Sepanjang perjalanan pulang, Adelard memilih diam sembari mengemudikan mobil. Di sebelahnya, Nafisah duduk memeluk Rafa, mengelus pelan pipi anak itu seolah menenangkan dirinya sendiri.
Adelard tampak tak peduli. Ia masih kesal—apalagi sebelumnya Nafisah meneleponnya mendadak hanya untuk meminta tolong mencari Rafa.
"Kau sudah membuat keputusan?" akhirnya Adelard memecah keheningan.
"Keputusan apa?" Nafisah menatapnya, bingung.
"Aku pikir kau ingat."
Nafisah hanya menatap wajah suaminya yang tetap fokus menyetir. Sementara di dalam hatinya, ia mencoba mengingat kembali.
Adelard kecewa. Dua hari lalu, ia meminta Nafisah mempertimbangkan kepindahan mereka ke rumah lama di Batu. Tapi wanita itu bahkan lupa.
Sudah biasa. Nafisah memang sering mengecewakannya. Adelard memilih bungkam lagi.
"Mas?"
"Hm."
"Mas baik-baik saja?"
"Tidak akan pernah baik kalau menyangkut dirimu."
Nada suaranya dingin, menusuk. Nafisah menelan rasa sakit itu sendiri. Tapi pikirannya teralihkan saat kepala mulai terasa pusing. Ia menyender pada kaca mobil, memejamkan mata sebentar.
Sementara itu, di tempat lain...
Stephano menatap layar ponsel dengan ekspresi dingin. Beberapa foto tampil: seorang wanita berjilbab berdiri di samping Marcello dan seorang anak kecil.
Iris abu-abu Stephano menajam.
"Siapa wanita ini?"
"Namanya Zulfa. Gadis asal Indonesia. Dia tinggal serumah dengan istri Adelard," jelas asistennya.
"Dan anak itu?"
"Putra Adelard."
Stephano mendengus. "Selidiki. Cari tahu siapa anak itu. Tapi jangan sampai Marcello tahu."
"Baik, Tuan."
Begitu sang asisten berlalu, Eloisa yang diam-diam menguping di balik pintu, menahan napasnya.
"Anak kecil? Siapa sebenarnya dia?" bisiknya penuh rasa ingin tahu.
Malam harinya...
"Jadi, bisa kamu jelaskan kenapa Marcello bisa ada bersama kalian tadi siang?" tanya Nafisah langsung.
Zulfa terlihat santai, sedang meratakan skincare di wajahnya.
"Aku juga nggak ngerti, Naf. Tiba-tiba saja dia muncul. Kalau aku tahu, pasti aku kasih tahu."
"Terus, kenapa Rafa sampai muntah? Dia jarang muntah kecuali kalau menangis keras atau tersedak."
Zulfa terdiam. Jari-jarinya berhenti mengusap wajah. Nafisah sudah curiga.
"Dia... kekenyangan," jawab Zulfa canggung.
"Jangan bohong. Kamu payah kalau sudah soal bohong."
Zulfa menghela napas. "Oke. Maaf. Sebenarnya... Rafa muntah karena nangis kejer. Aku mengambilnya paksa dari gendongan Marcello."
"Jadi Marcello sempat menggendong Rafa?"
Zulfa mengangguk. Tapi hatinya seperti diremas. Ada luka yang tak bisa ia bagi, bahkan pada sahabatnya sendiri.
"Terus... gimana perasaan kamu?"
"Biasa aja."
"Yakin cuma biasa?"
"Memangnya kamu mau dengar jawaban kayak apa sih? Ya biasa, ya biasa. Toh Rafa juga cuma digendong orang lain. Wajar-wajar aja."
"Orang lain," ulang Nafisah, nadanya menekan.
"Kamu kenapa sih?" Zulfa berusaha terlihat tak terganggu.
"Aku nggak yakin kamu biasa aja melihat Rafa di pelukan Marcello."
"Ya kenyataannya gitu. Mau gimana? Sudah ah. Ngapain sih bahas hal nggak penting? Kalau kamu keberatan aku ajak Rafa jalan, ya udah. Aku ngerti kok. Maaf ya. Nggak akan aku bawa lagi."
"Zulfa..."
"Aku mau tidur. Selamat malam."
Zulfa naik ke tempat tidur dan menutupi dirinya dengan selimut. Nafisah hanya terdiam.
Akhir-akhir ini, hubungan mereka memang terasa renggang sejak kembalinya Marcello.
Nafisah berkata pelan, hampir seperti gumaman, "Tadi kamu bilang kamu mengerti bagaimana khawatirnya seorang ibu pada anaknya. Apa kamu yakin dengan ucapan itu?"
Zulfa tetap diam. Matanya memejam, tapi air mata mengalir di balik selimut.
"Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu... sementara kita pernah sama-sama gagal menjadi seorang ibu."
Di balik pintu yang sedikit terbuka, Adelard berdiri membeku. Wajahnya tak terbaca. Tapi matanya menyimpan luka.
Perlahan, ia mundur dan meninggalkan tempat itu.
"Sama-sama gagal menjadi seorang ibu...?" bisiknya lirih. "Apa maksudnya...?"
****
Nafisah sudah siap dengan perjalanannya kali ini. Hari ini adalah hari di mana ia dan Adelard akan kembali ke rumah mereka yang sudah lama tidak mereka tinggali. Dua tahun delapan bulan lamanya Nafisah meninggalkan rumah itu—beserta segala kenangan yang menyertainya.
"Naf, ini kita serius mau balik pulang? Terus aku gimana?" tanya Zulfa sambil menggamit lengan Nafisah. Sementara itu, Rafa masih duduk dan bermain di atas karpet bulu tebal.
"Ya aku nggak tahu, Zulfa. Aku punya alasan untuk pulang, karena ikut suami. Nggak selamanya aku bisa terus-terusan berpisah sama Mas Daniel, kan?"
"Ya, sih... lagian dulu kamu ikut aku karena kamu nggak mau sendirian di rumah sementara Daniel di penjara, kan?"
"Nah itu tahu. Makanya, sekarang sudah saatnya aku balik."
Zulfa terdiam sesaat. Kedua matanya teralihkan pada Rafa yang masih memegang mainan di tangannya. Ia terlihat berat—bukan pada kepergian Nafisah, tapi pada jarak yang akan memisahkannya dengan Rafa. Nafisah menyadari itu. Senyum tipis mengembang di wajahnya.
"Saran aku, mending kamu ikut pulang juga. Kamu nggak kasihan sama orang tuamu di rumah?"
"Tapi... aku masih nggak yakin."
"Kamu harus yakin. Bagaimanapun, tempat ini bukan kampung halaman kita. Ini cuma tempat pelarian. Kita melarikan diri dari kenyataan pahit, "
"Nanti aku pikir-pikir lagi, deh. Aku masih ragu buat pulang."
"Tapi jangan kelamaan mikir. Kasihan orang tua kamu. Mereka pasti merindukan kamu—putri semata wayangnya. Toh, kalau pun kamu pulang, mereka akan tetap melihatmu sebagai Zulfa yang dulu."
Tepat saat itu, sebuah mobil hitam berhenti di depan villa. Bagas keluar dan memberi salam sopan pada Nafisah.
"Saya akan membawa koper Nyonya. Apakah masih ada barang lain?"
"Tidak ada. Terima kasih."
Bagas pun menjalankan tugasnya, membuka bagasi mobil. Melihat Bagas, pandangan Nafisah langsung beralih menatap Rafa—yang kini sudah berada dalam gendongan Zulfa. Nafisah terpaku menatap pemandangan itu.
Di sisi lain, tanpa Nafisah sadari, Adelard berdiri di dekat pintu, memperhatikan interaksi itu dalam diam. Tatapannya tajam, dan anehnya, tertuju pada Zulfa. Ia bisa merasakan, Zulfa tak siap berpisah dengan Rafa.
"Mas?" panggil Nafisah.
Adelard menatapnya dan melangkah mendekat. Dengan wajah dingin, ia menunduk, lalu berbisik,
"Katakan padaku... Rafa itu anak kita, kan?"
Nafisah tersentak. Ia menatap Adelard dengan mata membelalak. Tenggorokannya tercekat.
"Dia memang putra kita... Kenapa Mas bertanya seperti itu?"
"Apa yang terjadi setelah kau pergi? Setelah aku mengusirmu dan melarangmu menjengukku selama dua tahun di penjara?"
"Aku hamil..."
"Kenapa kau tidak memberitahuku?!"
"Mas lupa? Waktu itu Mas tidak ingin mendengar penjelasanku. Sepenting apa pun itu..."
Air mata mulai membasahi mata Nafisah. Ia mencoba menyentuh tangan Adelard, tetapi tangan itu ditepis pelan oleh sang suami.
"Kau benar... Aku tidak pernah melupakannya. Tapi aku harap kali ini, kau tidak akan mengecewakanku lagi—apalagi membohongiku."
"Jadi Mas meragukan Rafa?"
Adelard tak menjawab. Ia membalikkan badan dan berjalan menjauh.
"Mobil sudah siap. Kita harus ke bandara sekarang."
Alih-alih menjawab pertanyaan Nafisah, Adelard malah bersikap seolah tidak peduli. Nafisah hanya bisa pasrah, lalu masuk kembali ke dalam villa untuk menjemput Rafa.
"Sayang, sudah waktunya kita—"
Nafisah terhenti. Pandangannya langsung tertuju pada Marcello yang sedang menggendong Rafa. Sejak kapan dia masuk tanpa permisi?
"Rafa..."
Marcello menoleh, matanya tampak sendu.
"Ayo, jagoan. Sudah waktunya kau pergi. Hari ini kau tampan sekali. Papa dan Mama-mu sudah menunggu."
Ia berdiri dan menyerahkan Rafa pada Nafisah. Wanita itu memaksakan senyum, meski matanya terus menatap sosok Zulfa yang berdiri di belakang—diam dan sendu.
"Kata Adelard, hari ini kalian akan kembali ke rumah. Jadi aku datang hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Maaf aku lancang masuk ke villa ini. Tadi aku ingin meminta izin, tapi kulihat kau sedang berbicara dengannya."
"Tidak masalah. Maaf kami harus pergi. Permisi."
Nafisah melangkah menuju pintu. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar suara cepat langkah kaki di belakangnya.
"Zulfa?"
Zulfa tak berkata apa-apa. Ia langsung merebut Rafa dari pelukan Nafisah, lalu mendekap anak itu erat. Air matanya mengalir deras.
"Aku ingin bicara dengan anak cengeng ini!"
Zulfa tertawa sumbang di antara air matanya. Ia menjauh, lalu berbisik ke telinga Rafa,
"Rafa... maafkan Tante karena selama ini nggak pernah peduli padamu. Tapi melihatmu pergi... kenapa hatiku sakit begini?"
Ia mencium kening Rafa, lalu pipinya yang chubby.
"Baiklah... aku berubah pikiran. Aku akan ikut pulang dalam waktu dekat."
Tatapan Zulfa tiba-tiba beralih ke arah Marcello. Dalam hati, ia membatin:
"Dan aku pastikan si pria kurang ajar itu tidak akan mengetahui kepergianku!"
Marcello hanya berdiri terpaku, tak tahu harus bereaksi bagaimana saat Zulfa menatapnya dengan tajam. Akhirnya, Zulfa menyerahkan kembali Rafa pada Nafisah.
Waktu terus berjalan. Mobil hitam yang ditumpangi Adelard dan Nafisah pun perlahan menjauh, meninggalkan villa dan keheningan yang tertinggal di dalamnya.
Zulfa mengusap sisa air mata di pipinya. Di sampingnya, Marcello berdiri, seolah ingin mengatakan sesuatu—namun ragu.
"Aku tidak tahu apakah perasaanku ini benar atau tidak... Tapi aku merasa, kita sama-sama terluka. Dan kita sama-sama nggak rela kalau Rafa meninggalkan kita."
Diam. Hening. Tapi luka dan perasaan yang menggantung di antara mereka, terlalu jelas untuk disangkal.
****
Nаh kаn, bеnеr gаk kіrа-kіrа apa yang dі kаtаіn Mаrсеllо bаruѕаn? Apa іуа Zulfа juga bеgіtu
Tеrіmа kаѕіh.
Sehat ѕеlаlu. Wіth Lоvе, Lіа
Instagram : lіа_rеzаа_vаhlеfіі
Share this novel