Aku masih memikirkan kejadian saat Gina dengan uraian air matanya jelas-jelas begitu patah hati mendengar kabar pernikahan kami. Allah… jika ada hati-hati yang tersakiti dengan pernikahan ini, apa kami harus tetap melanjutkannya?
Keraguan kembali menggelitikku. Diluar ketertarikanku pada fisik Abay dan juga sikap perhatian dan menjaga dalam diamnya, rona kebahagiaan mama dan papalah yang membuatku berani memutuskan untuk sampai pada tahap ini. Aku ingat saat aku memprotes Abay karena ia memilihku karena alasan baktinya pada mamanya. Tapi pada kenyataannya, akupun melakukan semua ini demi kedua orangtuaku.
Aku menggigit bibir bawahku. Rasa ragu itu makin menggunung, rasa khawatir. Seperti apa sosok Abay sebenarnya. Dia memang tampak baik-baik saja, ya…kecuali sifat pendiamnya. Sejauh ini, Mama, Papa, dan Oka cocok dengan Abay. Mereka juga dekat.
Bahkan mungkin lebih dekat daripada denganku. Dulu aku selalu bilang, tak masalah jika keluargaku cocok, aku bisa dengan mudah mencocokkan diri. Yah asal enggak aneh-aneh aja kayak calon pertama dan kedua yang diajukan mama. Tapi ternyata tak semudah itu. Apalagi sholat istikharah yang hampir selalu kulaksanakan rasanya belum memberiku jawaban sama sekali. Allah, berilah aku pertanda jika ini memang baik atau tidak baik untukku.
“Itu Mas Dito, kan?” suara Oka membuatku menatap lurus kemudian, kulihat Mas Dito baru saja keluar dari pagar rumahnya saat melihat mobil kami melintas pelan mendekati rumah kami.
Mata kami saling bertemu, dentuman halus dalam hatiku hadir begitu saja. Sudah berapa lama kami tak bertemu? Meskipun kami bertetangga, kami memang jarang bertemu. Apalagi semenjak ia bekerja di Bogor, dan intensitas pertemuan itu makin berkurang setelah kami putus. Setahun belakangan aku bahkan tak melihatnya, setelah ia menikah.
Aku turun dari mobil segera setelah Oka memarkirkan mobil dengan benar di garasi rumah kami. Dan saat itulah aku kembali melihat Mas Dito berjalan ke arah rumah kami.
“Weh, Mas… baru kelihatan nih, kapan pulang?” sapa Oka pada Mas Dito, sementara aku hanya tersenyum canggung.
“Hehehe, iya nih, baru pagi tadi.”
“Sendirian? Istrinya mana?” tanyaku basa-basi, ‘istrinya’? Tentu saja karna aku lupa siapa nama istrinya itu. Hei, lagipula apa pentingnya mengingat nama istri dari mantan pacar yang paling berkesan?
“Mm…lagi ada urusan,”jawabnya kalem.
“Oo…”
“Eh, Ka, nggak kuliah lu?”
“Udah pagi tadi, langsung antar nih Nyonya satu,” Oka melirikku asal.
“Lu kuliah ambil apa?”
“Ambil hikmahnya aja, Mas. Abis mau ngambil AC, LCD, sama kulkas takut ketangkep satpam.” Jawab Oka ngaco membuat Mas Dito tertawa renyah.
“Mas, gue masuk dulu ya, lu lanjut ngobrol aja sama Mbak Fika.”pamit Oka langsung meninggalkan kami berdua di halaman. Hadeuh si Oka malah pergi lagi.
“Darimana tadi sama Oka?” ia memulai obrolan kami.
“Oh, ehm…itu… final check aja ke WO.”
“WO?”ia menatapku dengan tatapan penuh tanya,”kamu… mau nikah?”
Aku tersenyum kecil,”mohon doanya ya, Mas. In syaa Allah bulan depan.”
Aku melihat dengan jelas raut kaget dari wajahnya,”Oh,” jawabnya singkat. Tiba-tiba terasa sekali atmosfer ketidaknyamanan diantara kami.
“Ehm, selamat ya…” ujarnya sejurus kemudian dengan senyuman yang terkesan dipaksakan.
“Terima kasih, Mas.”
“Ehm, kalau gitu saya permisi dulu, mau ke rumah Lukman, jadi mampir kesini deh lihat kalian,” Ia tersenyum kecil.
“Iya.”
Mas Dito membalikkan tubuhnya menjauhiku, aku menatapnya nanar. Apalagi yang bisa kuharapkan? Dia sudah berbahagia dengan istrinya, begitupun seharusnya aku dengan suamiku kelak.
***
Konon sebelum menikah, selalu saja ada godaan yang menghalangi, entah dalam skala besar ataupun kecil. Sang calon pengantinpun ikut serta terjangkit syndrome aneh yang disebut syndrome pra nikah, sebuah syndrome yang disematkan Abay padaku saat aku mulai marah-marah nggak jelas karena Gina. Tadinya aku anggap kasus Gina selesai setelah ia langsung menghilang entah kemana hari itu. Sayangnya, Gina justru ke rumahku 2 hari setelahnya. Dalam keadaan kacau balau, ia bersama dengan Farah yang menenangkannya datang ke rumahku. Untung saja mama, papa, dan Oka lagi nggak ada di rumah. Bisa heboh nanti.
“Aku cinta sama Kak Abay, Tante…” cicitnya ditengah isakannya, dan sumpah! Aku gerah banget. Kenapa sih dia ini hobi banget panggil aku Tante?
“Tan…maaf ya… tadi dia nangis-nangis ke rumah, maksa Farah buat nunjukkin rumah Tante,” sahut Farah kali ini.
Aku menghela nafas bosan,”Gina… mau kamu apa sih?” tanyaku jengah.
“Aku mau Kak Bayu, hiks…” ia masih tergugu sambil berjongkok, iya…cewek songong itu terlihat benar-benar kacau.
Astaga! Aku jadi bener-bener curiga, sebenernya apa sih yang dijanjiin Abay sama anak gadis ini?
“Tante kenapa sih harus sama Kak Bayu? Kenapa enggak sama cowok yang umurnya pas aja buat Tante?” cerocos Gina lagi.
“Gina… udah dong…” kali ini Farah menyahuti.
“Gini deh… Gina… saya nggak tahu ya, apa yang udah dilakuin Abay sampai kamu kayak gini. Saya juga minta maaf kalau saya ikut andil dalam hal ini. Tapi saya bener-bener nggak tahu harus ngomong apa sama kamu.” Ujarku bingung melihatnya makin tergugu, sementara Farah terlihat makin bingung.
“Saya harus berangkat kerja sekarang, saya akan telepon Abay buat nyelesein masalah kalian berdua. Dan saya…” aku menghela napas sebelum melanjutkan kalimat yang tiba-tiba membuatku ngeri jika bayangan terburuk itu benar-benar terjadi,”akan menerima apapun keputusannya.”
Gina masih tergugu, aku mengirim sms pada Abay memberitahukan keberadaan Gina tepat saat pintu rumah terbuka. Oka menatap kami dengan pandangan bingung. Aku yang sudah rapi hendak berangkat kerja, Gina yang masih berjongkok sambil menangis, dan Farah yang sibuk menenangkannya.
“Lagi latihan drama, ya?” tanya Oka ngaco membuatku memutar bola mataku, sementara Farah terlihat melotot tak terima. Oka kemudian menutup mulutnya rapat-rapat saat melihat sosok Gina, aku yakin ia masih mengenali gadis itu.
Gina perlahan berdiri dengan bantuan Farah. Ia mengelap sisa-sisa air matanya dengan tangannya. Siapa sangka cewek songong nan angkuh ini menjadi sangat kacau begini cuma gara-gara Abay.
“Kalau sampai kalian menikah. Mendingan aku mati!” ancamnya tajam sebelum berbalik dan meninggalkanku yang sukses dibuatnya melongo. Ma-mati? Maksudnya dia mau bunuh diri gitu? Aduh, kepalaku! Kepalaku, aduh!
***
Apa bener Gina bakal bunuh diri? Masa cuma gara-gara aku nikah sama Abay harus mengorbankan satu nyawa sih? Kalau nyawa sapi buat syukuran sih nggak apa-apa ini nyawa manusia. Kepalaku berdenyut. Zaman sekarang memang banyak yang nekat. Lebaran kemarin saja aku lihat berita seorang istri manjat sutet cuma gara-gara uang yang dikasih suaminya kurang, apalagi ini? Aku menghubungi Farah malam harinya, dan ternyata Gina tidak bisa dihubungi sejak keluar dari rumahku, membuatku makin khawatir. Gimana kalau Gina benar-benar nekat? Meskipun Farah meyakinkanku bahwa kemungkinan Gina hanya menggertak, tapi tetap saja aku khawatir.
“Tante… maafin Farah, ya…” ujar Farah sambil bergulingan di atas kasurku. Ia menatapku iba. Pagi-pagi sekali Farah sudah ke rumahku yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya.
“Gimana temen kamu?”
“Masih galau gitu deh,” jawabnya sambil mengedikkan bahu.
“Enggak bunuh diri, kan?”
Farah tertawa kecil,” enggak deh. Gina paling cuma menggertak aja. Nggak mungkin dia nekat.”
“Eh jangan salah Far, remaja sekarang kan kelakuannya aneh-aneh. Barangkali saking nggak relanya Abay nikah sama Tante, kan?”
Farah terlihat berfikir, ia berhenti berguling-guling dan menatapku serius.
“Emang sebenernya hubungan mereka kayak gimana sih, Far? Kok sampai si Gina segitunya?” aku bergeser duduk di sebelah Farah yang ikut mengubah posisinya menjadi duduk.
“Setahu Farah sih nggak gimana-gimana, Tan.”
“Mereka nggak pacaran?”
“Hihihi, Tante cemburu, yaaa?”
Yee… malah ngeledek.
“Ya kalau nggak ada apa-apa, masa sih temen kamu sampai segitunya….”
“Mm… setahu Farah sih, Gina emang naksir berat sama Om Abay.”
Om? Astaga! Aku pengen ketawa, kasian si Abay gara-gara mau nikah sama aku, harus dipanggil Om sama cewek yang usianya terpaut nggak lebih dari 4 tahun. Senasib sama Oka yang sering berantem sama Farah. Usia mereka sama, tapi Farah ngotot banget panggil Om Oka dengan alasan kesopanan silsilah keluarga, hahaha.
“Jadi orangtua Gina itu kan sibuk banget Tan, dia berontak gitu deh. Pernah kabur, nah yang nemuin ya Om Abay itu atas perintah Papinya. Terus Gina ini kan orangnya suka tantangan, ngeliat Om Abay yang cuek bebek gitu sama dia makin penasaran dia. Dikejar-kejar gitu deh,” Farah meringis geli,”Farah juga baru tahu kalau ternyata Kak Bayu yang sering banget disebut-sebut Gina itu ternyata Om Abay calonnya Tante, hadeuh… dunia sempit banget, ya?”
Aku mengangguk-angguk mengerti. Abay memang bilang kalau Gina putri atasannya. Cuma sebatas itu. Hya iyalah, mana mungkin dia mau bicara panjang kali lebar.
“Terus Tante sendiri gimana?” lanjutnya.
“Gimana, gimana maksud kamu?”
“Ya… gimana… tanggapannya gitu lho, Tan.”
Tanggapan, ya? Aku juga bingung. Memangnya mau tanggapan yang gimana?
“Kalau Om Abay sendiri gimana bilangnya ke Tante?”
“Ih, dia mah nggak bilang apa-apa. Malah ngatain Tante kena syndrome pra nikah.”
Farah terkekeh kecil, “Hahahaha, bisa jadi tuh Tan, bisa jadi ini memang godaan buat kalian berdua menjelang nikah. Tenang aja deh, Tan. Si Gina, kalau nemu cowok baru juga lupa. Ih, tapi Farah seneng lho kalau lihat Tante sama Om Abay. Cocok. Unyu.”
Yaaah situ seneng lihatnya, sini mati gaya. Tapi mau tak mau aku ikut tersenyum malu-malu juga, cocok, ya? Ugh!
“Ciyeee Tante mukanya merah, hayooo pasti inget-inget Om Abay, yaa? Ciyeee Tante…”
Goda Farah makin menjadi. Aku buru-buru meraba wajahku, Haaah? Masa sih merah? Duuuuh bikin malu aja deh.
***
Kepalaku masih sedikit berdenyut memikirkan kelakuan Gina, juga Abay yang sama sekali belum menghubungiku. Aku mulai membayangkan hal yang tidak-tidak. Kegiatan di bangsal membuatku sedikit melupakan masalah itu. Ini adalah jadwal siang terakhirku sebelum aku memasuki masa cuti untuk pernikahan. 3 hari selanjutnya aku mendapat jadwal pagi. Aku bersiap pulang tepat pukul 9 malam. Oka yang bertugas menjemputku malam ini, dan ketika aku meneleponnya ia malah baru bangun karena ketiduran. Dasar.
Aku baru saja keluar dari bangsal saat melihat sosok itu tersenyum menyapaku. Mas Dito. Salah satu putra sahabatnya ternyata dirawat di bangsalku. Kami tadi hanya saling menyapa sekadarnya saat berada di bangsal. Tapi jam besuk sudah berakhir sejak tadi, kenapa dia masih disini?
Akhirnya aku mengiyakan ajakannya untuk sekedar ngopi di kafetaria rumah sakit sembari menunggu jemputan Oka.
“Kamu pasti betah banget ya di bangsal anak?” ujarnya sambil menyesap kopi.
Aku mengangguk sambil tersenyum,”seru sih, lucu-lucu mereka.”
“Jadi inget dulu, kita punya rencana pengen punya anak banyak ya kalau nikah?”
Aku hanya tersenyum, hatiku kembali menghangat mengingat masa-masa pacaran kami. Kami memang sama-sama penyuka anak-anak, terlebih Mas Dito yang memang anak tunggal.
“Planning itu masih mau dijalankan sama calon suami kamu?”
“Hah? Eh? Kami belum pernah ngomongin itu sih, Mas.” Aku nyengir. Gimana mau ngomongin anak, ngobrol aja jarang.
“Tapi kamu masih pengen punya anak banyak, kan?”
“Yaa... iya sih, in syaa Allah.”
“Aamiin, aku ikut mendoakan.”ucapnya tulus. Ya Allah, lelaki sebaik ini, gimana nggak suami-able? Ih! Pengen gigit! Ups! Fika ngaco!
“Aamin. Mas Dito sendiri gimana?”
“Mm…gimana?”
“Istrinya sudah hamil?”tanyaku ragu, takut membuatnya tersinggung, tapi aku juga penasaran.
Raut wajah Dito berubah seketika, ups! Kayaknya aku salah tanya deh. Ia menggeleng lemah dengan senyum dipaksakan.
“Eh, ehm sorry.”
“Nggak apa-apa,” ia mencoba tetap tersenyum memaklumi kelancangan mulutku.
“Aku doain deh, semoga cepet ‘isi’. Tetep usaha, Mas. Semangat!” ujarku berusaha ceria dan menyemangatinya. Bagaimana mungkin orang yang begitu penyuka anak kecil justru belum dikaruniai anak sampai sekarang? Jika itu aku, pasti udah belingsatan banget. Aku berdoa tulus agar ia dan juga istrinya cepat mendapat momongan.
“Ehm, kayaknya doa kamu sia-sia, kecuali aku nikah sama orang lain yang mau jadi ibu.”
Aku menoleh cepat,” Maksudnya?”
Dito seperti tersadar kalau ia tengah keceplosan, ia tampak gugup namun kemudian kembali menguasai dirinya agar tetap terlihat tenang.
“Nggak apa-apa.”
Aku terdiam, mungkin tak seharusnya aku mengulik kehidupan pribadinya, meskipun sejujurnya aku sangat sangat penasaran.
“Kami akan bercerai,”ujarnya setelah cukup lama kami terdiam. Aku menatapnya kaget sementara ia menatapku dengan sorot mata tenang.
“Dia nggak mau punya anak karena takut merusak bentuk badannya, dan dia menuntut cerai karena aku masih membujuknya untuk mempunyai anak. Hubungan kami tak pernah baik-baik saja. Kupikir anak bisa mengukuhkan pernikahan kami yang sama sekali terjalin bukan karena cinta,” Dito mengusap wajahnya dengan satu telapak tangannya. Aku, tak tahu harus komentar apa. Astaga! Mereka bahkan belum genap 2 tahun menikah.
“Lucu ya,”Dito kembali melanjutkan dengan senyum getirnya,”Tadinya aku ingin kembali mengejarmu setelah kami bercerai, ternyata malah kamu mau nikah.”
Jantungku rasanya melorot seketika, ada yang bergejolak diperutku, dan dadaku mendadak sesak. Allah…
“Tinggal hitungan hari lagi,”lanjutnya.
Ia menoleh lagi padaku, menatapku dengan mata yang selalu kusukai.
“Mungkin, kita memang nggak jodoh ya, Fik?”
Aku memaksakan senyumku meskipun entah mengapa rasa nyeri itu tetap ada di dadaku. Sesak. Cintaku…
“Terlambat banget, ya? Harusnya dulu aku mempertahankan hubungan kita,” suaranya melemah, matanya menerawang.
Mendadak saja aku ikut menerawang, ada yang aneh di hatiku. Seharusnya… seandainya… lalu… bisakah?
Share this novel