16. Hati Yang Rapuh

Romance Series 182

Adelard terus menggenggam punggung tangan Nafisah yang masih belum sadarkan diri. Wajah Nafisah pucat, bahkan tampak seperti orang yang tak berdaya. Sesekali, Adelard mengusap pelan kening istrinya, lalu memindahkan telapak tangannya ke pipi wanita itu.

Untuk pertama kalinya, Adelard merasakan momen ini—berada di samping istrinya dalam keadaan hamil. Hatinya terasa diremas. Bagaimana dengan kondisi Nafisah dulu, saat dirinya masih di penjara? Apakah Nafisah menanggung semua ini sendirian?

Adelard semakin erat menggenggam punggung tangan Nafisah. Tangan mungil berkulit putih itu terasa dingin dalam genggaman hangatnya.

"Kali ini aku tidak akan membiarkanmu sendirian lagi seperti sebelumnya. Maaf... aku sudah mengabaikanmu selama dua tahun ini."

Adelard menunduk, lalu mencium kening Nafisah. Padahal sejak tadi, Nafisah sebenarnya telah sadar. Ia hanya berpura-pura memejamkan matanya. Namun akhirnya, ia tak bisa lagi menahan air matanya. Nafisah pun terisak pelan. Adelard sontak terkejut.

"Jadi, sejak tadi kau sudah sadar?"

"Please, jangan bikin aku baper lagi, Daniel..."

"Kenapa kau kembali menyebut nama itu?!" Suara Adelard terdengar dingin, emosinya terpancing. Wajahnya masih sangat dekat dengan wajah Nafisah.

"Karena hanya sosok Daniel yang dulu... yang benar-benar mengerti aku. Aku merindukannya. Bahkan sampai sekarang... aku masih mencintainya. Jika dia tahu bahwa aku sedang hamil, dia pasti akan senang. Dia akan memelukku erat, dan terus mencintaiku... sampai-sampai rela menyerahkan seluruh hidupnya untukku."

"Kau pikir aku tidak seperti itu juga? Bagaimanapun, aku masih suamimu..."

"Suami yang terus membenci istrinya, dan tak pernah mau memaafkannya?"

Adelard langsung menarik tubuhnya menjauh. Tatapan Nafisah begitu dingin. Ia masih belum bisa menghapus rasa kecewa terhadap pria itu. Perlahan, Nafisah memiringkan tubuhnya dengan hati-hati.

"Sebaiknya Mas introspeksi diri dulu... agar benar-benar ikhlas memaafkanku."

"Aku sudah memaafkanmu sejak tahu kau hamil lagi."

"Tapi aku tak ingin apa yang Mas lakukan sekarang hanya karena kasihan. Percayalah... aku sudah biasa diperlakukan dingin. Bahkan sejak anak pertama dulu."

Adelard menghela napas keras. Ia tidak menyangka Nafisah akan bersikap seperti ini. Tapi ia juga tak menyalahkannya. Apa yang ia lakukan setelah bebas dari penjara... sudah cukup untuk menguji kesabaran Nafisah. Istrinya itu berhak marah.

"Percayalah, apapun yang terjadi... aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Tapi jangan terlalu lama kecewa padaku. Aku hanya tak ingin emosimu memengaruhi kondisi kehamilanmu."

Setelah mengatakan itu, Adelard memilih keluar dari ruangan Nafisah. Sepertinya ia butuh udara segar—setidaknya untuk mengisi rongga dadanya yang begitu sesak. Setelah pintu tertutup, air mata Nafisah mengalir di pipinya. Ia tersenyum getir.

"Kamu tidak akan pernah tahu... rasa takut yang pernah aku rasakan, Daniel. Ketakutan kehilangan dia... hanya karena sikapmu dulu..."

****

Setelah mengetahui keberadaan Zulfa, akhirnya Marcello nekat pergi ke rumah Adelard hanya demi menemui wanita itu. Sesuatu baru saja terjadi. Ia baru saja mendapat informasi dari orang kepercayaannya: tunangan yang selama ini tak ia inginkan—Valeria—tiba-tiba datang ke Indonesia.

Valeria, putri tunggal dari keluarga terhormat Arthur. Wanita cantik yang akan dijodohkan dengannya hanya karena balas budi dari Stephano—ayah Marcello—yang hampir bangkrut. Marcello tak habis pikir. Ia merasa seperti dijual oleh ayahnya sendiri.

"Sebenarnya apa sih maunya wanita menyebalkan itu datang ke negara ini? Liburan? Temui teman? Atau urusan bisnis?" gumamnya kesal.

Bahkan Marcello sendiri ragu. Ia menarik napas kasar.
"Tidak! Nggak mungkin. Dia pasti punya tujuan. Terutama... bertemu denganku." Marcello mengumpat pelan.

Awalnya, Marcello ingin bertanya pada asisten rumah tangga Adelard tentang keberadaan Rafa. Begitu tahu, ia langsung mempercepat langkah menuju halaman belakang rumah—halaman luas yang penuh tanaman kesayangan Nafisah.

Akhirnya, Marcello menemukan Rafa sedang bersama Zulfa di sebuah gazebo. Zulfa duduk di pinggir gazebo dengan senyuman manis, sementara Rafa berada di dalam baby stroller di hadapannya. Seketika, perasaan Marcello menghangat. Rasa kesalnya pada tunangan tak diinginkan itu mendadak lenyap.

"Aku rasa kau mulai berdamai dengan bocah tampan ini," ucap Marcello ringan.

Zulfa terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Seperti biasa, pria itu tetap tampan—ketampanan yang selalu membuat dada Zulfa berdebar, meskipun ia membencinya.

"Ngapain ke sini?!"

"Sudah jelas, kan? Bertemu dengan kalian. Denganmu dan..."

Emosi Zulfa tersulut. Wajah manis dan putihnya kini memerah. Tapi bukannya merasa bersalah, Marcello malah langsung menggendong Rafa dan mencium pipinya.

"Hei jagoan! Aku benar-benar merindukanmu. Gimana harimu, nak?"

Marcello menaik-turunkan gendongan Rafa, membuat bayi itu tertawa ceria. Zulfa berusaha cuek, walaupun sebenarnya ia ingin sekali melihat reaksi lucu Rafa. Ia langsung berdeham, lalu berdiri dengan wajah dingin dan jutek.

"Kembalikan Rafa ke stroller. Sekarang waktunya dia tidur."

"Kau mengusirku? Bukankan aku dan Rafa terlihat mirip sekarang?"

"Bisa nggak sih ngomong jangan suka ngawur? Nggak takut apa, kalau omongan konyolmu kedengaran sama asisten rumah?"

"Untuk apa aku takut kalau aku nggak salah? Bukankah justru kau yang takut?"

Zulfa ingin menyela, tapi Marcello lebih dulu mendekat. Wajahnya kini serius.

"Aku ke sini bukan tanpa alasan. Ada hal penting yang harus kubicarakan padamu. Kau harus menjaga rahasia ini."

"Aku nggak mau dengar apa pun darimu!"

Zulfa langsung berusaha mengambil alih Rafa dari gendongan Marcello. Seperti biasa, Rafa langsung menangis, seolah tak mau berpisah dari ayahnya. Marcello menatap Zulfa tajam, tak suka dengan tindakannya. Ia menolak menyerahkan Rafa.

Marcello lalu mencoba menenangkan Rafa dengan menepuk-nepuk pelan punggung mungilnya. Pipi Rafa yang chubby bersandar pada bahunya. Zulfa berbalik, ingin pergi.

"Kalau begitu, kau saja yang nidurin dia!"

"Jangan pernah coba-coba mendekati Rafa lagi, apalagi menemuinya... untuk sementara waktu."

Ucapannya membuat langkah Zulfa terhenti. Ia menoleh tajam, mengepalkan tangannya. Apa maksud pria kurang ajar ini melarangnya bertemu Rafa? Dia bahkan tidak punya hak!

"Kau pikir aku peduli dan mau nurutin permintaan bodohmu itu?!"

"Kalau kau ingin dia selamat, maka lakukan apa yang kukatakan."

Zulfa semakin tidak mengerti. Semua ini semakin membingungkan. Tapi ia juga tak bisa mengabaikan ekspresi Marcello—ekspresi yang tidak main-main. Marcello mendekatinya.

"Jangan bercanda!"

"Aku tidak bercanda!"

"Ucapanmu barusan lebih tepat kalau kau sampaikan pada Adelard atau Nafisah. Mereka orang tua Rafa, bukan aku... atau kau!"

Marcello menarik napas dalam. Ia menatap Rafa yang kini tertidur di gendongannya. Tenang. Damai. Zulfa pun ikut menatap Rafa. Entah dorongan dari mana, ia mendekat dan mengelus pipi Rafa pelan.

"Aku ingin membawa Rafa ke kamarnya," ucap Zulfa pelan, berusaha mengalihkan pembicaraan yang tadi membuatnya khawatir.

Dalam posisi yang sama, mereka masih menatap wajah Rafa. Air mata Zulfa menetes, jatuh membasahi pipi Rafa. Marcello melihat semuanya. Akhirnya, ia menyerahkan Rafa pada Zulfa. Dan tanpa kata-kata, ia pergi. Tanpa menoleh lagi. Tanpa sepatah pun penjelasan. Tapi setiap langkahnya seperti menghancurkan dirinya sendiri.

Sesak. Itulah yang Marcello rasakan sekarang. Sesak yang membuat matanya ikut berkaca-kaca.

 
 

*****
 
 
Mаkіn kesini, makin bіkіn nyesek.
 
Tеtарі makasih уа ѕudаh baca
 
 
Maaf kеmаrіn sempat tеrtundа uрdаtе kаrеnа asam lаmbungku kаmbuh
 
 
Inѕtаgrаmnуа : lіа_rеzаа_vаhlеfіі

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience