8

Family Completed 2798

Tetapi kepada Henry, Maria mengatakannya, "Aku tahu kenapa Adam tidak mau memanggil Jason dengan sebutan 'Son' seperti kita. Son itu penggalan nama Sonny, kan? Dia tahu riwayat rumah yang ditempatinya. Dia juga kenal Sonny dan tahu kasusnya."

"Memangnya kenapa? Kita juga tahu. Dan Kristin juga. Justru Kristin yang memberi nama itu. Kalau Adam keberatan dengan nama itu, kenapa tidak dari awal dia melarang? Dan kalau dia takut, kenapa pula ditempatinya rumah itu?"

"Ah, masa si Adam takut sama rumah itu?! Nggak cocok, Pa." "Pusing, ah," Henry menolak untuk memikirkannya lebih jauh. "Oh ya, Pa. Ada kabar dari Harun. Dia menelepon. Katanya dia sudah mulai dengan penyelidikannya ke pemukiman kumuh di belakang sana."

Henry terkejut. "Penyelidikan apa? Oh, yang menjarah dulu itu? Wah, buat apa sih?"

"Katanya dia jadi penasaran tentang kematian Sonny." Henry geleng-geleng kepala. "Wah, itu berbahaya. Pembunuh yang dikutik-kutik bisa membunuh lagi."

"Aku juga bilang begitu. Sudahlah, Pak Harun. Orang yang sudah mati kan tak bisa hidup lagi. Biarpun kita tahu siapa

pembunuhnya, tapi kita tak punya bukti. Kejadiannya sudah lama. Apa ada saksinya?"

"Oh, kau bilang begitu? Padahal waktu berbincang dengannya kau bersemangat sekali." "Ya. Aku menyesal sekarang, Pa. Rupanya dia ketularan semangatku. Mudah-mudahan saja dia selamat, ya." Tetapi diam-diam Maria juga berharap, semoga penyelidikan Harun membawa hasil dan dia segera diberitahu. Bi Iyah menyambut kepulangan Kristin. Ia menatap majikannya penuh arti. Kristin memahami tatapan itu. Bi Iyah adalah matamata Adam. Tetapi ia tak peduli. Ia pura-pura tidak tahu. Ia

juga tidak perlu membicarakan hal itu dengan Bi Iyah, misalnya dengan melarangnya atau memintanya untuk tidak melakukan hal itu. Ia merasa wibawanya sebagai majikan akan berkurang bila berbuat begitu. Maka ia pun tidak bersikap sembunyisembunyi bila akan pergi ke rumah Maria. Biar saja Adam tahu.

Ia toh bukan orang yang terpenjara di dalam rumahnya sendiri. Di ruang depan Kristin mengangkat Jason dari kereta bayi. Sudah saatnya menyusui, tapi anak itu masih tidur dengan manisnya. Maka ia tidak perlu buru-buru. Ia tidak biasa menyusui Jason di sembarang tempat. Selalu di kamar bayi. Ada kursi khusus yang sangat comfortable untuk keperluan itu. Bisa diatur kedudukannya dan bisa berfungsi sebagai kursi goyang. Ia pun bisa mendengarkan musik lembut di sana. Semuanya sudah diatur oleh Adam sebelum Jason lahir. Jelas betapa Adam pun merindukan kehadiran Jason. Tak mungkin ia tidak menyayanginya. Adam memang pantas kecewa. Tetapi Kristin menganggap Adam terlalu cepat putus asa. Cobaan yang dialaminya itu baru berlangsung dalam hitungan hari. Kesimpulannya terlalu cepat dan keterlaluan. Tapi bagaimanapun jengkelnya, Kristin siap memaafkan kalau Adam memintanya. Mungkin saat itu Adam lupa diri. Tapi tadi pagi ucapan minta maaf sama sekali tidak keluar dari mulut Adam. Ia pergi dengan sikap dingin. Mungkinkah Adam perlu waktu lebih banyak untuk menyadari dan menyesali kesalahannya? Kristin duduk di sofa sambil memangku Jason. Ia akan menunggu dulu sampai Jason terbangun, baru membawanya ke kamar bayi. Dalam keadaan lapar Jason akan mengisap lebih kuat hingga air susu akan keluar lebih banyak pula. Sambil merenung tatapan Kristin terpaku ke lemari antik kecil yang terletak di sudut ruang. Lemari itu berpintu kaca. Tempatnya duduk bergaris lurus dengan pintu kaca itu. Ia bisa melihat pantulan dirinya di sana. Ia mengamati wajahnya lebih cermat. Ah, rambutnya kusut. Poninya berserakan di dahi. Dua bulan yang lalu ia menata rambutnya di salon. Ia memangkas rambutnya supaya praktis. Tetapi sekarang menjadi sulit diatur. Diikat tak cukup panjang, tapi dilepas pun cepat kusut. Mungkin bila ada waktu ia akan ke salon lagi untuk merapikan rambutnya itu.

Tiba-tiba ia terkejut. Tatapannya terpaku. Kaca di pintu lemari antik itu tidak lagi memantulkan wajahnya, melainkan wajah seseorang yang lain. Ia mengenalinya sebagai wajah Sonny! Wajah itu tersenyum ramah, seperti yang selalu dilihatnya ketika ia memandang dari jendela kamarnya di loteng ke seberang 163

jalan di tempat Sonny sedang berdiri. Wajah anak muda, kekasih Susan, seperti yang dilihatnya di album foto milik Maria!

Tetapi pemandangan itu cuma bertahan dalam waktu sekitar sepuluh detik. Lalu tampak wajahnya sendiri yang sedang bengong terpesona. Ia segera memalingkan muka. Itulah untuk pertama kalinya ia melihat tampilan Sonny di dalam rumahnya. Tetapi berbeda dengan kejutan yang terasa ketika pertama kali mengenali foto Sonny di rumah Maria, saat itu ia merasa biasa-biasa saja setelah kagetnya lewat. Tak ada perasaan merinding atau ketakutan. Ekspresi wajah Sonny yang terlihat tadi terlalu ramah dan bersahabat untuk bisa memancing rasa takutnya.

Sampai saat itu tak seorang pun yang pernah diceritainya mengenai hal itu. Pernah terpikir untuk bercerita kepada Maria. Tapi ia menganggap hal itu tak ada gunanya. Maria terlalu emosional dan juga punya hubungan emosional dengan Sonny. Bagaimana kalau Maria menceritakannya kepada Susan?

Kasihan gadis itu.

Ia juga bersyukur karena tidak menceritakannya kepada Adam. Pada awalnya ia memang tidak ingin bercerita karena khawatir Adam menjadi takut pada rumah itu lalu mengajaknya pindah. Ia sudah kerasan di situ dan menyenanginya juga. Bahkan sesudah kejadian yang bisa dianggap aneh itu pun ia tidak merasa terganggu. Lagi pula ia cukup mengagumi ketabahan Adam yang tetap memutuskan memilih rumah itu meskipun sudah tahu riwayatnya. Ia tidak ingin meruntuhkan ketabahan

itu dengan ceritanya. Tetapi sekarang ada tambahan motivasi lain lagi. Ia ingin membalas tuduhan Adam yang semena-mena itu dengan memiliki rahasia!

Sesungguhnya bagi Kristin pengalaman anehnya seperti

"melihat" Sonny itu bukan merupakan sesuatu yang baru. Beberapa kali dalam hidupnya di masa lalu ia pernah mengalami hal serupa meskipun tidak persis. Beberapa di antaranya cukup berkesan. Misalnya ia pernah dikunjungi emban buyutnya yang belum pernah dilihatnya, lalu diceritai macam-macam. Ketika ia menceritakan pengalamannya itu kepada ibu dan neneknya, mereka tercengang-cengang karena cerita emban buyutnya itu sesuatu yang pribadi, yang tak mungkin diketahui sembarang orang, apalagi oleh Kristin yang tidak mengenalnya. Sesudah itu ia pun sempat dikunjungi neneknya, tak lama setelah si nenek meninggal. Kemudian ibunya menyimpulkan bahwa ia memiliki kepekaan yang tak dimiliki kebanyakan orang. Itu bukan kelainan, melainkan kelebihan. Tetapi ibunya menasihati agar ia menyimpan kelebihan itu untuk dirinya sendiri saja. Jangan ceritakan kepada orang lain, siapa pun dia! Maksud ibunya semata-mata untuk kepentingannya sendiri. Jangan sampai dirinya dianggap orang aneh semacam paranormal lalu dimanfaatkan. Ia setuju dengan pendapat itu dan karenanya tidak merasa berat hati untuk menyimpan. Apalagi pengalaman seperti itu tidak sering terjadi.

Mungkin nasihat ibunya itu ikut pula mempengaruhinya saat ini. Tidak ada yang menakutkan dari Sonny meskipun kematiannya terjadi secara tragis. Yang terkesan dari Sonny adalah sikap ramah dan sopannya. Sayang Maria tak mau bercerita banyak tentang dirinya. Ia juga tak mau bertanya karena nanti Maria akan balik bertanya. Ia cukup menyadari bahwa Maria menganggapnya sedikit aneh. Maka ia berusaha supaya di mata Maria "keanehannya" tidak berlanjut.

Baik Maria maupun Adam bertanya kepadanya kenapa ia memilih nama Jason untuk bayinya, padahal nama itu tidak ada di antara deretan nama yang sudah disiapkannya. Kepada mereka ia cuma mengatakan, "Nama itu lebih bagus!" Kenapa tiba-tiba? Ah, sama sekali tidak tiba-tiba. Ia teringat pada nama bintang film pujaannya semasa remaja. Tampaknya mereka tidak percaya, lebih-lebih Adam. Tetapi mereka tidak mendesaknya lebih jauh. Mungkin karena sadar, tak bisa mengorek kebenaran dari mulutnya. Bukankah ia sendiri juga tidak tahu? Nama itu muncul begitu saja dalam pikirannya! Lalu ia menganggapnya bagus.

Adam tidak senang. Itu tampak jelas. Ia juga tidak mau memanggil "Son" seperti yang lain. Ia lebih suka memanggil "Jeis". Sebenarnya sama saja. Yang pertama adalah penggalan bagian belakang, yang kedua adalah penggalan bagian depan. Itu cuma masalah selera. Tapi naluri Kristin mengatakan, itu bukan masalah selera. Sepertinya Adam sengaja menghindari panggilan "Son" karena sesuatu yang lain. Apakah itu mengingatkannya kepada Sonny yang tewas di rumah itu? Adam mengenal Sonny. Mereka pernah bekerja sama meskipun cuma sebentar. Mungkin wajar kalau dia merasa tidak enak. Tapi kalau memang begitu kenapa Adam memilih rumah ini untuk dihuni? Dua hal itu menimbulkan kontradiksi. Renungan Kristin terputus. Jason menangis.

VI New York City - awal bulan Juni.

Pukul enam pagi Susan dan Tom sudah mulai sarapan. Mereka sudah rapi berpakaian. Tom ada jadwal operasi pukul tujuh tiga puluh. Sedang Susan punya janji dengan orang yang harus diwawancarainya pukul sepuluh. Tapi ia bermaksud berangkat pagi-pagi karena ingin mengenali medan lebih dulu. Alamatnya di Ridgeport, New Jersey.

"Kenal nama Barnas Topan, Tom?" tanya Susan sambil mengunyah roti.

"Sepertinya pernah dengar. Diakah yang mau kau-temui?" "Ya. Dia terkenal di Indonesia. Mantan konglomerat, dulu salah satu orang terkaya di Indonesia. Sekarang bermukim bersama keluarganya di sana. Kabarnya dia berusaha di bidang hotel dan restoran."

"Jadi dia gerah di Indonesia?"

Susan tertawa. "Mungkin."

"Itukah yang mau kauselidiki?"

"Ah, bukan. Masalah penyelidikan bukan bagianku. Lagi pula aku sudah berjanji tidak akan bicara politik. Semata-mata cuma masalah sosial dan human interest."

"Pantasnya menarik."

"Ya. Kukira begitu. Itu sebabnya Bos menugasiku." "Ngomong-ngomong, Sus. Sudah konfirmasi lagi dengan orang itu tentang kedatanganmu nanti?"

"Belum. Kukira perlu juga, ya? Boleh pinjam lagi teleponmu,

Tom?"

"Hei, jangan sungkan begitu. Pakai sajalah kalau kau membutuhkan."

Sementara Susan menelepon, Tom memberesi meja. Ia orang yang rapi dan sudah terbiasa mengerjakan segala urusan rumahnya sendiri.

Kemudian Susan kembali dengan wajah masam. "Untung saja konfirmasi dulu, Tom. Ia membatalkan rencana hari ini karena ada urusan mendadak. Katanya, aku bisa saja datang dan bertemu dengan istrinya. Tapi nggak lengkap dong. Aku perlu mewawancarai mereka secara utuh."

Diam-diam Tom malah mensyukuri hal itu. "Lantas kapan bisanya dia?"

"Besok! Tapi besok konfirmasi lagi, katanya. Dasar!" Susan menggerutu.

Tom tersenyum. Itu berarti dia bisa mendapat waktu lebih lama lagi bersama Susan. Dan kalau besok batal lagi... "Jangan kecewa, Sus. Ambil hikmahnya. Bukankah kau ingin jalan-jalan di sini? Nah, ini kesempatan!"

"Jalan-jalan sendiri? Kau mesti bekerja sekarang, kan?" Susan membelalak. Ia mengira Tom berniat bolos bekerja. Bagaimana pula nasib orang yang sudah dipersiapkan untuk operasi? "Sekarang aku memang mesti bekerja. Tapi nanti sore aku sudah bebas. Paling sampai jam empat, Sus. Kuantar kau jalanjalan berkeliling. Bagaimana?" "Oke!" seru Susan bersemangat.

"Sekarang kau santai saja di rumah. Atau jalan-jalan keliling apartemen."

"Aku ikut kau saja! Boleh?"

"Tentu saja boleh. Asal jangan ikut masuk ruang bedah!" Di lantai bawah mereka berpapasan dengan Ron yang berkeringat. Ia baru pulang lari pagi. Wajah Ron segera tampak ceria begitu berhadapan dengan Susan. "Wah, siap berangkat, Sus? Kau mengantarkannya, Tom?" "Mana bisa, Ron. Kau tahu betul aku punya jadwal!" "Apa kau sendiri tidak punya jadwal pagi ini, Ron?" tanya Susan.

"Yang paling pagi jam sepuluh, Sus."

Setelah mengetahui bahwa Susan tidak jadi berangkat ke New Jersey, Ron memutuskan untuk ikut bersama mereka berdua menuju rumah sakit. Saat itu udara tidak terlalu panas. Dan jarak ke rumah sakit cukup dekat untuk ditempuh berjalan kaki.

Sepanjang jalan mereka mengobrol bertiga. Dengan kehadiran Ron maka percakapan pun berlangsung dalam bahasa Inggris.

Lalu terdengar suara orang memanggil-manggil dari belakang. "Tunggu aku!" Ternyata Danny Martin. Dia ingin ikut bergabung. Dari penampilannya jelas dia juga punya jadwal di rumah sakit. Percakapan bertambah seru. Tetapi buat Tom suasana terlalu ramai. Kedua orang yang bergabung itu jelas cuma ingin mengajak Susan mengobrol. Maklum kenalan baru. Tom merasa kehilangan privasi. Tapi ia tidak punya alasan untuk mengeluh.

Susan mengagumi rumah sakit yang tampak begitu luas dan modern. Lebih-lebih waktu membaca tulisan di atas pintu masuk: For the Poor of New York, without Regard to Race, Creed, or Color. "Luar biasa!" serunya. Sayang Tom tidak punya cukup waktu untuk menjelaskan lebih banyak mengenai tempatnya bekerja itu. Ia harus berpisah dari Susan. Tapi Tom senang karena Susan bisa kembali pulang bersama Ron. Ada orang yang mengawal Susan. Memang lingkungan di situ terbilang aman, tetapi siapa tahu ada saja orang yang berniat mengganggu. Apalagi Susan orang baru.

Danny mengawasi kepergian Ron bersama Susan dengan ekspresi iri.

"Jadi dia berangkat ke New Jersey besok, Tom?"

"Ya."

"Kau mengantarkannya?"

"Besok pagi aku ada jadwal, Dan. Dia toh mandiri. Tak perlu diantar-antar," sahut Tom. Dia agak kesal karena baik Ron maupun Danny sama-sama mengajukan pertanyaan yang sama seolah dia tidak bersikap gallant kepada Susan. "Ya, ya. Tentu saja. Reporter harus mandiri, bukan?" Mereka masuk ke lift.

"Nanti sore kau ada acara bersama Susan, Tom?" tanya Danny. "Oh ya. Dia ingin sekali melihat New York. Belum pernah ke sini."

"Mau jalan-jalan, ya? Ikut dong. Kita pakai mobilku. Aku paham betul bagian-bagian menarik kota ini."

Tom mengerutkan keningnya. Dia sendiri tak punya mobil. Tetapi itu tidak penting. Yang paling penting adalah suasana

privasi. Memang Susan bukan kekasih atau teman dekat, tapi dalam waktu yang singkat dan penuh keterbatasan itu ia merasakan kedekatan yang unik dengan Susan. Dia adalah seseorang dari latar belakang yang sama dan punya hubungan dengan Sonny. Sudah lama pula tak bertemu dan waktu kebersamaan mereka begitu mahal. Susan tak bisa disamakan dengan teman-temannya yang lain yang ditemuinya setiap hari dan setiap saat.

Danny memahami ekspresi Tom. Ia tertawa menggoda. "Oke! Aku paham hatimu! Bercanda saja kok. Kalau aku dibolehkan ikut, nanti aku cuma jadi pengganggu. Takut juga sih kalaukalau kalian bicara dalam bahasa Indonesia." Tom tersenyum lega. Ia memang akan sulit melarang Danny ikut. Apalagi bila Susan sendiri tidak keberatan.

"Terima kasih, Dan!" katanya.

"Kau boleh pakai mobilku, Tom!" Danny menawarkan. "Ah, tidak. Terima kasih, Dan. Kau tahu aku tak mahir menyetir." "Payah, kau!"

Danny menyikut lengan Tom. Mereka tertawa. Tom memang serius mengakuinya. Semua temannya

tahu bahwa ia benar-benar tidak pandai menyetir mobil. Apalagi mobil berbodi besar. Sekadar menjalankannya saja tentu tak ada kesulitan. Tapi bila harus memperkirakan jarak ruang antara mobilnya dengan mobil lain atau benda apa saja, apalagi kalau ruangnya sempit, maka kesulitan akan muncul. Ia akan menabrak atau menyerempet kanan-kiri. Pengalaman sekali dua kali sudah cukup untuk membuatnya jera. Bodoh

sekali kalau orang membiarkan diri jatuh berulang kali di lubang yang sama.

Mereka keluar di lantai delapan belas. Lalu bersama-sama menuju counter di mana seorang perawat wanita berada di belakang meja. Beberapa rekan dokter dan perawat berseliweran di ruang itu. Danny dan Tom berhadapan dengan Evita Lopez, perawat berusia tiga puluhan berwajah Latin.

Kedua dokter dan Evita saling menyapa "Selamat pagi!" Tetapi

Danny menambahkan, "Tambah cantik saja, Ev!" yang disambut Evita dengan senyum senang. Kebiasaan Danny yang suka memuji itu memang sudah dikenal para perawat yang biasa berhubungan dengan dia. Tetapi biarpun kualitasnya obralan, tetaplah kedengaran menyenangkan. Apalagi bila yang mengucapkannya setampan bintang film Kevin Costner. Evita memiliki daftar kegiatan yang berlangsung di lantai delapan belas. Dia yang bertanggung jawab penuh mengatur semuanya. Dokter mana saja dengan kru asisten serta perawat siapa saja yang bertugas di ruang nomor berapa, operasi jenis apa dan pasiennya siapa, berlangsungnya jam berapa. Mereka yang punya tugas di lantai delapan belas harus berhubungan dengan Evita terlebih dulu. Tak lama kemudian Tom dan Danny berpisah menuju ruang kerja masing-masing.

Susan dan Ron duduk di kantin lantai dasar bangunan apartemen. Mereka menikmati roti dengan kapucino hangat. Ron sudah mandi dan berpakaian rapi meskipun belum siap berangkat ke rumah sakit. Ia tak ingin tampak kontras dengan Susan yang tampak elegan dengan setelan celana panjang hitam, blus putih, dan blazer hitam, penampilan wanita eksekutif kantoran. Susan belum sempat ganti pakaian, bahkan belum kembali ke apartemen Tom. Kalau ia pulang, di samping untuk berganti pakaian, ia bermaksud sekalian merapikan apartemen Tom, membersihkan kamar mandi, dapur dan sebagainya. Lalu beristirahat sambil menunggu kepulangan Tom. Dengan demikian ia bisa mengefisienkan waktu. Beberapa kali obrolan mereka diinterupsi teman-teman Ron seapartemen yang akan sarapan. Mereka mendekati dan menyapa, sengaja untuk diperkenalkan kepada Susan. Setiap wajah baru di situ segera menarik perhatian. Ron bangga tapi juga kesal. Seharusnya dia mengajak Susan sarapan di tempat lain, di mana tak banyak orang mengenalnya.

"Indonesia terkenal juga di sini ya, Ron?"

"Oh iya. Kan ada Tom di sini. Dia adalah duta bangsa kalian." Susan terdiam. Dalam situasinya sekarang ia tak ingin menjadi duta bangsa. Ia tak ingin bercerita mengenai keindahan tanah airnya. Tak ada lagi yang indah baginya sekarang.

Ron mengamati wajah Susan dengan simpati. Ia Sudah mendengar cerita tentang tragedi yang menimpa adik Tom, Sonny, kekasih Susan.

"Ceritakan tentang Tom dengan Viv, Ron," pinta Susan. "Aku sudah tahu garis besarnya dari Tom sendiri. Tetapi bagaimana tentang mereka dari teman-temannya, aku ingin tahu juga." Sebenarnya Ron tidak begitu suka mengulang cerita itu. Di samping menyedihkan, ia khawatir menghabiskan waktu yang begitu berharga. Ia tidak banyak mengenal wanita Asia. Satusatunya yang akrab adalah Vivian. Di rumah sakit ada beberapa

paramedis keturunan Asia. Ada Cina, Korea, Filipina, dan Jepang. Dari pengamatan sekilas ia menyimpulkan mereka ratarata berperilaku halus dan lembut, peka dan penuh perasaan. Karena itu mereka disukai pasien. Apakah itu karena panggilan profesi?

"Tom itu luar biasa," Ron menyimpulkan ceritanya. "Ia bisa mengatasi stresnya dengan kekuatan sendiri. Tak ada ahli yang membantunya. Padahal banyak yang bersedia. Rumah sakit punya banyak, kan? Ya, mulanya dia mengerikan, Sus." "Mengerikan?" Susan kaget.

"Oh, jangan cemas begitu. Kan sudah lewat," hibur Ron.

"Maksudku, kami khawatir dia mencederai diri sendiri. Sebabnya, beberapa kali kami dapati dia termangu di taman, padahal saat itu musim dingin membekukan. Kami harus menyeretnya pulang. Lucunya, begitu pulang dia biasa lagi. Katanya, dia begitu intens berpikir sampai tidak merasakan udara dingin. Jadi bukan sengaja. Entah benar entah tidak. Tapi ngomongnya serius. Jadi selama waktu itu kami terus menjaga dia. Aku dan beberapa teman ber- gantian menemaninya di apartemennya. Tetapi dalam soal pekerjaan dia tetap prima. Pasti karena tanggung jawabnya yang tinggi."

"Untunglah dia punya teman yang baik."

"Itu gunanya teman, Sus."

"Tapi teman juga yang menggoda Viv, bukan?"

Ron tersipu. Untunglah aku berkulit hitam, pikirnya.

"Sori, Ron," Susan cepat-cepat menyambung ucapannya.

"Bagaimanapun, dalam hidup ini kita membutuhkan teman."

"Ya. Aku yakin kau juga punya banyak teman di Wellington."

Susan tertawa. "Aku tidak punya teman, Ron." Ron menatap tidak percaya. "Ah, masa?! Kau pasti membutuhkan teman. Apakah di sana cuma ada domba?" Susan tertawa lagi. "Oh, teman sih banyak, Ron. Tapi yang akrab tak ada."

Ron menggeleng. "Pasti bukan karena tak ada. Tapi kau yang tak memberi kesempatan. Keakraban itu harus dibina dari kedua pihak."

Susan termenung. "Ya. Kukira kau benar. Mungkin aku orang yang tertutup, ya."

"Kelihatannya sih tidak. Kepadaku kau cerita banyak." "Mungkin lihat orang juga. Kebetulan aku bisa bertemu dengan orang yang cocok."

Ron merasa hidungnya menggelembung. Senang juga dianggap cocok oleh Susan.

"Kalau kau tak punya teman, bagaimana kau bisa survive, Sus?" "Entahlah. Lupa tuh."

"Kau lebih hebat daripada Tom, Sus. Bisa mengatasi sendirian." "Aku tidak sama dengan Tom, Ron. Pengalaman kami lain. Tom sudah terikat dengan Viv lewat janji suci perkawinan. Mereka sudah menjadi satu. Aku dengan Sonny belum. Sonny dipisahkan dariku oleh maut. Sesuatu yang tak terhindarkan. Tetapi Tom dipisahkan oleh pengkhianatan. Sakit Tom lebih berat daripada sakitku." "Tapi kau masih sakit hati."

Sesudah mengatakan itu, Ron menyesal. Seharusnya ia tidak menyinggung. Tetapi Susan tidak tampak tersinggung.

"Entahlah, Ron. Aku sudah tidak memikirkannya lagi. Orang bilang, waktu bisa menyembuhkan. Apa iya begitu? Waktu Tom membujukku untuk ikut pulang menjenguk orangtuaku, aku sempat ragu-ragu. Tapi kemudian aku mengeras lagi. Aku ingat sumpahku."

"Jadi karena itu?"

"Antara iya dan tidak. Ingat sumpah berarti ingat semuanya. Maka aku pun kembali pada kondisiku dulu, meskipun tak begitu segar lagi. Aku tidak ingin kembali ke negara di mana aku ditolak dan tidak diakui. Kecuali aku datang sebagai warga negara dari negara lain."

"Yang melakukan hal itu adalah sekelompok kriminal, Sus."

"Oh iya. Tapi siapa dulu yang ada di baliknya. Ah, sudahlah,

Ron. Nanti darahku jadi mendidih lagi."

"Ya, ya. Aku tak akan menyinggung lagi soal itu." "Sekarang ceritalah tentang dirimu, Ron. Dari tadi melulu tentang diriku dan Tom."

Kupikir, kau tidak akan bertanya, pikir Ron. Memang tidak banyak yang bisa dibanggakan dari dirinya, tetapi pertanyaan itu menandakan perhatian.

"Aku dilahirkan di tengah kemiskinan di bagian kota New York yang paling kumuh. Pernah dengar tentang Harlem?"

Susan mengangguk. "Ya. Pernah."

"Ayahku bekerja sebagai tukang angkut sampah kota. Ibuku jadi pembantu dan tukang masak sebuah keluarga kaya meskipun sama-sama berkulit hitam. Aku punya dua kakak lelaki dan seorang adik perempuan. Salah seorang kakakku jadi pengedar narkotik lalu ditembak polisi dan tewas. Kakak

satunya lagi ikut kawanan geng berandal. Dalam pertempuran dengan geng lainnya ia juga tewas. Orangtuaku tentu saja sangat terpukul. Tinggal aku dan adikku yang tersisa. Mereka jadi hati-hati menjaga kami. Terutama ibuku yang tak hentihenti menasihati kami agar jadi orang baik-baik. Aku melihat ia berdoa siang-malam. Doanya diucapkan keras-keras. Yang didoakannya melulu kami, anak-anaknya." Susan sangat tersentuh. "Doanya terkabul, bukan?" "Ya. Aku jadi diriku yang sekarang ini. Dan adikku sudah berkeluarga dengan kehidupan yang cukup mapan."

"Sungguh orangtua yang luar biasa."

"Mereka memang bukan manusia super, Sus. Tapi yang kukagumi adalah kemampuan mereka belajar dari kesalahan. Pada mulanya ayahku orang yang ringan tangan. Suka memukuli anak-anaknya. Setelah ia kehilangan dua orang anak, ia benar-benar berubah. Ia belajar mencintai. Demikian pula ibuku. Cinta merekalah yang melindungi dan membimbing aku dan adikku hingga tidak sampai mengikuti jejak kedua kakakku. Padahal lingkungan tempat tinggal kami sungguh tidak mendukung. Di sana sarang penjahat, pengedar, pelacur, dan orang-orang yang dianggap sampah masyarakat."

Susan sangat terkesan. "Di mana mereka sekarang? Masih ada, kan?"

"Ayahku sudah meninggal. Tapi ibuku masih hidup. Dia tinggal bersama adikku." "Masih di Harlem?"

"Oh, tidak. Mereka sudah pindah ke San Francisco."

"Menurutku, bukan cuma orangtuamu yang hebat. Tapi kau dan adikmu juga."

"Ah, biasa-biasa saja. Aku kebetulan mendapat beasiswa."

"Kau tentu pintar."

"Kau juga."

Mereka sama-sama tersenyum. Lalu Ron melihat arlojinya.

"Sudah tiba saatnya?" tanya Susan.

"Ya. Sayang sekali. Betapa cepatnya waktu berlalu bila kita

masih ingin menikmatinya."

Mereka berdiri, sama-sama berjalan ke lift.

"Nanti kita bisa surat-suratan, Ron. Pakai e-mail, ya?"

"Oh ya. Mungkin cuti nanti aku jalan-jalan ke tempatmu, ya?"

Susan tampak bersemangat. "Kapan cutinya, Ron?" "Masih agak lama sih. September atau Oktober." "Wah, musim semi! Kalau jadi, kuajak kau ke tempat yang sangat indah di sana."

"Oh ya?" Ron senang. "Betul, ya? Kau cuti juga?" Susan tersenyum, menangkap antusiasme Ron. Benarkah Ron serius? "Mudah-mudahan bisa, Ron. Aku senang bisa cuti di musim semi. Menikmati keindahan alam sungguh menyenangkan.

Apalagi kalau bersama teman."

"Kuharap akulah teman itu."

"Ya. Mudah-mudahan."

"Tom tidak marah?" Ron mengamati wajah Susan.

Susan tersenyum. "Kukira tidak."

Sebenarnya Ron tidak puas. Ia belum yakin benar, apakah Susan bersungguh-sungguh. Sayang waktu tidak cukup banyak.

Mereka keluar dari lift. Ron menemani Susan menuju pintu apartemen Tom.

"Tidak ingin bekerja di New York Times, Sus?"

"Wah, belum kepikir, Ron. Untuk bisa ke sana aku mesti bagus dulu dong. Sekarang aku belum apa-apa. Belum setahun pengalamanku."

"Kau pasti bisa, Sus. Niatkan saja dulu." Susan menggelengkan kepala.

"Kau tak ingin dekat dengan Tom?" Ron balas bertanya.

Susan tertegun di depan pintu. Ia menatap Ron dengan heran.

"Kenapa kau bertanya begitu?"

Ron tersipu. "Apakah aku lancang bertanya begitu, Sus?"

"Ah, nggak. Cuma aku ingin tahu saja kenapa kau bertanya begitu." "Kukira kau akrab dengan Tom. Senang dong berdekatan dengan orang yang diakrabi."

"Oh, begitu. Ya, tentu saja senang. Tapi aku tak ingin bergantung kepadanya. Aku khawatir nanti jadi manja dan sedikit-sedikit minta ditolong. Payah, kan?" Susan tertawa. "Kan nggak apa-apa begitu, Sus. Tom juga akan senang." "Dia senang karena kami sudah lama sekali tidak ketemu. Kalau berdekatan terus pasti dia pun jengkel. Ada peribahasa

Indonesia. Jauh bau bunga, dekat bau tahi."

Ron tidak mengerti. "Ah, masa Tom begitu?!" "Kau tak mengerti, ya? Tom itu kakakku. Dan aku adiknya." Ron mengangakan mulutnya.

"Selamat bekerja, Ron!" kata Susan sambil membuka pintu.

Ron sampai lupa menyahut. Susan sudah masuk lalu menutup pintu tanpa menunggu jawaban Ron. Setelah menyimak kembali ucapan Susan yang terakhir, Ron buru-buru beranjak dari situ. Ia melangkah lebar-lebar dengan kakinya yang panjang sambil berpikir. Seriuskah Susan bahwa Tom adalah kakaknya dan tak lebih dari itu? Bila Susan beranggapan begitu, bagaimana dengan Tom?

Setelah mengganti pakaiannya dengan celana pendek dan kaus oblong Susan segera bekerja seperti yang ia rencanakan. Ia membersihkan apartemen Tom. Mumpung ada di situ ia ingin melakukan sesuatu untuk Tom. Ia tak ingin bermalas-malasan.

Tetapi 180

tak terlalu banyak yang bisa ia kerjakan. Dapur cukup bersih, demikian pula kamar mandi. Yang bisa dilakukannya adalah membuatnya mengilat. Bila tidak begitu Tom tidak akan melihat perbedaannya.

Sesudah selesai ia merasa capek. Barulah tiba saatnya istirahat. Dan itu terasa nikmat sekali. Kerja dulu, baru istirahat. Ia mencari makanan di dalam kulkas, menemukan crackers dan susu, lalu membawanya ke depan televisi. Pada saat itu telepon berdering. Pasti Tom, pikirnya sambil melompat bangun. Jangan-jangan Tom tak bisa pulang seperti yang direncanakan. Apakah rumah sakit kebanjiran pasien yang perlu dioperasi?

Tetapi itu bukan Tom. Suara Danny yang ceria menyambutnya.

"Sudah makan, Sus?"

"Sedang makan. Kau?"

"Akan makan." Tawa Danny berderai. "Tidak makan di luar?

Kantin misalnya? Eh, di situ bisa menyediakan nasi goreng, Sus!

Apa Tom tidak bilang?"

Susan heran kenapa Danny begitu meributkan soal makan. Ia sendiri sudah lama tidak lagi memperhitungkan selera bila akan makan. Yang penting perutnya tidak lapar lagi. Baginya masalah selera baru diperhitungkan bila situasi memungkinkan.

"Tom lagi ngapain, Dan?"

"Ah, Tom melulu yang ditanyakan. Kenapa aku juga tidak ditanyakan sekalian?"

Susan tertawa. Teman-teman Tom rupanya memiliki karakter berbeda-beda. Bagaimana mungkin orang seperti Danny bisa jadi ahli bedah? "Katanya nanti mau jalan-jalan ya, Sus? Aku tanya sama Tom, apakah aku boleh ikut. Langsung mukanya ditekuk! Padahal aku cuma bercanda saja."

"Maklum, Dan. Kami sudah lama sekali tidak bertemu. Jadi ada banyak yang perlu dibicarakan. Masalah kampung halaman, keluarga, dan banyak lagi. Kalau kau ikut mendengarkan, tak akan mengerti. Nanti cuma jadi kambing congek'!" Susan mengatakan "kambing congek" dalam bahasa Indonesia karena susah mencari pemahamannya dalam bahasa Inggris. Seperti perkiraannya Danny berteriak menanyakan apa maksudnya.

"Oh, itu adalah kambing yang bingung!" sahutnya ringan. "Ya, ya. Aku mengerti maksudmu. Tapi biarpun bingung, dia tidak akan menanduk, bukan?" "Entahlah. Tergantung kambingnya."

Danny tertawa. "Kau lucu ya, Sus? Eh, kelamaan bergurau aku jadi lupa maksudku menelepon. Begini, Sus. Besok kau jadi ke

New Jersey, kan?"

"Jadi."

"Pergi sendiri, kan?" "Ya."

"Besok kebetulan aku tak ada jadwal pagi dan siang. Malam jaga di Emergency. Dan kebetulan aku ada urusan juga di New Jersey. Bagaimana kalau kita pergi sama-sama saja? Kita jadi bisa saling menemani. Ada kawan mengobrol. Oh ya, aku pakai mobil."

Susan berpikir sejenak. Dia ingin membicarakannya dulu dengan Tom, tapi tak ingin mengecewakan Danny yang kedengaran antusias. Yang terasa janggal adalah serba kebetulan itu. "Aku senang ada kawan, Dan." "Jadi oke, Sus?"

"Susahnya begini, Dan. Orang yang harus kutemui di New Jersey itu kelihatannya susah menepati janji. Nanti malam aku

harus konfirmasi lagi. Jadi atau tidak."

"Kalau begitu, oke dong? Aku tunggu kabar nanti malam saja."

Setelah meletakkan telepon Susan membayangkan wajah Danny Martin yang tampan. Sepertinya ia mengenang wajah Kevin Costner dalam film The Bodyguard. Ia tersenyum. Kemudian ia teringat pada pemikirannya selintas tadi setelah mendengar usul Danny. Begitu saja ia ingin menanyakannya dulu kepada Tom. Bukankah seharusnya ia tidak perlu melakukan hal itu? Ia berhak memutuskan sendiri.

"Oh ya, tadi Danny juga memberitahu aku," Tom berkata setelah pulang. "Kupikir, bagus sekali kalau kau punya teman." "Jadi dia bisa dipercaya, Tom?"

Tom tertawa. "Tentu saja. Apa kau takut diculik?" "Ah, nggak. Cuma pengalamanku mengatakan, lelaki Barat tidak boleh terlalu dikasih hati. Nanti dia kira boleh minta jantung juga."

"Wah, sudah berpengalaman rupanya, Sus." Susan tersipu. "Bukan begitu, Tom. Maksudku bukan pengalaman, tapi pengamatan."

"Ya, aku paham. Wartawan pantas bermata tajam." "Apakah teman-temanmu baik kepadaku karena mereka sahabatmu, Tom?" Susan ingin tahu. "Bisa jadi. Tapi hal lain yang penting buat mereka adalah dirimu sendiri. Kau gadis cantik, masih single. Mereka juga. Jadi logis saja. Kau tentu bisa menerka

juga."

"Ya, memang."

"Apakah para pemuda di Selandia Baru tidak melakukan hal yang sama kepadamu?" "Ih, mau tahu saja."

Tom tertawa lepas. Kepalanya agak mendongak dan mulutnya terbuka menampakkan deretan giginya yang bagus. Ekspresi seseorang yang sudah terbebas dari stres. Susan merasa senang melihatnya. Tapi kemudian ia teringat, cara Tom tertawa mengingatkannya kepada Sonny. Sesaat ia merasa sedih.

Tom dan Susan sama-sama mengenakan celana jins. Karena Susan tidak membawa pakaian lebih ia pakai lagi celana yang sama pada saat datang. Lalu Tom meminjaminya blus milik Vivian yang tertinggal dan masih tersimpan selama bertahun-

tahun di sudut lemari. Baunya sedikit apek, tapi setelah diciprati minyak wangi bau itu hilang.

Begitu melihat Susan mengenakan blus itu, Tom tertegun sejenak. Susan bisa menangkap pandangannya. Ia tidak tahu apakah penampilannya membangkitkan nostalgia atau kesedihan bagi Tom. Tetapi dengan cepat Tom sudah kembali seperti sediakala. "Kau kelihatan cantik dan segar. Seperti... seperti bunga mawar!" Tom memuji dengan caranya sendiri. Di lantai dasar bangunan apartemen mereka berpapasan dengan Danny yang juga berpakaian santai. Begitu melihat Susan, Danny terperangah sejenak sebelum tersenyum lebar.

Meskipun waktunya cuma singkat, Susan memahami makna pandangan Danny. Ia yakin Danny pun mengenali blus milik Vivian yang dikenakannya. Blus itu memang memiliki motif mencolok. Bola-bola merah biru di atas dasar hitam. Ia suka motifnya. Tadi di cermin ia merasa dirinya cantik dengan penampilannya saat itu. Pujian Tom tadi pasti ada benarnya. Bukan sekadar basa-basi. Danny tersadar dari pesona. "Aku pangling," ia mengakui.

Kemudian ia menahan diri untuk bicara lebih banyak lagi ketika melihat sorot mata Tom. Lebih baik jangan menyinggung Vivian.

"Pergi dulu, ya," kata Susan.

Tom menepuk pundak Danny.

"Selamat bersenang-senang, ya!" seru Danny. "Nanti kutunggu kabar darimu, Sus!"

Susan mengangkat tangannya. "Ya. Terima kasih!" Danny memandangi keduanya sampai tak terlihat lagi. Lalu seorang gadis cantik berambut merah melewatinya dan

tersenyum kepadanya. Danny tak segera melihatnya karena konsentrasinya tertuju kepada Tom dan Susan.

"Hai!" sapa si gadis. Tanpa menunggu reaksi Danny ia berjalan terus menuju lift. Tampak baju putih seragam perawat. Danny tersentak. "Oh, hai!" Kemudian ia berlari mengejar si gadis.

Tom menyewa limusin untuk mengajak Susan berjalan-jalan. Mulanya Susan protes karena biayanya akan mahal. Tetapi Tom mengatakan peristiwa itu tidak terjadi setiap bulan. Susan adalah tamu istimewanya. "Aku punya usul, Tom. Nanti sebagian perjalanan kita naik subway, ya? Bukan mau irit lho. Tetapi aku ingin merasakan kereta bawah tanah di sini."

Tom setuju meskipun pada mulanya keberatan. Yang dikhawatirkannya adalah segi keamanan. Ketika dulu naik subway bersama Vivian, mereka pernah ditodong bandit, tanpa mendapat pertolongan dari penumpang lain. Rupanya penghuni kota besar hampir sama saja di mana-mana. Mereka lebih mementingkan diri sendiri dan masa bodoh dengan orang lain. Sopir limusin orang Kuba. Ia mengenalkan dirinya sendiri dengan bahasa Inggris yang hampir sulit dipahami. Tetapi ia mengaku sudah mengenali segala pelosok kota dengan baik. Untuk memperkuat pengakuannya itu ia memperlihatkan peta kota New York. "Jadi tak mungkin kesasar!" begitu kesimpulannya.

Mereka tidak merasa perlu menutup kaca pembatas dengan sopir. Tak ada yang perlu disembunyikan. Mereka bicara dalam bahasa Indonesia dan juga tidak melakukan hal-hal yang tidak

sepantasnya dilihat orang lain. Lagi pula lebih gampang bagi Tom untuk memberi instruksi ini itu kepada si sopir. Beberapa kali sopir melirik lewat kaca spion. Rupanya ia tak tahan untuk ikut nimbrung.

"Bahasa apa itu, Sir?" tanyanya sopan.

"Indonesia," sahut Tom.

"Oh, Indonesia. Yang dulu banyak ribut itu?" Sopir gelenggeleng kepala seolah tak habis pikir.

Tom berpandangan dengan Susan. Kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia sepanjang tahun 1998, terutama tragedi bulan Mei di Jakarta, disiarkan oleh CNN ke seluruh dunia. Tak meng- herankan kalau si sopir mengetahuinya. Tetapi kesannya tak mengenakkan. Mereka tak ingin ditanyai lebih banyak atau memperbincangkan hal itu. Maka Tom menutup kaca pembatas. Mobil meluncur melintasi Washington Bridge menuju Manhattan. Susan memasang matanya ke sana kemari. Tetapi perjalanan tak begitu mulus karena jembatan dipadati kendaraan. Saat itu mereka gunakan untuk mengobrol. "Jadi teman akrabmu yang tinggal satu atap denganmu tinggal dua orang itu saja ya, Tom."

"Ya. Yang lain sudah berkeluarga lalu pindah ke tempat lain di mana tak ada kebisingan rumah sakit. Ada baiknya juga untuk mereka karena bisa menikmati situasi yang berbeda." "Tinggal Ron, Danny, dan kau yang masih bujangan. Aku tak mau bertanya tentang kau karena terlalu pribadi, ya. Tapi mereka berdua itu, apakah mereka normal?"

"Ya. Mereka bukan gay. Ron pernah berhubungan serius dengan seorang perempuan sesama kulit hitam, tapi kemudian putus. Perempuan itu kawin dengan lelaki lain. Sejak itu ia tidak memperlihatkan perhatian lagi pada perempuan lain. Mungkin belum ketemu jodohnya. Sedang Danny? Dia tidak pernah serius. Mungkin senangnya begitu." "Dia sok tampan sih, Tom." Susan tergelak.

"Ah, betulkah begitu? Kau menganggapnya tampan juga?" "Tentu. Kenyataannya kan begitu. Tapi setampan-tampannya kalau terlalu pede, dia jadi memuakkan." Tom tampak lega mendengar perkataan Susan. "Dengan demikian kau punya pertahanan diri yang kuat menghadapinya, Sus. Siapa tahu dia naksir dan merayumu." "Kaukira itu tujuannya dengan menawariku ikut dengannya besok?" "Siapa tahu." "Tapi kau tidak berkeberatan."

"Aku tidak berhak, Sus. Kau sudah dewasa, kan?" "Sebagai kakak, kau harusnya merasa bertanggung jawab juga dong."

"Oh ya. Tentu. Cuma aku tak berani melarang-larang. Kata ibumu, kau tak bisa dihadapi dengan larangan." "Mama bilang begitu?" Susan tertawa. Tapi kemudian ia menggigit bibirnya. Tiba-tiba ia merasa rindu kepada ibunya. Rindu akan ciuman dan dekapannya. Ia diam, bergulat dengan emosinya.

Tom melirik, merasakan perubahan suasana. Ia bisa menduga apa yang tengah dirasakan Susan. Mata Susan berkejap-kejap dan tiba-tiba diam dan memandang ke luar jendela. Sebaiknya

ia tidak menginterupsi dengan simpati, walaupun ia sangat ingin memeluk dan menghiburnya. Biarkan Susan mengatasinya sendiri. Solusi dari kemelut yang dirasakan Susan harus datang dari dirinya sendiri.

"Nanti bilang sama Mama dan Papa, aku juga rindu sama mereka, Tom!" kata Susan akhirnya.

"Oh ya. Tentu saja."

"Dan jangan lupa pesan-pesanku itu."

"Kan sudah kucatat semuanya. Aku sendiri juga sangat ingin tahu tentang hal-hal yang kauceritakan itu. Nah, kita sudah sampai di pusat Manhattan." Susan menyisihkan rasa sendunya dan mulai mengagumi dunia baru yang dilihatnya untuk pertama kali. Tampak bangunanbangunan menjulang bagai hendak mencakar langit. Ada Empire State Building yang pernah dilihatnya dalam film King Kong. Lalu Chrysler Building, Citicorp Building, gedung kembar raksasa World Trade Center. Kemudian mereka berkeliling blok-blok perkantoran Wall Street yang terkenal lewat film berjudul sama yang diperankan oleh Michael Douglas. Jalanan macet di beberapa tempat. Orang-orang perkantoran berhamburan ke luar bagai semut keluar dari sarang. Mereka juga pergi ke Broadway, tapi tak menonton apa-apa di sana. Cuma lewat saja. Lalu mampir sebentar di toko kue untuk membeli pastry dan minuman. Mereka menyantapnya di dalam mobil dan membagi sopir beberapa potong pastry berikut kapucino dalam karton. Sopir menerimanya dengan senang hati. Bila berkendaraan santai, apalagi diselingi kemacetan, ia bisa menyantapnya sambil menyetir. Lumayan untuk mengisi perut.

Mereka menyusuri pertokoan dan butik di Madi-son.

"Mau lihat-lihat, Sus? Barangkali ada yang menarik minatmu.

Aku bawa kartu kredit kok," Tom menawarkan. Susan tertawa. Kehidupan sederhana dan berhemat-hemat sudah mendarah daging padanya. "Nggak, ah. Terima kasih, Tom. Nanti sajalah kalau uangku sudah berkarung-karung." "Jangan begitu, Sus. Hidup ini perlu juga dinikmati. Berhenti, ya?" Tom membuka kaca pembatas menyuruh sopir untuk parkir. Tapi Susan segera menggoyangkan tangan dan meminta sopir jalan terus. Sopir tampak bingung.

"Oke. Terus sajalah," kata Tom.

Mobil meluncur lagi. Tom kembali menutup kaca pembatas. "Percayalah, Tom. Aku sudah menikmati hidupku yang sekarang."

Lalu tiba saatnya menghentikan perjalanan dengan limusin. Mereka ke Soho naik subway. Di tempat ini Susan benar-benar menikmati situasi. Soho dipenuhi orang-orang yang menyebut diri mereka seniman. Di sana mereka seolah membentuk komunitas tersendiri. Bukan cuma orang-orangnya yang menarik perhatian Susan, tapi juga barang-barangnya. Ada pasar seni, pasar sayur, dan berbagai kebutuhan lainnya. Kadang-kadang muncul dorongan ingin memiliki ini itu, tetapi ia sadar itu bukan saatnya untuk berbelanja.

"Masih ada banyak kesempatan lain, Sus. Kita memang tak mungkin puas menjelajahi tempat ini dalam waktu beberapa jam. Apalagi seisi kota. Nanti kan ke sini lagi, ya, Sus?" kata Tom setengah membujuk.

"Ya. Kukira begitu. Tapi umur kita rasanya nggak cukup kalau ingin puas menjelajahi seluruh dunia, ya?"

Susan tertawa, disambut Tom. Mereka bergandengan. Suasana menimbulkan keakraban. Ke mana mata mereka memandang, tampak banyak pasangan muda yang berjalan dengan berpelukan mesra. Hal itu menambah dorongan. Terasa bahwa mereka pun salah satu dari orang-orang yang ada di situ. Mereka ke kafe, minum espresso sambil memandangi orangorang dan burung-burung dara yang sibuk mematuk-matuk lantai dan terbang ke sana kemari.

"Terima kasih ya, Tom," kata Susan. "Untuk apa?" Tom heran.

"Untuk semua ini."

"Ah, ini kan belum apa-apa. Aku juga berterima kasih." "Untuk apa?"

"Untuk kehadiranmu di sini. Kau telah memberiku kehangatan di sini." Tom menunjuk dadanya.

Susan tertawa. "Betapa senangnya karena aku dianggap berarti!" Lalu ia melompat dari duduknya, mendekati Tom di kursinya. Ia membungkuk kemudian mencium Tom di kedua belah pipinya! Tom terperangah. Benar-benar kejutan untuknya. Pipinya bersemu merah. Lalu ia tersipu dan salah tingkah sejenak. Orang-orang yang melihat tersenyum. Di situ pemandangan romantis sudah biasa. Tapi setiap pasangan punya keunikan sendiri-sendiri.

Tom memang belum sepenuhnya membaur dengan kebiasaan setempat. Dia tergolong orang Asia yang masih sedikit "kolot". Tetapi sesungguhnya ia senang. Ia tahu, kelakuan Susan itu adalah spontanitas.

"Sori, Tom. Apakah kau tidak suka?" tanya Susan khawatir. Tom tersenyum lebar. "Oh, aku suka! Terima kasih, Sus! Cuma aku kaget saja."

"Kau lucu tadi." Susan masih geli.

"Oh ya? Belum pernah ada orang yang menyebutku lucu." "Ah, masa? Ada kok."

"Siapa?" "Sonny."

Setelah kata itu terucap, Susan terdiam sejenak. Nama Sonny spontan saja keluar. Padahal sejak awal dia sudah berusaha menghindari perbincangan tentang Sonny dengan Tom. Padahal dengan orang lain, seperti Ron misalnya, ia bisa bercerita tanpa beban. Mungkin sebagai abang Sonny, Tom punya hubungan khusus dengannya. Sedang Ron tidak kenal Sonny. Tom mengamati wajah Susan, mencoba memperkirakan apa yang tengah dipikirkannya. Wajah Susan tiba-tiba berubah murung. Masihkah ia berduka perihal Sonny? Tom mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Susan. Tom merasa, Susan tak memerlukan kata-kata penghiburan. Ia sendiri juga tidak tahu kata apa yang pantas untuk diucapkan. Padahal

sebenarnya ia ingin membicarakan Sonny. Ia ingin tahu apa saja yang diceritakan Sonny tentang dirinya. Mungkin sekarang belum saatnya. Ia sudah mengalaminya sendiri waktu disakiti Viv. Cukup banyak waktu yang dibutuhkannya untuk mereparasi diri. Setelah itu barulah ia bisa bicara lagi tentang Viv tanpa beban.

"Kau sudah lapar, Sus? Kita cari restoran untuk makan malam, yuk? Kau suka makanan Italia?" Tom mengalihkan masalah.

"Belum terlalu lapar, Tom. Barusan ngemil, kan?"

"Kalau begitu kita jalan-jalan lagi. Sesudah lapar baru cari tempat untuk makan. Sebenarnya aku ingin mengajakmu makan di sebuah restoran yang letaknya di lantai empat puluh lima. Dulu aku pernah makan di sana bersama Viv. Pemandangan dari sana hebat sekali, Sus! Kita bisa melihat patung Liberty dari sana. Tapi sayang, kita mesti berpakaian lengkap dulu." "Tapi aku punya ide lain, Tom."

"Bilang saja. Aku pasti setuju."

"Sekarang kita belanja bahan makanan. Di sini semuanya komplet tuh. Lalu kita pulang dan masak sendiri. Bagaimana?" Tom terlonjak senang. Itu adalah ide yang paling menyenangkan.

Mereka tiba sekitar pukul delapan. Masih siang untuk ukuran orang New York. Tetapi jam makan malam sudah lewat. Untuk mereka tentu saja tak berlaku aturan seperti itu. Mau makan jam berapa pun terserah, tergantung tuntutan perut. Keduanya menggendong kantong kertas penuh berisi belanjaan. Tom sekalian mengisi lumbung makanannya. Mereka sangat gembira dan penuh semangat. Kegembiraan itu tidak sampai menyurut ketika mereka melihat Ron dan Danny mendekati. Kedua orang itu sepertinya sedang menunggu kepulangan mereka.

Sepertinya dua orang itu, atau salah satu dari keduanya, selalu saja muncul bila ia bersama Susan, pikir Tom. Tapi ia tidak kesal lagi seperti yang dirasakan pada awalnya. Seperti dulu

terhadap Viv, ia tidak berhak melarang Susan bergaul dengan siapa saja. Apalagi dengan teman-temannya sendiri. "Sini, kami bantu," Danny menawarkan jasanya. Tanpa menunggu komentar ia mengambil alih bawaan Susan lalu menyorongkannya kepada Ron. Ia sendiri mengambil alih bawaan Tom. "Kalian kan sudah capek. Biar melenggang bebas."

"Kok tumben kalian pulang sore," kata Ron sambil berjalan ke lift.

"Kami bermaksud makan di rumah saja," sahut Susan. "Wah, pasti makannya enak sekali." Danny melongok ke dalam kantong bawaannya. "Mau bikin apa? Chinese food? Indonesian food?"

Mereka masuk lift. Susan dan Tom di belakang kedua orang yang membawa kantong. Tom berbisik kepada Susan yang kemudian mengangguk.

"Ikut makan yuk?" Susan mengundang. Ia menyuarakan bisikan Tom tadi.

"Wow! Dengan senang hati!"

Ron dan Danny bersorak. Mereka tertawa. Memang keterlaluan bila tidak mengundang orang yang sudah amat berharap.

Apalagi bila sudah berada di depan pintu.

Apartemen Tom menjadi riuh. Melihat Susan begitu gembira, Tom merasa harus ikut pula bergembira. Ada saatnya ia bisa berduaan saja dengan Susan di mana mereka bisa berbicara tanpa dicampuri orang yang tidak terlibat. Tetapi selalu ada saat lain di mana keadaan itu tak bisa dipertahankan betapapun waktu begitu terbatas. Ia membutuhkan teman, dan tak mungkin mencampakkan mereka kalau sedang tidak membutuhkan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience