10

Family Completed 2798

Danny melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.

Jembatan George Washington yang dilintasi sudah padat

dengan kendaraan.

"Sedih berpisah dari Tom, Sus?" tanya Danny sambil melirik mengamati wajah Susan.

"Sedih?" Susan balas bertanya. "Apa aku kelihatan sedih?"

"Soalnya kau diam saja."

"Oh, itu. Aku nggak sedih. Aku terkesan dengan kebaikan kalian, teman-teman Tom. Apakah kalian selalu begitu kepada kerabat masing-masing?"

"Ya."

Susan menoleh, tak percaya. Danny tertawa. "Khususnya pada kerabat Tom dong. Dia sahabat khusus kami." "Khusus?" "Apa yang dialaminya itu sangat menyedihkan. Kasihan." Susan diam sejenak. Lalu diajukannya pertanyaan yang tidak atau belum diajukannya kepada Ron. "Apa kau punya perkiraan siapa yang menjadi ayah Debbie?"

Danny tertegun, tak menyangka. "Wah, kalaupun aku punya perkiraan atau dugaan, itu takkan kukatakan, Sus. Sori saja.

Itu tidak etis. Bagaimana kalau salah?"

"Ya, ya. Aku mengerti." Susan sudah menduga jawaban itu. Bahkan Ron pun bisa dipastikan akan berkata seperti itu. Ia

cuma ingin memancing saja. "Cuma Viv yang bisa mengatakannya, bukan?" "Kau kenal Viv?" tanya Danny. "Tentu saja kenal. Tapi secara mendalam sih tidak. Habis jarang ketemu." "Aku mengerti." "Menurut pengamatanmu, apakah hubungan mereka berdua harmonis pada awalnya?"

"Oh iya. Mereka kelihatan begitu saling memperhatikan dan mencintai hingga aku jadi iri. Rasanya jadi ingin kawin juga." Susan tertawa. "Lantas kenapa kau tidak kawin-kawin? Lelaki setampan kau pasti banyak disukai perempuan." Danny tertawa. "Jadi kau menganggapku tampan? Apakah itu pujian?"

"Bukan. Aku cuma mengatakan sesuai adanya." "Aku bilang kau cantik dan menarik. Itu adalah pujian, bukan komentar sesuai apa adanya."

"Itu tak bisa disamakan, Dan. Tergantung juga pada orang yang

mengatakannya."

"Maksudmu, kau pelit dengan pujian?"

"Yang pasti aku tidak mengobral pujian. Apalagi dengan tujuan mendapatkan sesuatu demi kepentingan sendiri." "Jadi kau tidak melihat sesuatu pada diriku yang pantas dipuji?" gurau Danny. "Wah, kulitmu tebal, ya?" Danny tertawa keras. Susan terbawa keriangan Danny. Teman seperti itu menyenangkan dalam perjalanan. Dia bisa mengawali hari itu dengan optimis. Mungkin pertanda baik bahwa pekerjaannya nanti bisa berlangsung dengan mulus.

"Aku yakin, setiap orang pasti punya kelebihan

yang layak dipuji. Sayang aku tidak tahu banyak tentang dirimu. Pantasnya dipuji atau tidak, ya?"

Danny tertawa. Ia suka jawaban itu. "Kalau begitu kau harus mengenalku lebih banyak."

"Cuma untuk menyimpulkan itu? Repot amat. Tapi dari pengenalan sebentar ini aku bisa melontarkan pujian untukmu.

Nggak perlu lama-lama."

"Oh ya? Apa itu?" Danny antusias

"Otakmu pasti encer. Kau pintar. Kalau tidak mustahil kau bisa jadi ahli bedah. Apalagi bertahan lama di rumah sakit besar seperti Columbia Presby-terian. Kalau bodoh dan sering melakukan kekeliruan, pasti sudah didepak dari dulu-dulu, ya?" Danny tertawa keras lagi. Susan tidak sampai hati untuk menyampaikan penilaian negatifnya.

Lalu Danny berubah serius. "Apakah Tom akan menjumpai Viv di Jakarta nanti? Barangkali dia bilang padamu?"

"Banyak sekali hal-hal yang mau dilakukannya di sana. Kalau dia punya waktu lebih kukira dia cukup jantan untuk menghadapi

Viv."

"Ron suka berhubungan dengan Viv lewat e-mail. Barangkali dia sudah cerita padamu."

"Ya. Ron memang tipe orang yang bisa diajak berbagi." Danny menoleh. Ekspresi iri tampak di wajahnya. "Apakah itu pujian bagi Ron?"

"Itu tergantung penilaianmu. Bisa ya, bisa tidak. Tapi jangan menyimpang, ah. Kita kan sedang membicarakan Viv. Bukan

Ron."

"Kau duluan yang memulai. Oke, kita kembali. Apakah Tom masih mencintai Viv?" "Hei, kok tanya aku? Tanya orangnya dong!"

"Siapa tahu dia ngomong padamu. Kulihat dia sayang padamu.

Kentara dari caranya memandang dan memperlakukanmu."

"Aku adalah ganti adiknya. Wajar saja."

"Jadi kalian seperti kakak dan adik?"

"Bisa juga begitu."

"Jadi bisa juga tidak."

"Kau cerewet."

"Sori. Aku senang kalau Tom mendapatkan ganti Viv. Sudah cukup lama dia sendirian terus. Hidupnya kayak pertapa." Susan mengamati wajah Danny. Tuluskah ucapan itu? Atau sekadar pancingan?

"Kalian orang Timur memang tertutup, ya?" Danny mulai lagi. Susan tersenyum. Ia tahu maksud Danny. Tetapi ia tidak akan membuka diri kepada sembarang orang yang baru dikenal.

Kepada Tom saja ia tidak seperti itu.

"Kabarnya anak Viv, Debbie, cantik sekali, Dan. Menurut ibuku, dia kayak boneka Barbie." "Oh ya?"

"Rupanya gen bapaknya dominan, ya?" "Kukira begitu."

"Di Indonesia dia bisa jadi bintang film atau artis."

"Oh ya? Segampang itu? Nyatanya aku tidak jadi bintang film."

"Di sini banyak yang cakep. Bukan cuma kau."

"Apa kebanyakan orang Indonesia jelek?"

Susan tertawa. Ia menikmati perjalanannya bersama Danny. Pendapat Tom benar, bahwa kehadiran Danny bisa bermanfaat. Tom beruntung bisa punya teman-teman yang baik. Ia mengatakan hal itu kepada Danny.

"Kami berteman karena merasa cocok. Perbedaan-perbedaan malah membuat kami belajar hal-hal yang baru. Biar tidak ke mana-mana, tapi tidak merasa seperti katak dalam tempurung." "Sayangnya ada yang selingkuh, ya? Kayak musuh dalam selimut."

Danny terdiam. Wajahnya tampak mengeras sejenak. "Dalam hal itu sebenarnya Tom juga salah." "Salah apa?" Susan ingin tahu.

"Seharusnya ia tidak membiarkan Viv tinggal di situ. Kalau aku jadi dia dan punya istri cantik, aku tidak mau membiarkan istriku dikerumuni cowok-cowok lapar setiap hari." Susan tertegun oleh komentar yang serius itu. Sulit dipercaya bahwa kata-kata itu bisa keluar dari mulut seorang Danny.

"Yang kaumaksud cowok-cowok itu kan bukan sembarang cowok

Dan. Mereka adalah teman-teman Tom."

"Teman itu kan manusia juga."

"Pernahkah kau mengatakannya kepada Tom?" "Tentu saja tidak. Itu cuma menambah penderitaannya."

Susan yakin, ucapan Danny itu akan menetap di benaknya. Malam itu juga Tom mendapat kiriman e-mail dari Susan yang mengabarkan bahwa ia sudah selamat tiba di rumah dan sibuk membuat laporan. Wawancaranya berlangsung cukup sukses. Barnas Topan dan keluarganya sangat terbuka. Mungkin karena mereka yakin sudah berada di tempat yang aman. Walaupun tema yang mau digali dibatasi pada masalah human interest dan sosial saja, tapi ada juga hubungannya dengan politik. Maka sedikit-banyak disinggung juga. Sesungguhnya keluarga Barnas Topan juga merupakan

orang-orang yang tersingkir dari tanah air mereka karena masalah politik.

Susan juga menceritakan bahwa Danny sangat memperhatikan dirinya. Dengan setia Danny menunggu di mobil sampai ia selesai wawancara, mengajaknya makan siang, lalu mengantarkannya ke bandara. Sepertinya Danny memang tidak punya urusan lain di New Jersey seperti yang dikatakannya semula.

"Kukira dia memang punya kelemahan terhadap kecantikan perempuan, Tom! Kasihan juga, ya. Kuperhatikan matanya selalu melotot kalau melihat perempuan cantik. Kalau sudah begitu, dia seperti lupa akan keadaan. Pikir-pikir, bagaimana kalau saat dia sedang membedah orang ada perempuan cantik melintas, ya?" Begitu gurau Susan.

Tom tersenyum membacanya. Tentu Susan cukup memahami suasana di kamar bedah. Di sana biarpun perawatnya secantik bidadari, takkan kelihatan cantiknya karena sebagian mukanya tertutup masker.

"Pantas dia tidak kawin-kawin ya, Tom? Mungkin dia punya tanggung jawab dan tenggang rasa kepada perempuan yang akan jadi istrinya!" Susan menyimpulkan. Kesimpulan itu membuat Tom merenung sejenak sebelum meneruskan membaca surat Susan. Selanjutnya Susan masih menyampaikan terima kasihnya atas bantuan dan perhatian yang diterimanya. Ia juga cukup terbuka saat bercerita perihal Ron.

"Kau teman baiknya, Tom. Menurutmu, apakah dia lelaki yang bisa dipercaya? Dia mengatakan ingin berlibur di sini kalau cuti

nanti. Aku tidak tahu apa dia serius atau cuma basa-basi saja. Aku belum begitu mengenalnya, bukan? Pertemuan dan perbincangan sejenak tak mungkin dijadikan pegangan. Biarpun aku membutuhkan seorang teman, tapi aku tidak mau sembarangan. Tolong berikan penilaian, Tom!" Tom merasa senang karena Susan mempercayainya. Tapi ia semakin disadarkan, bahwa Susan menyayangi dan menganggapnya sebagai seorang kakak. Tidak lebih dari itu.

VII Jakarta, akhir bulan Juni.

Hari pertama di Jakarta dihabiskan Tom semata-mata untuk orangtuanya. Begitu tiba di rumah ia tak keluar lagi. Mereka saling melepas kerinduan dengan bercerita banyak-banyak. Sepertinya cerita mereka tak habis-habis. Banyak kejadian, banyak pula ceritanya. Waktu sehari pun tak cukup. Lien Nio dan Bun Liong, ayah dan ibu Tom, meninggalkan pekerjaan mereka supaya bisa bersama anak mereka yang tinggal satu-satunya itu. Sehari-hari mereka memang tak perlu meninggalkan rumah karena cukup bekerja di rumah dengan perangkat komputer, printer, scanner, dan faks. Mereka bergabung dengan perusahaan yang memproduksi soft-ware sebagai programmer freelance. Dalam usia yang sudah senja, enam puluh, mereka masih memiliki keahlian itu. Bahkan selama berada di Amerika, negaranya Bill Gates, mereka terus mengikuti perkembangan ilmu itu.

Pada hari kedua, Tom diajak kedua orangtuanya berkeliling Jakarta untuk mengunjungi sanak keluarga. Tom sebenarnya agak segan, tapi memaklumi se- mangat orangtuanya. Mereka masih punya keinginan membanggakan dirinya. Di samping itu ia sadar sepenuhnya bahwa ia harus berbaik-baik kepada para kerabat karena hanya merekalah yang bisa membantu orangtuanya seandainya terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Memang sekarang ini kedua orangtuanya masih sehat dan kuat. Tetapi orang tak pernah bisa tahu tentang apa yang akan terjadi.

Barulah pada hari ketiga Tom berencana untuk mengunjungi Maria. Kali ini ia memutuskan pergi sendiri. Orangtuanya memahami meskipun ibunya ingin tahu juga bagaimana reaksi Maria saat bertemu dengan Tom. Dengan antusias pagi-pagi Lien menelepon Maria untuk memberitahu perihal rencana kunjungan Tom.

"Sayang Henry tak bisa bolos kerja," Lien memberitahu.

"Padahal dia ingin juga bertemu denganmu."

"Tak apalah. Saya bisa ke sana lagi di waktu yang lain. Ada paket titipan Susan yang mesti saya antarkan." "Maria senang sekali mendengar Susan bersamamu tempo hari," Lien tersenyum penuh arti.

"Dia menganggapku sebagai abangnya, Ma. Tak ada orang lain yang dikenalnya di New York."

"Dan kau sendiri?"

"Ah, Mama." Tom hanya tersenyum.

"Kata Maria, kalian berdua pasti cocok." Lien tertawa. Sementara suaminya tersenyum-senyum saja.

"Susan bilang, mamanya memang takut kalau-kalau dia disunting bule," kata Tom.

"Ah, jangan mau sama bule. Orang-orang itu gampang selingkuh!" komentar Bun Liong. Tom hanya tersenyum. Tak ingin mengomentari.

"Bukan begitu, Pa," protes Lien. "Orang yang suka selingkuh itu ya siapa saja. Bukan cuma bangsa ini atau bangsa itu. Juga bukan cuma lelaki. Perempuan juga. Kayak si Vivian!" Lalu Lien tertegun sambil menatap Tom. Apakah Tom tersinggung? Tapi Tom tetap tersenyum. "Apakah Susan sudah punya pacar?" tanya Lien. "Entahlah. Dia tidak pernah cerita soal itu. Saya nggak enak menanyakan. Itu kan pribadi." Kedua orangtuanya mengangguk setuju. "Tapi terus terang, Tom. Kami juga senang kalau kau berpasangan dengan Susan," Lien berkata setelah diberi isyarat oleh suaminya.

"Jodoh itu di tangan Tuhan, Ma," Tom berkelit. "Memang sih. Tapi kan mesti diusahakan juga." Tom hanya tersenyum.

Setelah Tom pamit berangkat, kedua orangtuanya bertukar pandang dengan ekspresi sendu.

"Kasihan anak kita ya, Pa. Lama sekali dia hidup menduda. Padahal dia kan masih muda. Kalau begitu terus, kapan kita bisa punya cucu?" keluh Lien.

"Jangan bicara soal itu di depannya. Nanti dia stres lagi." "Aku khawatir juga lho, Pa. Jangan-jangan..." "Jangan-jangan apa?"

"Di Amerika itu kan banyak yang aneh-aneh. Bebasnya kebangetan lagi."

"Jangan-jangan apa, Ma?" desak Bun Liong. Dia ikut khawatir.

"Jangan-jangan dia jadi homo," kata Lien pelan. Bun Liong terkejut. Ia menggeleng kuat-kuat. "Tidak mungkin!" serunya.

"Kau tidak tahu pasti."

"Akan kutanyakan sendiri kepadanya."

"Nanti dia jadi stres. Kita jangan menuntut terlalu banyak.

Jangan menuduh atau menyangka macam-macam."

"Habis bagaimana kita bisa tahu, Ma?" "Tanyakan Susan saja. Pakai e-mail!"

Mereka berpandangan dengan wajah lebih cerah.

Tom naik taksi dari rumah orangtuanya di bilangan Slipi,

Jakarta Barat, menuju kawasan Pantai Nyiur Melambai di Jakarta Utara. Ia membawa paket titipan Susan yang dimasukkan ke dalam kantong plastik yang bagus, pemberian ibunya. "Nanti berikan sama kantongnya sekalian," begitu pesan Lien.

Tom turun beberapa blok jauhnya dari rumah Maria. Sudah begitu lama ia tak ke tempat itu hingga ia tak ingat lagi belokan-belokannya. Tapi sambil berjalan pelan-pelan dan mengingat-ingat ia bisa mengenali kembali situasi tanpa perlu bertanya sana-sini. Melihat kondisi rumah-rumah kosong yang dilewatinya ia merasa sedih. Untunglah Susan tak melihat, pikirnya.

Ia berjalan di trotoar seberang blok tempat tinggal Maria. Ia sengaja berjalan di situ supaya bisa lebih jelas melihat rumah

yang dulu ditempati orangtuanya bersama Sonny. Menurut orangtuanya, rumah itu sekarang sudah menjadi jauh lebih bagus dibanding dulu.

Setelah melihatnya, ia harus mengakui kebenaran ucapan orangtuanya. Ada juga rasa syukur bahwa ia tidak perlu melihat kondisi rumah itu sebelumnya, ketika masih hancur dan hangus. Kalau ia sampai melihatnya, pastilah hatinya ikut hancur. Apalagi sambil membayangkan Sonny di dalamnya. Ia berdiri dengan kedua tangan ke belakang, berikut kantong plastik dalam pegangan. Sambil mengamati rumah di seberangnya ia membiarkan pikirannya mengembara dalam kesedihan. Terkenang pada masa kecil dan remajanya bersama Sonny. Hubungan mereka berdua rukun-rukun saja. Tak ada yang namanya persaingan berkat perlakuan orangtua mereka yang tidak menimbulkan rasa iri di antara mereka. Di samping itu perbedaan usia yang besar membuat ia lebih bersikap melindungi Sonny.

Kristin baru selesai memandikan Jason. Adam sudah berangkat ke kantornya sejam yang lalu. Ia merapikan kamarnya. Kemudian menuju jendela untuk membuka semua daunnya, supaya udaranya lebih segar. Tapi ia terkejut waktu pandangannya tertuju ke luar jendela. Untuk sesaat ia mematung saja menatap ke seberang jalan. Di sana, di depan rumah yang masih berantakan, berdiri seorang lelaki jangkung bertubuh ramping. Ia mengenakan celana panjang hitam dan berkemeja putih lengan panjang. Rambutnya sedikit kusut, helai rambut berjatuhan di dahi. Kedua tangannya ke belakang. Lalu pandang mereka beradu. Lelaki itu tertegun sejenak

kemudian mengangguk, tersenyum ramah dan membungkukkan tubuhnya. Sonny-kah?

Kristin menajamkan pandangannya. Khayalan atau

bukan? Lelaki itu mirip dengan Sonny tapi tampaknya lebih tua. Apakah arwah, hantu, atau apalah namanya bisa menua? Saking terpesonanya ia tidak berniat untuk membalas anggukan atau senyuman lelaki di sana itu. Ia cuma melotot, mengamati setajam-tajam-nya. Dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Dulu ia tak pernah melakukan hal itu. Tentu saja. Dulu ia tak pernah menyangka bahwa sosok itu adalah hantu. Jadi seperti itukah hantu? Ia mengucek matanya. Lalu melotot lagi. Nah, dia masih di sana. Utuh dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Pikirannya bekerja dengan cepat. Ia tidak puas dengan hanya melihatnya di kaca lemari atau di seberang jalan. Ia ingin berhadapan. Ia harus melihatnya dari dekat. Barangkali berdialog juga. Aneh, kenapa dia selalu muncul di sana dalam keadaan utuh padahal di rumah ini, di hadapannya, dia muncul sepotong saja? Itu pun cuma bayangannya di kaca lemari.

Manusia takut kepada hantu atau sebaliknya?

Ia segera memutuskan. Cepat-cepat ia berlari menjenguk Jason di kamarnya. Ia melihat bayinya tidur tenang. Sesudah itu ia berlari lagi, bertelanjang kaki, terus menuruni tangga ke bawah.

Bi Iyah menyapanya dengan heran, "Ada apa, Bu?"

Kristin tak memedulikan. Ia terus berlari ke pintu depan. Tom baru menyadari bahwa ia sudah berdiri terlalu lama di situ setelah melihat jendela loteng rumah di seberang itu terbuka dan sosok serta wajah seorang perempuan muncul. Ia heran

melihat sikap perempuan itu, yang seolah terkejut melihatnya.

Bahkan tak 208

membalas sikap hormatnya. Lalu muncul kekhawatiran janganjangan perempuan itu mengira ia berniat jahat. Apalagi setelah sosok perempuan itu menghilang. Jangan-jangan memanggil orang sekitar. Ia sudah mendengar cerita-cerita mengerikan tentang keberingasan massa di Jakarta yang suka menghakimi orang yang disangka berbuat kejahatan secara sadis. Buruburu Tom menyeberang menuju rumah Maria. Kristin membuka pintu pagar dengan tergesa-gesa. Bi Iyah mengikuti di belakangnya.

Ternyata tak ada siapa pun berdiri di seberang jalan seperti yang tadi dilihat Kristin. Demikian pula di kiri dan kanan jalan. Ia mengeluh kecewa. Apakah Sonny gemar main kucingkucingan semasa kecil?

"Cari siapa sih, Bu?" Bi Iyah tak tahan bertanya.

"Oh, tadi kukira ada orang yang kukenal, Bi. Tahunya bukan." Kristin cepat-cepat masuk rumah lagi untuk menghindari pertanyaan Bi Iyah berikutnya. Di belakang Kristin, Bi Iyah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lama-lama dia jadi seperti tetangga sebelah," gumamnya.

Maria menyambut Tom dengan hangat, disertai tawa dan tangis. Ia memeluk Tom lalu Tom mencium pipinya kiri dan kanan. Maria tampak kecil dalam pelukannya. Perlakuan Tom yang menyentuh itulah yang membuat air mata Maria tumpah. Rasanya ia sudah mendapat ganti Sonny! Sayang Susan tak ada! Kemudian Tom menyerahkan titipan Susan. Dengan air mata bercucuran Maria membuka bungkusan. Tom duduk di sampingnya, ikut mengamati. Ia juga ingin tahu barang apa yang diberikan Susan itu karena Susan tak mau mengatakannya. "Nanti juga kau tahu sendiri," kata Susan waktu itu.

Bungkusan terbuka. Isinya dua helai sweter rajutan benang wol lengan panjang. Satu berwarna merah, satu lagi biru. Maria menoleh kepada Tom sambil memperlihatkan benda itu.

Ekspresinya bangga.

"Itu ada suratnya, Tante!" Tom menunjuk lipatan kertas yang terselip.

Maria meraih kertas itu cepat-cepat, seolah takut nanti diterbangkan angin. Ia membacanya keras-keras. "Mama dan Papa tersayang, sweter ini hasil rajutan saya sendiri, dari benang wol domba asli Selandia Baru! Karya saya yang pertama. Makanya kurang begitu bagus jadinya. Bikinnya juga lama. Bertahun-tahun. Jangan heran ya, Ma. Saya belajar merajut dari seorang nenek yang pernah saya rawat. Dulu saya pernah nyambi kerja jadi perawat orang lanjut usia. Ternyata menyenangkan juga merajut itu. Mama bisa? Saya mengerjakan sweter ini di waktu malam menjelang tidur. Jadinya cepat mengantuk. Dan kalau tak bisa tidur, saya nerusin. Karena itu jadinya lama. Tapi toh jadi dan bisa dititipkan sama Tom. "Kalau cuaca kebetulan dingin di Jakarta, dipakai ya, Ma, Pa? Tapi cuci dulu. Kucek pelan-pelan saja. Jangan masukin mesin cuci.

"Saya juga titip cerita sama Tom. Kalau ditulis kan panjang. "Papa dan Mama, tetap semangat, ya? Jaga kesehatan! Saya sayang sama Papa dan Mama! Peluk-cium dari Susan." Semakin lama membaca suara Maria semakin pelan. Lalu ia menutupnya dengan terisak. "Aduh, Tom! Dia membuat ini sendiri. Bayangin. Susan bisa merajut! Oh, Tom...." Tom merangkul Maria. Ia membiarkan Maria terisak. Setelah emosi Maria mereda, ia mengatakan, "Tante senang, kan?" Maria melepaskan dirinya dari rangkulan, lalu bergegas mengambil tisu dari meja. Ia mengeringkan dulu mata dan hidungnya, lalu meraih sweter yang teronggok dan melipatnya dengan rapi.

"Tentu saja aku senang, Tom. Tapi pasti aku akan lebih bahagia kalau Susan sendiri yang datang. Bukan barang titipannya," katanya dengan suara masih tersendat.

"Saya mengerti, Tante. Itu juga saya katakan kepadanya.

Bersabarlah, Tante."

"Ceritakanlah tentang dia, Tom. Bagaimana dia sekarang? Apa masih kayak dulu? Tambah gemuk atau malah tambah kurus?"

Selama dua jam mereka membicarakan Susan

"Berani sekali dia ke sana ke sini sendirian. Dia kan perempuan," keluh Maria.

"Kalau jadi wartawan memang harus berani, Tante." "Kenapa pula jadi wartawan? Kan banyak pekerjaan lain. Ah, sudahlah. Yang penting dia baik-baik saja dan selamat."

"Betul, Tante."

Lalu telepon berdering. Dari Henry yang ingin bicara dengan

Tom. Mereka berbincang sejenak lewat telepon. Tom berjanji akan datang lagi di saat lain untuk bisa bertatap muka dengan Henry.

Maria memandangi Tom saat dia berbicara di telepon. Tom kelihatan lebih tua sebab uban-ubannya bertambah banyak, pikir Maria. Tapi hal itu justru membuat Tom tampak bijak dan penuh pengertian. Sonny lebih gagah dan tampan, tapi kadangkadang suka bertingkah kekanakan dan jail. Mungkin faktor umur jadi penyebab. Tapi hal itu tak masalah. Tom bisa menjadi pelindung yang baik bagi Susan. Dan bagi Tom, Susan pun bisa menjadi istri yang baik pula. Mereka sama-sama punya karier yang menyibukkan, hingga yang satu tak akan dibuat kesepian oleh yang lain. Dan yang penting, Susan bukan tipe perempuan yang suka selingkuh seperti si "Vivian!

Tom kembali ke sisi Maria.

"Melamun, Tante?"

"Oh, eh... nggak, Tom. Cuma mikirin Susan."

"Mikirnya yang baik-baik saja, Tante. Oh ya, ada pesan khusus dari Susan. Dia sangat tertarik pada cerita perihal tetangga sebelah itu. Jadi ingin tahu lebih banyak lagi."

"Oh itu!" Semangat Maria memuncak lagi. Cerita mengenai Kristin dan Adam serta bayi mereka memang unik. Maka ia pun bercerita panjang. Dimulai sejak awal perkenalannya dengan mereka. Dan berakhir dengan konflik yang terjadi antara Kristin dan Adam yang disebabkan oleh Jason. Kalau tadi Tom yang banyak bercerita, maka sekarang giliran Maria. Dan berbeda dengan tadi, sekarang Maria tak lagi berurai air mata. Tom menyimak baik-baik. Nanti malam ia akan mengirim e-mail kepada Susan.

"Jadi keanehan Kristin itu dimulai pada saat ia melihat foto Sonny?" tanya Tom.

"Ya. Dia menatap foto itu seperti kena sihir, lalu memekik dan menjatuhkan album," Maria memperagakan. "Beberapa menit sesudah itu dia memekik lagi. Perutnya sakit karena rahimnya berkontraksi. Padahal belum saatnya. Menurutmu, apakah karena dia kaget melihat foto Sonny maka dia terdorong melahirkan lebih cepat?"

"Entahlah. Susah menyimpulkan, Tante. Apakah dia kenal Sonny sebelumnya?" "Katanya sih nggak."

"Itu kan katanya. Siapa tahu."

Maria merenung. "Ya. Kagetnya itu seperti orang yang mengenali. Tapi masa sih sampai sebegitu kagetnya? Memangnya Sonny pernah punya pacar lain sebelum Susan?" Tom menggeleng. "Saya nggak tahu soal itu, Tante. Dia sendiri tak pernah bercerita. Memang kami berjauhan. Tapi kami rutin berhubungan lewat e-mail. Apakah Tante tidak bertanya kepada Kristin kenapa dia kaget melihat foto Sonny?" "Saat itu tidak ada waktu untuk bertanya. Kami sudah sangat sibuk mengantarkannya ke rumah sakit. Sesudah itu aku tidak sampai hati bertanya. Dia sendiri tidak pernah lagi menyinggung soal itu."

"Sesudah itu dia tahu bahwa Sonny tewas mengenaskan di rumah yang ditempatinya tapi tidak mengeluh apa-apa seperti yang dikhawatirkan suaminya?" "Ya. Anehnya Adam masih jengkel kepada kami, padahal Kristin baik-baik saja setelah tahu. Apalagi bukan kami yang cerita. Adam lupa bahwa kami telah banyak membantu istrinya," kata Maria jengkel.

"Dan anaknya diberi nama Jason. Menurut Tante, itu aneh?"

"Ya."

"Kan bukan Sonny." Tom tertawa.

"Tapi ada penggalan kata Son. Dipanggilnya pun 'Son'." Maria tidak ikut tertawa. "Anehnya, Adam tidak mau memanggil begitu. Ia memanggilnya 'Jeis', lalu ditanggapi bayi itu dengan tangisan."

Tom malah tertawa lagi. Maria menatapnya dengan heran, tak mengerti di mana letak lucunya. Tom segera berhenti tertawa. Ia merasa bersalah. "Maaf, Tante. Saya melihat segi humornya."

"Ah, kau tidak tahu seperti apa kacaunya mereka, Tom. Kasihan Kristin. Gara-gara Jason tidak mau didekati bapaknya, dengan gampang si bapak menyimpulkan bahwa anak itu pasti bukanlah anak kandungnya!"

Tom terkejut. Bagian yang itu memang belum diceritakan Maria. Dan tentu saja hal itu jauh dari lucu. Bagaimana mungkin kesimpulan seperti itu diambil demikian gampang? Tentu kasusnya berbeda dibanding kasus dia dengan Vivian. Tanpa harus melakukan pemeriksaan DNA, sudah jelas Debbie bukanlah anaknya.

"Nah, keterlaluan, bukan?" kata Maria, menanggapi keterkejutan Tom.

Tom mengangguk. Ia teringat kepada perempuan yang tampak di jendela loteng. Pasti itulah Kristin. Lalu muncul keinginan untuk berkenalan. Dengan berhadapan dan berbicara langsung, pasti ia akan memperoleh bahan lebih

banyak untuk diceritakan kepada Susan. Sebelum ia mengutarakan niatnya, terdengar suara-suara dari luar rumah. Maria berdiri dan memandang ke luar. "Itu Kristin, Tom! Dia memang suka main ke sini. Bagus! Dia membawa Jason." Tom cepat berdiri. Ia mengikuti langkah Maria ke pintu.

"Ayo masuk, Kris! Mana cucuku, si Jason?" seru Maria. Tom tertegun sejenak. Sejak kapan Maria mengadopsi anak orang lain sebagai cucunya? Tiba-tiba Maria menyikutnya pelan sambil tertawa. "Hei, aku cuma bercanda kok, Tom. Kalau didengar si Adam, dia pasti berang!"

Segera Kristin muncul bersama Jason di dalam keretanya.

"Kenalkan, Kris!" kata Maria sambil mendorong Tom ke depan

Kristin. "Ini Tom, abang Sonny!"

Tom tersenyum ramah sambil mengulurkan tangannya. Tetapi Kristin terkejut dan membelalakkan matanya. Ia tidak segera membalas uluran tangan Tom karena masih diliputi kejutan. Jadi inilah sosok yang dilihatnya tadi pagi di seberang rumahnya. Bukan hantu melainkan manusia.

"Tadi Anda melihat saya dari jendela, bukan?" Tom memaklumi sikap Kristin.

Kristin tersadar. Ia tersipu. Lalu cepat-cepat menyalami tangan Tom. "Maaf, Mas. Saya... saya...," ia gugup. "Panggil saja Tom."

"Ayolah duduk sana. Kalian bisa mengobrol," Maria menganjurkan. Ia memahami sikap Kristin tadi. Pasti Kristin menemukan persamaan fisik antara Tom dengan Sonny. Lalu ia mengalihkan perhatian kepada Jason. la membungkuk dan berceloteh menyapa Jason.

Tom tak segera memenuhi anjuran Maria. Ia ikut menjenguk isi kereta bayi. Tampak olehnya wajah mungil dengan sepasang mata bulat jernih membalas tatapannya. Ia tersenyum dengan ramah. Lalu mengulurkan tangan untuk membelai kepala Jason. Dan sesudah menyentuh, rasanya ia tak ingin menarik tangannya kembali. Segenap perasaannya tercurah kepada bayi itu. Suka sekali. Ia tak ubahnya kaum perempuan dengan naluri keibuan mereka. Padahal ia sudah sering melihat bayi, bahkan yang lebih manis dan lucu daripada Jason. Tetapi tak pernah ada perasaan apa-apa. Justru yang sering muncul adalah perasaan getir karena ia jadi diingatkan kepada Debbie. Kenapa yang lahir dari rahim Vivian bukan anaknya, melainkan anak orang lain?

Maria dan Kristin sama-sama mengamati tingkah Tom. Samasama tertarik tapi dengan pikiran berbeda-beda. Maria berpikir, Tom tentu teringat kepada anak yang bukan anaknya.

Sedang Kristin yang tidak tahu riwayat Tom berpikir, bila Tom begitu kebapakan, tentunya si Sonny juga begitu. Pantaslah kalau dia sampai mendapat ide mendadak untuk memberi nama Jason kepada anaknya. Lalu Kristin menjadi sedih ketika teringat pada Adam yang tak bisa menyalurkan naluri kebapakannya kepada Ja- son. Kenapa Jason yang menolak ayahnya sendiri justru menerima orang asing seperti Tom? Lihatlah, matanya berbinar menerima belaian tangan Tom yang baru pertama kali itu melihatnya.

Kemudian Tom menyadari tatapan kedua perempuan itu kepadanya, la menarik tangannya lalu tersenyum malu. "Anak Anda cakep sekali," katanya kepada Kristin.

"Namanya Jason."

"Nama yang bagus. Cocok sekali."

Kristin menatap Maria dengan pandang bertanya. Mengingat hubungan Tom dengan Sonny, sudahkah Maria menceritakan hal-ihwal dirinya kepada Tom? Memahami arti pandangan Kristin itu, Maria memalingkan muka. Ia mendorong kereta bayi ke dekat sofa. "Ayolah, duduk! Masa berdiri terus di situ?!" katanya mengajak.

Maria memberi kesempatan kepada Tom dan Kristin untuk berbincang berdua. Ia ke dalam untuk menyiapkan makan siang. Masakan yang dipesankan Henry dari restoran sudah datang. Tom dan Kristin harus makan bersama karena ia tak mungkin menghabiskannya sendiri. Tentu saja Tom dan Kristin harus menghargai kebaikan nyonya rumah dan tak menolaknya.

"Jadi Anda kaget sekali melihatku tadi?" Tom memulai. "Ah, jangan ber-Anda. Nanti aku juga begitu. Panggil Kristin saja."

"Baik, Kris. Boleh aku tahu, kenapa tadi kau begitu kaget? Apa aku disangka maling atau mirip Sonny?" Tom bertanya langsung. Kristin mengarahkan tatapannya kepada Jason di dalam keretanya. Anak itu tidur dengan manis sekali. "Kau mirip dia.

Tapi bukan fisik." "Maksudmu?"

Kristin menoleh ke dalam rumah. Terdengar bunyi piring berdentang-denting. Maria tak akan segera keluar.

"Aku melihat "dia", Tom. Gayamu berdiri dan tempatmu berdiri itu persis dia!" kata Kristin. Itulah pertama kalinya dia mengutarakan hal itu* kepada orang lain. Begitu saja terpikir bahwa Tom adalah orang yang cocok untuk tempatnya bercerita. Tom itu abang Sonny. Jadi paling pas. Senang rasanya menemukan orang yang pas. Ia memang sudah sangat ingin membagi pengalamannya itu dengan orang lain. Kali ini ia sulit menerima nasihat ibunya untuk-menyimpan hal itu untuk dirinya sendiri.

"Jadi karena itu kau sangat kaget melihat foto Sonny. Tak mengherankan," Tom menyimpulkan dengan takjub.

"Ya. Siapa yang takkan kaget?!"

Pandang Tom melembut ketika menatap Kristin. "Kau punya keistimewaan, Kris! Kau punya kelebihan!"

Kristin tersipu menerima tatapan Tom yang terkesan begitu mengaguminya. "Ah, itu sudah dari sononya. Tak ada yang perlu dibanggakan. Aku justru malah jadi susah." "Kenapa tak kaujelaskan saja kepada suamimu?"

"Menjelaskan? Bagaimana menjelaskannya? Bagaimana kalau dia memaksa pindah dari rumah itu?"

"Kau suka tinggal di sana?" "Oh, ya."

"Biarpun punya riwayat tak menyenangkan?"

"Apa peduliku dengan riwayatnya? Yang penting aku merasa senang di situ."

"Apakah Adam juga senang di situ?"

"Tentu saja. Kalau tidak buat apa dia merenovasinya? Dari dulu dia sangat ingin tinggal di kawasan ini."

"Katanya Adam kenal baik dengan Sonny."

"Ya. Mereka tadinya akan bekerja sama untuk suatu proyek BUMN. Tapi dengan meninggalnya Sonny dan terjadinya kerusuhan maka proyek itu batal."

"Jadi tak ada orang lain yang tahu tentang pengalamanmu itu?" kata Tom. Ada perasaan diistimewakan.

"Ya. Ibuku adalah kekecualian. Karena kau abang Sonny maka kupikir kau pantas tahu. Lagi pula aku punya feeling kau tidak akan melecehkan pengalamanku itu. Orang lain, misalnya Adam, bisa saja mengatakan bahwa aku sudah tidak beres. Sedang Tante Maria mungkin saja percaya, tapi dia akan bercerita kepada orang lain."

Tom mengangguk, tersenyum. "Aku takkan menceritakannya kepada orang lain, Kris. Janji. Itu cuma di antara kita." "Terima kasih, Tom," Kristin bersyukur. Tampaknya ia tidak salah memilih orang. Ada penyesalan, kenapa bukan Adam?

Tom menatap si bayi. Jason tidur pulas dan nyaman.

"Maukah kau berjanji juga, Kris?" "Janji apa dulu?" Kristin tak mau sembarangan. "Bila kau membutuhkan sesuatu, jangan ragu minta bantuanku."

"Tapi kau jauh."

"Aku sebulan di Jakarta. Tante Maria tahu alamat dan nomor telepon orangtuaku. Minta kepadanya, ya?"

"Ya. Selama ini Tante memang selalu membantuku. Senang ada yang mau membantu. Terima kasih, Tom." "Aku juga berterima kasih karena kau mempercayaiku. Ngomong-ngomong, apakah Adam ada di rumah sekarang? Aku

ingin juga berkenalan dengannya. Bincang-bincang tentang

Sonny, misalnya."

Kristin terkejut. "Wah, kukira dia tidak akan mau, Tom." "Tidak mau berkenalan denganku?" Tom heran.

"Bukan. Maksudku, tidak mau membicarakan Sonny. Dia marah kalau aku bertanya tentang Sonny."

"Kalau begitu aku tidak akan bertanya soal itu. Cukup berkenalan saja, ya?"

"Ya. Tapi sekarang dia tak ada, Tom. Pulangnya sore. Aku main ke sini justru karena dia tak ada," Kristin bercerita tanpa merasa risi. Entah kenapa, Tom yang baru saja dikenalnya ini bisa membuatnya aman. Apakah karena dia abang Sonny?

Padahal ia juga tidak mengenal Sonny.

"Lain kali aku akan ke sini lagi. Aku juga perlu bertemu dengan

Oom Henry. Barusan aku membawakan titipan dari Susan."

"Oh ya, aku melihat fotonya. Bagaimana dia, Tom?"

"Dia baik-baik saja. Kurang-lebih dua minggu yang lalu aku ketemu dia di New York. Dia jadi wartawan." "Hebat, ya." Kristin kagum. Lalu dia ingin tahu. "Apakah dia masih merasa kehilangan Sonny?"

"Kelihatannya masih, tapi sudah bisa mengatasi."

"Syukurlah. Aku mendengar ceritanya dari Tante." Maria muncul, mengajak mereka makan. Kereta bayi didorong ke dalam.

Selesai makan, mereka berbincang lagi sejenak. Kemudian

Kristin pamitan karena tak lama lagi tiba saat menyusui bagi Jason yang selama itu bersikap manis, seakan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada ibunya untuk bersosialisasi.

Tom pun ikut pamitan. Sudah cukup lama dia di situ. Masih ada rencana lain. Dia dan Kristin keluar bersama dari rumah Maria. Mereka berjalan di trotoar. Tom menawarkan untuk mendorong kereta bayi. Dengan senang hati Kristin membiarkan. Sambil berjalan ia sempat mengamati bagaimana ekspresi Tom saat itu. Tampak Tom senang sekali. Tatapannya terus tertuju kepada Jason. Dan anak itu pun menatap kepadanya. Kristin merasa, Jason pun menaruh kepercayaan kepada Tom. Maka berulang pertanyaan yang sama. Kenapa Jason tidak berbuat sama kepada Adam, ayahnya sendiri?

Mereka tiba di depan rumah Kristin. Bi Iyah membukakan pintu pagar. Tatapannya segera tertuju kepada Tom. Tetapi Kristin dan Tom tidak memperhatikan ekspresinya. Mereka sibuk berbincang. "Tak mampir dulu, Tom?"

"Terima kasih, Kris. Kan Jason perlu juga diper- hatikan. Bukan begitu, Son?" Tom mengarahkan perhatiannya kepada Jason.

"Kalau begitu sampai nanti saja. Kapan mau ke sini lagi?" tanya Kristin.

"Aku telepon dulu saja, ya? Yang pasti waktunya sore hari." Mereka berpisah. Kristin tak segera masuk rumah. Ia mengamati sejenak punggung Tom saat melangkah pergi, semakin menjauh. Lalu tatapannya beralih ke seberang rumah. Ia yakin sekarang, mulai saat itu tidak akan lagi melihat sosok Sonny berdiri di sana.

Sore itu Adam tidak segera pulang ke rumah seke-luarnya dari kantor. Ia punya janji dengan Harun. Menurut Harun, lewat

telepon, ia menemukan sesuatu dari penyelidikannya ke Kampung Belakang, begitu nama kampung yang lokasinya tak jauh dari kawasan Pantai Nyiur Melambai. Suara tegang Harun di telepon membuatnya ikut tegang. Apakah gerangan yang ditemukan Harun?

Ia menelepon Kristin untuk memberitahu bahwa sore itu ia pulang lambat karena ada urusan di luar kantor yang harus dikerjakan. Kristin tidak menanyakan urusan apa atau jam berapa kira-kira pulangnya. Bagi Adam itu lebih baik. Pada saat itu kecerewetan tidak akan dianggapnya sebagai perhatian, melainkan sikap usil semata-mata. Ia sudah siap membentak bila Kristin banyak bertanya. Tapi rupanya Kristin cukup tahu diri.

Ia menuju alamat Harun yang tinggal bersama keluarga putranya di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Untuk menuju ke sana ia melewati Jalan Thamrin yang terkenal dengan kemacetan lalu lintasnya, lebihlebih pada sore hari usai jam kantor. Ia memaki-maki, mendamprat sana-sini, mengomel, menggerutu sepanjang jalan. Sarafnya yang sudah tegang benar-benar terganggu oleh kemacetan itu.

Alamat Harun cukup sukar dicari. Ia harus membelok keluarmasuk gang yang membingungkan. Belok kanan, belok kiri. Kanan lagi, kiri lagi. Padahal gangnya pas untuk dua mobil saja. Sedang ganggang itu pun tidak kosong. Ada saja kendaraan yang parkir di kiri atau kanan badan jalan. Ia harus hati-hati melewatinya. Belum lagi kalau parkirnya semrawut hingga ia harus berzigzag. Maka ia menyumpah-nyumpah atau membunyikan

klaksonnya keras-keras. Warga tak tahu diri! Kalau tak punya garasi jangan punya mobil!

Ketika akhirnya ia menemukan rumah Harun, ia benar-benar terkuras. Lemas. Stres.

Senyum Harun yang ramah malah membuatnya merasa diejek. Ia harus berupaya sekuat-kuatnya untuk tampil berbeda daripada perasaannya. "Susah nyari rumah ini, Pak Adam?"

"Ah, nggak. Tanya orang saja. Bapak banyak yang kenal rupanya."

"Oh ya, saya di sini ketua RT, Pak Adam." Harun terlihat bangga.

Adam mengangguk. "Pantas," katanya. Dalam hati ia mencemooh. Baru sebegitu saja sudah bangga!

"Pak Adam mau minum apa?"

"Wah, tak usah repot-repot, Pak. Kan nggak lama. Saya belum pulang ke rumah nih. Entar pulang saya diomelin istri." "Kalau begitu langsung ke tujuan saja ya, Pak." "Betul, Pak. Apa yang Bapak temukan itu?" "Sebentar, ya."

Saat itu mereka duduk di teras depan pavilyun sebuah rumah besar. Rupanya Harun menempati pavilyun sedang keluarga putranya di rumah utama. Dengan demikian mereka bisa berbincang tanpa terganggu. Di belakang teras tampak suasana kamar lewat tirai tipis yang menutupi jendela. Terlihat Harun di kamarnya menuju lemari lalu membukanya. Ketika keluar ia membawa sebuah benda yang terbungkus taplak meja katun kembang-kembang.

Harun duduk di depan Adam lalu membuka taplak pembungkus benda itu. Segera mata Adam terbelalak dengan penuh kengerian. Susah payah ia berusaha supaya tidak sampai menjerit. Benda yang terbungkus itu adalah guci antik milik nenek moyang keluarga Sonny, yang digunakannya untuk memukul kepala Sonny! Tanpa meneliti atau mengamati dengan cermat pun ia langsung mengenali benda itu. Dan ia tak berminat untuk menyentuhnya. "Pak Adam kenal benda ini apa nggak?"

Harun menyodorkannya tetapi Adam menggelengkan kepala. Ia segan menyentuhnya. Harun membungkusnya lagi lalu meletakkannya di atas meja.

Ekspresi Adam sudah biasa lagi. Dalam waktu yang singkat Adam sudah bisa menemukan jawaban. "Kalau nggak salah saya pernah melihat barang itu di ruang tamu rumah Sonny. Betul,

Pak?"

"Betul sekali, Pak." Harun tersenyum. Tampak senang.

"Dari mana Bapak mendapatkannya? Pasti itu hasil jarahan dulu, Pak. Barang seperti itu tak mungkin dijual keluarga Lie. Kata Sonny, itu warisan turun-temurun. Dan digunakan untuk menyimpan abu jenazah." "Ya. Ini memang barang jarahan. Tapi bukan saya yang menjarahnya."

"Lalu siapa?" tanya Adam bernafsu. Tiba-tiba ia gemetar.

Orang yang memasuki rumah Sonny dan kemudian menjarah isinya pasti menemukan jenazah Sonny di situ. Apalagi orang yang mengambil guci itu. "Wah, mana saya tahu?"

"Habis Bapak mendapatnya dari mana?"

"Ketika saya ke Kampung Belakang dan mengobrol dengan orang sana, sambil lalu saja saya menyinggung kembali soal penjarahan bulan Mei dulu itu. Tahu-tahu si Angga mendekati saya..."

"Si Angga?" potong Adam terkejut. Ia masih ingat bagaimana Angga berjasa kepadanya dulu waktu ia terjebak dalam kerusuhan.

"Ya. Masih ingat si Angga, ya Pak? Anak itu bilang sama saya, ada orang mau menyerahkan barang jarahan dengan sedikit imbalan saja. Katanya barang itu dari rumah Oom Sonny. Saya memberikan sedikit uang kepada si Angga, lalu saya disuruh menunggu. Kemudian dia datang lagi dengan membawa barang ini. Ketika ditanya dari siapa ia mendapatkannya, ia tak mau bilang. Tapi dengan bisik-bisik dia bilang, orang yang memberikan itu pun mendapatkannya dari membeli. Jadi sudah beberapa kali pindah tangan. Entah benar entah tidak. Saya belum menyelidiki lagi. Tapi kata si Angga barang itu membawa

sial. Kurang ajarnya dia baru berkata

begitu setelah menyerahkannya kepada saya. Tidak apa-apa.

Kan bukan saya yang menjarahnya. Maksud saya baik kok."

"Sekarang mau diapakan benda itu, Pak?"

"Ini bukan milik saya melainkan milik keluarga Lie. Sonny memang sudah tak ada. Tapi orangtuanya sudah berada di Jakarta. Alamatnya akan saya tanyakan kepada Bu Maria."

"Jadi Bapak mau mengembalikan kepada mereka." "Ya. Harus, kan? Ini milik mereka. Pasti mereka senang sekali menerimanya."

"Daripada Bapak repot, biar saya saja yang memberikannya. Alamat mereka akan saya tanyakan kepada Bu Maria. Jangan khawatir. Saya akan sebut nama Bapak." Sebenarnya Adam tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya itu. Bagaimana mungkin ia mem-bawa benda itu ke rumahnya? Memegangnya saja ia takkan mau. Sebenarnya ia cuma ingin mengecek reaksi Harun saja. Setulus itukah niat Harun?

Harun menggeleng. "Saya tidak mau merepotkan Pak Adam.

Biarlah. Itu pekerjaan saya."

Cepat-cepat Harun meraih bungkusan berisi guci dari meja lalu meletakkannya di atas pangkuannya. Sepertinya dia khawatir kalau-kalau benda itu diambil Adam. Sikapnya itu membuat Adam tertawa dalam hati.

"Apa lagi yang dikatakan si Angga, Pak?" "Apa lagi, ya?" Harun berpikir sejenak. "Oh ya, dia menyinggung Pak Adam juga."

"Menyinggung saya? Apa katanya?" tanya Adam bernafsu. Harun tak segera menjawab. Ia tampak merenung. "Ah, sudahlah. Anak itu memang banyak omong. Dari dulu omongannya suka ngelantur. Susah dipercaya." "Tidak apa-apa, Pak. Ngomong apa sih dia?" desak Adam. Ia penasaran.

"Sudahlah. Nggak apa-apa, Pak," Harun tegas menolak. Adam sadar, ia tak bisa memaksa. Bila hal itu dilakukannya kemungkinan Harun akan curiga. Tetapi ia merasa heran, kenapa Harun tak mengatakannya saja? Apakah ada yang salah dengan peristiwa dulu ketika ia hampir menjadi korban massa

yang beringas? Banyak orang mengalami hal yang sama. Dia adalah korban, bukan pelaku kejahatan dalam peristiwa di mana Angga ikut menyaksikan. Apa salahnya Harun membicarakan hal itu, atau sekadar menunjukkan simpatinya? Tapi Harun seperti kurang enak kalau menyampaikan apa yang diceritakan Angga kepadanya. Betapapun penasaran, ia berusaha menyembunyikannya.

"Ya, si Angga itu memang berengsek," kata Adam penuh maklum. "Bagaimana dia sekarang, Pak? Sekolah, kerja, atau apa?"

"Wah, itu belum sempat saya tanyakan. Tapi kelihatannya tidak kedua-duanya. Sekolah nggak, kerja apalagi."

"Dia masih tinggal di Kampung Belakang?"

"Saya nggak tahu juga tuh. Dia ngomong cepat, pergi cepat juga. Mana sempat berbincang-bincang. Terus terang, saya nggak peduli dia mau tinggal di mana atau apa kerjanya." Adam tertegun mendengar ucapan yang terkesan kasar itu. Sepertinya itu bukan mencerminkan sifat Harun yang dikenalnya. Dulu ia mengenal Harun sebagai orang yang suka menolong meskipun dirinya kekurangan. Karena sifat Harun itulah maka ia menjadikannya sebagai tempat pelampiasan unek-unek dan berbagi derita. Tetapi sekarang tampaknya ada perubahan. Padahal beberapa waktu yang lalu, ketika baru bertemu, sepertinya Harun tidak berubah. Sekarang ada sesuatu dalam ekspresi Harun yang membuatnya lain. Sorot matanya tajam kalau menatap dan gaya bicaranya penuh semangat. Gerak-geriknya terkadang gelisah. Dia seperti menyimpan ketegangan yang memerlukan pelampiasan.

Harun berdiri. "Saya simpan ini dulu, Pak. Tunggu sebentar, ya."

"Ya, Pak. Silakan." Adam tidak keberatan menunggu. Berbeda daripada tadi, dia merasa tidak perlu buru-buru. Dia harus mendapatkan kejelasan dari sikap misterius Harun. Mengulur waktu dalam persoalan ini pasti buruk akibatnya. Harun menyimpan kembali guci terbungkus taplak itu ke dalam lemari di kamarnya. Ia keluar lagi. Sikapnya lebih lembut. "Betul Pak Adam tidak mau minum dulu?"

"Betul, Pak. Saya baru saja minum di mobil tadi." Adam menganggap tawaran itu sebagai basa-basi belaka. Harun duduk kembali. Ketika ia menatap Adam, tampak keseriusan ekspresinya. Adam menunggu dengan tegang. Tentu tujuan Harun bukan sekadar untuk memperlihatkan temuannya itu saja. "Menurut Pak Adam, berapakah nilai guci itu sebenarnya?" tanya Harun dengan suara dalam.

"Wah, yang pasti mahal sekali, Pak. Maklum benda antik. Tapi pastinya saya susah menilai. Relatif sih."

"Jadi yang pasti mahal. Lebih-lebih buat pemilik aslinya, karena itu merupakan warisan turun-temurun."

"Betul, Pak. Bila suami-istri Lie melihatnya pasti mereka girang sekali. Apakah Bapak serius ingin mengembalikan kepada mereka?"

Harun tersenyum. Adam merasa melihat kelicikan dalam senyum Harun itu.

"Oh ya, saya serius. Tapi kalau diberikan begitu saja, keenakan mereka dong!"

Adam tersadar. Ia sekarang memahami maksud Harun yang sesungguhnya. "Maksud Bapak, akan meminta imbalan pada mereka?"

"Ya. Begitulah. Tapi untuk itu kita harus bekerja sama, Pak

Adam."

"Kerja sama bagaimana?"

"Saya merasa kurang enak kalau begitu saja minta imbalan.

Salah-salah nanti disangka sayalah yang menjarah. Sedang Pak Adam punya hubungan akrab dengan keluarga Bu Maria, kerabat mereka."

"Saya tidak akrab, Pak. Yang akrab itu istri saya."

"Sama-sama lah."

"Lantas caranya bagaimana, Pak? Saya jadi perantara begitu?" Harun tertawa. "Bolehlah dibilang begitu, Pak. Orang terhormat seperti Pak Adam kan bisa lebih dipercaya. Apalagi segolongan."

"Ah, saya tidak merasa segolongan. Jangan ngomong begitu,

Pak." "Ya, ya. Maaf deh. Kita langsung saja. Begini. Selama ini selain Pak Adam, saya juga suka mengontak Bu Maria. Dia juga tahu bahwa saya sedang melakukan penyelidikan tentang Sonny..." Adam mengerutkan kening. "Penyelidikan tentang Sonny yang bagaimana, Pak?" ia memotong.

"Dia penasaran, benarkah Sonny yang keluar dari rumahnya sebelum musibah itu? Kan sudah saya ceritakan." "Mana mungkin, Pak? Orang yang sudah mati kan tak bisa ditanyai."

"Tentu saja. Saya juga bilang begitu kepadanya. Tapi yang ingin diketahuinya, apakah ada orang lain yang juga melihat waktu itu?"

"Kayaknya susah juga, ya? Sebaiknya kembali ke masalah tadi saja, Pak."

"Ya. Karena dia tahu saya sedang menyelidiki itu jadinya wajar saja kalau nanti saya muncul dengan benda itu. Berarti saya sudah mendapatkan titik terang, bukan?"

"Lantas?"

"Saya mendapatkannya bukan dengan cara yang gampang, Pak Adam. Takut juga nanya soal-soal seperti itu. Seperti mengorek kuburan saja. Jadi wajar dong kalau saya mengharapkan imbalan. Mereka senang, saya juga puas." "Saya kira mereka dengan senang hati akan memberikan imbalan sesuai keinginan Bapak. Jadi bantuan saya tak perlu." "Memang sepertinya begitu. Tapi sudah saya bilang tadi, saya takut mereka akan menyangka sayalah penjarahnya. Akan lain halnya kalau Pak Adam membantu. Caranya tak susah. Saya akan menghubungi Bu Maria dan memberitahu padanya perihal penemuan ini. Lalu saya bilang padanya, saya meminjam uang Pak Adam untuk menebusnya. Uang itu mesti diganti, tentu saja. Nah, Pak Adam tinggal tunggu konfirmasi soal kebenaran keterangan itu. Nanti Bu Maria pasti akan menyampaikannya pada Pak Bun atau istrinya. Kalau dibayar, tentu Pak Adam akan mendapat bagian juga. Bagaimana?" tanya Harun dengan sorot mata berkilat. Adam tertegun. Ia tak menyangka bahwa Harun bisa selicik itu. "Bagaimana kalau dia tak percaya?"

"Ya sudah. Barang itu tidak kita serahkan. Bilang saja, terpaksa dikembalikan kepada penjualnya dan uang pembayaran diminta lagi." "Berapa duit mintanya?"

"Bagaimana kalau lima juta? Tiga juta buat saya, dua juta buat

Pak Adam."

"Dia akan menyangka Bapak mencatut."

"Terserah dia mau menyangka apa. Tapi saya yakin, Bu Maria tidak akan menuduh macam-macam. Dia masih membutuhkan jasa saya untuk menyelidiki."

Yang tidak menyenangkan bagi Adam adalah berurusan dengan Maria atau melibatkan Kristin dalam masalah itu. Tapi uang dua juta rupiah cukup menarik bila diperoleh dengan gampang dan singkat.

"Bagaimana, Pak Adam? Cari uang sekarang kan susah. Mereka masih cukup kaya kok. Uang sebegitu tak ada artinya buat mereka."

Ucapan itu membuat Adam terkenang kepada uang dolar Sonny yang dirampoknya. Uang sebanyak itu disimpan saja di dalam laci, bahkan dipertontonkan kepadanya tanpa kekhawatiran. Arogansi orang kaya.

"Saya pikir dulu ya, Pak," sahutnya kemudian. Ia tak ingin terlihat terlalu bernafsu. "Jangan lama-lama dong, Pak Adam."

"Besok saya beri kabar, ya."

Harun melepaskan kepergian Adam dengan senyum kemenangan.

Berbeda dengan sebelumnya, perjalanan pulang ditempuh Adam dengan sabar. Meskipun kemacetan masih dijumpainya di beberapa ruas jalan, tapi tak ada lagi kata umpatan keluar dari mulutnya. Ia justru memanfaatkan saat-saat macet itu untuk berpikir.

Sampai akhir pertemuannya dengan Harun tadi, ia masih belum memperoleh jawaban dari pertanyaan apa sebenarnya yang diceritakan Angga tentang dirinya. Mungkin Harun tidak menganggap cerita Angga itu penting atau mengandung kebenaran. Mungkin juga Harun khawatir kalau menceritakannya, nanti ia tak bersedia diajak kerja sama. Tapi apa pun kemungkinannya, ia tetap tidak yakin apa sebenarnya materi cerita Angga itu.

Ia merenungi lagi kejadian yang penuh kekacauan di pertengahan bulan Mei sembilan delapan itu. Ketika itu dadanya memang gembung oleh kantong plastik berisi bundelan uang dolar, tapi rapat tertutup oleh jaket kulit. Tak ada yang bisa atau berusaha melihat isinya. Lagi pula sudah terbiasa pengendara motor membawa barang di dalam jaketnya karena

lebih aman. Para perusuh itu lebih tertarik kepada motornya. Sebelum menjauh dari tempat itu ia sempat menoleh ke belakang. Ia melihat Angga bersama orang-orang lainnya membakar motornya. Ah, bukan motornya! Itu motor Sonny! Adam merasa dingin dengan tiba-tiba ketika terpikir akan kemungkinan bahwa Angga mengenali motor Sonny. Tapi, mana mungkin Angga bisa mengenali? Setahu Adam, Sonny tidak dekat dengan Angga. Mungkin Angga pernah juga meminta uang kepada Sonny sesekali, seperti kepadanya juga. Tetapi itu tak

ada hubungannya dengan motor. Sonny memang senang naik motor, tapi ada kalanya ia juga menggunakan mobil. Motor itu pun biasa saja. Tidak ada aksesori yang aneh-aneh hingga gampang dikenali. Ataukah nomor polisinya? Mustahil Angga mengenali nomornya. Ia sendiri tidak tahu.

Kalau bukan masalah motor itu, apa lagi yang bisa membuat Harun merasa risi untuk mengulang cerita Angga? Ia harus mempersiapkan diri seandainya cerita itu nanti muncul ke permukaan. Sebelumnya ia harus berbaik-baik kepada Harun.

Jangan sampai timbul masalah.

Setelah Adam pergi, Harun masuk ke kamarnya lalu mengunci pintunya. Ia juga menutup jendela. Ia mengeluarkan guci antik itu dari dalam lemari kemudian meletakkannya di atas meja. Ia duduk menghadapinya, memakai kacamata, lalu mengamati dekat-dekat tanpa menyentuhnya. Tampak mengilat dan berkilau. Indah sekali. Pasti sudah dicuci dan digosok. Orang yang menjarahnya sudah siap menjualnya

dengan harga setinggi mungkin. Kenapa ia tak melakukannya?

Kenapa menunggu waktu begitu lama untuk melepaskan barang begitu bernilai? Apakah di zaman susah ini tak ada lagi orang yang berminat pada barang antik? Mungkin sekarang orang lebih suka membeli barang kebutuhan pokok daripada barang pajangan.

Sebenarnya kejadiannya tidaklah seperti yang diceritakannya kepada Adam. Ia memang bertemu dengan Angga ketika sedang berjalan-jalan di Kampung Belakang. Dulu pihak pengembang Pantai Nyiur Melambai banyak menggunakan buruh bangunan dari situ. Pemukiman di situ masih seperti dulu.

Kumuh dan padat. Dalam waktu beberapa bulan terakhir kabarnya pemukiman itu sudah dua kali kena musibah kebakaran.

Angga sudah tumbuh lebih tinggi sedikit. Mungkin umurnya dua puluh sekarang. Tapi dia tampak lebih kurus. Wajahnya kuyu dan tatapannya terkadang seperti hampa. Harun curiga, jangan-jangan remaja itu kecanduan narkotika atau obat terlarang.

Seperti dulu, Angga minta uang rokok kepadanya. Ia memberinya seribu rupiah. Tapi remaja kurus itu minta tambah. Ia berjanji akan memberi tambah bila Angga mau memberi informasi. Semakin banyak informasinya, maka tambahan uangnya pun semakin banyak pula. Angga tertarik sekali.

Harun mengajaknya ke restoran Padang dan mentraktirnya makan. Angga senang sekali. Makannya lahap seperti orang kelaparan. Sesudah itu Harun menanyainya perihal penjarahan yang terjadi di Pantai Nyiur Melambai pada bulan Mei tahun sembilan 234

delapan. Angga kaget sekali hingga dia tersedak-sedak. Tetapi Harun cepat menenteramkannya.

"Tenang, Ngga. Aku bukan mau mengorek masa lalu. Yang sudah ya sudah. Apalagi soal harta yang sudah lenyap. Tapi ini soal nyawa."

Angga kaget lagi. "Nyawa siapa, Pak?"

"Masih ingat sama Oom Sonny?"

Angga ternganga. Tampak jelek sekali. "Wah, saya mah nggak tahu soal itu, Pak. Jangan nanya sama saya. Udah ya, Pak.

Terima kasih makanannya."

Angga berdiri, tapi Harun menariknya kembali duduk. "Sudah kukatakan kamu nggak usah takut. Biarpun misalnya aku tahu siapa yang membunuh Sonny, aku tidak akan memasalahkan. Buat apa? Aku bukan polisi kok. Tapi aku cuma ingin tahu saja." Angga menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tapi saya nggak tahu, Pak. Sumpah. Saya nggak tahu siapa yang membunuh Oom

Sonny."

"Kamu nggak usah takut. Biarpun kamu bilang, toh aku nggak akan berbuat apa-apa."

"Tapi saya bener-bener nggak tahu. Sumpah, Pak!"

Harun menyadari, percuma memaksa dan mendesak. Mungkin Angga benar. Tapi mungkin juga tidak benar. "Kalau begitu

nggak ada uang tambahan dong, Ngga. Habis kamu nggak mau cerita sih."

Angga tertegun. Ia tampak menyesal. "Memangnya buat apa sih

Bapak nanya-nanya soal itu? Kan udah lama kejadiannya. Apa

Bapak disuruh polisi?"

Harun tertawa. "Apa kaukira aku ini cecunguk? Sebenarnya aku diminta beberapa keluarga yang tinggal di Pantai Nyiur

Melambai, yang dulu mengungsi tapi sekarang kembali lagi. Mereka ingin mencari barang kesayangan mereka yang dulu hilang. Siapa tahu ada yang mau mengembalikan. Imbalannya sih ada meskipun tak seberapa. Tapi lumayanlah daripada menyimpan barang jarahan. Untuk itu tentu saja aku juga dapat imbalan. Kalau kamu bisa

mendapatkan, yang sungguh-sungguh bagus tentunya, kamu pasti dapat bagian."

Angga ragu-ragu. "Wah, sudah terlalu lama, Pak. Jangan-jangan barangnya udah dijualin. Mana mungkin disimpan begitu lama." "Kalau nggak ada ya sudah. Tapi siapa tahu. Untung-untungan saja."

"Nanti saya tanya-tanya ya, Pak."

"Benar lho, Ngga. Aku serius."

"Uang mukanya dulu dong, Pak."

"Gimana kamu ini? Barang belum tentu ada sudah minta uang muka," Harun menggerutu tapi ia memberi sepuluh ribu kepada Angga.

"Besok saya kasih kabar ya, Pak," kata Angga senang. Harun memberikan nomor teleponnya. Ternyata esoknya Angga memenuhi janjinya. Mungkin saking ingin mendapat uang lagi. Waktu itu ia belum membawa guci tersebut. "Pemiliknya minta uang seratus ribu saja. Kalau dikasih dia lepaskan barangnya. Dia takut kalau barangnya dilepas duluan nanti duitnya nggak dikasih."

Ketika itu Harun ragu-ragu. Uang seratus ribu tidak sedikit.

Bagaimana kalau ia dibohongi? Setelah diberi uang bisa jadi Angga tak kembali lagi. Ternyata sekali lagi Angga memenuhi janji. Ia kembali 236

sambil membawa kantong plastik. Isinya guci itu. Ia terkejut sekali ketika mengenalinya. Ia pernah melihat sekali di rumah Sonny karena benda itu diletakkan di ruang depan. Mungkin sengaja untuk dibanggakan. Walaupun cuma melihat sekali saja, ia yakin itu memang benda yang sama.

"Bapak mengenali?" tanya Angga.

"Ya. Ini milik keluarga Sonny."

Angga terkejut. Jelas dia tak menyangka bahwa barang itu dikenali.

Harun menatap tajam. Jangan-jangan si Angga sendiri yang mengambil benda itu dulu.

"Bukan dia yang membunuh Oom Sonny, Pak," kata Angga.

"Dia? Dia siapa?"

Angga diam. Di wajahnya tampak tekad tidak akan memberitahu. "Kalau saya bilang, saya bisa celaka, Pak." Harun mengangguk. Ia berkata dengan sabar, "Kau tidak usah menyebut namanya, Ngga. Maksudmu tentu orang yang

menyimpan barang ini, ya?" Angga menganguk. Ia gelisah.

"Jangan ketakutan begitu, Ngga. Aku tidak akan menggugat kamu. Aku justru berterima kasih padamu. Pemilik barang ini pun pasti senang sekali," Harun membujuk.

Angga tenang kembali. "Saya juga kasihan sama Oom Sonny,

Pak. Dia selalu memberi uang kalau saya minta."

"Kamu tak punya perkiraan siapa yang kira-kira

membunuhnya?" Angga menggelengkan kepala. "Sumpah, Pak. Saya nggak tahu."

"Ya, ya. Aku percaya."

Sesudah itu cerita Angga tentang Adam mengalir. Bagaimana dalam kerusuhan Mei sembilan delapan itu ia berusaha menolong Adam saat akan dikeroyok massa. Adam memang berhasil lari, tapi motornya dibakar. Ia mengaku ikut

membakar. "Tapi motor itu milik Oom Sonny, Pak," katanya yakin.

"Bagaimana kau bisa tahu? Ingat nomornya?" Harun kurang percaya.

"Saya lihat gambar tempel di bawah tempat duduk. Itu yang saya kenali, Pak."

"Gambar apa?"

"Gambar hati dengan tulisan Susan!"

Barulah Harun mempercayai. Ia sendiri tidak pernah melihat gambar itu pada motor Sonny. Tetapi kekasih Sonny memang bernama Susan. Tak mungkin Angga mengada-ada. "Mungkin Pak Adam kebetulan meminjam motor Sonny," katanya menyimpulkan.

Itu saja yang diceritakan Angga. Untuk keterangan itu ia memberikan uang lima puluh ribu kepada Angga. Sebelum pergi, Angga menatap ngeri ke kantong plastik berisi guci itu. "Jangan simpan lama-lama, Pak. Barang itu bawa sial!" Ucapan itu membuat Harun teringat pada suatu kejanggalan.

"Oh ya, Ngga. Kau bilang barang itu diperoleh dari membeli.

Beli dari siapa?"

Angga terdiam. Tampak bingung. "Nggak tahu," sahutnya gugup. "Bukan kamu yang dulu mengambil?" "Bukan! Sumpah!" "Iya deh." Harun tak mau mendesak. "Itu nggak penting buatku. Cuma mau tahu aja. Soalnya aneh. Masa ada orang Kampung Belakang tertarik membeli barang antik." Angga tak bisa menyahut.

"Jadi orang yang menyimpan barang itu adalah orang yang mengambil, bukan?" tanya Harun. Tegas tapi tidak galak. Setelah Angga masih juga tak menyahut, Harun melanjutkan, "Jadi menurutku memang dia yang mengambil. Aku heran, kenapa dia menyimpannya saja. Kok baru mau menjualnya sekarang?"

Baru sekarang Angga menjawab, "Habis nggak ada yang mau beli, Pak."

"Dijual murah pun nggak ada yang mau? Ini kan barang bagus!" Harun tak percaya.

"Bahkan dikasih pun nggak mau."

"Jangan bohong, Ngga!"

"Bener. Orang takut melihatnya. Pada merinding."

"Tapi aku nggak apa-apa."

"Mungkin sama Bapak lain."

"Katamu barang ini bawa sial. Gimana sialnya?" "Orang yang menyimpan ini ditinggalin istrinya yang minggat sama lelaki lain. Seorang anaknya ketabrak mobil. Dia sendiri ketabrak becak sampai pincang."

Harun tertawa. "Kalau begitu kenapa tak dibuangnya saja?"

"Untuk membuangnya dia lebih takut lagi, Pak."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience