria. Salahkah pendengarannya barusan?

Maria menegakkan tubuhnya. "Tadi kudengar dia menangis,

Kris. Cukup lama. Apa dia sakit perut?"

Kristin menarik pelan lengan Maria dengan tangannya yang satu, sementara tangan yang lain mendorong kereta. Mereka berjalan pelan-pelan. "Mas Adam lagi ngeliatin, Tante," bisik Kristin.

"Memangnya kenapa, Kris?"

"Entahlah, Tante. Dia lagi marah-marah. Habis Jason nangis melulu kalau dia dekati. Saya jadi bingung."

"Jadi nangisnya tadi karena didekati?"

"Iya, Tante. Adam bertahan di dekatnya, ingin menyentuhnya.

Tapi Jason menolaknya dengan tangisan. Kenapa, ya?" keluh Kristin.

Maria juga tak mengerti. Baru sekarang Kristin

mengatakannya. Jadi itukah sebabnya Jason menangis berkepanjangan?

"Apa sejak semula Jason begitu?"

"Tiga hari pertama nggak, Tante. Adam bisa menggendongnya dengan leluasa. Jason tenang-tenang saja. Tapi setelah matanya terbuka..." Kristin tidak meneruskan ucapannya.

"Apa maksudmu setelah matanya terbuka?" tegas Maria. Mereka berbalik lagi kembali ke arah semula. Lalu Kristin berhenti melangkah. "Setelah mata Jason terbuka, ia sepertinya mulai mengenali orang-orang yang berada di dekatnya. Lalu memilih siapa yang disukainya dan siapa yang tidak disukainya. Sama Mama dia tidak ada masalah. Tapi sama Adam..." Kristin mengeluh panjang.

Mereka berjalan lagi. Pelan-pelan.

"Sama aku dan Oom juga dia nggak masalah. Ya kan, Son?" Maria mengarahkan tatapannya kepada Jason. Tampak mata bayi itu berkedip-kedip. Sayang dia belum bisa diajak tertawa, pikir Maria.

Tiba-tiba Kristin tersentak. Ia berhenti melangkah. Tatapannya kepada Maria terasa aneh. "Oom dan Tante selalu memanggilnya 'Son', kan? Mama juga. Demikian pula saya dan Bi Iyah. Tapi Adam memanggilnya 'Jeis'. Apa karena itu, ya?" Ia termenung sesudahnya.

"Kalau begitu, cobalah suruh dia mengubah panggilannya, Kris." Sebelum Kristin menjawab mereka melihat Adam di depan rumahnya, tangannya melambai kepada mereka. Isyarat memanggil. Mereka mempercepat langkah. Sebelum memasuki halaman rumahnya, Maria melambai kepada Adam tapi Adam tidak membalasnya, ia malah memalingkan muka. Henry menyambut istrinya.

"Daaag, Tante! Oom!" sapa Kristin tanpa menghentikan langkahnya. Maria dan Henry tak segera masuk ke rumah. Mereka mendengar gerutuan Adam, "Ini kan sudah magrib, Kris. Masa bayi dibawa jalan-jalan. Mana mau hujan lagi!" Henry menarik tangan Maria, membawanya masuk. "Jangan begitu sama mereka, Mas!" protes Kristin. "Mereka tetangga yang baik. Kalau tak ada mereka..." Ucapan Kristin terhenti karena Jason menangis. Kristin mengangkatnya. Ketika Adam mendekat, Jason menangis makin

keras. Kristin cepat berlari masuk sambil membawa Jason dalam gendongannya. Tak terdengar lagi tangis Jason. Adam tidak mengikuti. Ia hanya memandang ke dalam dengan ekspresi geram. Urat-urat di kening dan lehernya bertonjolan. Kepalanya serasa mau meledak oleh kemarahan. Bayangkan, ditolak oleh anak sendiri!

Ia berjalan hilir-mudik, mencoba menenangkan emosinya.

Setelah capek ia menjatuhkan diri di sofa lalu termangumangu. Perasaannya benar-benar tertekan. Anak itu menerima semua orang, tapi menolak dirinya. Cuma dirinya! Kenapa? Apakah dia tampak mengerikan? Atau dia mengeluarkan aroma tak sedap?

Terdorong oleh rasa penasarannya ia sudah melakukan semacam penelitian. Kalau Jason didekati pada saat sedang tidur, ia tenang-tenang saja. Tapi begitu disentuh lalu matanya terbuka dan beradu pandang dengannya, melengkinglah tangisnya! Tangis Jason begitu mengejutkan dirinya sampai jantungnya serasa mau berhenti. Rasanya konyol sekali. Masakan dia sebagai si ayah mesti mengendap-endap seperti maling. Yang membuat ia sangat marah adalah ketika Kristin, ibu Kristin, dan Bi Iyah menerobos masuk kamar bayi dan semua memandangnya dengan penuh kecurigaan. Apa yang telah kaulakukan kepada Jason? Apa dia kaupukul atau kaucubit?

Mustahil dirinya sudah segila itu!

Ia sangat menyesal telah menyetujui pemberian nama Jason oleh Kristin. Tetapi waktu itu ia sedang merasa bersalah karena tidak bisa mendampingi Kristin pada saat melahirkan,

hingga ingin menyenangkan hatinya. Anggaplah sebagai imbalan dari kesalahan yang telah dilakukannya. Tetapi dalam perkembangan kemudian, ia jadi merasa tersiksa oleh panggilan orang-orang kepada si bayi. Son! Son! Sooon! Begitu celoteh mereka.

Panggilan itu jadi mengingatkannya kepada seseorang. Sonny! Sepertinya panggilan itu bisa membangkitkan si mati dari liang kuburnya. Jadinya terbalik. Bukan Kristin yang merasa terganggu oleh riwayat rumah itu, tapi dirinya! Bukan Kristin yang patut dicemaskan, tapi dirinya sendiri!

Dari sofa tempatnya duduk Adam bisa melihat di mana dulu Sonny terkapar. Di sudut dinding, di situ sekarang berdiri sebuah lemari antik. Di sanalah ia telah meninggalkan Sonny dalam keadaan tak berkutik. Entah masih hidup atau sudah mati. Kepalanya berdarah. Di sampingnya tergeletak sebuah guci kuno dari tembaga berlapis emas yang bernoda darah. Guci itulah yang digunakan untuk menghantam kepala Sonny.

Ia bisa mengenang kembali kejadiannya dengan

jelas. Memang belum terlalu lama. Pertengahan Mei 1998. Ketika itu mereka sedang membicarakan rencana kerja. Sonny memenangkan tender proyek pembangunan kompleks perumahan bagi karyawan staf sebuah perusahaan besar BUMN, ia lalu mengajaknya bekerja sama.

Mereka hanya berdua di rumah itu. Suasana antara mereka baik-baik saja. Lalu Sonny mengatakan dengan nada gurau, "Kemarin aku mengambil uang, Dam. Deg-degan juga, takut dirampok. Habis lumayan gede jumlahnya. Setengah juta!" Ia menunjuk laci meja di sampingnya.

Adam tertawa. Apakah uang setengah juta itu bisa dibilang lumayan gede?

Tampaknya Sonny memahami tawa Adam. "Bukan rupiah lho,

Dam! Tapi dolar!"

Adam tertegun. Tentu saja, kalau dolar itu lain lagi. Sonny menarik laci meja yang tadi ditunjuknya. Mata Adam terbelalak. Tampak tumpukan uang kertas bergambar George Washington. Cuma sebentar saja. Sonny cepat-cepat mendorong lagi laci itu sambil tertawa bangga. "Untuk apa uang sebanyak itu, Pak?" Adam heran tapi jantungnya berdebar. Ia juga bertanya-tanya kenapa Sonny membanggakan uang sebanyak itu kepadanya. Begitu percayakah Sonny kepadanya? Atau ingin menyombong saja? "Untuk bisnis dong, Dam! Sekarang rupiah lagi merosot nilainya. Mending simpan dolar."

"Kok simpannya di rumah?"

"Sebagian mau kukirim untuk Susan. Aku mau investasi di sana.

Jadi peternak domba!" "Lho, katanya mau bisnis di sini."

"Yang di sana buat Susan. Jadi kalau di sini tidak jalan, masih ada yang lain."

Adam tertegun. Tiba-tiba saja rasa iri menguasainya. Tampaknya mudah saja bagi orang kaya untuk merencanakan ini-itu. Tidak seperti dirinya yang selalu susah. Bila dia yang memiliki uang sebanyak itu mungkin ia akan mendepositokannya saja lalu hidup dari bunga tanpa susah-payah bekerja. Dengan demikian uangnya akan aman tanpa risiko habis bila dia jatuh bangkrut. Enak amat si Sonny ini. Dari mana duitnya itu? Pasti

dari orangtuanya. Ah, enak sekali punya orangtua kaya. Tidak seperti dirinya, sudah yatim-piatu dan tak pula mendapatkan warisan berharga.

Lalu tatapan Adam tertuju ke arah guci antik sebesar kepala orang dewasa yang terletak di atas meja kecil di sebelahnya. Guci itu berwarna kuning di sebelah luar, tapi dalamnya kehitaman. Beberapa sisinya dihiasi relief yang tak jelas bentuknya. Ia mengangkatnya. Ternyata berat. "Itu kepunyaan Papa," Sonny menjelaskan. "Warisan turuntemurun. Entah dari abad keberapa. Tapi kalau tak salah dengar, dulu pernah digunakan sebagai tempat menyimpan abu jenazah nenek moyangku."

Adam cepat-cepat meletakkannya lagi. Ngeri. "Kok sekarang kosong? Ke mana abunya?" ia ingin tahu. "Oh, katanya itu disebar di laut setelah keturunannya mendapat mimpi."

Kemudian Sonny berdiri. "Kita pelajari lagi gambar yang kaubuat itu, Dam," katanya, lalu membelakangi Adam. Tangannya menarik laci yang bersebelahan dengan laci tempat tumpukan dolarnya. Tatapan Adam tertuju ke laci yang kedua itu. Ia membayangkan tumpukan uang yang sangat menggoda. Tiba-tiba ia tak bisa menguasai diri. Ia menyambar guci tadi, melompat ke belakang Sonny lalu memukulkan guci itu sekuat-kuatnya ke belakang kepala Sonny. Begitu cepat gerakannya dan begitu keras pukulannya hingga Sonny cuma berteriak sekali, lalu terkapar tanpa bergerak lagi. Kemudian guci yang dijadikan pemukul dilemparkannya ke sudut.

Sesudah itu ia bergegas mencari kantung plastik. Ke dalamnya ia masukkan bundelan uang dolar dari dalam laci tadi. Sesekali ia melirik Sonny yang terkapar. Sonny tetap diam. Tiba-tiba telepon berdering mengejutkannya. Ia terpaku sejenak. Ragu-ragu apakah akan membiarkannya saja atau mengangkatnya. Akhirnya diangkatnya juga.

"Halo?"

"Sonny?" sapa suara lelaki.

"Ya. Ini Sonny," sahut Adam. "Dari mana?"

"Son, ini David. Kau sudah tahu tentang kerusuhan yang sedang terjadi di Jakarta? Toko-toko dijarah. Beberapa kantor cabang bank BCA dibakari. Mobil dan motor dibakari. Ada yang dibunuh juga."

"Oh, begitu?" Adam terkejut juga. Dia sama sekali tidak mengikuti perkembangan di luar. Sonny juga tidak menyinggung soal itu sebelumnya.

"Hati-hati saja. Waspada. Kabarnya, perusuh mengincar pemukiman mayoritas Tionghoa. Amankan barang-barang berharga!" "Oke. Terima kasih!" Adam mempercepat kerjanya. Ia tentu tak ingin harta yang barusan diperolehnya dirampas perusuh. Ia mengenakan jaket milik Sonny, menjejalkan kantung berisi uang dolar itu ke balik dadanya. Gembungnya tak begitu kentara. Sebelum pergi ia menatap Sonny lagi. Tak ada waktu untuk memeriksa apakah Sonny sudah mati atau belum.

Kemudian muncul ide dari informasi lewat telepon tadi. Ia bergerak cepat mengobrak-abrik ruangan itu. Beberapa barang

dipecahkannya. Meja-kursi dibalikkan. Isi laci-laci ia tumpahkan ke lantai. Tumpukan kertas ia sebarkan di sekitar tubuh Sonny. Tapi ia tak punya waktu banyak untuk melakukan hal yang sama di ruangan lain.

Kemudian ia mendorong motor Sonny ke halaman dan mengenakan helm yang tergantung di setangnya. Pintu dikuncinya dari luar, lalu kuncinya ia lemparkan ke dalam lewat lubang angin. Pintu pagar ia rapatkan.

Begitu turun ke jalan ia tak lagi menengok kiri-kanan apalagi ke belakang. Ia tak berpapasan dengan siapa-siapa. Jalanan sepi. Ia meluncur dengan kencang. Dengan membawa motor Sonny, mengenakan jaket dan helmnya, orang akan mengira dia adalah Sonny, bila kebetulan orang tersebut mengenali nomor motornya.

Ia melihat kerusuhan-kerusuhan kecil di beberapa tempat yang dilaluinya. Asap hitam membubung di sana-sini. Ia sangat ketakutan. Ia juga bingung memilih jalan mana yang aman. Akhirnya ia terjebak di jalan yang dipenuhi massa. Ia dicegat dan disuruh berhenti.

"Buka helmnya! Bukaaa!" bentak orang-orang itu. Ia terpaksa membuka helmnya. Orang-orang mengerumuninya.

Mereka mengamatinya.

"Eh, kamu Cina atau bukan?"

"Bukan!" serunya dengan gemetar.

Ada suara-suara tidak percaya. Lalu seseorang menyeruak dari kerumunan dan mendekati Adam. Ia berkata, "Aku kenal Pak Adam Jaka! Dia bukan Cina!"

Adam mengenali Angga, remaja yang suka berkeliaran dekat proyek perumahan Pantai Nyiur Melambai. Untunglah ia selalu berlaku baik kepadanya. Angga suka minta uang rokok. Kadangkadang ia berikan, kadang-kadang tidak. Sekarang ia menyesal karena dulu tidak memberinya uang lebih banyak.

"Kalau bukan, pergilah!" bentak seseorang. "Pergilah, Pak!" tegas Angga.

"Tinggalkan motornya! Bakar!"

Tanpa disuruh dua kali Adam mematuhi perintah itu. Ada yang mendorong tubuhnya dari belakang. Ia berlari. Ketika merasa berada pada jarak yang cukup aman, ia berhenti lalu menoleh ke belakang. Ia melihat motor milik Sonny itu sudah dijilat api. Ia kembali berlari. Pada saat itu orang-orang berlarian di mana-mana. Takkan ada orang yang mencurigainya sebagai maling. Apalagi pembunuh.

Belakangan ia mendengar musibah yang menimpa kawasan Pantai Nyiur Melambai, dan apa yang terjadi pada rumah Sonny dan rumah-rumah lainnya. Sonny juga ditemukan telah hangus. Tetapi orang mengira Sonny dibunuh perusuh. Jejaknya di sana sudah lenyap sama sekali. Ia merasa bersyukur. Ia telah diselamatkan perusuh! Meskipun Angga punya andil dalam menolongnya, tapi ia juga diselamatkan bentuk wajahnya yang tidak mewarisi gen keturunan Cina dari neneknya di pihak ibu! Seandainya ia punya kemiripan fisik dengan neneknya, pastilah nyawanya sudah melayang. Demikian pula dolarnya! Dalam banyak situasi di masa lalu ia memang kerap mensyukuri hal itu. Untung ia punya wajah pribumi. Untung garis keturunan itu dari pihak ibu. Seandainya dari pihak ayah, pastilah ia punya

kerepotan lain, yaitu masalah surat kewarganegaraan. Ia juga sering terselamatkan bila berada dalam situasi diskriminasi rasial. Dia selalu digolongkan sebagai asli atau pri. Karena itu kalau ia mendengar orang meributkan masalah ras dan etnis, terutama masalah asli dan tidak asli, atau pri dan nonpri, ia merasa geli dalam hati. Sesungguhnya, orang yang suka ribut atau menyatakan dirinya asli itu, benarkah asli tanpa ada campuran apa-apa di dalam darahnya? Apakah dia bisa menelusuri dengan pasti siapa saja nenek moyangnya? Sebagian uang rampokan itu digunakannya untuk membeli rumah yang ditempatinya sekarang dan kemudian dibangunnya kembali. Jadi ia merasa berjasa pada rumah itu, hingga pantaslah jika ia menempatinya tanpa perasaan bersalah apalagi takut. Lihatlah rumah-rumah lain di seputar kawasan itu. Bagaikan peninggalan perang. Padahal ia bisa saja memilih rumah lain dan kemudian merenovasi atau membangunnya.

Tetapi ia memilih yang itu!

Ia yakin, orang tak bisa pasif saja menjalani hidup seperti apa adanya bila menginginkan kemajuan. Nasib tak bisa mengubah orang kalau orang itu sendiri tak berbuat apa-apa. Jadi sikap dan perilaku radikal perlu. Ternyata ia bisa hidup aman dan nyaman. Sampai ia bertemu dengan Harun!

Muncul pertanyaan yang terus mengganggu. Apakah Harun benar-benar tidak mengenalinya dari belakang? Harun menganggap dirinya adalah Sonny yang pergi dan kemudian kembali lagi. Apakah pendapatnya itu tidak berubah sampai sekarang? Kata Harun, sesudah perbincangannya dengan Maria

ia mulai memikirkan soal itu lagi. Ia bertanya-tanya, kenapa Sonny kembali lagi padahal sudah tahu ada kerusuhan. Apa iya Sonny lebih mementingkan harta daripada nyawa dan keselamatannya sendiri?

Maria yang telah mempermasalahkan hal itu kepada Harun. Seandainya Maria tidak bawel, pastilah soal itu terkubur terus untuk selamanya. Adam sangat jengkel kepada Maria. Akibatnya sekarang ia terus-menerus merasa penasaran mengenai apa dan bagaimana kelanjutan pemikiran Harun. Apalagi lalu Harun punya gagasan untuk berkunjung ke perkampungan yang terletak di belakang kawasan Pantai Nyiur Melambai, yang biasa disebut Kampung Belakang. Menurut Harun, ada informasi bahwa sebagian besar penjarah datang dari perkampungan itu. Harun ingin menyelidiki, apakah mereka tahu siapa yang telah memasuki rumah Sonny dan membunuhnya? Adam melarangnya melakukan hal itu karena berbahaya bagi keselamatannya. Siapa yang rela dituduh menjarah, apalagi membunuh?

Tetapi Harun tidak memberi kepastian apakah dia memang akan melaksanakan niatnya atau tidak. Jadikah Harun melakukan penyelidikannya? Dan kalau jadi, apa hasilnya? Karena penasaran itulah ia jadi sering menghubungi Harun seolah ia masih merasa akrab dan dekat dengannya. Padahal sesungguhnya ia ingin sekali menjauh dan tak pernah berhubungan dengannya lagi. Orang seperti Harun adalah bagian dari masa lalunya yang kelam, yang tak ingin diingat-ingatnya lagi. Tapi rasa ingin tahu memaksanya mendekat. Dan itu cukup menyiksa perasaannya.

Sekarang anaknya sendiri pun ikut menyiksanya. Ia tak mengerti. Tak ada yang mengerti. Kristin dan ibunya menganjurkan agar ia mendekati Jason dengan lembut dan hati-hati. Saran itu sudah diikutinya. Tetapi tak ada gunanya. Anak itu melihat dirinya seolah dia adalah monster yang mengerikan. Tapi mana mungkin anak sekecil itu sudah merasa takut? Kadang-kadang nalurinya mengatakan anak itu bukan takut kepadanya, melainkan tidak suka!

Ia juga tahu, Kristin merasa khawatir kalau-kalau suatu saat ia sampai lupa diri dan saking marahnya lalu mencederai Jason. Memang Kristin tak mengungkapkannya dengan kata-kata, tapi ia bisa merasakannya. Itu membuatnya semakin marah. Sungguh kekhawatiran yang tidak masuk akal. Mana mungkin ia mencederai seorang bayi lemah yang cuma bisa menangis.

Anaknya sendiri, lagi!

"Mas...,", tegur Kristin lirih. Ia mendekat lalu duduk di sisi Adam.

Adam tidak menoleh. "Dia sudah tidur?" tanyanya.

"Sudah. Apa yang sedang kaupikirkan?" tanya Kristin hati-hati.

"Apa lagi...?!" "Sabar saja, Mas. Mungkin dia sedang menguji kasih sayangmu."

Adam tertawa sinis. "Anak sekecil itu? Kalau dia sudah lebih besar aku bisa memahami. Tapi ini?"

"Siapa tahu, Mas. Dia punya kepekaan yang tidak kita pahami."

"Ah, kau sok tahu saja!"

Kristin diam sejenak, mengamati wajah Adam dari samping. Ia tidak merasa jengkel karena dibentak. Ia justru merasa iba.

Bayangkan kalau dirinya yang "ditolak" anak sendiri tanpa alasan. Justru sikap Adam yang kesal seperti itu menandakan bahwa ia sayang kepada Jason dan karenanya ingin diterima. "Mari kita bicarakan dan cari pemecahannya, Mas," katanya lembut.

Adam menoleh. Ekspresi Kristin yang mengandung simpati ternyata malah membuatnya semakin jengkel. Sepertinya dia adalah orang yang malang dan patut dikasihani.

"Pemecahan apa?" tanyanya sinis.

"Aku punya pemikiran. Pertama, sikapnya itu mungkin disebabkan karena kau menyalahi janji..." "Janji apa?" potong Adam dengan suara tinggi. "Dulu kau pernah berjanji untuk mendampingi aku saat melahirkan. Janji itu tidak kautepati. Ia tidak melihatmu begitu lahir. Mungkin dia kecewa...."

Adam tertegun. Baru sekarang soal itu dikemuka-kan Kristin. Sebelumnya Kristin tak pernah menyesali atau menyatakan kekecewaannya. Ia mengira hal itu disebabkan karena Kristin memang tidak memerlukan kehadirannya saat itu.

"Mana mungkin, Kris," ia memotong ucapan Kristin yang belum selesai. "Anak itu kan belum bisa melihat pada saat lahir. Jangan-jangan kamulah yang kecewa."

"Ya. Aku memang kecewa saat itu, Mas. Tapi aku bisa mengatasinya. Orang kan tak selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Mengenai Jason, dia memang tak bisa melihat pada saat itu. Tapi siapa tahu dia punya sense yang tinggi: Dia merasakan ketidakhadiranmu."

Adam membelalakkan matanya. "Nonsense!" serunya. "Teori apaan itu?"

Kristin tak segera bicara. Sikap Adam mulai membangkitkan kejengkelannya.

Melihat Kristin cemberut, Adam buru-buru mengubah sikapnya.

"Sori, Kris. Sebaiknya kaulanjutkan saja, ya?" katanya ramah.

"Baiklah. Apa yang kukatakan ini memang cuma teori, Mas. Semuanya belum tentu. Tapi tak ada salahnya kita kaji, kan? Nah, yang tadi itu yang pertama. Lalu yang kedua, soal namanya. Semua orang memanggilnya 'Son'. Tapi kau lain sendiri. Kau memanggilnya 'Jeis'. Memang sih, itu sama saja. Tapi siapa tahu dia lebih suka dengan panggilan pertama. Dia tidak suka dengan panggilanmu. Jadi, cobalah dengan panggilan

'Son'. Mungkin dia akan senang."

Adam tertawa sinis. Tapi melihat ekspresi Kristin ia cepat menghentikan tawanya. "Bagaimana, Mas? Mau mencoba?" Adam termangu.

"Tak ada salahnya, kan? Apa sih artinya nama?" desak Kristin. "Oke. Nanti kucoba," sahut Adam akhirnya. Tak ada gunanya berdebat soal itu, pikirnya.

Kristin tersenyum senang. "Memang kedengarannya konyol ya, Mas. Tapi kita kan harus mencari solusi. Masa diam saja." Mana kau tahu pemikiranku, pikir Adam kesal. "Baiklah, Kris. Kau benar. Kita harus berbuat sesuatu sebelum sarafku rusak.

Tapi aku mau tanya. Kenapa sih kau tiba-tiba memberinya nama 'Jason', padahal sebelumnya kau sudah menyediakan puluhan nama untuknya?"

"Oh, itu. Entahlah. Mungkin karena namanya ide, bisa tiba-tiba datangnya."

"Aneh. Yang datang tiba-tiba malah kauambil."

Kristin tersenyum, tak memahami apa yang berkecamuk dalam pikiran Adam. "Tapi semua orang bilang, nama itu bagus! Juga Oom dan Tante di sebelah!" Adam melotot.

Malam itu suasana tenang. Jason yang berada di kamar bayi yang bersebelahan dengan kamar tidur Adam dan Kristin tidak terusik. Pintu yang menghubungkan kedua kamar terpentang lebar untuk memudahkan Kristin bila ingin menjenguk Jason. Tetapi ketenangan suasana tidak membuat Adam tidur nyenyak. Padahal Kristin di sampingnya sudah mendengkur halus. Adam masih saja memikirkan teori yang dikemukakan Kristin sebelumnya. Lalu perasaannya tergelitik. Ada baiknya mencoba, lalu melihat hasilnya. Tapi ia ingin secepatnya. Bagaimana kalau sekarang? Mumpung Kristin. sedang tidur. Apa pun hasilnya Kristin tidak bisa mengomentari. Sebenarnya ada rasa enggan mengikuti anjuran Kristin tadi. Bukan karena ia tak menginginkan perubahan yang positif, tetapi karena itu ide Kristin. Kristin akan bertepuk dada bila ternyata idenya itu berhasil. Dia akan tampak sebagai suami yang kalah cerdas daripada istri. Lalu Kristin akan selalu menggunakan isu itu untuk membenarkan pendapatnya mengenai segala sesuatu. Dengan ngeri ia membayangkan bagaimana kelak bila Jason sudah besar, kedua ibu dan anak itu akan bersatu melawan dirinya. Bila dua melawan satu, maka sudah jelas siapa yang akan kalah.

Perlahan-lahan Adam bangkit. Hati-hati, supaya Kristin tidak terbangun. Setelah Jason hadir, Kristin cepat sekali terbangun bila mendengar bunyi apa pun. Padahal dulu sulit membangunkannya.

Seperti langkah maling ia berindap-indap menuju kamar bayi. Di sana lampunya selalu dibiarkan menyala. Ia melihat Jason sedang tidur dalam boksnya yang berkelambu. Beberapa saat lamanya ia berdiri memandangi. Ah, seharusnya ia bangga. Anak itu sehat dan tampan. Mungkin setelah lebih besar baru tampak kemiripan dengan dirinya. Kulitnya putih seperti Kristin. Pipinya yang montok kemerah-merahan. Sungguh menggemaskan. Orang lain, seperti para tetangga, bisa seenaknya mencolek-colek, menggendong dan menciumi. Tapi dia, si ayah kandung, kenapa tak bisa? Bukankah anak itu miliknya? Dia yang paling berhak!

Ada dorongan tak tertahankan. Ia menguak kelambu. Masih dengan perhatian terfokus kepada wajah Jason, ia memanggil dengan suara gemetar, pelan tapi jelas, "Son! Sooon...!" Nada suaranya diiramakan. Lembut dan merayu.

Jason membuka matanya. Tampak jernih dan bening. Adam tersenyum. "Son! Son! Ini Papa!" panggilnya dengan jantung berdebar. Apakah Jason akan membuka mulutnya lebar-lebar lalu melancarkan tangisnya yang melengking? "Sekarang Papa memanggilmu Son! Dengar?" ia menegaskan dengan perasaan seperti orang bodoh.

Tiba-tiba Adam terkejut tak kepalang. Jason tidak menangis.

Ia cuma balas menatap. Tetapi kemudian Adam melihat wajah

Jason bukan wajah bayi lagi, melainkan wajah Sonny! Itu adalah ekspresi Sonny dengan mata terbelalak, seperti yang dilihatnya terakhir kali!

Adam melompat ke belakang lalu jatuh terduduk ketika terdengar bunyi melengking. Itu bukanlah tangis Jason, melainkan jerit kesakitan Sonny! Jeritan itu begitu keras dan menyayat!

Adam berlari ke luar lalu bertubrukan dengan Kristin. Wajah

Kristin pucat dan matanya menampakkan ketakutan. "Kenapa,

Mas? Ada apa dengan Jason?" Lalu tanpa memedulikan Adam atau menunggu jawaban, Kristin menghambur menuju boks Jason.

Adam tak menjawab. Ia terus berlari ke kamarnya sendiri lalu melompat ke atas tempat tidur. Ia merebahkan tubuhnya dengan posisi miring, dan menutupi wajah dan telinganya dengan bantal. Biarpun telinganya sudah ditekan dengan bantal, ia masih bisa mendengar suara Kristin yang tengah membujuk Jason. "Ceeep... ceeep... Sayang. Sudah, ya? Bobo lagi, ya?" Tangisan Jason sudah berubah menjadi isakan. Kedengaran sedih dan manja.

Setelah kagetnya mereda, rasa marah melanda Adam. Ia marah kepada Kristin, kepada Jason, dan kepada dirinya sendiri. Kenapa ia mau saja mengikuti saran Kristin dan memperbodoh dirinya sendiri? Mulai saat ini ia tidak akan lagi memanggil anak itu dengan sebutan "Son". Ia akan mencari nama lain. Dan kalau masih juga tak mau, ya sudah, tak perlu dipanggil. Apa pedulinya? Ia tidak takut.

Kristin masuk. "Jason sudah tidur, Mas," katanya pelan. Adam tidak menyahut. Kristin duduk di tepi tempat tidur, di sisi Adam.

"Memangnya kau ngapain tadi, Mas?"

Tiba-tiba Adam melempar bantalnya ke pinggir, lalu melompat duduk. Kristin tersentak kaget.

"Kaupikir aku ngapain? Menganiaya dia?" bentaknya. Kristin terperangah, tak menyangka. "Bukan begitu, Mas. Tapi... nangisnya kok gitu, ya?" katanya pelan.

"Kalau mau tahu kenapa, tanya dia dong! Jangan nanya aku!" "Ah, mana bisa dia ditanyai? Kau yang mendekatinya, kan?

Ngapain kau di situ, Mas?" Kristin mulai jengkel. "Memangnya aku tidak boleh ke situ? Apa aku tidak boleh menjenguknya?"

"Oh, kau menjenguknya?" Suara Kristin melembut. Simpati. "Ya. Tapi aku tidak akan melakukannya lagi. Tidak akan!" Kristin terkejut. "Jangan begitu, Mas. Dia kan anakmu. Kau harus bersabar."

"Gantilah namanya!" seru Adam. Seperti ultimatum. "Mana mungkin? Sudah terdaftar begitu." "Yang sudah terdaftar, ya sudah. Tapi ganti panggilannya. Apa saja. Asal jangan yang itu!" "Kenapa?"

"Jangan tanya kenapa. Pendeknya aku tidak suka!" "Dulu kau terima saja."

"Waktu itu lain. Nyatanya sekarang dia selalu menangis." "Besok panggillah dia 'Son', Mas. Kita lihat reaksinya, ya?" bujuk Kristin. "Pendeknya, ganti namanya!" "Tidak, Mas!"

"Apa susahnya sih? Mumpung dia masih kecil." "Aku suka nama itu!" "Keras kepala!" "Biar!"

Sesaat keduanya terdiam. Lalu Kristin bangkit, memutari

tempat tidur untuk naik ke sisi yang satunya. Ia merebahkan diri dengan memunggungi Adam. Ia berusaha keras agar tidak menangis.

Adam masih dalam posisi setengah duduk., Ia melonjorkan kakinya. Wajahnya masih menampakkan kemarahan. Tatapannya berpindah-pindah, dari Kristin di sebelahnya ke arah kamar bayi. Berganti-ganti beberapa kali. Lalu ia berkata dengan suara yang 156

dingin, "Anak itu tidak suka kepadaku, kan? Dia benci aku, kan?"

Kristin tidak menjawab. Ia juga tidak menoleh.

"Kira-kira aku tahu sebabnya!" Adam melanjutkan. Kristin berbalik. Sekarang tubuhnya telentang dan matanya menatap Adam. "Apa?" tanyanya pelan.

"Aku bukan ayahnya!" Adam meledakkan unek-uneknya. "Apa?!" teriak Kristin sambil melompat bangun. Wajahnya mengekspresikan kemarahan. "Kau menuduh aku?" serunya. Adam menatap Kristin. Tatapan dan ekspresinya dingin sekali hingga Kristin tak sanggup beradu pandang lama-lama. Ia merasa ngilu dan pedih. "Bagaimana mungkin kau menuduhku sekejam itu, Mas?"

"Aku tidak menuduh. Tapi menyimpulkan."

"Sama saja."

"Kau bilang, anak itu mungkin punya kepekaan. Nah, cuma itu satu-satunya penyebab yang paling mungkin. Dia tahu aku bukan ayahnya!"

"Jadi kau mengambil kesimpulan dari situ? Gampang amat!"

"Itu yang paling masuk akal!" "Itu sih akal orang idiot!"

"Apa? Kau menyebutku idiot?" Adam melotot. Mukanya merah.

Napasnya sesak. Kedua tangannya dikepalkan. Kristin bersikap siaga. Ia sudah bertekad, kalau sampai dipukul, ia akan melawan. Orang yang berada di pihak yang benar tidak perlu merasa takut.

Tetapi emosi Adam cepat surut. Ia merebahkan tubuhnya sambil membelakangi Kristin, lalu menarik selimut sampai menutupi setengah mukanya. Sikapnya menandakan ia tak mau lagi memasalahkan hal itu. Kristin masih penasaran, tetapi sadar tak ada gunanya melanjutkan pertengkaran itu. Ia tak ingin berada di samping Adam. Maka ia ke kamar bayi. Di sana ada dipan yang biasa digunakannya untuk tidur-tiduran di siang hari, sebelum dan usai menyusui Jason.

Kristin mengamati Jason yang tidur lelap. Matanya menjadi basah. Kasihan anakku. Apa jadinya kau bila tak diakui ayahmu sendiri? Tak disayang masih lebih baik daripada tak diakui! Ia merebahkan tubuhnya di atas dipan. Terasa lelah sekali. Tak berapa lama kemudian ia tertidur.

Di dalam boksnya Jason membuka mata. Tampak bulat dan jernih. Sepasang mata di wajah mungil tak berdosa. Biji matanya bergerak-gerak pelan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience