“Assalamualaikum!” seruku sedikit lantang agar mama mendengar salamku. Kudorong pintu rumahku dengan sedikit tidak sabar.
“Waalaikumsalam,” jawab mama sedikit tergopoh-gopoh menghampiriku dengan wajahnya penuh harap.
“Gimana?”Tanya mama. Aku masih belum mau menjawab pertanyaan mama yang menurutku sangat sangat retoris. Apa mama nggak bisa lihat raut mukaku yang entah sudah berbentuk apa ini, huh? Udah panas, capek, haus pula.
Kulihat ada segelas es sirup di meja melambai-lambai memanggilku untuk meneguknya. Tanpa babibu langsung saja aku meneguknya. Ah tumben mama bikin es sirup begini sore-sore, deuh pasti tahu sebentar lagi aku akan meledak, makanya disiapin dulu es sirupnya.
“Fika! Itu punya tamu, kenapa diminuuuuuummm??” seru mama heboh buru-buru merebut gelas yang sudah kukosongkan separuhnya. Aku hampir tersedak. Apa? Punya tamu? Matilah aku! Segera kuputar kepalaku, jangan-jangan tamunya ngeliat aku minum minumannya. Siapapun tamu itu, pasti tamu yang sedikit agak lebih penting karena mama sampai khusus menghidangkannya di atas meja ruang tamu.
“Kamu tuh gimana sih, asal minum aja! Kan bisa ambil di kulkas!” omel mama.
“Mana Fika tahu kalau itu punya tamu,” elakku,” hah? Jangan bilang itu bekasnya? Hoeks!” what? Aku minum bekas orang lain?! Emaaaaaak! Kalau orangnya punya penyakit menular gimana?
“Bekasnya apaan? Kamu yang bekasin! Sana cepet bikinin lagi!” sergah mama lagi. Aku hanya cemberut tapi akhirnya toh memenuhi perintahnya untuk membuat minuman yang baru. Syukur Alhamdulillah itu bukan gelas bekas orang. Seenggaknya nggak ada risiko penyakit.
“Emang siapa sih, Ma, yang dateng?” tanyaku meletakkan gelas minuman yang baru saja kubuat di atas meja. Kulihat sofa ruang tamu masih kosong.
“Tante Sri, kamu inget, kan? Temen Mama yang dari Bandung itu,” ujar mama dengan wajah berseri-seri. Ooh Tante Sri, teman sekolah mama dulu. Aku ingat dulu, kami pernah berkunjung ke rumahnya saat putranya sulungnya khitanan.
“Lah terus sekarang dimana Tante Sri?”
“Lagi di toilet,” jawab mama masih tampak acuh, “Eh gimana tadi Mas Bagas? Ganteng, kan?”
Aku memutar bola mataku. “Iya ganteng di jaman 80an. Ganteng zamannya Mama,” ujarku sebal, dan apa tadi mama bilang? Mas Bagas? Oom Bagas iya! Oh iya, sekedar informasi, mama tercintaku ini sedang gencar-gencarnya mencarikanku jodoh.
Karena apa? Tentu saja karena tuntutan usia. Aku nggak tahu siapa yang membuat batasan umur untuk dikatai perawan tua, umurku 28 tahun bulan lalu, dan aku memang belum menikah. Tapi mukaku masih imut-imut, kok, nggak kelihatan tua malah. Orang-orang seringnya ngira aku baru berusia awal 20an. Nggak ada yang nyangka deh kalau aku ini udah mau kepala tiga. Oke! Jangan sebut umur! Agak-agak nyesek kalau mengingat cap yang dilabelkan masyarakat bagi yang belum menikah di usia sepertiku. Menurutku umur 28 itu masih kece kok, masih seksi-seksinya untuk ukuran cewek. Tapi mama memang sudah mulai ribet mencarikanku calon sejak satu tahun yang lalu. Awalnya beliau biasa saja dengan status ke-high quality jomblo-an ku. Tapi entah kenapa mama mendadak sungguh-sungguh berminat sekali menjadi mak comblang dadakanku sejak setahun yang lalu. Mungkin sejak tetangga sebelah rumah menikah. Kenapa? Biasalah emak-emak, kadang gengsi juga sama omongan tetangga tentang perawan tua. Oke jangan ngomong perawan tua! Kalau yang ini aku agak alergi. Aku lebih suka menyebutkan high quality single.
“Hah?” pekik mama kaget.
“Mamaaaaaa! Masa Oom-oom gitu dikenalin ke Fika sih? Idih emang Fika cewek cantik apaan?” aku kembali memberengut kesal. Mama ini memang nggak kira-kira kalau jodohin aku. Tega banget.
“Oom-oom? Yee… kayak kamu enggak tante-tante aja! Kamu nggak sadar tuh keponakan kamu udah selusin? Belum lagi kamu udah dipanggil Eyang sama Fardhan?”
Ih si Mama mah, bukannya ngangkat derajat anak malah bikin down.
Aku hanya nyengir, kali ini aku mengutuk si Felly, salah satu keponakanku yang menikah di usia muda, selulus SMA. Fardhan, putranya yang baru berusia 6 bulan itu secara silsilah memang harusnya memanggil aku Eyang. Tapi tentu saja aku nggak mau.
“Beda dong, Ma, biar gini-gini kan Fika Tante yang imut. Lah kalau dia? Ih Mama tega banget ah,” aku mendadak ngeri membayangkan wajah ala Oom si Bagas yang klimis dan gigi cling.
“Imut? Amit-amit iya! Sadar umur dooong,”cibir mama penuh penghayatan.
“Pokoknya Fika nggak mau ah, Ma, yang ini. Udah muka tua, sok mesra pula. Apaan baru pertama ketemu udah Dak Dek Dak Dek, ngomongin nikah segala. Sombong pula.”
“Lha… dia kan emang lebih tua dari kamu, emangnya kamu mau dipanggil apa? Mbak? Ya kamu nikah aja sama berondong. Itu juga kalau berondongnya mau sama kamu.”
“Iih, pokoknya Fika nggak mau sama yang ini, emang Mama rela Fika diboyong ke Kalimantan terus tinggal di hutan-hutan gitu? Terus Fika ditahan disana dan nggak boleh kesini-sini lagi?”
“Alah lebay kamu tuh, cari aja alasannya terus…”
Aku mengangkat bahu cuek,”Hiiy… kan Mama yang ngenalin ke Fika jadi Mama yang tanggung jawab ya, terserah mau ngomong apa ke si Bagas Bagas itu, pokoknya Fika nggak mau, oke?”
“Aduh maaf ya lama,” sebuah suara yang aku yakini milik Tante Sri mengalihkan perdebatanku dan mama, kami menoleh ke arah yang sama.
“Eeh, ini Fika, kan? Ma syaa Allah udah gede kamu, nak,” ujar Tante Sri sumringah melihatku. Aku beranjak menyambutnya, mencium tangannya kemudian memeluknya.
“Bukan gede lagi. Udah tua dia mah,” jawab mama asal. Ih nyebelin.
Tante Sri hanya tertawa renyah saat mendengar celetukan mama. Kami kemudian sama-sama duduk, aku kembali duduk di sebelah mama, yah meskipun bakal sering di hina-hina kalau deket mama, tapi tetep aja suka kalau deket-deket mama.
“Fika tambah cantik ya, kerja dimana sekarang?” Tanya Tante Sri lagi. Aku tersenyum, sedikit berdoa semoga Tante Sri nggak tau kalau aku tadi sempat menyerobot minumannya, meskipun sudah kuganti.
“Di Rumah Sakit Prima Medika Utama, Tante,” jawabku sopan. Diam-diam aku melirik gelas minuman yang tadi kubuat. Loh?! Kok warnanya ijo?! Tadi yang kuminum bukannya warna merah?! Waduh aku salah ngasih sirup, moga-moga aja Tante Sri enggak sadar.
“Oo… di Primata?” jawabnya lugu. Nah ini nih salah satu yang bikin aku sebel kerja di tempat kerjaku sekarang. Prima Medika Utama dengan singkatan yang engga banget, PRIMATA! Dikata hewaan kali primata. Tapi memang Rumah sakit tempatku bekerja itu terkenal dengan singkatan PRIMATA. Aduh nggak enak banget, ya? Berasa lagi kerja sama monyet deh, primata!
“Ayo Sri diminum dulu,” tawar mama pada Tante Sri. Tante Sri terlihat sedikit kaget dengan minuman yang sekarang ada di hadapannya, mungkin sadar dengan perubahannya. Aku hanya nyengir saat mama menoleh padaku, sadar ada yang berbeda dengan minumannya. Hehehehe, maklumlah tadi aku buru-buru membuatnya, takut tamunya keburu balik ke ruang tamu. Tante Sri meminumnya tanpa banyak komentar.
“Eh, Ratna, minggu lalu anaknya si Erni yang sulung itu nikah loh, seumuran Fika kan kayaknya?” ujar Tante Sri. Apa nikah? Matilah aku?! Oh please jangan bahas nikah sekarang. Rasanya udah muak sampai tumpah-tumpah mendengar bahasan itu.
“Ooh iya, seumuran Fika itu, dulu kan pas aku hamil tua Fika, dia lahiran,” Sahut mama lagi. Aduh mama nyaut pula, mama kan paling demen ngomongin nikah. Tepatnya sih ngomongin aku yang belum nikah. Aku sudah bersiap-siap untuk kabur.
“Nah kalau Fika kapan nyusul? Udah ada calon belum?” Tanya Tante Sri mengarah padaku. Nah kan! Nah kan! Mulai deh mulai… mama sudah mencibirku duluan. Aku batal berencana kabur. Aku hanya tersenyum paksa, jangan bilang mau jadi mak comblang gratisan kayak mama, please.
“Fika itu…,” belum sempat mama melanjutkan kalimatnya yang pasti berujung pada penghinaan pada harga diriku, buru-buru aku menyahut,” Belum ada, Tante. Mohon doanya, ya.”
Ada kilatan ekspresi aneh yang kutangkap dari raut wajah Tante Sri saat aku mengatakan belum ada. Semoga hanya firasatku saja. Waduh aku lupa dengan reputasi genk mama saat masih sekolah dulu—termasuk di dalamnya Tante Sri—adalah genk mak comblang. Mama sering cerita bagaimana dulu mereka berhasil membuat beberapa pasangan sampai ‘jadi’ .Waduh.
“Yang bener Fika?” Tanya Tante Sri lagi.
“Iya, Sri. Belum, aduh sampe pusing nih aku. Fika ini Jomblo kronis, sebentar lagi nekrose,”sahut Mama, tuh kaaaaan.
“Wah, kebetulan kalo gitu,” ujar Tante Sri berbinar. Aku benar-benar menangkap aura mengerikan dari ruangan ini, dari dua sahabat yang lama tak berjumpa ini.
“Kebetulan apa? Kamu punya calon?” Tanya mama tak kalah berbinar. Sepertinya sekarang aku harus benar-benar kabur dari sebuah konspirasi terang-terangan ini.
“Iya dong punya. Kalau Fika mau, Tante ada calon yang in syaa Allah cocok buat Fika.”
Rasanya aku ingin buru-buru kabur, tapi mama menahan lenganku walau matanya yang berbinar itu menatap Tante Sri,”Siapa Sri? Orang mana? Kerjanya apa?”
“Kerja di kepolisian. Ya semacam intel gitulah. Sudah 2 tahun ini tinggal dan kerja di Jakarta sendirian, kasian nggak ada yang ngurus. Anaknya sih sudah niat serius, tapi belum ada calon juga.”
Intel? Oh my… aku langsung bayangin bapak-bapak gendut berwajah seram seperti yang beberapa kali aku lihat saat di IGD Rumah sakit.
“Orang Bandung? Keponakan kamu?”
Tante Sri tersenyum malu-malu,”Bukan. Anak aku Rat, tahu, kan? Si Abay.”
Anak Tante Sri? Aku melotot seketika.
Share this novel