"Ternyata ada baiknya juga lu pernah kerja di klinik ilegal" kami berduapun langsung tertawa lepas.
Setelah selesai makan, kami berduapun langsung pulang. Aku mengucapkan terimah kasih dan memberikan imbalan tapi Ratna menolak.
***
Saat sampai dirumah, kulihat rumah nampak sepi. Sepertinya mereka belum pulang kerumah, paling juga masih jalan-jalan.
Aku masuk kekamar, tempat paling nyaman bagiku dirumah ini. Kulihat mas Reno, sedang menghadap ke laptop.
Berhubung aku sedang bahagia, aku berinisiatif untuk membuatkan kopi buat Mas Reno. Biarlah hari ini aku sedikit berbincang dengannya.
"Ini mas, biar tetap semangat kerjanya" kusodorkan segelas kopi kearahnya.
"Makasih ya sayang, aku senang kamu bisa seperti dulu lagi"
"Masih siang kok mas sudah dirumah?"
"Iya sayang, tadi mas rasa nggak enak badan. Jadinya ya, mas pulang aja. Biar nanti kerja dirumah aja"
"Emang kenapa sampai nggak enak badan gitu, lagi stres ya?"
"Nggak juga, mungkin kecapaian aja karena ngurusin pernikahan aku dan Tari"
"Ohhhh" moodku langsung berubah.
"Iya, soalnya Tari mau pestanya yang mewah dan harus sempurna jadi ya, kita kecapaian karena harus sering mengontrol persiapannya"
"Hmm" aku langsung menuju ke tempat tidur
"Kok malah tidur sih?"
"Maaf tapi tak ada gunanya aku mendengarkan ceritamu itu, mas"
"Sayang ini kan untuk kebahagiaan kita, aku hanya ingin memiliki anak. Apa itu salah?"
"Terserah"
Mas Romi menyimpan laptop dan berjalan kearah tempat tidur, dia langsung membaringkan tubuhnya disampingku. Mas Romi memelukku erat dan mulai menci*um aku.
Jika sudah seperti ini, itu tanda bahwa mas Romi sedang menginginkannya. Aku langsung menyingkirkan tangannya dan menghindar dari ciumannya.
"Kamu kenapa sih, selalu menghindar" terlihat ada rasa marah dari wajah mas Romi yang sangat merah.
"Aku kan sudah bilang, aku tak mau disentuh oleh mu lagi mas. Aku tak mau, tangan yang sudah menyentuh dan menjamah wanita lain, menyentuh dan menjamahku juga"
"Aku dan dia belum menikah, kami juga belum melakukan apa-apa jadi aku mohon jangan menghindar"
"Kamu yakin mas?"
"Ayolah, aku adalah lelaki normal. Sudah lama aku tak melakukannya dan aku sudah tak tahan lagi. Kamu nggak kasian, melihat suami mu tersiksa seperti ini?"
"Kalau kamu dan Tari nggak pernah melakukan apa-apa, kenapa hari ini Mama, Tari dan Rani pergi kerumah sakit untuk memeriksakan Tari yang katanya sedang pusing dan mual itu?"
"Maksud kamu apa, aku ngga ngerti?" Mas Romi tampak salah tingkah.
"Jangan terus berbohong mas, semakin kamu berbohong, aku akan semakin membencimu" aku menatapnya tajam, sedangkan mas Romi hanya menunduk dan tak berani melihat kearahku.
***
Aku duduk termenung di balkon kamar, merenungi perbuatanku akhir-akhir ini. Aku merasa, bahwa aku sudah terlalu jahat.
Saat aku mengatakan bahwa Tari adalah perempuan sampah, aku juga merasa tertuduh. Aku merasa, aku tak ada bedanya dengan dia karena aku juga hanyalah perempuan sampah yang rela tidur dengan ayah mertua demi membalaskan dendamku.
Saat aku menolak berhubungan bad*n dengan mas Romi karena dia sudah menyentuh dan menjamah wanita lain, akupun merasa bahwa aku tak pantas disentuh karena aku juga sudah membiarkan diri ini disentuh dan dijamah oleh ayah mertua.
Aku merasa sangat hina, aku perempuan yang kotor. Aku mengahalalkan segala cara hanya untuk membalaskan dendamku.
Apakah lebih baik jika kuakhiri saja semuanya ini?
Apakah aku akan merasa lebih bahagia jika mengalah?
Haruskah aku kembali berserah dan menyerahkan segala masalahku ini kepada Tuhan?
Ahhh terlalu banyak pertanyaan dibenakku ini, membuat aku menjadi pusing dan sakit kepala. Lebih baik aku kembali ke tempat tidur, berharap jika aku tertidur dan bangun aku bisa merasa lebih baik.
***
Aku kedapur, membuat kopi dan mengambil cemilan untuk menemani ku menonton di ruang keluarga. Walaupun ada bik Murni tapi aku tidak suka memerintahnya, aku lebih suka membuatnya sendiri.
Saat menuju keruang keluarga, kulihat para manusia-manusia tak tahu diri sedang berkumpul disana. Aku ingin memutar balik tapi sudah lebih dulu dilihat mereka.
Sejenak aku berpikir, jika aku kembali dan tak jadi duduk disana, pasti mereka akan senang karena mereka akan berpikir jika aku takut. Baiklah aku akan pergi dan duduk dengan mereka.
"Aku nggak sabar menunggu bulan depan ma" ucap Tari sambil mengelus perutnya dan melirik kearahku yang baru saja duduk.
"Iya sayang, mama juga nggak sabar. Mama juga udah pengen banget rumah ini ramai dengan suara anak kecil" timpal ibu mertua yang juga melirik kearahku.
"Iya dong ma, mbak. Rumah pasti akan jadi ramai, aku pasti akan senang karena nantinya keponakan aku pasti ganteng dan cantik dan yang paling penting nggak kampungan" Rani, selalu saja ikut berbicara.
Mendengar pembicaraan mereka, aku hanya tersenyum. Aku yakin, jika mereka berbicara seperti itu karena mereka percaya dengan omongan Ratna tentang obat yang disuntikkan tadi pada Tari.
"Ngomongnya, nggak usah sambil lirik aku juga kali tapi ya, semoga aja bulan depan bisa hamil beneran. Kasiankan kalau nggak kesampaian" aku berucap sambil tersenyum sinis kearah mereka.
"Memangnya kamu, mandul" Tari membalas ucapanku.
"Iya tahu ni, tunggu saja kalau mbak Tari udah hamil. Aku pastikan mbak akan segera diusir oleh mas Romi" Rani pun tersenyum mengejek.
"Ok ok ok. Aku tunggu ya tapi kalau nggak hamil-hamil bisa langsung adopsi saja, biar aku bisa diusir lebih cepat lagi" aku menaikkan sebelah alisku.
"Aku nggak mau ya punya anak adopsi, anak yang nggak jelas asal-usulnya. Bentar nggak benar lagi kelakuannya" ucap Tari yang langsung di sambut dengan anggukan kepala oleh Rani.
"Memangnya gitu ya ma, tapi yang kulihat mas Romi sama Rani benar kok kelakuannya. Hanya salah didikan saja dari mama" ucapku dengan senyuman manis dan langsung meminum kopi.
Ibu mertua, Tari dan Rani langsung melihat kearah ku. Ada tatapan aneh disana, wajah ibu mertua seperti tomat. Kulihat tangan ibu mertua meremas kursi yang dia duduki.
Bersambung...
Share this novel