Chapter 13

Romance Series 182

Akhirnya Adelard kembali menempati posisinya sebagai pemimpin redaksi di Mentari Publishing, penerbit besar yang ia tinggalkan hampir tiga tahun lalu. Di meja kerjanya, sebuah dokumen penting menarik perhatiannya: akta kelahiran Rafa, putra kecilnya dari Nafisah. Di sana tertulis, Rafa lahir tepat dua tahun lalu.

Adelard menarik napas lega. Setidaknya satu hal pasti—Rafa adalah darah dagingnya. Pintu diketuk pelan. Dikta, pria muda berusia 25 tahun, masuk dengan senyum ramah dan menyerahkan surat pengunduran dirinya.

"Assalamualaikum, Pak."

"Wa'alaikumussalam. Silakan duduk."

Adelard membaca surat itu, lalu menatap Dikta. "Terima kasih sudah menggantikan posisi saya selama 2 tahun 8 bulan. Kamu yakin mau resign bulan depan?"

Dikta mengangguk. "Saya akan pindah rumah ke luar kota, Pak."

Adelard mengangguk, mencoba menekan rasa tak nyaman setiap mendengar nama Daniel—nama palsu dari masa lalunya.

Dikta pamit. Saat membuka pintu, ia berpapasan dengan Nafisah dan Rafa. "Mbak Nafisah?"

"Dikta..."

Setelah Dikta pergi, Rafa berlari ke arah Adelard dengan semangat, meminta digendong. Nafisah hanya menatap sambil menggenggam bekal makan siang untuk Adelard yang sudah ia siapkan.

"Halo, jagoan! Perjalananmu seru? Papa terkejut kamu datang tiba-tiba."

Rafa naik ke meja kerja, membuat Adelard menyingkirkan laptop dan berkas-berkas. Nafisah khawatir.

"Rafa, ayo turun. Bahaya duduk di situ."

"Biar saja. Aku akan menjaganya," sahut Adelard, tanpa menatap Nafisah. Hatinya masih dingin. Nafisah sadar, hubungan mereka belum membaik. Bahkan kehangatan seorang Daniel telah hilang sejak Adelard keluar dari penjara.

"Maaf kami datang tiba-tiba. Aku ke sini—"

"Aku sudah kenyang. Bawa saja bekalnya pulang," potong Adelard dingin.

Nafisah tertunduk kecewa. Ia duduk di sofa, membiarkan Rafa bermain bersama ayahnya. Ia mengalihkan pandangan, mencoba menelan luka yang tiba-tiba mencuat kembali.

Sementara itu di tempat lain...

Zulfa akhirnya pulang ke rumah. Rasa takut menyelimuti dirinya—ia pernah menyembunyikan kehamilannya dari orang tua. Meski Nafisah sudah meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, rasa bersalah tetap menghantuinya.

Berbaring di kamar, Zulfa menyentuh perutnya. Dua tahun lalu, di posisi ini, ada janin yang tumbuh dalam rahimnya. Air mata menetes.

"Marcello, anakmu mungkin memang tak pernah lahir ke dunia ini. Tapi kenapa aku terus memikirkannya? Aku menyesal pernah membenci bayi itu. Aku terlalu larut dalam luka."

Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan foto USG 4D dari laci. Terlihat jelas wajah mungil dengan pipi chubby.

"Lihat, bayi ini mirip denganmu..."

Dengan tekad bulat, Zulfa merobek foto itu. Ia tak ingin terjebak dalam masa lalu. Ia berjanji akan lebih hati-hati, lebih bijak mencintai, dan menjaga dirinya. Tapi sebesar apa pun ia mencoba melupakan, kenangan tentang menjadi ibu—meski hanya sebentar—akan selalu hidup dalam dirinya.

Anaknya... bersama Marcello.

 
****

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience