Malam itu, dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Nafisah. Alhamdulillah, tidak ada hal serius. Hanya kelelahan biasa, akibat beberapa malam sebelumnya ia bergadang menjaga Rafa yang sedang demam.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Ibu Nafisah. Pusing yang Anda alami hanyalah akibat kurang tidur," ujar sang dokter dengan tenang.
Dokter itu kemudian memberikan resep obat serta vitamin untuk menjaga daya tahan tubuhnya. Setelah berpamitan, suasana kembali sunyi. Nafisah menatap Zulfa yang sedang duduk, jari-jarinya lincah menari di layar ponsel.
"Zul..." panggil Nafisah pelan.
"Hm?" sahut Zulfa tanpa menoleh, terlalu sibuk dengan media sosialnya.
Nafisah merasa Zulfa terlihat agak berbeda sejak kehadiran Marcello pagi tadi. Apakah memang Zulfa sudah benar-benar melupakan masa lalu? Atau hanya pura-pura kuat?
"Rafa sudah tidur?" Nafisah mencoba memecah kekakuan dengan pertanyaan ringan.
"Sudah. Barusan aku bujuk tidur. Kalau nggak mau, aku ancam gigit pipinya. Tuh anak gemoy banget!"
Nafisah tertawa kecil. Rafa memang balita yang menggemaskan. Sayangnya, Zulfa tetap belum sepenuhnya nyaman dengan anak-anak.
"Dia sempat rewel nggak?"
"Nangis sih. Tapi sebentar aja. Ngurus anak tuh... ribet ya!"
"Tapi aku yakin, suatu saat kamu bisa nerima Rafa. Bagaimanapun juga, dia—"
"Naf, aku ke toilet dulu ya! Dari tadi aku tahan pipis. Kamu matikan lampu ruang tamu ya, hemat listrik!"
Zulfa buru-buru pergi. Nafisah hanya bisa menghela napas pelan. Ia tahu, sahabatnya itu selalu menghindar setiap kali topik percakapan mengarah ke Rafa. Dan malam ini pun sama. Ia menghindar—lagi.
Sementara itu, di kamar, Adelard berdiri dalam diam. Matanya menyapu seisi ruangan. Aroma lembut parfum itu—wangi khas Nafisah—masih melekat di udara. Aroma yang tak pernah bisa ia lupakan.
Ia melangkah ke arah jendela. Tirai brukat putih membiaskan cahaya bulan yang menerobos masuk. Malam ini, ia bebas. Bebas dari jeruji besi... tapi tidak dari rasa kecewa yang membeku dalam dadanya.
Tiba-tiba pintu terbuka. Nafisah berdiri terpaku di ambang. Suara langkahnya terdengar pelan mendekat. Napasnya tercekat saat melihat punggung yang selama ini hanya bisa ia rindukan dalam doa.
"Mas Daniel..."
Adelard memejamkan mata. Suara itu—suara yang pernah ia nantikan selama dua tahun—kini justru terasa menyakitkan.
Ia membalikkan tubuh dengan cepat.
"Aku bukan Daniel!" desisnya tajam.
Nafisah menahan air mata. Ia tak ingin rapuh. Tapi sikap Adelard bagai badai dingin yang menampar hatinya tanpa ampun.
"Sampai kapanpun, kamu tetap Daniel. Suami yang aku cintai... bahkan sampai maut memisahkan."
Nafisah memberanikan diri melangkah mendekat. Ia sudah terlalu lama menahan kerinduan. Dua tahun tanpa kabar, tanpa peluk... tanpa pengampunan.
"Aku kecewa padamu, Nafisah. Kau lupa? Karena pengkhianatanmu, aku masuk penjara! Kau membuatku mati perlahan di balik jeruji!"
"Mas... dengar aku..."
"Kau pikir setelah semua ini, aku bisa memaafkanmu dan kembali seolah tak terjadi apa-apa?!"
Adelard terus mundur, hingga tubuhnya menyentuh tirai. Nafisah menyusul, berdiri hanya sejengkal darinya. Ia mengangkat tangan, menyentuh wajah yang dulu selalu memberinya perlindungan.
"Mas sudah pulang. Tak ingin menagih haknya padaku?" bisiknya.
Adelard memejamkan mata. Nafasnya berat. Nafisah menyentuh lehernya perlahan—mencoba membuka dinding es yang mengelilingi hati suaminya. Namun ia tetap diam.
Tiba-tiba, Adelard mencengkeram pundak Nafisah dan membalikkan posisi mereka. Kini Nafisah yang terpojok.
"Kamu pikir... aku datang hanya untuk... itu?! Aku datang karena luka yang kau tanam belum hilang! Aku..."
"Kalau bukan karena cinta, kenapa Mas kembali? Katakan... aku tahu, hatimu belum mati."
Kalimat Nafisah mengguncang. Cengkraman di pundaknya melemah. Adelard menatapnya. Dingin itu perlahan mencair... tapi gengsi masih terlalu tinggi untuk mengakuinya.
Nafisah tersenyum lirih, air matanya jatuh diam-diam.
"Aku tahu... hati Mas belum sepenuhnya hilang. Kalau tak lagi cinta, kenapa masih datang untuk melihat luka ini?"
Adelard menunduk. Dadanya sesak. Dan untuk pertama kalinya... ia kehilangan kata.
Dari marahan berubah menjadi sweet dadakan dalam satu malam
****
Makasih sudah baca. Makasih yang sudah vote dan meninggalkan jejak komentarnya
Jadi, jangan lupa nantikan Chapter 3 ya. Terima kasih! With love, Lia
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Share this novel