Masih dalam posisi sebelumnya dan hanya menyisakan keheningan di antara Adelard dan Nafisah, Nafisah berusaha tetap bersikap tenang. Padahal, jantungnya berdetak sangat cepat hingga membuatnya gugup.
Nafisah ingin bangkit, namun Adelard masih menahan pinggulnya. Kini, ia semakin mendekatkan wajahnya ke arah Nafisah.
"Aku tanya, sejak kapan kamu terlihat tidak sehat?"
"Apakah Mas peduli padaku?"
"Aku butuh jawaban, bukan pertanyaan."
Nafisah tetap diam, enggan menjawab. Baginya, percuma saja. Daniel yang dulu hangat telah hilang, berganti dengan Adelard yang dingin dan penuh jarak. Jika kini suaminya itu peduli, rasanya mustahil untuk ia percaya.
Adelard merengkuh Nafisah lebih erat. Ia kesal—dan entah kenapa juga gemas—karena Nafisah masih terus bungkam.
"Jawab aku, Nafisah."
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku—"
Dalam hitungan detik, Adelard tak mampu lagi menahan diri. Ia mencium Nafisah dengan lembut. Hatinya yang selama ini keras mulai luluh.
Nafisah sempat terkejut, namun akhirnya ia membalas ciuman itu. Rasa rindunya yang dipendam begitu lama tumpah melalui pelukan yang hangat. Air mata mengalir di pipinya. Adelard menempelkan dahinya ke kening Nafisah.
"Nafisah..." bisiknya serak.
"Tolong jangan buat aku bingung," ucap Nafisah pelan, memejamkan mata. Suaranya terdengar getir.
"Malam ini aku merindukan semuanya tentang Mas. Tapi aku takut, besok kamu kembali mengacuhkanku."
Adelard tak bisa berkata-kata. Kalimat Nafisah menyentuh bagian terdalam hatinya. Saat ia mulai memaafkan, justru Nafisah kini yang ragu. Ia tahu, istrinya masih trauma oleh masa lalu dan luka dari pernikahan sebelumnya.
"Kamu meragukanku?"
"Aku hanya takut kalau mimpi indah ini cuma sebentar."
"Bagaimana kalau aku bilang tidak?"
Adelard hendak mencium Nafisah kembali, namun wajah istrinya justru berpaling. Nafisah berdiri dengan berat hati dan melangkah pergi meninggalkan Adelard.
"Maaf, aku mau tidur."
****
Keesokan harinya
Apa yang dikatakan orang tua Zulfa kemarin ternyata benar. Mereka sungguh-sungguh ingin mengenalkannya pada pria pilihan sang Papi. Hari ini, mereka bahkan mengundang tamu makan siang secara resmi di rumah.
"Mi, kita kedatangan siapa sih? Kok masakannya banyak banget?"
"Nanti kamu bakal tahu."
"Emangnya Zulfa kenal?"
"Justru kamu nanti bakal kenalan sama dia."
Zulfa langsung terdiam. Jangan-jangan... pria yang dimaksud Maminya itu adalah sosok asing yang akan dijodohkan dengannya?
Astaga, tidak mungkin! Jangan sampai itu terjadi. Ia sudah bersumpah pada dirinya sendiri untuk tidak membuka hati lagi pada siapa pun. Terlebih setelah semua yang terjadi...
Ia tahu, pria itu pasti berasal dari keluarga konglomerat yang menjaga martabat keluarga setinggi langit. Yakin mereka bakal mau dengan dirinya? Seorang perempuan yang bukan lagi gadis, dan jelas bukan dari keluarga terpandang. Bahkan andai pun pria itu bersedia, Zulfa tetap tak ingin membuka hati. Tak ingin kembali jatuh dan hancur.
"Mi..."
"Ya?"
"Kalau begitu, Zulfa siap-siap dulu ya?"
"Tentu. Dandan yang rapi dan sopan. Oke?"
Zulfa mengangguk patuh, lalu segera masuk ke kamar. Tapi alih-alih berdandan, ia malah menuju pintu belakang. Ia memilih kabur. Meninggalkan semua yang ada di rumah. Ini terasa lebih mudah daripada bertemu keluarga konglomerat itu.
Begitu sampai di garasi, ia menepuk jidat.
"Astaga! Dompet, ponsel, dan kunci mobil malah ketinggalan."
Tiba-tiba, suara gerbang terbuka. Salah satu ART menyambut kedatangan sebuah mobil Alphard hitam. Zulfa yakin, itu mereka.
Ia buru-buru bersembunyi di balik garasi, berharap niat kaburnya tak ketahuan. Dari balik sela pintu, ia melihat pasangan suami istri paruh baya yang elegan keluar dari mobil. Tak lama, seorang pria muda berusia sekitar 28 tahun menyusul. Penampilannya tampan dan berkelas.
Zulfa sampai tercengang.
"Ya ampun! Bukankah itu cowok yang pernah bayarin semua totalan belanja mainan Rafa sepuluh juta gara-gara Marcello nggak bisa bayar waktu di Bali? Kenapa dunia ini sempit banget!"
****
Adelard baru bangun saat jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Padahal tadi ia sempat terjaga jam sepuluh setelah bermain dengan Rafa.
Ia turun dari ranjang dan melihat pintu kamar mandi sedikit terbuka. Ia melangkah masuk dan mendapati Nafisah berdiri membelakanginya.
"Nafisah?"
Nafisah terkejut, berbalik, hingga tanpa sengaja menjatuhkan sesuatu ke lantai. Sebuah benda kecil tergeletak tepat di kaki Adelard.
Ia menunduk, meraihnya. Tangannya gemetar. Itu alat tes kehamilan—dan menunjukkan dua garis merah.
"Nafisah... ini..."
Nafisah memejamkan mata. Perasaannya campur aduk—bahagia dan takut. Ia bahagia akhirnya mengandung lagi, namun dihantui ketakutan yang besar. Takut kehamilan ini terganggu. Takut tak mampu mengelola stres. Takut kehilangan, seperti dulu saat Adelard memenjarakan diri dalam kebencian. Adelard tak bisa berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya, memegang alat tes kehamilan dari istrinya membuat air mata haru jatuh dari matanya.
"Kamu hamil?"
Namun, belum sempat Nafisah menjawab, tubuhnya limbung dan jatuh dalam pelukan Adelard. Ia pingsan dengan keringat dingin di dahinya.
Adelard panik. Ia mengangkat tubuh Nafisah ke atas tempat tidur, lalu mondar-mandir sambil menghubungi seseorang—Zulfa. Entah kenapa, nama sahabat Nafisah itu langsung terlintas di pikirannya.
"Kenapa dia nggak angkat juga?"
Tiba-tiba, bel rumah berbunyi. Adelard bergegas membuka pintu, dan mendapati Zulfa berdiri di depannya.
"Aku mau ketemu Nafisah. Apa dia—"
"Dia pingsan! Aku mau bawa ke rumah sakit—"
Tanpa mendengarkan ucapan Adelard, Zulfa langsung masuk, menuju kamar Nafisah. Ia melihat sahabatnya terbaring lemah dengan wajah pucat. Tak lama kemudian, Adelard menyusul masuk.
"Apa yang terjadi?!"
"Dia hamil... dan pingsan."
Nafisah hamil?
Zulfa terkejut, namun ia berusaha tetap tenang. Meski hatinya mulai cemas. Ada satu rahasia besar yang belum pernah diceritakan siapa pun tentang masa lalu Nafisah dan kehamilan.
Adelard segera menggendong tubuh Nafisah. "Tolong jaga Rafa. Dia nggak punya pengasuh sekarang. Aku harus bawa Nafisah ke rumah sakit."
"Tunggu," ujar Zulfa cepat, tepat saat Adelard mencapai pintu.
"Tolong bawa dia ke rumah sakit khusus ibu dan anak. Jangan ke rumah sakit umum."
"Kenapa? Bukankah sama saja?"
"Pokoknya bawa ke tempat yang aku bilang. Itu akan jauh lebih baik untuk Nafisah."
Adelard tidak banyak tanya. Yang ada di pikirannya hanya keselamatan Nafisah dan calon anak mereka. Tapi tetap saja, kata-kata Zulfa barusan terasa mengganjal di hatinya.
Mаѕуа Allаh Alhаmdulіllаh, maaf tеlаt uрdаtе уа. Sеhаruѕnуа kеmаrіn, tарі kаrеnа аku ѕаkіt, Alhasil bаru ѕеmраt ѕеkаrаng.
Mаkаѕіh sudah bаса. Udаh mulai penasaran kаn ара уаng di katain Zulfа tаdі?
Inѕtаgrаm : lіа_rеzаа_vаhlеfіі
Terima kasih, ѕеhаt ѕеlаlu
Share this novel