Bab 3

Drama Series 6554

POV Seno/ayah mertua

Namaku Seno Martino, aku terlahir dari keluarga bahagia dan kaya. Saat usiaku menginjak 12 tahun ayahku meninggal dunia. Aku pun hidup berdua dengan ibuku, ibuku tidak ada niat untuk menikah lagi hingga ajal menjemputnya.

Saat aku berusia 20 tahun, ibu memintaku untuk menikah dengan anak ART kami karena ibuku merasa bersalah atas meninggalnya ART kami. Bik Sum nama ART kami waktu itu, beliau meninggal karena menyelamatkan ibuku yang hampir jatuh dari tangga lantai 2 rumah kami tapi sayang karena ingin menyelamatkan ibuku akhirnya bik Sum lah yang menjadi korban.

Setelah dirawat selama 2 minggu di rumah sakit, akhirnya bik Sum meninggal. Sebelum meninggal, beliau sempat menitipkan anak semata wayangnya pada ibu.

Setelah acara pemakaman selesai, ibu memintaku untuk menikah dengan anak bik Sum tapi aku menolak karena aku juga memiliki seorang kekasih yang sangat aku cintai. 

Semenjak aku menolak untuk menikah dengan anak bik Sum, ibu mulai mendiamkan ku. Saat aku pulang dari kampus, aku melihat ibu sedang tertawa bahagia dengan anak bik Sum, aku juga ikut terseyum karena semenjak ayah meninggal ibu jarang tertawa, ibu hanya fokus untuk kerja. Saat aku menghampiri mereka, ibu langsung mengajak anak bik Sum untuk masuk kedalam, hatiku sangat sakit diperlakukan seperti ini.

Setelah aku berpikir, tujuan aku untuk hidup hanya ingin menyenangkan hati ibuku karena beliau telah melahirkan dan membesarkan aku, bahkan beliau tidak mau menikah lagi setelah kepergian ayah hanya demi aku. Baiklah, aku akan menikah dengan anak bik Sum agar ibu bisa bahagia.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Wanda Susana binti Abdullah dengan maskawinnya yang tersebut, tunai." Akhirnya kalimat yang harus diucapkan untuk sang kekasih ternyata aku ucapkan untuk wanita lain.

Resepsi kami digelar secara mewah, bahkan ibu mengundang semua rekan bisnis dan koleganya. Teman-teman kampusku pun di undang tanpa sepengetahuanku, padahal aku berupaya untuk menyembunyikannya, lebih tepatnya agar kekasihku tak mengetahui pernikahan ini.

Saat kami sedang bersalaman dengan para tamu diatas pelaminan, tiba-tiba Ira wanita kedua yang paling aku cintai setelah ibuku, berdiri didepanku dengan sebuah kado kecil. Ira tersenyum walaupun matanya terlihat sendu "aku yakin pilihan ibu mu yang terbaik, berbahagialah karena aku juga ikut berbahagia." Sambil memelukku Ira mengucapkan kalimat yang mampu membuat air mata ku jatuh dan tak mau berhenti.

Setelah rangakaian acara yang cukup panjang, akhirnya kami bisa beristirahat. Aku memilih tidur di kamar tamu, aku belum siap untuk malam pertama dengan Wanda.

Kukeluarkan kado yang diberikan Ira dari saku celana, akupun membukanya dan hatiku kembali sakit melihat kado darinya. Ira mengembalikan cincin yang aku berikan, saat aku memintanya menjadi kekasihku.

Aku langsung mengambil kunci mobil, aku ingin menemui Ira, aku harus menjelaskan semuanya. Aku berharap, setelah mendengar penjelasan dariku, dia mau mengerti dan menerima aku kembali.

Saat tiba didepan rumahnya, aku melihat ada banyak sekali orang didalam rumah. Aku bergegas turun dan bertanya pada salah satu orang yang ada, aku langsung pingsan, begitu mengetahui kalau Ira mengalami tabrak lari dan meninggal ditempat.

Saat aku sadar, aku langsung menghampiri jenasah orang yang begitu aku cintai, aku memeluk dan menangis. Aku tidak mau beranjak dari sampingnya, sampai ada keluarga yang datang dan meminta aku untuk berpindah karena jenasah mau dimandikan.

Saat jenasah Ira dimandikan, aku mendengar cerita bahwa saat pulang dari sebuah acara pernikahan, Ira berjalan sambil menangis hingga saat akan menyebrang Ira tak memperhatikan jalan dan pada saat itu juga, ada sebuah mobil yang melaju dengan kencang dan tabrakan pun tak dapat terhindarkan.

Rasa bersalahku semakin bertambah, ya ini semua karena aku. Ira pasti merasa sedih sehingga dia tidak bisa konsentrasi saat menyebrang.

Besok hari setelah selesai pemakaman, semua orang telah pergi meninggalkan aku sendiri. Aku menatap nisannya dan berkata aku tidak akan menyentuh Wanda sampai aku benar-benar bisa melupakanmu.

Akupun langsung pulang kerumah dalam keadaan yang aku sendiri tidak mengerti. Sesampainya aku dirumah, kulihat Wanda duduk di teras mungkin sedang menunggu kedatanganku. Wanda langsung menyambut kedatanganku tapi aku abaikan, aku masih berduka. Kehilangan orang yang telah mendampingiku selama 3 tahun, itu bukanlah sesuatu yang mudah.

***

"Ada apa memanggilku ma?" Aku langsung bertanya kepada ibuku, begitu aku masuk kedalam kamarnya.

"Kemana saja kau semalam?"

"Aku ada urusan penting ma."

"Kau harus tahu bahwa kau sudah memiliki istri, tidak baik jika kau keluyuran."

"Tapi ma.."

"Mama tidak mau tahu, kau harus menjaga perasaan istrimu. Jika kau ingin rumah tanggamu langgeng sampai maut memisahkan, kau harus buat dia selalu bahagia."

"Aku butuh waktu ma."

" Baiklah tapi jangan jadikan itu sebagai alasan untuk selalu menghindar, apalagi membuat istrimu menunggu semalam dengan penuh rasa khawatir. Oh ya, satu lagi mama sudah cukup umur untuk menimang seorang cucu."

***

Aku langsung menuju kekamar ku dengan perasaan yang sulit kugambarkan. Ibuku ingin segera memiliki cucu sedangkan aku telah berjanji takkan menyentuh Wanda hingga aku bisa melupakan Ira.

Saat aku membuka pintu kamar, kulihat Wanda sedang duduk disofa, dengan mata yang sembab. Wanda sepertinya baru selesai menangis, akupun langsung duduk disebelahnya.

"Kenapa kamu tak tidur semalam, bukankah aku sudah memberitahukan bahwa aku akan tidur di kamar tamu?"

"Maafkan aku mas, semalam aku melihatmu pergi dengan tergesa-gesa dan aku jadi khawatir, takut ada hal buruk yang terjadi."

"Baiklah, aku mengerti. Kamu mencemaskan aku karena aku ini suamimu tapi untuk lain kali, jangan cemaskan aku."

"Maksud mas?"

"Maafkan aku, aku tidak pernah mencintaimu. Aku menikahimu hanya demi ibuku, buatlah apa yang dapat membuatmu bahagia, aku takkan melarang."

"Tapi mas, apa kamu tidak bisa belajar untuk menerima aku?"

"Entahlah aku tidak tahu tapi yang pasti, untuk saat ini aku tidak bisa."

"Baiklah, aku akan menunggu saat itu mas."

"Satu lagi, aku tidak bisa menyentuhmu. Aku minta maaf jika kamu harus menderita karena aku, jika ibuku bertanya kamu bisa jawab bahwa semuanya baik-baik saja."

Wanda hanya menganggukkan kepala tanda mengerti, kulihat air matanya mengalir dengan deras, bahkan bahunya pun sampai berguncang.

"Kamu bisa gunakan ini untuk membuatmu bahagia, pakailah sesuka hatimu karena aku takkan melarang apa lagi marah." Ku sodorkan beberapa kartu debit padanya dengan harapan dia akan bahagia dan itu dapat menghilangkan rasa bersalahku.

***

"Pernikahan kalian sudah hampir 5 bulan tapi kenapa belum ada tanda-tanda kehamilan juga?" Tiba-tiba ibu bertanya tentang kehamilan saat kami sedang sarapan.

Wanda hanya bisa menatapku dan tak bisa berkata apapun. Saat aku melihat kearahnya, dia langsung menunduk kembali dan mengaduk-aduk makanannya di piring.

"Mungkin belum saatnya ma." Sahutku yang langsung pergi meninggalkan meja makan.

------------------------------------------------------------------------------

Saat selesai kuliah, aku minta ijin pada ibuku untuk memantau anak perusahaan kami yang ada di pedalam. Ibuku mengijinkan aku dan Wanda pergi dengan syarat setelah kembali kami harus membawa seorang cucu untuknya.

Ditempat kerja yang baru, hari yang kami jalanipun tidak ada yang berubah. Aku sibuk dengan kerjaku dan Wanda sibuk dengan dunianya.

Pada suatu pagi, aku mendengar Wanda berteriak memanggilku. Aku langsung bangun menghampirinya, ternyata ada sebuah dos berisikan bayi yang masih lengkap dengan tali pusarnya.

Kami langsung membawa bayi malang tersebut ke puskesmas untuk ditindak lanjut, setelah semuanya beres, ternyata tidak ada seorangpun yang mengenali bayi ini.

"Lebih baik, kita angkat saja bayi ini menjadi anak kita." Usulku pada Wanda saat kami sampai dirumah.

"Tapi..."

"Bukankah ibuku menginginkan seorang cucu, aku rasa ini adalah jawaban untuk kita semua." Aku langsung memotong ucapan Wanda.

Wanda pun akhirnya menyetujui walaupun ku merasa bahwa ia seperti keberatan. Akhirnya bayi laki-laki ini, kami namakan Romi Alvian.

***

Drt drt drttt

Hp ku berbunyi saat kami sedang sarapan, ternyata yang menelpon adalah asisten ibuku.

"Apaaa? Baiklah kami akan segera kembali." Belum sempat aku berbicara ternyata asisten ibuku, mengatakan kalau ibuku sedang kritis di rumah sakit.

------------------------------------------------------------------------------

"Bagaimana keadaan ibu, apakah ibu merasa baikan?" Langsung ku lontarkan pertanyaan begitu bertemu ibu di rumah sakit.

"Ibu baik-baik saja, apakah itu cucu ibu?" Tunjuk ibu kearah Romi yang sedang digendong oleh Wanda.

"Iya bu, ini cucu ibu." Maafkan aku bu, aku telah membohongimu.

Ibu paksakan untuk duduk dan mengulurkan tangannya untuk mengendong Romi "terimakasih karena akhirnya, ibu bisa mengendong cucu ibu."

Setelah ibu mengembalikan Romi ke wanda, perlahan-lahan ibu menutup mata dan pergi untuk selamanya.

Bersambung...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience