Adelard dan Marcello kini duduk bersebelahan. Sedangkan Rafa berada di pangkuan Marcello. Lalu di hadapan mereka, ada seorang ustaz yang sedang membacakan doa selamatan dan syukuran untuk tempat tinggal Marcello dan Zulfa yang baru.
Semua itu ide Zulfa. Katanya ia ingin mengadakan syukuran sederhana ini dengan orang-orang terdekat. Meskipun sebenarnya ia sedih karena tidak ada Nafisah yang ikut hadir.
Tiga puluh menit kemudian, kegiatan syukuran selesai. Ustaz itu pun pulang bersama murid ngajinya yang berasal dari masjid terdekat apartemen Marcello.
"Zulfa, kau tidak ingin menggendong Rafa?" tiba-tiba Marcello menawarkan hal tersebut pada Zulfa yang sibuk membereskan gelas dan piring kecil setelah acara syukuran.
"Aku masih sibuk," jawab Zulfa seadanya.
Adelard hanya diam melihat Zulfa yang gelagatnya begitu dingin. Seperti tidak suka dengan kedatangannya. Tetapi Adelard tidak peduli sama sekali. Biarlah wanita itu ilfeel padanya. Toh dia juga bukan siapa-siapa. Yang penting sahabatnya sekaligus istrinya si Nafisah itu sudah baik padanya setelah apa yang terjadi.
Maka Zulfa pun kembali sibuk. Setelah Zulfa menghilang dari pandangan mereka, Adelard menatap Marcello.
"Jadi sekarang bagaimana ibumu? Apakah dia masih di negara ini?"
"Aku tidak tahu. Nomor ponselnya tidak aktif. Padahal aku berniat mengundangnya ke mari."
"Mungkin dia sibuk."
Suara Rafa tertawa terdengar. Marcello sampai menggelengkan kepalanya dan mencubit pelan pipi chubby putra gemoy itu.
"Dia lucu, bukan?" sela Adelard lagi.
"Dia juga menggemaskan. Bisakah kau bagi tips padaku cara membuat anak segemas ini?"
Adelard langsung menonjok pelan lengan Marcello. "Kau lebih berpengalaman tidur bersama banyak wanita. Aku yakin kau bisa menghasilkan banyak bayi-bayi lucu dengan istri—"
"Aku tidak ingin memiliki anak," ketus Zulfa tiba-tiba. Wanita itu muncul lagi dengan wajahnya yang datar.
Marcello terlihat menarik sudut bibirnya. "Jangan bercanda, Zulfa."
"Aku serius. Siapa yang ingin memiliki anak, apalagi dengan pria sepertimu? Menikah denganmu saja karena keterpaksaan!"
Tiba-tiba ponsel Adelard berdering. Nafisah menghubunginya. Adelard sedikit panik dan terpikir untuk menjauh sebentar.
"Aku terima panggilan ini dari Nafisah..."
"Oke."
Marcello kembali melihat ke arah di mana Zulfa tadi berdiri. Rupanya wanita itu tidak ada. Ia pun berinisiatif mencarinya sambil menggendong Rafa. Setelah dicari, wanita berparas cantik itu berada di balkon apartemen. Ujung khimar yang dipakainya terlihat berkibar pelan karena hembusan angin kota yang begitu sejuk.
Tetapi Marcello bisa melihat punggung Zulfa terlihat bergetar kecil. Suara Zulfa terdengar sesenggukan. Ia pun menghela napasnya. Merasa bersalah karena hampir setiap detiknya membuat wanita itu menangis.
"Maaf, sudah membuatmu kembali bersedih."
Zulfa tak terkejut sama sekali. Apalagi enggan menoleh ke belakang. Kedua tangannya memegang besi pembatas balkon, sedikit mencengkeram dengan kuat.
"Kau tidak akan pernah bisa membuatku bahagia."
"Kalau begitu, bagaimana aku bisa memberimu kebahagiaan? Aku janji akan melakukannya."
"Kau yakin bisa melakukannya?"
"Selama kau tidak meminta aku harus pergi dari hidupmu, maka akan kulakukan."
"Kalau begitu, lompat ke bawah. Maka setelah itu aku bebas darimu."
"Itu sama aja kau menyuruhku pergi dengan cara mati konyol, Zulfa." Marcello mendengkus kesal, tetapi tidak juga merasa marah ataupun tersinggung.
Tiba-tiba Rafa rewel. Zulfa langsung refleks menoleh ke belakang. Tidak tahu kalau sejak tadi ada Rafa di antara mereka.
"Kau yakin tidak ingin menggendongnya?"
"Tidak. Aku lelah."
"Tapi Zul,—"
"Aku juga tidak suka pada anak kecil. Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja pada Nafisah."
Zulfa pun pergi berlalu. Marcello hanya diam tanpa harus berbicara apa pun lagi. Ia menoleh ke arah Rafa, mencium tangan mungilnya sambil tersenyum tipis. Tanpa sadar, hati Marcello terasa nyeri.
"Kenapa kau setega itu sama Rafa, Zul?" bisik Marcello dalam hatinya.
Sesaat, Zulfa pun kembali menoleh ke belakang. Menatap Marcello yang masih menggendong Rafa. Sesak, itu yang Zulfa rasakan. Ia harus mengubur dalam-dalam rasa kepeduliannya pada Rafa. Apalagi di depan Marcello, itu lebih baik.
"Maaf..." hanya satu kata yang terlontar dari bibir Zulfa dengan suaranya yang lirih.
****
Valeria terlihat anggun meskipun hatinya terasa panas. Bagaimana tidak, setelah ia tahu dari seorang mata-mata kalau ternyata Marcello diam-diam menikahi wanita lain.
"Ck, kau benar-benar mengkhianati kepercayaanku, Marcello!"
"Nona..."
Valeria melirik sejenak ke samping. Seorang pria kepercayaannya yang menjadi mata-matanya itu berdiri dengan gagah dan tegap sambil membawa informasi penting.
"Wanita itu bernama Zulfa. Istri sahnya."
"Cari tahu di mana mereka tinggal."
"Saya sempat mengikuti mobilnya. Tapi maaf, saya kehilangan jejaknya ketika macet."
"Cari tahu lagi. Jangan sampai lengah. Dia harus menerima hukuman dariku."
"Baik, Nona."
Beberapa hari kemudian...
Nafisah pun memutuskan untuk pergi jalan-jalan di sore hari sambil membawa Rafa di baby strollernya. Nafisah menikmati angin sore dengan berjalan di taman pinggiran kota.
Tiba-tiba Nafisah pun merasa haus. Karena lupa membawa air minum dari rumah, maka ia pun terpikir untuk menuju minimarket yang tak jauh dari lokasi taman.
"Sayang, kita ke minimarket dulu ya. Sekalian beli biskuit kesukaan kamu."
Nafisah mengusap pelan puncak kepala Rafa. Setelah itu melanjutkan kembali kegiatannya. Ternyata jalan-jalan sore meskipun hanya sebentar sangat berguna untuk mood-nya. Apalagi sekarang ia lagi hamil muda yang memang sedang mengidam healing tipis-tipis.
"Oh my God..."
Suara seorang ibu paruh baya membuat Nafisah mempercepat langkahnya sambil mendorong stroller Rafa. Ternyata wanita paruh baya itu tanpa sengaja menjatuhkan beberapa barang belanjaan di depan minimarket. Dia adalah Eloisa.
Nafisah langsung tanggap dan membantu wanita paruh baya itu mengambil beberapa barang belanjaan yang terjatuh. Ternyata kantongan plastik milik ibu tadi sobek. Alhasil Nafisah pun berinisiatif memberi kantong belanja tas kanvas miliknya yang selalu ia bawa ke mana-mana. Ibu itu pun langsung terkejut dan merasa tidak enak hati.
"Tidak perlu repot-repot, nak."
Nafisah hanya tersenyum. Selain wanita paruh baya itu masih terlihat cantik meskipun tidak muda lagi, rupanya dia juga berwajah blasteran. Cara bicaranya menggunakan bahasa Indonesia juga cukup baik.
"Saya senang membantu, Ibu. Ini tidak masalah. Di rumah saya masih banyak."
"Kalau begitu, terima kasih."
Tiba-tiba suara Rafa yang rewel pun terdengar. Pandangan Nafisah langsung teralihkan, begitu pun dengan ibu tadi.
"Sayang, jangan nangis ya. Kita masuk minimarket dulu."
Tanpa sadar, Eloisa menatap Rafa tanpa berkedip.
"Maaf, kami mau masuk ke dalam dulu. Permisi, Ibu."
"Ah, baiklah..."
Dari jarak jauh, seorang pria memperhatikan semuanya dan gerak-gerik mereka. Ia pun menghubungi Nonanya.
"Halo, Nona Valeria. Ada kabar baru lagi."
"Baik, katakan..."
"Nyonya Eloisa, ada di negara ini juga. Aku melihatnya mengobrol bersama seorang wanita."
"Jadi ibunya Marcello ada di sini juga?"
"Iya, Nona. Saya akan mengirimkan bukti fotonya pada Anda."
****
Hai, аku kembali up уа сhарtеr 23 іnі.
Tеtар ikutin аlurnуа dаn nаntіkаn chapter..
Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Wіth lоvе, Lіа
Share this novel