3. Benci

Romance Series 182

Zulfa terbangun saat suara azan Subuh mengalun dari ponselnya. Sambil mengusap mata, ia duduk sejenak, mencoba mengumpulkan kesadaran. Setelah itu, ia turun dari tempat tidur dan berjalan menuju tempat wudhu di belakang dekat dapur.

Namun, langkahnya terhenti.

"Hah? Kok pintu belakang nggak dikunci? Padahal semalam aku udah—"

Rasa waswas langsung menyusup. Zulfa buru-buru naik ke lantai dua, menuju kamar Nafisah. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu. Dan...

"ASTAGHFIRULLAH! NAF!!"

Zulfa langsung melongo tak percaya. Nafisah terlelap dengan tubuh terbalut selimut putih—dan jelas, tanpa sehelai kain pun. Pakaian berserakan di lantai.

Zulfa reflek menyibak sedikit selimut itu.

"NAFISAH!! KAMU—"

"Eh? Ada apa sih?" Nafisah bangun setengah sadar, mengusap kening.

"Pintu belakang terbuka! Terus kamu... kok naked begini?!" Zulfa panik, tapi suaranya penuh penilaian.

"Mungkin kamu lupa ngunci..." gumam Nafisah dengan suara parau.

"Enggak! Aku yakin!" Zulfa bersedekap, mengamati sahabatnya yang mulai panik.

Zulfa mendekat, berdiri tepat di sisi ranjang. "Jangan bilang semalam ada cowok nyelinap lewat pintu belakang. Lehermu... udah kayak bekas isapan vampir!"

Nafisah buru-buru menutupi lehernya dengan rambut.

"Telat. Udah keliatan," kata Zulfa sinis.

"Jangan sembarangan nuduh!"

"Udah ngaku aja!"

Nafisah akhirnya menyerah. "Semalam... Mas Daniel datang."

"Apa?! Semalam kalian..."

"Ya... gitu."

Zulfa menendang bra di dekat kakinya. Bra itu terbang melayang.

"Heh! Itu bra mahal! Jangan ditendang sembarangan kayak bola!"

"Salahin aja dirimu. Bramu itu jadi saksi bisu kebodohan dua manusia yang kelewat nafsu!"

"Dia suamiku, Zul..."

"Iya, iya, aku tahu!" sela Zulfa sengit. "Tapi baliknya Daniel itu artinya satu: sahabatnya yang jahat itu juga pasti ikut muncul lagi. Dan kalau itu terjadi... aku nggak bakal tenang. LAHIR BATIN!"

Nafisah terdiam, membiarkan Zulfa berkacak pinggang di ambang pintu.

"Aku mau salat Subuh. Sana, mandi. Ntar Rafa keburu bangun. Aku ogah jagain kalau dia rewel."

Setelah pintu ditutup, Nafisah menghela napas berat. Hari masih pagi, tapi suara Zulfa sudah seperti emak-emak bangunin anaknya buat sekolah.

Nafisah meraih ponsel dan langsung mencoba menelepon Daniel. Gagal.

"Kenapa nggak bisa dihubungi? Tega banget sih pergi gitu aja tanpa pamit..."

***

Mobil sedan melaju tenang di jalanan lengang. Di kursi belakang, Adelard duduk dalam diam. Wajahnya tenang, tapi pikirannya penuh gejolak. Semalam... terlalu membekas.

Ia menghela napas panjang. Hasrat memang tersalurkan, tapi kemarahannya masih menyala. Ia benci, kenapa dirinya begitu lemah di hadapan Nafisah?

"Kita sudah sampai, Tuan Adelard," ucap Bagas.

Adelard turun dari mobil, menatap datar ke depan. Di kejauhan, Marcello sedang memakai teropong, memperhatikan seorang wanita yang tengah memanah di lapangan rumput hijau.

"Ck, dasar bodoh," gumam Adelard kesal. Ia mengira Marcello yang akan berlatih, ternyata cuma jadi penonton.

Ia melangkah mendekat. "Ngapain kau suruh aku kemari?"

Marcello tak menjawab. Ia justru menyodorkan teropong.

"Lihat dia. Fokus. Liar. Bahaya."

Adelard mengintip. Zulfa—dengan postur kokoh dan wajah garang—sedang membidik target. Di tengah papan panahan, terpajang foto Marcello.

Anak panah dilepaskan. Tepat menancap di wajah Marcello.

"Kenapa jadwal kita ke Italia diundur?" tanya Marcello tanpa menoleh.

"Ada sedikit... gangguan."

"Rubah betina itu, ya?" sindir Marcello. "Kau bertemu anakmu?"

"Aku nggak lihat anak kecil di vila itu."

"Aku lihat. Dia mirip kamu waktu kecil. Itu anakmu."

Adelard menoleh cepat. "Aku bahkan nggak tahu aku punya anak."

"Jadi selama dua tahun di penjara, kau benar-benar nggak tahu Nafisah hamil?"

"Aku berhenti peduli."

Marcello mendecak. "Yasudah. Tapi selamat, kau sekarang jadi ayah."

Adelard tak menjawab. Ia kembali menatap Zulfa lewat teropong.

Tiba-tiba—

DUAKK!!
Sebuah anak panah menancap di batang pohon... hanya beberapa senti dari kepala Marcello!

Pria blasteran itu melompat mundur.

"GILA! DIA MAU BUNUH AKU?!" teriaknya panik.

Zulfa di kejauhan menatap tajam. Ia menarik anak panah berikutnya. Marcello langsung kabur, wajahnya pucat.

Adelard menggeleng pelan. "Kau pantas mendapatkannya."

****

Masya Allah Alhamdulillah. Halo aku up lagi ya. 

Zulfa jadi garang guys! Wkwkwkw

Makasih sudah baca untuk chapter ini ya. Sehat selalu buat kalian

With Love, Lia

Instagram : lia_rezaa_vahlefii

____

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience