22. Takdir Yang Melelahkan

Romance Series 182

Malam harinya...

Marcello bersedekap, menatap ibunya dengan pandangan curiga sekaligus penasaran. Mengapa wanita paruh baya itu tiba-tiba datang ke Indonesia tanpa memberi kabar lebih dulu? Kedatangannya begitu mendadak. Eloisa memutar bola matanya dengan jengah karena merasa diselidiki oleh putranya.

"Wajahmu kenapa begitu?"

"Ibu tanya kenapa? Ya karena aku tidak menyangka kalau kedatangan Ibu begitu mendadak,"

"Jadi kau tidak suka?"

"Bukan begitu. Hanya saja—"

"Bukankah ini momen yang sangat baik?" potong Eloisa, tak mau kalah berdebat. "Ibu datang di saat putra Ibu yang tampan ini akhirnya menikah."

Eloisa tersenyum lebar. Marcello bisa melihat bagaimana reaksi dan wajah ibunya yang tampak benar-benar bahagia dengan situasi sekarang. Terlebih setelah mengetahui siapa menantunya.

"Aku pikir Ibu akan marah."

Alih-alih menjawab, Eloisa mendekati Marcello dan memegang kedua lengannya.

"Kau sudah dewasa. Kau berhak menentukan sendiri siapa pasangan hidupmu, selama dia orang baik dan mau menerima kekuranganmu."

"Ibu..." tatapan Marcello langsung berubah haru.

"Maaf kalau kedatangan Ibu terlalu mendadak. Sebenarnya, Ibu meminta izin pada Ayahmu untuk berkunjung ke negara ini agar bisa melihat keadaanmu dan memastikan kau baik-baik saja. Terlebih kau tidak memiliki harta apapun. Kau tentu tahu, bukan? Namamu bisa kembali tercatat dalam warisan keluarga kalau kau segera menikah dengan Valeria."

"Tapi aku sudah tidak peduli dengan warisan itu!" Marcello tersenyum sinis. Namun Eloisa bisa melihat jelas, di balik ekspresi itu ada luka yang tersembunyi. Bukan soal harta—melainkan kasih sayang dari sang Ayah yang sudah tak pernah ia rasakan lagi.

"Ibu tahu. Dari caramu menikahi istrimu, itu sudah membuktikan bahwa dia lebih berharga dari segalanya."

"Aku mempercepat waktu pernikahan ini karena Valeria juga sedang berada di negara ini."

"Apa?" Eloisa terkejut sampai menutup mulutnya. "Kau yakin?"

Marcello mengangguk. "Beberapa hari lalu aku menemuinya."

"Lalu apa katanya?"

"Dia ingin kami segera menikah dan memastikan kalau aku tidak memiliki wanita lain di sini."

"Lalu?"

"Aku hanya diam, tetapi dalam hati aku menolaknya. Dia mengancam akan menyakiti Zulfa dan orang-orang terdekatnya termasuk istri Adelard. Karena aku dan Zulfa sudah menikah, setidaknya dia aman."

Tiba-tiba ponsel Eloisa berdering. Nama suaminya terpampang di layar. Sebenarnya ia masih penasaran soal permintaan Valeria pada Marcello. Pasti bukan hal sepele. Eloisa tahu betul tabiat wanita itu—bukan hanya cantik, tapi juga licik.
Untunglah dia bukan menantunya.

"Ayahmu menghubungi Ibu. Sebaiknya Ibu kembali ke hotel. Kita akan bertemu lagi besok."

Marcello mengangguk. Tak lama kemudian, ia melihat ibunya memasuki mobil Fortuner hitam. Marcello menghela napas panjang.

****

"Mas, kenapa ya nomor Zulfa masih nggak aktif?"

"Aku tidak tahu. Kalian ada urusan penting?"

"Bukan begitu."

"Terus apa?"

"Dia kan sahabat aku. Aneh aja kalau tiba-tiba dia nggak bisa dihubungin. Nggak ada kabar atau apalah."

"Mungkin dia sibuk, Naf. Jangan terlalu banyak pikiran."

"Tapi sesibuk-sibuknya orang, nggak mungkin kan nggak pegang ponsel? Apa besok aku harus ke rumahnya?"

"Kamu lupa ya, besok kita harus ke kantor penerbit untuk tanda tangan novel kamu sebanyak 300 eksemplar?"

"Iya juga sih."

"Sebaiknya kamu tidur. Ini sudah malam."

Nafisah menuruti, lalu segera berbaring di tempat tidur. Tak lupa, Adelard menyelimuti tubuh istrinya dengan lembut.
Setelah Nafisah benar-benar terlelap, Adelard terdiam sambil memandangi wajah istrinya.

"Sebenarnya aku juga penasaran... rencana apa yang sedang dilakukan Marcello untuk Zulfa."

Perlahan, Adelard menjauh dari tempat tidur. Ia mengecup pelan kening istrinya, lalu pergi ke balkon kamar. Ia langsung menghubungi Marcello, dan baru di panggilan kedua sahabatnya itu menjawab.

"Ada apa? Kau baik-baik saja di sana?" tanya Marcello langsung ke inti.

"Alhamdulillah, di sini baik. Jadi sekarang apa?"

"Apanya?"

"Rencanamu beberapa hari lalu pada Zulfa. Apa yang ingin kau lakukan padanya?"

Suara helaan napas Marcello terdengar dari seberang. Ia tidak bisa terus-menerus mencari alasan untuk menutupinya.

"Aku menikahinya."

Adelard sedikit terkejut.

"Apa? Kau menikahinya? Sudah?"

"Sudah. Tadi pagi."

"Berarti... kau mualaf?"

"Ya. Aku sudah mualaf."

Hening sejenak. Perasaan Adelard dan Marcello campur aduk. Di satu sisi, Adelard lega sahabatnya akhirnya menikahi gadis yang ia cintai. Tapi Marcello sendiri justru merasa bersalah—karena telah membuat istrinya semakin kecewa oleh orang tuanya sendiri.

"Kalau begitu selamat. Semoga pernikahanmu dan Zulfa langgeng."

Tanpa disadari Adelard, Nafisah menutup mulutnya karena syok.Ia berhasil diam-diam menguping pembicaraan suaminya.

"Apa?! Aku lagi nggak salah dengar kan?" seru Nafisah dalam hati.

****
 
 
Makasih уа udаh bаса 

Bagaimana hubungan Marcello dan Zulfa kedepannya? 

Next jgn lupa baca chapter selanjutnya..

INSTAGRAM : lia_rezaa_vahlefii

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience