1

Family Completed 2798

Kristin semakin sering meraba dan membelai perutnya. Sudah bergerakkah dia? Ayo dong, Sayang! Sepaklah perut Mama!

Tendanglah! Ayo! Tetapi ia tidak merasakan apa pun. Ia mencoba menenangkan diri. Barangkali anak itu lebih suka bergerak di malam hari, saat ia tidur nyenyak dan tidak bisa merasakan. Atau dia lebih suka bergerak pelan-pelan karena tak mau menyakiti ibunya. Tetapi ia tahu itu cuma membohongi diri sendiri. Ia tidak boleh membiarkannya. Ia harus berbuat sesuatu.

Barangkali ia akan ke dokter sendiri diam-diam. Tapi ia tak mungkin merahasiakannya dari Adam karena hasil pemeriksaan harus diketahuinya juga. Adam pasti akan marah besar_ dan menuduhnya sebagai istri dan ibu yang cuek. Padahal itu sama sekali tidak benar.

Ketakutannya menjadi ganda, yaitu perihal nasib si bayi dan kemarahan Adam. Ia perlu mengumpulkan keberanian dulu untuk memberitahu Adam dan kemudian mengajaknya ke dokter, karena memang cuma itu solusi satusatunya.

Keresahan itu membuatnya melupakan si orang misterius yang suka berdiri di seberang rumah. Seandainya ingat pun ia tak peduli lagi untuk menjenguknya melalui jendela. Buat apa? Ia sedang mengalami beribu kepusingan.

Tetapi pagi itu ketika bangun tidur dan membuka tirai jendela ia melihatnya lagi! Lelaki itu berdiri di sana dalam posisi biasa dan pakaian yang sama, menatap kepadanya dengan sorot mata yang ramah. Ia tersenyum, membuat wajahnya tampak segar dan ceria. Rambutnya yang hitam agak gondrong tampak sedikit basah. Hujankah tadi?

Lalu lelaki itu membungkuk dalam seperti kebiasaan orang Jepang saat menyampaikan hormatnya. Dan ketika ia menegakkan tubuhnya kembali tampak senyumnya melebar. Mulutnya komat-kamit mengatakan sesuatu. Suaranya tak sampai ke telinga Kristin. Tetapi dari gerakan bibirnya, Kristin yakin ucapannya adalah, "Selamat pagi!"

Spontan Kristin pun membungkuk dalam dan tersenyum sama cerianya. Ia senang diperlakukan seperti itu. Tetapi saat berikut ia tersipu malu. Ia menyadari penampilannya yang kusut karena baru saja bangun tidur. Pakaiannya pun cuma gaun tidur. Ia mundur dari jendela dan berpaling. Tatapannya tertuju ke tubuh Adam yang masih melingkar di tempat tidur.

Inilah saat terbaik untuk membuktikan.

"Mas! Cepat! Dia ada di sana sekarang! Bukankah kau ingin melihatnya?" seru Kristin. Adam bangun dengan cepat lalu melompat dan berlari ke jendela. Kristin mengikuti di belakangnya. Tetapi sesaat kemudian Adam menoleh kepadanya dan berkata, "Tak ada siapa-siapa di sana, Kris!"

Kristin terperangah. Lelaki itu sudah tak ada di sana. Cepat sekali perginya. Pasti pakai mobil. Tapi seingatnya tadi tak ada mobil di dekat orang itu. Ia jadi merasa bodoh menerima tatapan Adam.

"Dia sudah pergi, Kris. Sudahlah. Aku toh tak berminat lagi melihatnya," Adam menghibur.

Kristin merasa kecewa karena menganggap Adam sebenarnya tak percaya bahwa orang itu benar-benar ada. Mungkinkah dipikirnya ia mengalami halusinasi hingga melihat sesuatu yang

sebenarnya tidak ada? Memang Adam tidak berkata begitu, tetapi pada suatu saat ia pernah memberi kesan seperti itu. "Jangan-jangan dia tinggal di rumah seberang, Mas!" "Rumah itu kosong. Siapa yang bisa tinggal di rumah tanpa atap dan dindingnya cuma beberapa potong?"

Ya, memang tak mungkin, pikir Kristin. Cuma gelandangan yang mau tinggal di rumah seperti itu. Padahal lelaki itu rapi dan kelihatan intelek. Dia jadi malu dengan pemikirannya itu. Ah, dia memang merasa kacau..

Adam memeluknya dengan sikap penuh sayang. "Sudahlah. Kenapa kita mesti memusingkan orang lain? Kalau nanti kau melihatnya lagi, biarkan saja. Dia pasti punya urusan yang tak ada hubungannya dengan kita," hibur Adam.

"Tapi kenapa...?" Kristin tak meneruskan ucapannya. Adam membimbingnya ke tempat tidur, lalu mendudukkannya di pinggiran. Ia juga duduk merapat, lalu merangkul bahu Kristin. "Ayo, jangan murung begitu, Sayang. Pagi ini cerah sekali. Lihat!" Ia menunjuk ke jendela. Lalu ia mengelus perut Kristin. "Kalau kau murung, nanti bayi kita jadi ikut murung."

Kristin ingin sekali menangis. Tapi ia harus tabah. Harus berani. Akan menjadi ibu dan kemudian batal menjadi ibu adalah risiko kehidupan. Bagaimana dengan orang-orang yang begitu menderita di rumah ini dan rumah-rumah sekitarnya dulu? Semua orang pernah mengalami bagaimana senangnya memiliki sesuatu dan betapa sedihnya ketika kehilangan. Ia harus menceritakan dan menerima apa pun risikonya.

"Mas, aku..." Kristin tak meneruskan ucapannya. Ia tersentak dengan penuh kejutan. Matanya membelalak. Tangannya mengusap perut. Salahkah perasaannya? Benar-benar atau bohong-bohongan?

Adam terkejut dan menatap cemas. "Kenapa, Kris? Perutmu sakit?"

"Dia bergerak, Mas! Dia bergeraaaak!"

Kristin bersorak-sorak dengan penuh kegembiraan. Di sampingnya Adam terbengong-bengong. Ia tak mengerti.

Mungkin itu salah satu keanehan perempuan yang sedang hamil.

Selalu berlebihan. Jadi tak perlu meminta penjelasan.

Kristin memang tak berniat menjelaskan. Sekarang hal itu tak perlu lagi. Itu tidak penting.

Setelah pagi hari yang menggembirakan itu Kristin tak pernah lagi melihat si lelaki misterius. Dalam suasana hati yang berbeda ia masih suka duduk-duduk di depan jendela sambil membaca atau menjahit. Iseng ingin melihatnya. Senang melihat senyum dan sikapnya yang sopan. Ada juga rasa penasaran, ingin tahu ke mana perginya lelaki itu kalau ia sudah capek berdiri di seberang sana. Tidak seperti sebelumnya, ia akan duduk terus di situ dan menunggu. Tentunya tanpa memandangi secara langsung. Ia bisa berpura-pura sedang membaca. Sayangnya, lelaki itu tak terlihat lagi. Entah kenapa Kristin jadi merasa kehilangan. Tetapi ketika kemudian ia merasakan sepakan di dalam perutnya, ia akan tersenyum. Aduh, kenapa aku harus merasa kehilangan bila sesungguhnya dia sudah kembali? 32 II Kawasan Pantai Nyiur Melambai, akhir bulan Mei. Maria menatap Kristin penuh simpati. Sebentar-sebentar tatapannya tertuju ke perut Kristin yang membuncit. Wajah Maria yang sudah dihiasi keriput memperlihatkan sikap keibuan. Keadaan Kristin mengingatkannya kepada Ike, putri sulungnya yang sudah berkeluarga. Mereka berdua sebaya. "Ingat ya, Kris, kalau kau merasakan sesuatu, beritahu aku. Pasti aku bisa lebih cepat membantumu daripada Adam. Apalagi kalau jalanan macet. Dulu aku juga yang membawa Ike ke rumah sakit waktu dia mau melahirkan anak pertamanya." "Beres, Tante. Terima kasih. Tapi nanti merepotkan."

"Ah, masa iya sih? Jangan berpikir begitu. Aku belum tua lho. Masih bisa nyetir. SIM-ku belum kedaluwarsa. Dan mobilku

biar sudah tua, masih bisa dipakai mengantarmu ke rumah sakit."

Kristin tersenyum. Senang punya tetangga yang baik dan penuh perhatian.

Maria dan suaminya, Henry, atau keluarga Tan, adalah tetangga sebelah rumahnya. Mereka juga tinggal bertiga dengan seorang pembantu karena Ike, si putri sulung, tinggal di rumah sendiri bersama suami dan dua anaknya di kawasan Jakarta Pusat. Sedangkan putri kedua, Susan, bersekolah di Selandia Baru.

Mobil keluarga itu cuma satu, tapi tak pernah digunakan Henry ke kantornya, sebuah perusahaan garmen dengan orientasi

ekspor. Dia dijemput dan diantar sopir perusahaannya, yang melakukan hal yang sama bagi staf perusahaan yang lain. Dengan demikian perusahaan tidak perlu menyediakan fasilitas kendaraan bagi para stafnya. Juga uang bensin atau uang transpor. Perusahaan menganggap itu lebih efisien. Banyak penghematan harus dilakukan bila ingin bersaing dalam situasi perekonomian global. Yang penting, penghematan itu bukan di bidang kesejahteraan karyawan. Pimpinan perusahaan, orang Taiwan, sudah belajar banyak dari kerusuhan demi kerusuhan yang pernah terjadi di Jakarta dan daerah lain, terutama pada tahun 1998. Bahwa unjuk rasa yang dilakukan karyawan yang menuntut perbaikan nasib bisa menimbulkan kerugian jauh lebih banyak. Bukan cuma material, tapi juga moral, karena sulit bagi pemilik perusahaan untuk menilai secara positif karyawan yang pernah melakukan unjuk rasa, apalagi yang menghujat, kepadanya. Hubungan sudah telanjur rusak. Ternyata tanpa fasilitas kendaraan pun para staf tidak mengeluh atau menuntut. Mungkin karena pemilik dan tingkat eksekutif pun diperlakukan sama dengan mereka. Tapi mungkin juga karena zaman sekarang pekerjaan sulit dicari. Terlalu cerewet me- 34

milih-milih malah tak dapat apa-apa. Padahal orang yang membutuhkan pekerjaan antre panjang. Sedang sebagian orang lain tegang menunggu kapan terkena giliran pemutusan hubungan kerja.

Henry baru setahun lebih bekerja sebagai akuntan di perusahaan itu. Ia lancar berbahasa Mandarin, suatu kelebihan yang membuatnya diterima bekerja padahal usianya sudah

setengah baya. Dalam persaingan tajam di dunia kerja, orang harus memiliki suatu kelebihan dibanding lainnya supaya bisa diterima. Jadi sukar bagi seseorang untuk bisa langsung memasuki dunia kerja bila ia cuma mengandalkan ilmu dari perguruan tinggi.

Maria menceritakan hal-ikhwal suaminya itu kepada Kristin dengan setengah bangga, setengah sedih. Bangga karena suaminya masih bisa berguna dalam usia yang tak muda lagi. Mana ada perusahaan mau menerima karyawan baru yang sudah setengah baya? Dia juga sedih karena dulu Henry bukan kelas karyawan, melainkan majikan dari usahanya sendiri. Toserbanya di bilangan Kota cukup besar. Sebuah toko yang berkembang dari sebuah warung. Tetapi setelah menjadi besar tiba-tiba lenyap begitu saja bagai dilanda angin puting-beliung! Toko mereka merupakan salah satu korban kerusuhan Mei 1998. Isinya dijarah massa yang menyerbu dan kemudian membakar gedungnya. Sekarang bangunan toko itu masih saja dibiarkan hangus menghitam. Tak ada uang untuk membongkar dan membangunnya kembali. Apalagi untuk kemudian mengisinya dengan barang dagangan. Sementara mau dijual pun tak kunjung laku. Hampir sama nasibnya dengan rumah-rumah di kawasan pemukiman mereka.

Henry sudah kehilangan semangat untuk kembali berdagang. Ia menganggap dirinya sudah terlalu tua untuk merangkak lagi dari bawah. Lagi pula dari mana modalnya? Berutang sangat riskan. Apalagi bank-bank sekarang ketat sekali menghadapi debitur. Tentu berkat pengalaman buruk puluhan bank yang dipaksa tutup oleh pemerintah beberapa waktu yang lalu. Klaim

pada asuransi pun sulit setengah mati. Akhirnya yang mereka bayarkan hanya sepuluh persen dari jumlah yang seharusnya ia terima. Terpaksa ia menerimanya daripada tak dapat apa-apa sama sekali. Dengan uang itu ia bisa membayar pesangon para karyawannya.

Maria juga banyak bercerita mengenai nasib buruk yang dulu menimpa kawasan di mana mereka tinggal. Ceritanya lebih lengkap daripada Adam karena dia dan keluarganya mengalami sendiri. Sering kali ia mengulang-ulang cerita yang sama. Entah sengaja, entah lupa.

Kristin mendengarkan dengan sabar karena sadar Maria ingin melampiaskan kekesalan dan kesedihannya. Mungkin itu lebih baik daripada mendiamkannya saja dan menyimpannya terus, karena bisa meng-gerogoti tubuh dari dalam. Tahu-tahu badan jadi keropos dan kurus kering. Karena itu ia selalu bersikap seakan cerita Maria itu baru pernah didengarnya. Maria membutuhkan teman yang bisa memberikan simpati dan empati. Sedang dia sendiri membutuhkan hal yang sama. Memang ada

Adam- Tetapi seorang suami tidak sama dengan teman Jadi dia dan Maria bisa saling melengkapi, yang satu membutuhkan yang lain. Di kawasan itu tetangga adalah makhluk langka. Jadi mereka harus menjaga kerukunan dan pandai menyesuaikan diri. Kalau memang cocok, itu adalah keberuntungan tersendiri. "Dulu rumah ini megah, Kris," cerita Maria. "Ya seperti rumahrumah yang lain juga di masa lalu. Waktu pertama menempatinya aku serasa mimpi. Aduh, akhirnya aku bisa juga punya rumah bagus. Lepas dari mertua lagi. Memang mertua punya rumah besar dan bagus juga, tapi itu toh rumahnya.

Bukan rumahku sendiri. Ternyata cuma beberapa tahun saja aku bisa menikmatinya. Bandit-bandit itu membakarnya setelah menjarah isinya habis-habisan. Rumahku dan rumahmu, eh, rumahmu yang dulu, sama-sama hangus. Demikian pula banyak rumah lain. Kalau tak dibakar, dirusak dan dipereteli. Pintunya, jendelanya, kusennya, sampai gentengnya pun habis. Kalau nggak dibakar perbaikannya lebih gampang. Tapi rumahku mesti dibangun lagi dari awal. Maka tabung-an terpaksa dipakai. Padahal itu untuk hari tua."

Kristin menatap berkeliling selama Maria berceloteh. Rumah itu sederhana, tapi tidak jelek. Meskipun demikian tentunya menjadi jelek bila dibandingkan dengan keadaannya semula.

"Tapi Tante masih punya rumah, kan?"

"Ya. Memang aku masih beruntung dibandingkan orang lain yang tak punya apa-apa lagi kecuali baju di badan pada saat kejadian. Ketika kami mengungsi ke rumah mertua yang daerahnya aman, kami masih bisa membawa pakaian dan beberapa barang lain. Untunglah Ike dan keluarganya baik-baik saja. Mereka tinggal di kawasan yang penghuninya campur baur, terdiri atas berbagai suku," Maria mengakui. "Dan Oom pun masih bisa mendapat pekerjaan pada saat banyak orang lain kehilangan pekerjaan."

Maria tersenyum sedih. "Oh ya, memang. Tapi kalau ingat toko kami, rasanya bisa gila deh, Kris. Ternyata harta itu memang tidak abadi, ya. Sekarang kita punya, tapi besok tidak lagi."

Kristin merangkul pundak Maria. "Tapi Tante dan Oom sudah terbukti sangat tabah karena berhasil mengatasi cobaan itu.

Orang lain belum tentu."

"Ya, memang. Aku dengar, banyak orang menjadi gila setelah kejadian itu. Kenyataan seperti itu memang sulit diterima. Masa tak hujan tak angin, tak pula ada perang, tiba-tiba kita diserbu. Dirampok dan dibunuh. Tanpa alasan sama sekali. Cuma karena kita ini orang Tionghoa. Sungguh tidak adil, Kris."

"Ya, sangat tidak adil, Tante."

Maria mengamati wajah Kristin. "Ah, kau juga merasa begitu?

Tapi kau tidak sama dengan kami. Papamu orang Jawa, kan?"

"Sama saja, Tante. Saya dan Papa satu perasaan dengan Mama."

"Bagaimana sih rasanya jadi anak campuran ketika itu, Kris?

Kau memihak siapa?"

"Saya memihak kebenaran, Tante. Saya mengikuti hati nurani." "Kenapa bandit-bandit itu tidak punya hati nurani, ya? Apa mereka pikir kita ini bukan manusia? Kok tega? Apa mereka

bisa tidur nyenyak di malam hari?" Maria sudah sering mengutarakan keluhan itu. Kristin merasa tak perlu menanggapinya lagi. Ia cuma membelai pundak Maria lalu meletakkan kepalanya di atas pundak Maria yang satunya lagi.

"Dulu Oom jadi bos dari usaha sendiri. Sekarang jadi kuli orang asing. Banyak yang begitu, Kris. Sekarang orang asing jadi bos. Rupanya mereka lebih suka bos orang asing daripada warga negara sendiri. Habis kita memang tidak pernah dianggap sebangsa. Kalau ada kerusuhan rasial yang disalahkan selalu

kita. Katanya eksklusif lah, nggak mau gaul lah, suka menyuap pejabat lah, ini-itu lah. Habis gimana, coba? Gimana mau gaul kalau kita nggak diterima. Kita kan minoritas, Kris. Rasa takut pasti ada. Itu sebabnya kita lebih suka tinggal berkelompok. Supaya punya teman. Supaya lebih kuat. Rasanya itu wajar. Di mana-mana kaum pendatang juga begitu. Kenapa cuma kita yang disalahkan ya, Kris?"

"Akan ada saatnya semua itu berakhir, Tante."

Maria mengerutkan keningnya. Wajahnya tampak pucat. "Kau percaya itu, Kris? Menurut sejarah, kejadian seperti itu selalu berulang dalam jangka waktu tertentu. Satu berbuat salah, semua menanggung akibat."

"Sejarah itu masa lalu, Tante. Sekarang kita punya masa depan karena kemungkinan besar "pemimpin kita berbeda dengan yang dulu."

"Ya, mungkin saja. Tapi bagiku rasanya sudah tak ada artinya. Aku dan suamiku sudah telanjur sakit hati. Harapan indah itu buat kalian yang muda-muda saja."

"Jangan pesimis, Tante."

"Dulu sih nggak pesimis, Kris. Dalam hidupku aku sudah mengalami beberapa kali kejadian sama meskipun tak ada yang menandingi peristiwa Mei sembilan delapan itu. Dan kalau cuma sekadar pelecehan rasial sih cukup sering kualami. Tetapi sering kali aku berpikir, nanti pasti tidak begitu lagi. Kelak akan ada perubahan. Masa sih begini terus? Zaman kan berubah juga. Orang mestinya mengikuti zaman, kan? Kita sudah lama di sini. Lahir turun-temurun di sini. Sudah berabadabad ada di sini. Masa sih nggak juga diterima atau dianggap orang asing terus. Tapi ternyata optimisme itu cuma membohongi diri. Mungkin munculnya karena dambaan sendiri. Jadi aku menyerah. Tak mau berharap lagi. Sudah terserah gimana nasib saja, Kris. Terserah pada Yang Di Atas." Maria melepaskan rangkulan Kristin. Ia tersenyum sendu ketika beradu pandang.

Kristin merasa iba ketika melihat wajah pucat Maria basah oleh air mata. Tak terbayangkan bagaimana kondisinya ketika tragedi itu terjadi. Waktu memang tak selalu bisa menyembuhkan.

"Sori ya, Kris. Seharusnya kau tidak kujadikan keranjang sampah keluhan dan kesedihanku. Oh, aku menyesal! Lihat, kau jadi murung! Nanti anakmu ikut-ikutan murung." Kristin menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Tante. Ceritakan saja. Keluarkan beban Tante. Saya memang tidak mengalami sendiri apa yang telah dialami Tante atau orang lain. Tapi saya bisa merasakan. Saya ikut sedih, dan ingin membantu sebisa saya. Biarkan saya membantu Tante dengan berbagi perasaan."

Maria membelai lengan Kristin. "Kau baik sekali ya, Kris.

Senang sekali punya kau sebagai tetanggaku. Pasti Tuhan mengirimmu ke sini untuk menjadi temanku dan pengganti putriku yang jauh-jauh."

"Ya. Kita akan berteman, Tante. Saya sendiri juga kesepian." "Aku akan cerita tentang dirimu kepada Susan. Dia pasti senang sekali. Sayang ceritanya mesti lewat surat. Dulu sih pakai e-mail lebih cepat." "Kenapa sekarang tidak lagi, Tante?"

"Kami nggak punya komputer lagi. Entah dijarah atau sudah jadi abu. Sekarang kami tak mampu beli lagi. Biarlah, itu tidak terlalu penting. Kalau ada uang sisa, lebih baik ditabung untuk hari tua."

"Biaya untuk Susan pasti mahal, ya Tante?"

"Oh, Susan mendapat beasiswa, Kris!" Maria berbinar bangga. "Dia cerdas lho. Dia juga anak yang baik. Meskipun hidupnya pas-pasan, tapi dia menolak keras dikirimi uang. Katanya, kami lebih memerlukan. Apalagi sekolahnya juga tinggal beberapa bulan lagi. Di sana dia melakukan pekerjaan apa saja di waktu luang. Yang penting halal. Jadi pelayan, cuci piring di restoran. Dia juga tak pernah pulang sejak kasus Mei itu. Dan mungkin juga tak akan pulang...."

Suara Maria tersendat. Wajahnya yang semula ceria kembali murung.

Kristin tertegun. Suara hatinya mengatakan, sebaiknya topik pembicaraan diubah, tetapi dia terdorong rasa penasaran.

"Kenapa begitu, Tante?"

Maria tidak memandang kepadanya saat menjawab, "Hatinya terlalu sakit. Bukan cuma orangtuanya yang disakiti, tapi dia juga. Mungkin dia lebih lagi. Kami kehilangan harta dan harga diri, dia kehilangan kekasih yang sangat dicintainya." Kristin terkejut. Ia tak tahu mesti bilang apa. Ia cuma bisa meraih tangan Maria. Sudahlah, kata hatinya. Cepat alihkan pembicaraan. Tetapi mulutnya bersuara, "Apa kekasihnya itu orang sini, Tante?" Sepertinya bukan dia yang bersuara begitu. Sesudah bertanya dia menyesal. Tapi sudah telanjur.

"Oh ya. Dia orang sini. Dekat lagi. Tinggalnya di situ." Tangan Maria menunjuk ke sebelah, arah rumah Kristin! Kristin terkejut. Tambahan lagi ketika itu bayi di perutnya menyepak keras. Dia mengeluarkan pekik tertahan. Pekikannya itu juga mengejutkan Maria. Perempuan yang wajahnya sudah pucat itu menjadi tambah pucat. Ekspresinya penuh penyesalan dan kejutan.

"Di situ di mana, Tante? Rumah yang saya tempati?" tanya Kristin.

"Oh, bukan! Bukan! Arahnya sebelah sana. Masih kompleks ini." Suara Maria bergetar.

Kristin bernapas lega. "Dia menjadi korban tragedi itu?" Maria menggeleng kuat-kuat. "Lebih baik kita tidak membicarakan yang sedih-sedih, Kris. Tak habis-habisnya."

"Ya. Betul, Tante. Ah, saya ingin sekali berkenalan dengan

Susan. Berapa umurnya, Tante?"

"Dua empat."

"Saya dua lima."

"Kalian sebaya. Pasti cocok. Sama-sama cerdas dan baik hati."

"Kenapa bukan Tante dan Oom saja yang ke sana menemuinya?" "Maunya sih begitu. Tapi Susan bilang, nanti saja ke sana kalau dia sudah mapan dan punya uang banyak. Katanya, kalau kami ke sana, tak boleh kembali lagi ke sini. Biar jadi orang sana saja!

Tapi aku nggak mau begitu."

"Kenapa, Tante?"

Aduh, aku banyak bertanya, pikir Kristin. Tapi dia tak bisa mengatasi keingintahuannya.

"Nanti aku bisa bingung sama diriku sendiri, Kris. Aku ini sebenarnya orang apa sih? Di sini cuma sebagian orang saja yang tidak mengakui. Sebagian lainnya mengakui dan menerima kita kok. Tapi di sana? Aku sudah tua, masa mesti belajar dari nol untuk jadi orang sono."

"Mungkin orang sana tidak akan menjarah dan membakar."

"Entahlah. Kita kan tidak pernah tahu, Kris."

Diam sejenak. Kristin termenung. Tentunya sulit memahami jalan pikiran seseorang, apalagi bila orang itu telah mengalami trauma demikian berat. Selama ini ia mengagumi suami-istri Tan itu sebagai orang-orang yang tabah dan kuat mental. Ia mengira hal itu disebabkan karena optimisme. Bukan karena sekadar menjalani hidup. Apalagi keluarga itu masih memiliki modal untuk survive. Tidak seperti-sebagian orang lain yang sudah habis-habisan.

Melihat sikap Kristin muncul kembali penyesalan Maria. Seharusnya dia tidak emosional. Sering sekali dia lupa untuk mengendalikan diri. Bagaimana kalau Kristin menjadi stres karena berulang kali mendengarkan keluhannya lalu tak ingin

bertandang lagi? Walaupun Kristin sudah mengakui dirinya juga membutuhkan 43

teman, tetapi tentunya bukan seseorang yang bisa membuatnya stres. Apalagi omongannya yang kelepasan mengenai kekasih Susan tadi sungguh mengerikan untuknya sendiri. Bagaimana kalau Kristin menjadi takut lalu memutuskan untuk pindah dari situ? Bila hal itu terjadi maka dia akan kehilangan teman yang begitu susah diperoleh. Dan bagaimana kalau Adam tahu padahal lelaki itu sudah memohon kepada mereka untuk tidak

bercerita apa-apa? Mereka pun sudah berjanji! Tubuhnya menjadi dingin.

Ketika Kristin pamit pulang, Maria mengantarkannya sampai di depan pintu pagar. Bi Iyah sudah menunggu. Maria ragu-ragu, seolah berat berpisah. Kristin menyadari hal itu. Ia tidak merasa keberatan ditemani Maria. Keluhannya yang banyak tidak membuatnya stres. Sebaliknya, ia justru telah belajar banyak dari Maria! Penyesalan yang diperlihatkan Maria membuatnya iba. Ia tahu, Maria merasa cemas akan dirinya. Kristin menggandeng lengan Maria. "Masuk, Tante?" ajaknya. "Ah, Kris kan mau istirahat. Nanti terganggu lagi oleh omonganku."

Kristin tersenyum. "Saya nggak terganggu, Tante. Sungguh."

"Nggak, ah. Sampai di sini saja."

"Mau lihat kamar bayi, Tante?"

Wajah Maria bercahaya. "Mau, Kris?" sahutnya antusias.

Maria selalu memandang berkeliling bila berada di dalam rumah

Kristin "Kenapa, Tante?" tanya Kristin. "Bagus! Lebih bagus daripada yang dulu." "Ini hasil rancangan Adam." "Dia arsitek, bukan?

Pantas." Mereka menaiki tangga pelan-pelan. "Mestinya kau jangan sering-sering naik-turun tangga, Kris. Gimana kalau terpeleset?" "Hati-hati dong, Tante."

"Dulu ada satu kamar di bawah. Mestinya itu kaupakai selama masa kehamilan ini. Tapi tak kulihat lagi kamar itu." Maria memandang berkeliling dari atas tangga.

"Entahlah bagaimana dulunya, Tante. Saya kan nggak pernah lihat. Sekarang memang tak ada kamar tidur di bawah. Semua kamar di atas. Ada juga kamar pembantu di belakang."

"Ya, memang ruangannya jadi luas."

Maria merenung sejenak. Tak segera melangkah. Kristin mengamati tatapannya.

"Dulu Tante sering main ke sini rupanya."

"Oh ya."

"Siapa saja yang tinggal di sini dulu, Tante?"

Maria tampak enggan. "Suami-istri Lie dengan dua anak lelaki mereka."

"Ke mana mereka sekarang?"

"Mereka pindah ke Amerika. Anak sulung mereka bekerja sebagai dokter di New York City." "Wah! Pinter dong, Tante. Lulusan Indonesia?" "Bukan. Lulusan Columbia University." "Wow!" seru Kristin kagum. Maria seperti tersentak. "Aduh! Ada yang terlupakan, Kris! Nggak jadi deh lihat kamar bayinya. Besok juga bisa. Aku mau pulang, ya."

Kristin tertegun. Maria begitu cepat berubah pikiran. Padahal mereka sudah di tengah-tengah tangga. Tanpa menunggu jawaban, Maria tergesa-gesa menuruni tangga, terus melangkah ke pintu. "Daaag Tante!" seru Kristin.

"Daaag!" sahut Maria tanpa menoleh. Segera ia lenyap dari pandangan.

Kristin masih di tempat semula. Belum lenyap herannya akan keanehan sikap Maria. Lalu terpikir, mungkin itu merupakan akibat trauma yang pernah dialaminya. Sesungguhnya banyak yang harus dimaklumi dari sikap seseorang. Aneh atau tidak bukan pertanda sakit mental, tetapi lebih disebabkan pengalaman hidup.

Lalu dia teringat. "Bagaimana dengan anak yang kedua atau si bungsu, Tante?" katanya keras-keras.

Tentu ia tidak mengharapkan jawaban. Maria sudah keluar.

Tapi ternyata ada yang bersuara. "Kok ngo-mong sendiri, Bu?" Kristin terkejut. Ia melihat Bi Iyah mengamatinya dari sudut rumah. Entah sejak kapan ia berdiri di sana. "Tolong dikunci pintunya, Bi. Barusan Bu Maria keluar," katanya, lalu melangkah perlahan menaiki tangga. Di belakangnya terdengar Bi Iyah menyahuti. Ia tak menoleh.

Tiba-tiba terasa sepakan di dalam perutnya. Ia terdiam. Ngilu sesaat. Kemudian ia tersenyum. Sudah saatnya kucarikan nama untukmu! Satu nama perempuan dan satu nama lelaki.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience