12

Family Completed 2798

Tom tak mengerti. Sikap Debbie begitu akrab dan bersahabat dengannya. Seperti sudah kenal lama dan terbiasa. Sambil menunggu kedatangan Vivian, anak itu menemaninya duduk di sofa. Bicaranya lincah. Tom mendengarkan sambil mengomentari sesekali. Debbie bercerita tentang sekolah dan teman-temannya. Ada yang baik, ada yang jahat.

"Yang jahat itu si Mimi, Oom. Dia suka ngatain Deb si Bule. Bule! Bule!" tutur Debbie, setengah mengadu.

Tom tertegun. Debbie sudah mulai berada dalam proses sulit. Bagaimana reaksi Viv? Tentunya Viv lebih sulit lagi. Kelak dia harus memberi jawaban yang masuk akal bagi Debbie.

"Terus Deb sedih atau marah dikatain begitu?"

Debbie menundukkan kepala. "Sedih juga."

"Kok sedih?"

"Habis Deb memang lain sendiri sih!"

"Di sekolah Deb memang lain sendiri, tapi di tempat lain ada banyak orang seperti kamu. Misalnya di Amerika, Inggris, Belanda, ada banyak orang yang kulitnya putih, rambutnya kuning, dan matanya biru. Kayak Debbie begitu. Manusia itu lain-lain, Deb. Nih, lihat Oom. Kulitnya kuning. Suster kulitnya cokelat. Bibi kulitnya cokelat juga. Jadi nggak usah sedih. Si Mimi itu yang bodoh. Pengetahuannya kurang," Tom menghibur dengan penuh simpati.

Debbie menatapnya dengan mata berbinar. Untuk sesaat jantung Tom berdebar. Wajah dan ekspresi Debbie mengingatkannya pada seseorang. "Katanya Oom Tom dari Amerika. Tinggalnya di sana, Oom?"

"Ya. Kotanya bernama New York City."

"Di sana ramai, Oom?"

"Wah, ramai sekali!"

"Oom kerja apa di sana?"

"Oom jadi dokter di rumah sakit."

"Kata Mami, Daddy juga dokter di rumah sakit."

Tom tertegun lagi. Apakah Viv asal bicara saja kepada Debbie?

"Siapa namanya, Deb?" tanyanya hati-hati.

"Nggak tahu." Wajah Debbie tampak muram. Tom teringat, dalam akte kelahiran Debbie tercatat sebagai anaknya dengan nama Deborah Lee. Ketika itu ia memang tidak keberatan. Semata-mata karena kemanusiaan. Jangan sampai anak itu tercatat sebagai anak haram. Jadi, Viv belum memberitahu Debbie. Ada kemungkinan Debbie sendiri sudah bertanya mengingat wajahnya yang murung itu. "Hei, Debbie bisa nyanyi, nggak?" Tom mengalihkan. Debbie tampak ceria lagi. "Bisa, Oom." "Ayo, dong. Oom kepengin dengar suaranya." Debbie meloncat turun dari sofa. Ia berdiri di depan Tom, merapikan bajunya, lalu mulai bergaya.

Twinkle, twinkle, little star, how I wonder what you are. Up above the world so high. Like a diamond in the sky.

Twinkle, twinkle little star... Bahasa Inggrisnya lancar sekali, seperti bahasa ibu. Usai bernyanyi Tom bertepuk tangan. "Bagus! Bagus! Rupanya Deb senang menyanyi, ya?"

Debbie mengangguk senang, lalu duduk kembali di sisi Tom. Kemudian Tom mengajaknya bicara dalam bahasa Inggris yang disahuti dengan lancar oleh Debbie. Rupanya Debbie selalu

berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan Viv, tapi berbahasa Indonesia dengan yang lain. Viv sudah menyiapkan putrinya dengan baik.

Ketika klakson mobil di luar rumah terdengar, Debbie meloncat turun. "Mami pulang!" serunya. Kemudian ia berlari ke luar. Suster berlari menyusulnya. Tom berdiri, lalu melangkah ke jendela. Tanpa menyingkap gorden yang tipis, ia bisa memandang ke luar dengan cukup jelas.

Vivian muncul di pintu pagar. Sekarang ia berkacamata dan berambut pendek. Masih cantik. Penampilannya khas wanita eksekutif. Blus krem, rok sepan selutut warna cokelat, dengan blazer dari bahan yang sama. Sepatunya cokelat dengan hak yang tidak terlalu tinggi. Ia menatap ke arah rumah dengan ekspresi tegang. Mungkin punya perasaan dirinya sedang diamati.

Debbie menyambut ibunya dengan riang. Vivian membungkuk lalu mencium pipinya. Kemudian Debbie memegang tangannya. Mereka melangkah sambil berbimbingan tangan. Tom cepatcepat kembali ke tempat duduknya. Tak enak kedapatan sedang mengintip.

Ketika Vivian muncul di ambang pintu yang terbuka, Tom berdiri. "Itu Oom Tom, Mam!" seru Debbie dalam bahasa Inggris.

Tom mendekat lalu mengulurkan tangannya.

"Apa kabar?" Keduanya mengucapkan kata-kata yang sama. Lalu mereka duduk berhadapan, untuk sesaat merasa canggung kehilangan kata-kata. Mereka juga memanfaatkan waktu itu

untuk saling mempelajari wajah masing-masing. Dan juga meneliti situasi emosi diri sendiri.

Tom merasa yakin, yang menguasai dirinya sekarang hanyalah sisa-sisa masa lalu. Emosi kesedihan, kemarahan, dan emosiemosi negatif lainnya yang dulu sangat kuat kini sudah memudar. Sekarang ia bisa melihat dan menilai Vivian sebagai orang yang berbeda. Bukan yang dulu lagi, karena sudah terlepas darinya. Vivian berada pada jarak yang aman dan tak bisa lagi mengusik atau mengganggunya.

Vivian mencermati Tom dengan pikiran bekerja. Perasaan bersalah yang bertahun-tahun menderanya kini sebagian besar begitu saja lenyap. Ada kelegaan mendalam dalam batinnya. Ia ingin ketemu Tom bukan cuma untuk berbicara, tapi juga untuk melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Tom sekarang. Cerita dari e-mail Ron tidak memuaskan. Bahwa Tom baik-baik saja dan tetap bekerja dengan prima tidak bisa menjelaskan apa yang ingin diketahuinya.

Sekarang Tom tampak bugar dan sehat. Cuma rambutnya banyak yang memutih. Tapi itu tentu suatu proses menua yang wajar. Demikian pula dengan kerut-kerut di wajahnya. Tetapi Viv menangkap semangat dan keceriaan dalam ekspresi dan seluruh gerak-gerik Tom. Baginya, itu sudah cukup men- jelaskan bahwa Tom sudah pulih meskipun mungkin saja masih menyimpan trauma.

Sementara itu Suster membujuk Debbie untuk masuk ke dalam sebentar, untuk memberi kesempatan keduanya bicara tanpa terganggu. Debbie bersedia setelah Tom berjanji tidak akan pergi sebelum bertemu lagi dengannya. Vivian mengamati

keduanya dengan tercengang-cengang. Kebencian Tom yang dulu diperlihatkan kepada Debbie saat masih bayi seperti lenyap sama sekali. Sedang Debbie begitu cepat akrab, padahal tidak biasanya dia bersikap demikian kepada orang yang baru dikenalnya. Termasuk kepada beberapa teman prianya yang datang berkunjung. Apakah itu yang dibilang insting? "Kau tampak sukses, Viv. Selamat, ya," Tom memulai setelah Debbie dan susternya masuk ke dalam.

"Oh, terima kasih. Biasa-biasa saja. Bagaimana kariermu sendiri?"

"Biasa-biasa juga. Sibuk terus tanpa henti."

"Orang sakit tambah banyak rupanya."

"Ya begitulah. Mungkin untuk mengimbangi pertambahan manusia yang terlalu banyak." Keduanya tertawa. Itu membuat ketegangan mereda. Mereka jadi lebih santai.

Tom berharap, Vivian akan bertanya perihal teman-temannya di New York, yang merupakan teman-teman Viv juga. Tetapi pertanyaan itu tak kunjung muncul. Mungkin sengaja dihindari. "Jadi kau sudah berkenalan dengan Debbie," Vivian mengalihkan percakapan. "Anak yang cantik. Dan pintar juga." "Ya. Dia cepat akrab denganmu."

"Mungkin dia menganggapku kebapakan." Ucapan yang dimaksud Tom sebagai humor itu ternyata membuat Vivian tertegun dengan ekspresi sedih.

"Sori, Viv." kata Tom.

"Memang Debbie sudah merasakan kekurangan itu. Semakin besar dia semakin merasakan."

Jadi itukah dorongannya? pikir Tom. Tapi ia tidak menanyakan. "Aku berterima kasih sekali, Tom. Karena kau sudi datang

menjenguk kami."

"Ah, tak usahlah berterima kasih."

"Kukira kau tidak mau. Maklumlah, dosaku terlalu besar.

Kupikir sampai kapan pun kau takkan mau memaafkan aku." Tom jadi terharu. "Sudahlah. Tak usah diungkit lagi. Hidup ini masih panjang, Viv. Kau punya Debbie yang jadi tanggung

jawabmu."

"Ya. Karena dialah aku memohon kedatanganmu. Cuma kau yang bisa membantu kami."

"Katakan saja, Viv. Kalau aku. bisa, masa tak kubantu?" "Tapi..." Vivian menoleh ke arah dalam. "Aku tak bisa mengatakannya di sini, Tom," ia merendahkan suaranya. "Biarpun masih kecil, Debbie itu punya feeling yang tajam." "Baiklah. Kita toh masih bisa bertemu lagi. Aku masih punya cukup waktu. Katakan saja kapan."

"Terima kasih, Tom. Nanti kuhubungi kau, ya. Sekarang aku harus kembali ke kantor." "Bagaimana kalau kita makan siang bersama?" Tom mengajak. Vivian tampak surprise tapi senang. "Seharusnya aku mengajakmu makan di rumah. Mumpung ada di rumah, kan? Tapi

tak ada persiapan untuk menjamu tamu."

"Sudahlah. Itu merepotkan saja."

Vivian memanggil Debbie. Anak itu kecewa karena Tom akan pamitan. Tetapi cukup terhibur ketika Tom berjanji untuk datang lagi dan memberi waktu lebih banyak untuknya. Tom duduk di samping Vivian yang mengemudikan mobilnya.

"Kita makan apa, Tom?"

"Apa sajalah. Terserah kau. Aku kan tidak kenal situasi."

"Chinese food?" "Oke."

"Bagaimana Papa dan Mama? Mereka sehat-sehat, Tom?"

"Oh, mereka sehat dan baik-baik."

"Seharusnya aku menjenguk mereka setelah mereka kembali ke sini. Tapi aku tak punya muka, Tom."

"Ya. Aku mengerti. Tidak apa-apalah. Orangtuamu sendiri bagaimana?"

"Mereka di Singapura. Bersama semua saudaraku. Boleh dikata aku di sini cuma sama Debbie saja. Kerabat sih ada, tapi yang jauh-jauh dan tidak akrab." "Kenapa kau tidak ikut dengan mereka?"

"Aku merasa diriku orang Indonesia, Tom. Apalagi aku punya karier di sini." "Bagus. Kau punya prinsip."

"Tapi jangan lecehkan orang yang pergi, Tom. Mereka bukannya tak punya prinsip."

"Tentu saja," sahut Tom, teringat kepada Susan.

Vivian mengarahkan mobilnya memasuki halaman restoran Oriental di Blok M, masih kawasan Kebayoran Baru. Di rumah Anwar, putra Harun, terjadi kegaduhan. Seorang petugas polisi datang. Ia membawa kabar buruk. Harun telah menjadi korban amuk massa. Harun disangka copet, lalu dihajar sampai tewas. Anwar membenarkan KTP yang diperlihatkan petugas sebagai milik Harun. Tentu saja ia membantah bahwa ayahnya seorang pencopet. Petugas mengatakan, tuduhan itu

memang meragukan. Ada saksi mata yang mengatakan bahwa Harun telah menjadi korban salah tunjuk. Tak ada yang merasa dicopet. Tiba-tiba saja ada teriakan dan tudingan ke arah Harun. Tanpa bertanya-tanya lagi massa pun menyerbunya.

Kejadian seperti itu sudah berulang kali terjadi.

Anwar sedih sekali. Ayahnya adalah orang baik dan ayah yang baik juga. Kenapa harus mengalami nasib begitu mengerikan? Tetapi dalam kesedihan itu ia juga sempat merenungkan harihari akhir yang dijalani Harun. Sepertinya ayahnya sedang sibuk berbisnis. Entah apa yang diobjekkan. Ia tidak menanyakannya. Ia malah senang ayahnya punya kesibukan yang membuatnya tetap bersemangat. Belakangan ayahnya tidak rajin lagi mencari order cetak. Mungkin bosan atau kesulitan.

Ia juga tidak mendesak atau memberi dorongan. Apa yang

dikerjakan ayahnya itu melulu atas kemauannya sendiri.

Daripada bengong, begitu katanya.

Apa yang sedang dilakukan ayahnya di Kampung Belakang? Masa berbisnis di pasar loak? Mustahil ayahnya tidak tahu bahwa situasi di Kampung Belakang bertambah buruk saja setahun terakhir ini. Kondisinya yang kumuh diperburuk oleh segi keamanan yang juga buruk.

Tentu saja Anwar tidak bisa mendapatkan jawaban. Ayahnya tidak suka menceritakan kegiatannya meskipun bukan berarti tak suka mengobrol. Apa yang diobrolkan hanyalah kejadian sehari-hari yang sifatnya umum.

Lalu ia teringat. Ayahnya pernah dua kali dikunjungi Adam. Ia tidak melihat sendiri atau bertemu langsung dengan Adam. Tapi karyawan dan istrinya yang memberitahu. Harun sendiri

tidak bercerita apa-apa. Anwar menganggap hubungan mereka wajar-wajar saja. Mungkin menyambung masa lalu. Ia tahu ayahnya punya hubungan cukup dekat dengan Adam. Tetapi salah seorang karyawan Anwar mengatakan, kemarin ia melihat Adam keluar dari pavilyun Harun dengan wajah muram, sedang Harun sendiri tampak ceria. Apakah itu merupakan indikasi terjadinya konflik antara keduanya? Tapi bagaimanapun sulit menghubungkan nasib yang menimpa Harun dengan peristiwa sebelumnya itu. Kabarnya Adam sudah mapan dan tinggal di kawasan Pantai Nyiur Melambai. Jelas tak ada hubungannya dengan lokasi bernama Kampung Belakang.

Anwar memutuskan untuk mengabarkan musibah

itu kepada Adam, sebagai salah seorang kenalan ayahnya. Kristin menerima pemberitahuan itu lewat telepon. Adam masih di kantor. Ia berjanji akan segera menyampaikan hal itu kepada Adam. Tapi ia ragu-ragu, apakah pantas mengganggu jam kerja Adam? Lagi pula apa yang bisa dilakukan Adam bila Harun sudah meninggal? Lain halnya kalau Harun sakit parah dan perlu bicara.

Orang pertama yang diberitahukannya adalah Maria. Lalu Maria menelepon keluarga Lie di Slipi. Tampaknya heboh sekali.

Kristin menyaksikan dan mendengarkan.

"Waduh, malang betul nasibnya! Baru dapat rejeki sudah koit," kata Maria.

"Dapat rejeki?" tegas Kristin heran. "Bukankah dia cuma perantara, Tante?"

Maria memonyongkan mulutnya. "Zaman sekarang ini mana ada yang namanya perantara tanpa main duit, Kris! Kalau dia nggak nyatut, tentu minta komisi!"

"Jadi uang lima juta itu untuknya sendiri?"

Hampir saja Maria keceplosan mengatakan, "Tentunya Adam juga kebagian!" Tapi untung saja ia segera sadar. Maka cepatcepat ia mengatakan, "Mungkin dia membagi dengan si penjarah. Mana mau si penjarah melepas barangnya tanpa mendapat imbalan? Coba pikir, Kris. Dia menyuruh Adam yang ngomong. Dia sendiri tidak mau datang. Jelas takut, kan? Jelas menutup-nutupi, kan? Berarti memang ada yang ditutupi!" "Tapi apa kematiannya berhubungan dengan soal itu? Kok kejadiannya di Kampung Belakang. Ngapain dia ke sana?" Maria tak berani mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. Bukankah Harun sudah berjanji akan meneruskan penyelidikannya mengenai kematian Sonny?

"Sebaiknya kauberitahu Adam, Kris," Maria menganjurkan.

"Dia kan masih kerja, Tante."

"Tapi Harun itu temannya. Kalau kau tidak memberitahu, nanti dia marah padamu."

"Kalau diberitahu, mungkin dia juga marah karena mengganggu pekerjaannya."

"Bilang saja, kau melakukan itu karena didesak olehku! Pakai saja teleponku, Kris. Kau tak usah pulang dulu. Nanti pembantumu nguping!"

Kristin mematuhi anjuran itu. Ia menghubungi telepon genggam Adam. Bila Adam tak mau diganggu, tentunya ia mematikan pesawatnya.

Adam kaget, tapi tidak marah. Ia berkata, "Untung kau cepatcepat menyampaikan. Aku punya waktu untuk pergi melayat. Jadi sekarang aku minta izin dulu untuk ke rumahnya, lalu dari sana baru pulang."

Dengan lega Kristin meletakkan pesawat telepon. "Dia mau melayat," katanya kepada Maria.

"Nah, bener, kan?" Maria tertawa.

Suami-istri Lie merasa gempar. Tom yang baru saja pulang segera diberitahu.

"Untung saja kau nggak ke sana, Tom!" seru Lien dengan perasaan bersyukur. "Ya. Tempat itu berbahaya. Pak Harun yang sudah dikenal saja sampai dikeroyok. Masa orang yang penampilannya rapi bisa disangka copet atau maling?! Nggak masuk akal, kan?" sambung Bun Liong.

Di samping kengerian yang dirasakannya setelah mendengar berita itu, Tom juga kecewa. Ia menyesal karena tak bisa lagi bertemu dan berbincang sendiri dengan Harun. "Ngapain dia ke Kampung Belakang?" kata Tom. "Mungkin mau menemui si penjarah untuk memberikan imbalan yang dia minta," Lien berpendapat.

"Mungkin juga," Bun Liong setuju. "Jangan-jangan dia dirampok, ya? Uangnya kan banyak."

"Tapi kalau dirampok, kok KTP-nya ada pada polisi? Kartu itu kan biasanya disimpan di dalam dompet. Jadi dompetnya tentu masih ada padanya," sanggah Tom.

"Kalau uangnya banyak, mana mungkin bisa masuk ke dalam dompet?! Itu kan jutaan, Tom!" kata Lien.

"Kenapa dia mesti dirampok dan dikeroyok kalau tujuannya datang adalah untuk memberi uang itu?" tanya Tom. "Yang merampok mestinya adalah penjarah yang lain!" kesimpulan Bun Liong.

"Wah, benar-benar sarang penyamun!" seru Lien. Tetapi pikiran Tom tidak sepenuhnya terpusat kepada kasus itu. Ia teringat kepada pertemuannya dengan Vivian dan Debbie barusan. Ia tak mau menceritakan hal itu pada orangtuanya. Mungkin nanti, tapi tidak sekarang. Orangtuanya, terutama ibunya, pasti tak senang. Mereka akan berpikir bila ia mendekati dan berhubungan lagi dengan Vivian, maka itu merupakan indikasi bahwa ia akan hidup bersama lagi dengannya. Bagaimana menjelaskan bahwa kedua hal itu tidak akan menjadi sebab-akibat?

Ibunya pernah menyebut sebuah peribahasa, "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang takkan percaya!" Benarkah itu?

Vivian masih sendiri. Dia pun demikian. Karena itulah orangtuanya merasa khawatir. Perlukah kekhawatiran seperti itu? Mestinya ia mempertanyakan hal itu kepada dirinya sendiri.

"Kau masih betah sendirian, Viv," begitu ia berkata saat makan di restoran. Nadanya bersahabat. "Oh, tak ada yang mau sama aku."

"Ah, masa?! Kamu cantik. Pintar lagi."

"Banyak sih yang mendekati aku, Tom. Tapi begitu mereka melihat Debbie, langsung pada mundur." Viv tertawa pahit. "Masalahnya kau belum menemukan orang yang cocok. Orang yang baik."

"Buat aku tidak jadi masalah, Tom. Hidup sendiri lebih menyenangkan. Banyak lelaki salah paham. Mereka pikir, perempuan selalu membutuhkan lelaki. Jadi mereka menganggap diri mereka itu bernilai tinggi sekali. Huh, menggelikan! Iya kan, Tom?" Viv tampak arogan. "Ya," sahut Tom dengan serius. Kalau Viv berpendapat begitu, tentunya benar. Setiap orang memandang hidup dari sudutnya sendiri.

Tetapi Viv tidak balas bertanya, kenapa ia juga masih sendiri.

Barangkali takut akan jawabannya.

Adam tiba di rumah Anwar sebelum jenazah Harun dibawa ke pemakaman. Ia menyampaikan rasa duka-citanya kepada keluarga Anwar. Lalu sempat berdoa sejenak. Dalam hati ia berkata, "Pak Harun! Aku tidak merencanakan ini semua! Aku cuma membujuk Angga supaya jangan percaya padamu. Mana aku tahu akan terjadi seperti itu? Mungkin kau terlalu mendesak. Kau terlalu kemaruk. Kenapa harus membongkar sesuatu yang sudah terkubur lama?"

Anwar merasa senang Adam datang. Itu menandakan perhatian dan penghargaan. Tetapi ia ingin memanfaatkan pertemuan itu untuk memuaskan rasa penasarannya.

"Apakah Pak Adam tahu, apa sesungguhnya yang sedang dikerjakan Bapak di Kampung Belakang?"

Adam sudah menyiapkan diri menghadapi pertanyaan itu. Dua kali kunjungannya ke rumah itu cukup menarik perhatian. Kalau ia menjawab "tidak tahu", mungkin kentara bohongnya. Ia juga

tidak tahu apakah Harun pernah bercerita kepada Anwar soal penyelidikan yang dilakukannya di kampung itu. "Saya tidak tahu persis. Tapi saya punya perkiraan, Pak Anwar." Lalu Adam bercerita perihal penemuan Harun. "Saya diminta Bapak untuk menghubungi ayah Sonny sebagai pemilik guci itu. Bapak minta lima juta sebagai imbalan, yang nantinya akan diberikan kepada orang yang menyimpan guci. Setelah uang diperoleh, saya dibagi Bapak sebanyak satu juta. Selanjutnya ia tentu akan ke Kampung Belakang lagi untuk memberikan bagian orang misterius itu. Mungkin itu tujuannya ke sana."

Anwar ternganga. Cerita itu kedengaran sensasional di telinganya. Ia tak mengerti kenapa ayahnya tidak bercerita sedikit pun kepadanya? Apa karena takut kalau-kalau uangnya diminta? Ia merasa jengkel. Itulah akibatnya kalau terlalu serakah, pikirnya, meskipun kemudian ia merasa bersalah.

Adam mengamati reaksi Anwar. "Jadi Bapak tidak bercerita?" tegasnya.

"Tidak. Saya tidak tahu apa-apa. Melihat kunjungan Pak Adam, saya kira Bapak ada bisnis lain. Jadi masalahnya itu. Kemarin orang saya melihat Pak Adam sepertinya marah-marah waktu keluar dari pavilyun, tapi Bapak malah ketawa-ketawa. Rupanya ada masalah juga ya, Pak?"

"Oh ya. Saya kesal karena Bapak sok jago. Eh... maaf ya," Adam mengarahkan tatapannya kepada jenazah yang terbujur. "Tidak apa-apa, Pak Adam." Anwar sangat ingin tahu. "Katakan saja. Keterbukaan kan lebih baik."

"Saya bilang, hati-hati kalau pergi ke sana. Bagaimana kalau sama saya saja? Kalau berdua kan lebih kuat. Tapi Bapak ngomongnya kurang enak. Ya sudah, saya nggak mau ikut campur lagi."

Anwar mengangguk. Ia mengerti sekarang. "Terima kasih atas perhatian Pak Adam. Maafkan sikap Bapak yang arogan."

"Tidak apa-apa, Pak. Saya juga menyesali kejadian ini."

"Semuanya sudah terjadi. Kita harus ikhlas."

"Apakah polisi mencurigai sesuatu?"

"Mereka tidak bilang apa-apa. Juga tidak menanyai kami. Tapi saya protes kalau dibilang Bapak nyopet atau nyolong."

"Lantas mereka bilang apa?" "Katanya, mungkin itu salah paham saja. Maklum temperamen orang sekarang. Sedikit-sedikit main keroyok. Murah sekali nyawa orang sekarang."

"Oh ya, apakah polisi menemukan uang pada diri Bapak ketika itu?"

"Dompetnya sih ada. Berikut KTP-nya. Tapi tak ada uangnya.

Maklum sajalah."

"Apakah Pak Anwar berniat untuk memperpanjang kasus ini?" Adam perlu tahu.

"Maksudnya?"

"Minta polisi menyelidiki lebih lanjut, apakah peristiwa itu ada hubungannya dengan barang jarahan itu?"

Anwar mengerutkan keningnya. Sedikit pun ia tidak berpikir ke sana. "Buat apa, Pak? Itu cuma menyusahkan diri sendiri. Urusan barang jarahan itu kan haram. Bapak juga salah. Kenapa mau berurusan dengan penjarah? Apalagi sampai pemiliknya

dimintai lima juta. Itu kan keterlaluan. Mestinya dikembalikan saja. Si penjarah tidak berhak minta imbalan."

"Ya. Saya juga nggak enak. Pikir-pikir, akan saya kembalikan saja uang yang diberi Bapak itu kepada si pemilik barang," kata Adam dengan serius. Ia memang bersungguh-sungguh. Apa artinya uang satu juta rupiah dibanding wibawa yang bisa diperolehnya?

"Benar sekali," Anwar mengagumi kejujuran Adam.

Ketika pamitan, Adam merasakan kelegaan yang tak terhingga. Begitu tiba di rumah, Adam segera menceritakan pembicaraannya dengan Anwar kepada Kristin. Ia pun menyodorkan uang satu juta rupiah yang sudah diganti amplopnya. "Berikanlah kepada Tante Maria, Kris. Minta tolong padanya untuk mengembalikan kepada Oom Bun atau istrinya.

Sampaikan saja kisahnya."

Kristin senang sekali. Di samping bersyukur karena kejujuran Adam, ia juga bersemangat untuk ikut berperan dalam kasus itu.

Maria dan Henry tercengang mendengar cerita Kristin. Tibatiba mereka merasa harus mengubah penilaian terhadap Adam. Dengan spontan Henry meraih telepon untuk menyampaikan berita terbaru itu. Kristin ikut mendengarkan. "Mereka sangat berterima kasih kepada Adam. Nanti malam Tom akan datang ke sini. Kalau boleh katanya ia ingin berbicara sendiri dengan Adam."

"Ya. Nanti saya sampaikan kepada Adam."

"Kaupikir ia akan keberatan menerima Tom, Kris?" Maria ingin tahu.

"Mudah-mudahan tidak."

"Sekarang Adam jadi baik lagi kepada kami. Apakah itu karena Jason sudah mau menerimanya, Kris?" tanya Maria. Belakangan ini dia dan Henry tak pernah lagi mendengar jerit tangis Jason bila Adam ada di rumah.

Kristin menggelengkan kepala. Wajahnya agak muram. "Dia belum mencoba, Tante. Sampai saat ini ia tak pernah masuk kamar bayi atau mendekati Jason. Ia masih takut rupanya." "Ia harus bersabar. Siap mental dulu," kata Henry.

"Apa kau sudah mencoba membujuk Jason?" tanya Maria. "Oh, tentu saja sudah, Tante. Setiap saya mengurusnya, saya selalu mengoceh kepadanya. Baik-baik sama Papa, ya? Dia kan sayang sama kamu? Sayang dia tak bisa memberi reaksi."

"Siapa tahu dia bisa memahami. Teruskan saja, Kris." Tom menyampaikan terima kasih orangtua dan juga dirinya sendiri kepada Adam. Kristin menyertai pembicaraan keduanya. Tapi ia lebih banyak mendengarkan. Sesekali ia menjenguk

Jason yang berada di kereta bayinya di sudut ruang yang sama.

Ia sengaja meletakkan Jason di situ supaya berada berdekatan dengannya, tapi tidak terlalu dekat dengan Adam. Tapi sesungguhnya ada juga maksud lain. Ia ingin memberi kesempatan pada Tom untuk melihat Jason, Setelah mengetahui riwayat hidup Tom dari Maria, ia merasakan simpati yang mendalam kepada lelaki itu. Pastilah ketertarikan Tom kepada Jason disebabkan karena pengalaman pahitnya itu. Pada suatu saat ia pernah mendambakan anak lalu menunggununggu kelahirannya dengan tak sabar. Mungkin ia berangan-

angan muluk perihal si anak kelak. Sama seperti Adam. Tetapi setelah si anak lahir, semuanya berantakan oleh kejutan yang sangat menyakitkan. Di satu sisi dia senasib dengan Adam. Karena itu Kristin ingin memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada Tom untuk "menikmati" Jason. Waktu dan kesempatan bagi Tom memang tidak banyak. Tetapi ia juga harus berhati-hati menjaga perasaan Adam. Tom dan Adam tidak lagi memperbincangkan kasus Harun. Memang tak ada lagi hal baru yang bisa diketahui Tom. Mereka hanya menceritakan pekerjaan masing-masing secara sekilas. Sekadar sebagai bahan perbincangan. Lalu Tom pamitan untuk selanjutnya pergi ke rumah Maria. Ia tak lupa menjenguk Jason di keretanya. Tapi ia berusaha untuk tidak bersikap berlebihan. Ia sadar, Adam mengawasi: Sebenarnya Kristin ingin sekali ikut dengan Tom ke rumah Maria sambil membawa Jason. Di sana pasti akan berlangsung diskusi yang seru perihal, kasus itu. Tetapi ia menyadari bahwa Adam pasti tidak akan senang. Rasanya memang kurang pantas. Apalagi ia sudah punya komitmen dengan Adam untuk menjaga perasaan masing-masing.

Karena itu Kristin kaget ketika Adam menanyakan apakah ia tidak mau ikut dengan Tom, sekalian mengajak Jason berjalanjalan. Tom juga kaget mendengar pertanyaan Adam itu. Apakah itu suatu basa-basi, penjajakan, atau semacam tes? Kristin mengamati wajah Adam, ingin tahu apa sesungguhnya yang ada di balik itu. Jangan-jangan Adam cuma ingin mencoba sampai di mana kesungguhan komitmennya. Tapi Adam tersenyum lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Kristin, ia

berbisik, "Kau bisa menceritakan padaku nanti apa saja yang mereka bicarakan. Kalau aku yang ikut kan malu." Kristin merasa lega. Jadi Adam memang tulus. Tentu saja keinginan Adam itu bisa dipahami. Wajar saja. "Jadi Adam benar-benar tidak keberatan?" tanya Tom saat berjalan di sisi Kristin yang mendorong kereta bayi. Ia masih menyimpan kekhawatiran. Bagaimana kalau pulang nanti Kristin disambut dengan kemarahan? Kristin tidak keberatan menyampaikan apa yang dibisikkan Adam kepadanya tadi.

Tom merasa lega. "Kan tidak apa-apa kalau dia ikut. Kenapa tidak kauajak saja?"

"Dia pasti tidak mau, Tom. Dia baru saja memperbaiki hubungan dengan Tante dan Oom. Jadi malunya masih tebal." Maria dan Henry menyambut keduanya dengan terheran-heran. "Apakah Adam tidak keberatan?" tanya mereka. Kristin perlu mengulangi penjelasannya. Adam sudah berubah menjadi lebih baik.

Maria menyerahkan uang satu juta rupiah yang dititipkan kepadanya itu pada Tom.

"Kasihan Pak Harun," kata Tom. "Gara-gara mengembalikan guci itu, ia kehilangan nyawa."

"Tapi aku tidak mengerti," kata Maria. "Seandainya dia memang sengaja dibunuh, apa sebabnya? Bukankah ia sudah berjasa mendapatkan imbalan bagi si penjarah? Kalau si penjarah tidak percaya pada Pak Harun sejak semula, kenapa diserahkannya barang itu? Jual saja pada orang lain."

"Itu memang mengherankan. Kenapa si penjarah perlu menunggu lama sebelum melepaskan barang itu?" kata Tom. "Katanya, barang itu nggak laku dijual," Kristin ikut bicara. Ia mendengar ceritanya dari Adam.

"Masa barang sebagus itu nggak laku?!" Henry tidak percaya. "Apalagi kalau dijual murah. Kukira si penjarah sayang melepasnya." "Katanya, barang itu membawa sial pada yang menyimpan," kata Kristin.

"Nah, apalagi ada soal itu. Kenapa dia tidak melepasnya saja?

Ah, bohong kali." Henry tidak percaya.

"Susah juga mengetahui penyebabnya. Pak Harun sudah tak bisa ditanyai."

"Adam juga tidak tahu lebih banyak. Tapi untung saja ia tidak menyertai Harun ke sana. Bisa-bisa ia ikut jadi korban," kata Kristin.

"Kalau begitu memang Harun punya motivasi kurang baik. Bila Adam sampai ikut, kan ketahuan seberapa banyak dia mencatut. Itulah akibat keserakahannya," Maria menyimpulkan. "Apakah Adam diberitahu oleh Harun, siapa sebenarnya orang yang menyerahkan guci itu kepadanya?" tanya Tom. Kristin menggeleng. "Kata Harun ia sendiri tidak tahu. Seorang pemuda yang dikenalnya berperan sebagai perantara. Padahal

Adam juga ingin tahu."

"Jadi semuanya gelap," Tom menyimpulkan.

"Ya. Dibawa oleh Pak Harun," keluh Maria.

"Sudahlah. Mungkin sudah jalannya nasib," kata Henry. "Bagaimana reaksi orangtuamu, Tom?"

"Mereka juga pasrah. Jangan sampai ada korban lagi, kata Mama. Dan Papa sudah cukup senang karena gucinya sudah kembali."

Kristin tak mau menghabiskan waktu terlalu banyak. Ia pamitan. Tom juga. Bersama-sama mereka keluar. Tom yang mendorong kereta bayi.

Maria dan Henry melepas keduanya sambil mengamati dari depan pintu pagar. "Cukup drastis perubahan si Adam ya, Pa?" kata Maria. "Mudah-mudahan mereka benar-benar rukun. Bersama Jason tentunya," Henry berharap.

"Ya. Dan jangan ada yang aneh-aneh lagi."

Sementara itu Tom dan Kristin sudah tiba di depan pintu pagar rumah Adam. Bi Iyah sudah menunggu di balik pintu. Tom menyerahkan kereta kepada Kristin, menatap sejenak kepada Jason yang membuka mata seolah membalas tatapannya. Lalu Tom menunggu dulu sampai Kristin masuk ke dalam rumah, barulah ia berjalan pergi mencari taksi.

Adam sudah menunggu Kristin. Ia merasa puas mendengar cerita Kristin.

Malam itu Anwar tak bisa tidur. Pemakaman ayahnya sudah selesai. Dan keterangan Adam sudah menjelaskan segalanya. Ia tidak perlu penasaran lagi. Ia juga sudah memutuskan, tidak akan meributkan persoalan itu. Ia mengikhlaskan kematian ayahnya. Baginya, perbuatan ayahnya itu ibarat orang memasuki medan pertempuran, risikonya sudah jelas. Kematian harus diterima sebagai risiko.

Tetapi ia tetap saja gelisah. Sampai saat itu ia belum memeriksa pavilyun yang ditempati Harun. Situasi emosinya belum mengizinkan. Ia baru akan ke sana kalau emosinya mereda. Tapi ada suara hati yang berkata lain. Selesaikan sekarang juga! Apa pun yang dilihat dan dirasakannya di sana harus ia terima. Ia sudah cukup banyak mengeluarkan air mata.

Apa artinya tambahan sedikit lagi?

Ia menuju ke pavilyun. Tak ada pintu penghubung di antara rumah utama dengan pavilyun. Jadi ia mesti keluar rumah dulu.

Pintunya terkunci. Ia ter- ingat, kuncinya dibawa Harun. Dan kunci itu tak ada di dalam dompet yang diserahkan polisi. Mungkin hilang tercecer. Maka ia kembali lagi ke rumah untuk mencari kunci duplikatnya. Perlu waktu cukup lama untuk menemukannya. Ia sudah capek lalu ingin mengurungkan saja niatnya. Mungkin itu pertanda buruk untuk tidak meneruskan keinginannya. Tetapi kesulitan itu malah membuatnya penasaran. Setelah kuncinya ketemu, ia sekalian membawa obeng dan gunting gembok sebagai persiapan kalau kalau ada kesulitan lain lagi. Begitu memasuki kamar ia memandang berkeliling.

Ia melihat suasana kamar yang agak berantakan. Pakaian berserakan di atas ranjang yang kusut. Lantai yang berubin keramik tampak kusam karena jarang dipel. Harun tak mau kamarnya dibersihkan pembantu. Ia membersihkan dan merapikan sendiri semau-nya. Pembantu hanya membersihkan terasnya saja.

Keharuan memang muncul, karena Anwar serasa melihat ayahnya di situ. Tetapi keharuan itu tak sampai memeras air matanya. Lalu tatapannya tertuju ke lemari satu-satunya di situ. Satu-satunya perabot yang dipasangi gembok. Tak ada kuncinya. Jelas di situ tersimpan barang-barang Harun yang dianggapnya paling bernilai hingga harus dijaga dari tangan usil.

Ke situ pula perhatian Anwar tertarik.

Ia mengambil obeng dan mengutik-ngutik gembok. Tak bisa terbuka. Akhirnya ia menggunakan gunting. Ia merasa seperti maling ketika pintu lemari terbuka lebar. Dan tertegun melihat isinya yang acak-acakan. Sebagian pakaian tidak dalam keadaan terlipat, melainkan ditumpuk begitu saja. Pantas setiap mau

pergi ayahnya selalu menyuruh pakaiannya diseterika dulu. Anwar hanya mengamati tanpa menyentuh barang yang ada. Ia berpikir akan merapikannya besok saja bila ada waktu- luang. Pekerjaan itu membutuhkan waktu yang tak sedikit. Kantuk mulai terasa. Tetapi kemudian ia melihat ada benda putih menonjol di bawah tumpukan pakaian. Ia menariknya. Sebuah amplop putih panjang dan tebal. Isinya lembaran uang kertas lima puluh ribuan. Ia menghitungnya. Jumlahnya tiga juta lima ratus ribu rupiah.

Ia teringat cerita Adam. Tak susah menemukan hubungannya. Menurut Adam, ayahnya mendapat lima juta lalu memberi

Adam sebanyak satu juta, maka sisanya seharusnya empat juta. Bisa disimpulkan ia membawa lima ratus ribu saat berangkat dari rumah. Jadi sebanyak itukah bagian yang diambil ayahnya untuk diri sendiri? Anwar merasa mukanya memanas karena rasa malu yang menyergap.

Selama tinggal di situ ayahnya mendapat uang hanya darinya. Tapi jumlahnya tak pernah sebesar itu. Memang mungkin saja

ayahnya menabung semua penghasilannya. Tapi mustahil ia menabung di dalam lemari.

Kemudian Anwar beranjak ke meja tulis. Ia duduk di kursi yang hanya satu-satunya lalu menarik laci-laci yang tidak terkunci. Ada banyak benda kecil, seperti gunting kuku, baterai, pensil, bolpen, dan entah apa lagi. Laci lain berisi kertas-kertas dan surat-surat. Ia memeriksanya sebentar. Lalu perhatiannya tertarik pada sebuah kertas yang dipenuhi coretan pada satu

sisi, sedang sisi lainnya adalah hasil cetak yang salah dari percetakannya. Ia mengamatinya. Pada mulanya sulit dimengerti. Tulisan Harun jelek sekali.

Coretan itu berupa catatan-catatan kejadian. Ada tanda panah. Ada tanda tanya besar. Tapi cukup lengkap disertai tanggal. Setelah memahami, Anwar terkejut. Apa yang dilakukan ayahnya adalah suatu penyelidikan terhadap kasus yang terjadi lama berselang.

Pertengahan Mei 1998: penjarahan dan pembakaran rumah Sonny. Sebelumnya aku menggedor pintu untuk mengingatkan penghuni supaya mengungsi. Sonny tidak keluar dan tidak menyahut Kukira dia pergi karena sebelumnya dari jauh kulihat seseorang keluar dari rumahnya pakai helm, pakai jaket, dan membawa motor. Cuma kelihatan belakangnya. Tapi kemudian setelah kerusuhan berakhir, Sonny ditemukan tewas terbakar bersama rumahnya. Sonny-kah itu atau salah seorang penjarah? Lalu siapa yang keluar dan membawa motor itu? Kalau Sonny yang keluar, kok dia mati di situ? Apa dia kembali lagi? Kalau kembali lagi, berarti ada di rumah, kenapa diam saja waktu pintunya digedor?

Mei 1999, setahun kemudian: aku ketemu keluarga Tan di Pantai Nyiur Melambai. Ibu Maria yang mengembalikan ingatan dan membakar semangatku untuk mengusut masalah di atas. Ketemu Adam juga, yang mengaku sobat lama. Kelihatan ingin sekali tahu.

Juli 1999: ketemu Angga di Kampung Belakang. Dapat dua informasi penting. Satu, perihal guci milik Pak Bun. Langsung mendapat guci itu setelah Angga dapat persen. Angga tidak mau memberitaku siapa yang menyimpan guci Sepertinya memang si penjarah. Alasan, barang tak laku dijual dan bawa sial. Barang dibawa pulang. Informasi satu lagi perihal Adam. Angga ketemu Adam saat kerusuhan Mei sembilan delapan, tidak jauh dari Pantai Nyiur Melambai. Adam naik motor dan dicegat. Motornya dibakar. Adam dibiarkan kabur. Angga bilang, motor yang dipakai Adam itu milik Sonny! Ada ciri yang dikenalinya, gambar tempel di bawah sadel. Gambarnya hati dengan tulisan Susan! Benarkah info Angga itu?

Besoknya: ketemu Adam. Dia memberi tiga juta. Dua juta untuknya, sesuai perjanjian. Waktu info tentang motor ditanyakan, dia bilang memang itu motor Sonny, tapi sedang dia pinjam. Aneh. Padahal seingatku, sebelum tragedi Mei aku nggak pernah lihat Adam pakai motor. Kalau Adam benar, mestinya Sonny tak bisa pakai motor karena lagi dipinjam. Jadi Sonny tak mungkin keluar rumah pakai motor sebelum kerusuhan. Lantas siapa yang kulihat itu sebelum menggedor pintu rumah Sonny? Adam mengatakan tidak ke rumah Sonny waktu itu (tau be-ner, tau kagak!). Kalau memang itu tamu,

kenapa Sonny tidak keluar mengantarkan tamunya? Dan kenapa Sonny tidak menyahut waktu pintunya digedor? Masa yang namanya tamu masuk-keluar rumah kosong? Aku perlu tahu siapa si penjarah. Kenapa? Si penjarah bisa menjelaskan situasi di rumah Sonny saat dia, entah sendiri atau bersama-sama penjarah lain, memasuki rumah itu. Mereka yang bunuh atau jangan-jangan Sonny sebenarnya sudah mati! Penting untuk menjawab pertanyaan di atas.

Besok aku ke Kampung Belakang....

Catatan Harun berakhir. Anwar termenung. Ia akan membaca dan mempelajarinya lagi pada saat pikirannya sedang jernih.

Malam itu Tom mengirimkan dua e-mail. Satu untuk Susan. Dan satunya lagi untuk Ron. Kepada Susan ia menceritakan situasi Jakarta dan tentu saja juga pelaksanaan pesan-pesan Susan. Sedang kepada Ron ia menceritakan pertemuannya dengan Vivian dan Debbie. Sampai larut malam baru ia tertidur. X Jakarta, bulan Juli. Tom bangun kesiangan. Di sini tak ada weker yang membangunkannya seperti biasanya di New York. Faktor kebiasaan bangun pagi juga tidak berperan. Tubuhnya memang membutuhkan tidur yang cukup mengingat semalam ia tidur larut. Nyatanya ia bangun dengan perasaan segar.

Ketika turun dari kamarnya di loteng ia disambut oleh seorang pemuda yang tadinya duduk-duduk membaca koran. Pemuda itu tersenyum sambil mengulurkan tangan. "Tom! Apa kabar?" Tom mengamati sejenak. Tak segera mengenali. Baru kemudian senyumnya mengembang. "David! Sejak kapan kau berkumis?" David adalah sepupunya. Sejak Tom pergi ke Amerika, ia belum bertemu lagi dengannya. Tapi dengan Sonny, hubungan David cukup dekat. Cuma sedikit sepupu yang akrab dengan keluarganya. Salah satunya adalah David.

Tom mengajak David sarapan bersama. Mereka mengobrolkan segala hal. Keduanya memiliki se- gudang cerita. Usai sarapan mereka melanjutkan obrolan dengan tema yang lebih serius. Mereka membicarakan tragedi Mei sembilan delapan yang menewaskan Sonny. Dalam hal itu Tom menceritakan perkembangan paling akhir, yaitu soal penemuan guci yang berlanjut dengan kematian Harun, si penemu.

"Sepertinya guci itu muncul kembali dari liang kubur, ya?" kata David dengan takjub.

"Jangan bilang begitu, Dav! Menakutkan." Tom tertawa. "Tapi rasanya memang sedikit aneh. Siapa sangka barang itu bisa didapat kembali. Kata Papa, barang itu memang akan kembali kepada pemilik asal dengan cara apa pun. Ya, tentu saja dia bilang begitu karena memang sudah kembali, bukan?" "Ya, aku bersyukur untuk kegembiraan Oom. Tapi guci itu tentunya tak bisa jadi pengganti Sonny."

"Tentu saja tidak."

"Kalau saja aku bisa ketemu Pak Harun dan bicara dengannya."

"Kenapa, Dav? Kau kenal dia?"

"Nggak sih. Cuma aku bisa memberinya tambahan informasi." "Apa itu?" Tom menjadi tegang.

"Pada hari musibah itu Sonny ada di rumah. Aku yakin akan hal itu."

Tom kaget. "Bagaimana kau bisa yakin?"

"Aku meneleponnya. Dia sendiri yang menerima. Aku mengingatkan dia agar waspada karena kerusuhan sudah merebak di mana-mana. Pantai Nyiur Melambai bisa jadi incaran karena penghuninya melulu orang Tionghoa." "Lalu dia bilang apa?"

"Dia tidak ngomong banyak. Cuma bilang iya, terima kasih.

Nggak seperti biasanya. Kayaknya formal."

"Mungkinkah dia segera pergi setelah itu?"

"Kalau dia pergi, kenapa dia mati di rumahnya?" Mereka sama-sama tertegun. Itu adalah pertanyaan sama yang selalu berulang. Selanjutnya memunculkan pertanyaan sama berikutnya.

"Kalau yang mati itu penjarah, ke mana Sonny?" "Dan siapa yang dilihat Harun keluar membawa motor sebelum kejadian? Saat itu penjarah belum masuk."

"Kalau Sonny pergi lalu kembali lagi, kenapa tidak menyahut waktu pintunya digedor oleh Harun. Juga ketika diteriaki oleh

Maria dan Henry?"

Lalu mereka berpandangan dengan ekspresi ruwet.

"Mungkin si penjarah guci itu yang membunuh Sonny," kata David. "Itu sebabnya dia jadi berbahaya setelah Harun mencarinya."

"Tapi kalau dia yang membunuh Sonny, maka itu berarti Sonny ada di rumah waktu penjarah masuk. Kenapa dia mengambil risiko begitu besar? Dia bukan tipe orang yang mau mempertahankan harta tanpa peduli nyawa. Dan kalau dia ada di rumah, kenapa tidak menyahut waktu digedor? Dia pasti tahu bahwa Maria dan Henry akan pergi mengungsi. Masa dia tak menolong calon mertuanya? Hal terakhir inilah yang paling penting untuknya. Dia sudah seperti anak bagi orangtua Susan." "Ya, betul sekali. Ini nggak mungkin. Itu nggak mungkin. Mana dong yang mungkin?" David bingung. "Sayang sekali Pak Harun keburu pergi."

"Mungkinkah dia bekerja sama dengan penjarah?" David menyodorkan kemungkinan lain lagi. Tapi kemungkinan itu malah tambah membingungkan.

Beberapa saat keduanya termenung. David berpikir keras. "Orang yang keluar dari rumah Sonny sebelum kejadian itulah kuncinya!" katanya kemudian.

"Ya. Dia memang masih misterius. Siapa dia itu? Bukan Sonny, jadi siapa?"

"Menilik waktunya kira-kira bersamaan dengan saat aku menelepon. Jangan-jangan..." Ekspresi David tampak gempar.

"Jangan-jangan apa?"

"Jangan-jangan bukan Sonny yang menyahut teleponku. Orang misterius itulah yang ngomong. Kalau kuingat-ingat sekarang, sepertinya suaranya lain. Sonny kan suaranya bariton. Gampang dikenali. Tapi yang itu... ah, memang lain. Ketika itu mana sempat aku mikir yang tidak-tidak. Suasana sudah kacau. Takut sekali. Habis, Jakarta sudah dikuasai penjarah dan pembunuh.

Dan orang kita dijadikan sasaran."

Tom tegang sekali. Setelah David pergi, ia masih diliputi ketegangan. Ia tidak tega membagi ketegangan itu dengan orangtuanya. Mereka sudah mengikhlaskan kematian Sonny. Belum pernah Adam merasa selega itu. Beban yang selama ini menindihnya sudah lenyap. Mulai sekarang ia bisa menjalani hidup dengan tenang. Tentu masih ada satu masalah yang mengganjal. Si Jason! Tetapi itu tidak terlalu merisaukan. Ia yakin ada saatnya Jason akan menerimanya. Anak itu masih akan tumbuh. Kelak bila sudah besar, masa dia tidak membutuhkan bimbingan seorang ayah? Biarlah sekarang jauh-jauh dulu. Ia toh masih terlalu kecil untuk bisa "dinikmati". Adam sudah belajar menguasai perasaannya. Tak ada gunanya iri hati pada orang lain yang bisa menimang Jason tanpa halangan. Biar saja. Ia tidak perlu memedulikannya.

Tetapi ketidakpedulian Adam itu tidak menyenangkan perasaan Kristin.

"Kau mestinya berupaya terus, Mas. Jangan apatis dong."

"Bagaimana kalau dia menjerit-jerit lagi bila ku-dekati?" "Tidak apa-apa. Namanya juga berusaha. Kalau tidak dicoba, mana mungkin kita tahu apakah dia sudah bisa menerimamu atau tidak."

Adam merasa pendapat Kristin itu ada benarnya. Meskipun ada kecemasan, tapi ia sendiri juga ingin tahu.

Maka sore itu setelah mandi ia ke kamar bayi bersama Kristin. Rasanya sudah lama sekali ia tidak masuk ke situ. Padahal cuma

dalam hitungan hari. Adam berlindung di belakang Kristin ketika mereka mendekati boks Jason. Kristin merasa geli melihat tingkah Adam, tapi ia pun tegang. Toh ia optimis. Bukankah selama ini ia tidak pernah bosan "membujuk" Jason agar mau menerima Adam?

Jason membuka matanya yang jernih. Ia menatap ibunya. "Hai, Son! Baru bangun, Sayang?" sapa Kristin. Jason cuma menatap. "Papa datang menjengukmu, Son. Terima Papa, ya? Nih, dia sembunyi di belakang Mama," kata Kristin lagi. Lalu dia menyisih sambil menarik Adam ke sisinya. Maka Adam berhadapan dengan Jason. Keduanya saling menatap. Kristin mengamati dengan penuh ketegangan.

Jason diam saja. Matanya tampak jernih seperti biasa. Kristin menyikut pelan lengan Adam. "Belai kepalanya," ia berbisik.

Adam mengulurkan tangan. Dengan takut-takut ia menyentuh sebentar kepala Jason, lalu menariknya lagi dengan cepat. Tak ada reaksi apa-apa dari Jason.

Kristin semakin yakin. Ia membungkuk lalu mengangkat Jason dan menggendongnya. Ia mencium Jason. "Kau manis sekali, Son! Terima kasih ya, sayang?" katanya penuh syukur.

"Sekarang sama Papa, ya?"

Kristin menyodorkan Jason kepada Adam. Sesaat Adam raguragu. Kekhawatiran masih menguasainya. Tapi Kristin mengangguk memberi semangat. Adam mengulurkan tangan, mengambil alih Jason dengan hati-hati. Jason diam. Matanya masih menatap biasa saja. Kristin tersenyum lega.

Akhirnya dia menyerah juga, pikir Adam dengan perasaan senang tak kepalang. Ada rasa menang juga. Mungkin pengaruh dari perkembangan situasi belakangan ini. Dia di pihak yang menang.

Lalu Adam terpaku. Kaget dan kengerian tampak di wajahnya. Lenyap sudah senyum dan kelembutan yang semula diekspresikannya. Tak salahkah matanya? Tak salahkah? Yang ada di tangannya itu bukanlah wajah mungil Jason, melainkan wajah Sonny dengan mata terbelalak! Adam memekik. Jason pun melengkingkan tangisnya. Lalu dengan gerakan mendadak Adam melempar Jason! Kristin menjerit. Tapi karena ia sudah siap dengan reaksi-reaksi tak terduga, apalagi setelah melihat ekspresi Adam yang aneh, maka ia segera bergerak dengan cepat. Setelah sempat terpaku sejenak ia menggerakkan tubuhnya dengan lentur dan sigap ketika ia melompat dan berhasil menangkap Jason sebelum bayi itu menyentuh lantai! Sambil memeluk Jason ia terduduk di lantai lalu tersedu-sedu.

Adam masih berdiri dengan wajah kaku. Kedua tangannya terangkat seolah siap melakukan perlawanan atas penyerangan terhadapnya.

Kristin memeluk Jason yang masih menangis. Tatapannya tertuju kepada Adam dengan sorot ketakutan. "Kau kenapa, Mas? Kenapaaa...?" tanyanya dengan suara gemetar. Tubuhnya pun gemetaran.

Adam segera sadar. Ia menurunkan tangannya. Tapi ekspresi horor di wajahnya masih tampak. Ia menatap Kristin dan Jason bergantian lalu mendekat. Kristin beringsut menjauh dan

mendekap Jason lebih erat. "Jangan, Mas! Jangan!" serunya ketakutan.

Adam menghentikan langkahnya. Apa yang dilihatnya tadi tak tampak lagi sekarang. Tetapi debaran di jantungnya masih kencang. Setelah lebih tenang, yang terasa adalah kemarahan.

"Dasar anak setan!" ia berseru.

Kristin terbelalak. "Apa katamu? Apaaa?" jeritnya. "Anak setan!" ulang Adam lebih keras. "Sadarkah kau... siapa yang kaumaksud?" Kristin gemetar.

Sedih, takut, marah, semua menjadi satu.

Adam mengarahkan telunjuknya kepada Jason. Tangis Kristin pun meledak. Jason dalam pelukannya menangis lagi, padahal tadi sudah diam.

"Pergi kau! Keluar!" seru Kristin di sela isak tangisnya. Adam melemparkan tatap kebencian sekali lagi kepada Kristin dan Jason, lalu melenggang pergi. Ketika membuka pintu kamar, ia memergoki Bi Iyah sedang berdiri di situ. Dengan tersipu Bi Iyah cepat-cepat pergi. Hampir saja Adam membentaknya. Tapi kemudian ia teringat bahwa Bi Iyah loyal kepadanya. Kemudian ia memutuskan untuk keluar rumah. Ia mengambil kunci mobilnya. Tanpa mengatakan sesuatu kepada Kristin ia pergi. "Bilang Ibu, aku pergi sebentar!" katanya kepada Bi Iyah.

Kristin mencium Jason lalu meletakkannya kembali di boksnya. Anak itu sudah tenang kembali. Kemudian Kristin mengempaskan tubuhnya di atas dipan. Perasaannya hancur luluh. Ia tak bisa memahami bagaimana mungkin Adam setega

itu mengatai Jason dengan sebutan mengerikan seperti itu.

Benar-benar sakit hatinya.

Sekarang ia benar-benar putus asa. Semula harapannya selangit, lalu harapan itu hampir jadi kenyataan ketika tadi melihat Jason sudah menerima Adam saat dibelai dan kemudian digendong. Lalu begitu saja Adam memekik dan memandang Jason seolah melihat hantu. Tentu saja Jason menangis.

Sekarang situasi jadi terbalik. Mulanya Jason yang menolak

Adam, 317

sekarang Adam menolak Jason. Bahkan Adam tega melemparkannya bagaikan melempar benda mati. Bagaimana kalau ia tak berhasil menangkap Jason? Anak itu pasti... aduh, ia tak berani membayangkannya!

Barangkali dirinya salah karena telah mendorong Adam. Seandainya ia tidak melakukannya, maka kengerian itu pastilah tidak terjadi. Padahal mereka sudah bertekad untuk memperbaiki dan membina kembali hubungan yang mendingin. Sia-sia semuanya. Bukan saja mereka kembali ke nol, tapi bahkan lebih mundur lagi.

Seharusnya ia bersabar. Tadi Adam sudah segan. Tapi ia memaksa. Inilah akibatnya. Salah diakah? Apa yang salah? Tadi tak ada yang salah. Adam-lah yang salah!

Kristin tersentak. Ia duduk tegak. Lalu memandang berkeliling. "Sonny? Engkaukah yang mengganggu?" katanya pelan. "Ah, pasti engkau! Tapi kenapa? Kau baik, kan?"

Terdengar isakan Jason. Kristin tersadar. Apakah Jason pipis atau lapar? Ia mengurus Jason dengan air mata berlinang. Ia

bicara sendiri mengeluhkan nasibnya. Tetapi tak ada yang menyahut. Tak ada Sonny. Tak ada siapa-siapa. Terdengar ketukan di pintu kamarnya yang bersebelahan dengan kamar bayi. "Kris! Kris!" Itu suara Maria. Kristin cepat-cepat mengeringkan air matanya. Ia merapikan Jason di boksnya.

"Kris! Kau baik-baik saja?" kembali terdengar suara Maria. "Ya, Tante! Masuk saja!" teriak Kristin.

Tak lama kemudian Maria masuk. Kristin memalingkan muka.

Tapi Maria keburu melihat wajahnya yang memerah. "Kenapa, Kris? Tadi aku dengar kegaduhan di sini. Lalu kulihat Adam keluar dengan mobilnya. Aku memberanikan diri menjengukmu.

Kau tidak apa-apa?" tanya Maria khawatir.

"Tidak apa-apa, Tante." Kristin berusaha gagah. Maria menatap tidak percaya. "Betul tidak apa-apa? Bukan maksudku ikut campur, Kris. Aku cuma mengkhawatirkan dirimu dan Jason."

Lalu Kristin tak kuasa lagi menahan diri. Ia memeluk Maria dan tersedu-sedu.

Setelah berulang-ulang mempelajari coretan Harun yang ditemukannya, Anwar mengambil keputusan. Bila ayahnya telah melakukan kesalahan, maka ia bertekad akan memperbaiki kesalahan itu. Ia tak boleh menirukan atau mengulangi kesalahan yang sama. Tetapi ia juga ingin membantu ayahnya dengan melanjutkan jerih payahnya yang terpaksa ia tinggalkan. Catatan itu dibuat dengan pemikiran mendalam. Ia bukan cuma bersedih, tapi juga marah dan dendam.

Selesai makan malam bersama orangtuanya, Tom mengangkat telepon yang berdering. Jantungnya berdebar lebih kencang ketika si penelepon memperkenalkan dirinya sebagai Anwar, putra Harun. Anwar mengatakan, ia memperoleh nomor telepon ini dari Henry. Ia ingin bertemu dan berbicara malam itu juga, kalau Tom tidak keberatan. Masalahnya, ia ingin kasus ayahnya selesai secepat mungkin. Supaya nanti malam bisa enak tidur, katanya sambil tertawa. Tentu saja Tom bersedia. Ia sendiri menghendaki hal yang sama.

Kedua orangtuanya ikut merasakan ketegangan.

"Jadi masih ada masalah, ya?" keluh Lien.

"Apa kematian Harun bisa melibatkan kita?" Bun Liong cemas. "Jangan khawatir dulu. Kita kan belum bertemu dengannya," hibur Tom. "Mungkin ada informasi baru yang diceritakan Harun kepada anaknya. Sesuatu yang dianggapnya penting untuk kita ketahui juga. Kalau ia menganggap kita terlibat atau bersalah, apa salahnya?"

Ketiganya merasa gelisah menunggu kedatangan Anwar.

Maria menemani Kristin selama beberapa waktu.

"Apa saya salah, Tante?" tanya Kristin.

"Menurutku tidak. Adam yang salah. Apa dia mengatakan alasannya, kenapa ia sampai melempar Jason?" "Tidak. Tapi dia memandang Jason seperti melihat hantu.

Padahal sebelumnya tidak."

"Hantu?" Maria melihat berkeliling seolah ingin mencari pembuktian.

"Ya. Matanya melotot. Lalu dia memekik kaget. Sesudah itu dia melempar Jason."

"Begitu?"

"Ya. Aneh, kan?"

Kristin menyatakannya dengan serius. Meskipun ia sudah menduga apa yang sebenarnya dilihat Adam hingga ia begitu kaget, tapi ia tidak mengerti kenapa Adam bisa ikut "melihat" seperti dirinya. Bukankah hanya orang yang punya kepekaan tertentu saja yang punya kemampuan seperti itu, seperti yang diyakininya selama ini? Apalagi sebelumnya Adam tidak pernah memperlihatkan gejala seperti itu. Kalau memang iya, sampai menimbulkan ketakutan, kenapa Adam bertahan tinggal di situ? Apalagi rumah itu pilihan Adam sendiri, dan dia tahu betul riwayatnya. Selama ini ia menilai Adam bermental kuat dan memiliki keberanian. Tetapi Kristin bertahan untuk tidak menceritakan semua hal itu kepada Maria, meskipun ia merasakan kedekatan bagaikan kepada ibu sendiri. Yang tahu hanyalah Tom. Biarlah tetap Tom seorang yang tahu.

"Aneh memang. Tapi kau tidak takut, kan?"

"Tidak, Tante," Kristin berkata dengan sesungguhnya. Selama ini ia yakin, Sonny adalah "sahabat". Karena itu ia pasti akan melindunginya. Bukan mencelakakan. Sayang ia tak bisa menjelaskannya kepada Maria.

"Syukurlah. Itu yang penting. Kau harus menjaga Jason baikbaik."

"Tentu saja, Tante. Dia adalah segalanya bagi saya." Maria menepuk Kristin, memberinya semangat. Sebenarnya ia merasa itu merupakan saat yang baik untuk menanyakan semua keanehan yang pernah diperlihatkan Kristin sebelumnya. Tapi ia

tidak tega. Ia juga khawatir kalau pertanyaannya nanti justru membangkitkan ketakutan Kristin.

"Jaga diri baik-baik ya, Kris?" pesan Maria sekali lagi sebelum pulang. "Kalau ada apa-apa, berteriaklah. Tante dan Oom akan datang secepatnya!" "Terima kasih, Tante." Sesudah Maria pulang, Kristin meraih telepon. Ia sudah memutuskan. Demi Jason, ia membutuhkan bantuan orang lain. Orangtuanya sendiri jauh dan ia tak punya teman atau kerabat dekat.

Telepon di rumah Tom berdering, membuat orang-orang yang sedang gelisah terlonjak kaget. Tom mengangkatnya. Wajahnya tampak surprise mendengar suara Kristin. Apalagi Kristin bicara dalam bahasa Inggris. Ia tak menyangka bahwa Kristin cukup fasih berbahasa Inggris. Tapi ia segera memahami bahwa Kristin bukanlah sedang membanggakan diri. Pasti ada alasannya kenapa Kristin menggunakan bahasa itu. Tom terkejut mendengar cerita Kristin yang menggegerkan. Tengkuknya meremang membayangkan cedera yang bisa menimpa Jason seandainya tak terselamatkan. Lalu ia sadar kedua orangtuanya tekun mendengarkan omongannya, berusaha memahami apa yang tengah dibicarakan. Tentu mereka mengamati ekspresinya yang risau.

Setelah telepon diletakkan Tom menceritakan apa yang telah disampaikan Kristin. Lien memekik kaget, sedang Bun Liong menggeleng-gelengkan kepala.

"Jadi apa sebabnya Adam berlaku seperti itu?" Lien tak habis pikir.

"Entahlah. Kristin sendiri tak mengerti." Tom tak menceritakan kesimpulan Kristin, sesuai perjanjian mereka sebelumnya. Bagian yang satu itu biarlah dipahami dirinya seorang saja. "Jangan-jangan..." Lien tak melanjutkan.

"Jangan-jangan apa, Ma?" tanya Bun Liong.

"Di rumah itu ada Sonny."

"Ha? Yang bener, Ma," bantah Bun Liong.

"Itu sebabnya Kristin memberi nama Jason pada anaknya."

"Tapi Kristin tidak terganggu di situ."

"Sonny tidak ada masalah dengan Kristin. Yang tidak disukainya adalah Adam. Lihat saja sikap Jason pada Adam, padahal dia kan bapaknya sendiri," Lien menyimpulkan.

Tom diam saja. Ia cuma menyimak. Mungkinkah ibunya benar? Mereka menyambut kedatangan Anwar dengan penuh keramahan. Sebelumnya rasa belasungkawa disampaikan dulu. Lalu mereka duduk berhadapan dengan sikap canggung dan juga tegang. Dan seperti biasanya tata krama, mereka berbasa-basi lebih dulu. Ada kata-kata pendahuluan sebelum tiba ke masalah pokok yang sebenarnya mau dibicarakan.

Lalu Anwar merogoh sakunya dan mengeluarkan amplop berisi uang yang ditemukannya di dalam lemari Harun. Amplop itu diletakkannya di atas meja.

"Saya bermaksud mengembalikan uang yang dulu diminta Bapak kepada Pak Bun. Tapi jumlah yang saya temukan tinggal tiga setengah juta."

Ketiga tuan rumah terperangah kaget. "Lho, kok dikembalikan?" tanya Bun Liong. "Itu ikhlas saya berikan kok, War. Jangan dikembalikan."

"Tidak, Pak," sahut Anwar dengan penuh kepastian. "Bapak telah melakukan kesalahan. Tidak seharusnya ia minta imbalan untuk barang jarahan. Bagi saya itu haram. Memang ini uang Bapak. Dia yang memintanya. Tapi karena saya anaknya dan saya pewarisnya, maka sekarang saya berhak untuk menentukan. Saya berterima kasih untuk keikhlasan Pak Bun. Maafkan saya karena saya tak bisa menerimanya." Anwar menangkupkan kedua telapak tangannya, lalu didekatkan ke dada. Ia tampak tulus hingga tuan rumah terharu. Tom menganggukkan kepala kepada ayahnya sebagai isyarat. "Baiklah," kata Bun Liong. "Kami juga berterima kasih. Pak

Harun patut bangga."

Mata Anwar berkaca-kaca. Ia juga bangga akan dirinya sendiri. Di zaman yang susah ini pastilah berat melepas uang tiga setengah juta rupiah yang sudah ada di tangan, bahkan sudah ikhlas diberikan. "Masih ada lagi yang mau saya berikan," katanya, lalu merogoh saku lagi. Kali ini ia mengeluarkan kertas coretan Harun yang terlipat. Ia membuka lipatannya. "Ini hasil analisa Bapak sebelum meninggal. Buat Pak Bun sekeluarga pasti berguna. Saya sudah mempelajarinya. Kira-kira saya memahami. Tapi saya pikir, saya tidak berhak ikut-ikutan. Jadi saya serahkan saja kepada Pak Bun. Atau Pak Tom." Anwar menyodorkan kertas itu kepada Tom yang duduk berdekatan dengannya.

Tom membacanya sebentar. Sejenak ekspresinya tampak kelam. Kemudian ia memandang Anwar. "Saya tidak tahu bagaimana saya harus berterima kasih kepada Pak Anwar. Ini amat sangat berharga buat kami. Pak Harun hebat sekali." Bun Liong mengulurkan tangannya dengan tak sabar. Ia juga ingin tahu apa yang ada pada kertas itu. Tom menyerahkan kertas itu kepada ayahnya. Lien pindah duduk ke sisi suaminya, ikut membaca. Usai membaca keduanya berpandangan. "Si Adam!" jerit Lien sambil melempar kertas itu, seolah itu benda yang mengerikan. Jatuh ke lantai. Tom memungutnya, melipatnya dengan hati-hati, lalu memasukkannya ke dalam sakunya. Ia ingin mempelajarinya lagi.

"Jangan menuduh dulu, Ma. Jangan," cegah Bun Liong. "Ingat.

Menuduh tanpa bukti itu fitnah."

"Ya. Itu baru kesimpulan," Anwar membenarkan. "Saya kenal Pak Sonny. Saya ikut berduka atas kejadian itu. Tapi saya hanya bisa membantu sampai di sini."

"Oh, bantuanmu ini tak ternilai, War!" seru Bun Liong. Sesaat tatapannya tertuju kepada amplop di meja. Sebelum tangannya bergerak ke situ, Anwar menggoyangkan tangannya. "Jangan, Pak. Apa yang saya lakukan itu sewajarnya saja. Harusnya memang begitu. Apa gunanya kertas itu saya simpan?" "Terima kasih, War," cuma itu yang bisa diucapkan Bun Liong. Kemudian Anwar pamitan. "Boleh saya minta sesuatu, Pak?" tanyanya sebelum berlalu. "Tentu saja boleh." "Janganlah sebut nama saya kepada Adam. Saya tak ingin berhubungan lagi dengannya." "Oh, tentu. Kami berjanji, War." Janji itu memang harus ditepati.

Tom memikirkan Kristin. Ia tak merasa puas dengan hanya menelepon. Meskipun Kristin sendiri mengata- kan bahwa ia baik-baik saja, tapi Tom ingin melihatnya dengan mata kepala sendiri. Terutama Jason. Benarkah dia tidak apaapa? Sebagai seorang dokter ia bisa memeriksa dengan saksama.

Sebelum berangkat ia menelepon dulu. Ternyata Adam belum pulang. Ia menganggapnya sebagai kesempatan yang baik. Orangtuanya mendukung niatnya. Mereka pun menyayangi Kristin dan Jason. Dan membenci Adam! Tapi mereka sepakat untuk tidak menceritakan kunjungan Anwar itu kepada Maria dan Henry. Setidaknya untuk sementara. Hal itu berhubungan dengan janji mereka kepada Anwar.

Kristin sudah mempersiapkan Jason di ruang depan. Ia bersyukur atas kunjungan Tom, yang dianggapnya sebagai perhatian. Kepada Bi Iyah ia mengatakan bahwa Tom seorang dokter yang akan memeriksa Jason.

Dengan stetoskop lama miliknya yang disimpan ayahnya, Tom memeriksa Jason. Ia menyimpulkan Jason sehat-sehat saja. Apalagi anak itu sendiri memang tenang. Matanya yang jernih itu menatapnya sambil berkejap-kejap. Tom tersenyum. Betapa ia menyukai anak itu. Terpikir, bila kelak ia kembali ke Amerika pasti ia akan merasa kehilangan. Memang ia bisa kembali lagi untuk menjenguk. Tapi ketika itu terjadi tentunya Jason sudah lebih besar.

Kristin mengamati keduanya dengan perasaan campur aduk.

Lalu Tom menoleh kepadanya. Mereka berpandangan sejenak. Aneh, rasanya seperti magnit. Tatapan mereka bertautan tak mau lepas. Lalu mereka tersenyum. Kehangatan pun terasa merebak memasuki seluruh pori-pori, terus ke dalam mengikuti aliran darah ke mana-mana. Tom melupakan nestapanya. Kristin terhibur duka laranya. Tanpa sadar Tom mengulurkan tangan lalu meraih tangan Kristin yang terletak di pinggiran kereta bayi. Kristin menyambut. Keduanya saling menggenggam erat dengan pandang yang terus bertaut.

Tetapi semua itu berlangsung cuma sekejap. Jason kembali jadi pusat perhatian.

"Untung dia punya ibu yang sigap," puji Tom.

Kristin tersenyum, bangga oleh pujian itu.

"Kau mau ke rumah sebelah?" tanya Kristin kemudian. "Kukira sebaiknya tidak. Sudah malam. Aku juga tak bisa lamalama. Kalau Adam pulang, dia bisa salah paham." Kristin melepas kepergian Tom dengan janji untuk selalu memberi kabar mengenai perkembangan situasi. Ketika melangkah menuju kereta untuk membawa Jason kembali ke kamarnya, Kristin melihat kertas terlipat di kolong kereta. Ia memungutnya lalu mengamati. Pada satu sisi kertas itu merupakan sebuah brosur yang warnanya berlepotan, hasil karya cetakan yang salah. Tapi pada sisi di baliknya terdapat coretan-coretan tulisan tangan dengan bolpen. Ia melihat nama Adam tertulis di situ. Perasaannya tak enak. Ia cepat melipat kembali kertas itu, lalu memasukkannya ke dalam saku celana pendeknya.

Sambil menaiki tangga dan menggendong Jason ia memikirkannya. Pasti kertas itu milik Tom, yang terjatuh dari sakunya ketika ia menarik stetoskop dari dalamnya. Bila Tom menganggapnya penting pasti ia akan kembali lagi untuk mengambilnya. Atau setidaknya menelepon untuk memberitahu.

Tapi sebelum itu terjadi ia akan mempelajarinya dulu. Ketika turun dari taksi di depan rumahnya, Tom mengambil dompetnya. Saat itulah ia menyadari kertas itu sudah tak ada lagi di kedua saku celananya. Yang masih ada hanya dompet dan stetoskopnya. Ia memarahi diri sendiri. Begitulah kalau tak bisa menghilangkan kebiasaan memasukkan segala macam barang ke dalam saku. Ia lebih terkejut lagi ketika terpikir akan kemungkinan bahwa kertas itu terjatuh di rumah Kristin. Mungkin saat ia mengeluarkan stetoskop. Ia memang tak ingat di saku sebelah mana kertas itu berada. Maka ia masuk kembali ke dalam taksi dan menyuruh sopir kembali ke kawasan Pantai Nyiur Melambai.

Kristin mempelajari tulisan pada kertas yang ditemukannya itu. Ia duduk di dipan di kamar bayi. Jason tidur dengan tenang. Tidak sukar baginya untuk menyimpulkan bahwa coretan itu dibuat oleh Harun. Siapa lagi yang mengalami hal-hal yang tertulis di situ selain dia? Ia pun sudah tahu cukup banyak mengenai kisah itu. Catatan Harun sepertinya tinggal melengkapi saja. Keterlibatan Adam seperti yang tertulis membuatnya terpukul. Apakah kesimpulan yang muncul bisa menjelaskan kekacauan yang terjadi di rumah ini? Apakah pilihan Adam akan rumah ini merupakan suatu kesalahan besar?

Atau bisa disebut sebagai kebodohan? Perasaan Kristin tertekan sekali. Terlalu banyak yang harus ditanggung dalam waktu singkat. Ia ingin menangis lagi seperti tadi. Ia mengerjapkan mata tapi tak ada air mata yang keluar.

Entah karena sudah habis atau dorongannya kurang. Pelanpelan ia melipat kembali kertas itu sesuai garis semula. Ia tidak tahu dari mana Tom mendapatkan kertas itu, mengingat Harun sudah tiada. Tapi ia tidak ingin tahu. Yang penting baginya adalah isinya. Jelas Tom baru saja mendapatkannya karena masih berada dalam sakunya. Kenapa Tom tidak menceritakan kepadanya? Ah, pasti Tom bermaksud baik. Dan ternyata Tom juga tidak pergi ke rumah sebelah. Padahal biasanya antara keluarga Tan dan keluarga Lie selalu saling tukar informasi. Maria pun sepertinya belum tahu. Kalau Tom menganggapnya penting ia akan kembali lagi sesegera mungkin.

Perkiraannya benar. Bahkan sebelum ia beranjak dari tempatnya ketukan, pada pintu kamar terdengar, disusul suara Bi Iyah, "Buuu! Dokter yang tadi balik lagi!" Tom menatap Kristin dengan cemas. Sudah dibaca dan dipelajarinyakah coretan pada kertas itu? Tetapi Kristin tampak cerah. Sama seperti saat ia meninggalkannya tadi. Kristin menyodorkan lipatan kertas itu kepadanya. Suaranya biasa-biasa saja. "Kau pasti kembali untuk mengambil ini, bukan?"

Tom menerima kertas itu dan buru-buru memasukkannya ke dalam sakunya. "Apa kau... kau membacanya?" tanyanya, tak bisa menyembunyikan kekhawatiran dalam suaranya. Kristin tertawa. "Wah, apa ya isinya? Rahasia?" ia balas bertanya.

Tom tertawa juga. Ia lega. "Bukan sih."

"Kalau gitu, lihat dong!" Kristin mengulurkan tangannya. Isyarat meminta. Tapi Tom menangkap tangannya dan memegangnya selama beberapa saat. "Nggak usahlah, Kris!

Kasihan. Nanti kau jadi pusing."

"Oh ya? Tujuh keliling begitu?"

"Ya. Kira-kira begitu. Padahal kau lagi pusing, kan?" "Tak apa. Kau dokter. Bisa memberi obat." "Wah. Kayaknya resepku tak berlaku di sini." Mereka tertawa ketika menuju ke pintu. Taksinya menunggu.

Tom pergi dengan perasaan lega. Tetapi Kristin menyimpan bebannya.

Malam itu Adam tidak pulang.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience