Abay memintaku untuk bertemu keesokan harinya. Aku baru saja selesai dari dinas pagiku. Kami bertemu di café MIU, tempat dimana pertama kali kami bertemu setelah dewasa.
“Mau pesan apa?” tanya Abay basa-basi, ia datang lebih dulu. Kulihat ia sudah menghabiskan secangkir kopi.
Aku menggeleng pelan,”nggak usah. Langsung aja. Kamu udah ketemu Gina?”
“Udah,” jawabnya singkat seperti biasa.
“Terus?”
“Aku minta maaf kalau dia ganggu kamu.”
“Bukan itu, maksud aku, hubungan kamu sama Gina…”
“Aku nggak punya hubungan apa-apa sama dia,” sambungnya cepat.
Aku menghela napas,”Bay, aku nggak tahu ya kamu beneran ada atau enggak hubungan sama dia. Tapi dia… nangis kejer bahkan ngancem mau bunuh diri kalau kita nikah. Kamu pikir aku bisa tenang? Gimana kalau dia beneran bunuh diri?”
“Dia cuma menggertak.”
“Gimana kalau enggak?”
Abay menggeleng pelan,”percaya sama aku.”
“Gimana kalau beneran, Abay? Anak zaman sekarang kan nekat-nekat.”
“Dia bakal lupain semuanya setelah dia dapat objek yang baru.”
“Darimana kamu bisa seyakin itu?”
Abay mengangkat bahunya.
“Ini cuma sementara. Dia cuma merasa terganggu, karena merasa terancam nggak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia nggak bakal ngelakuin apapun yang merugikan dirinya sendiri.” Tegas Abay menatapku tajam. Seolah tak bisa dibantah lagi. Membuatku mengkeret seketika.
“Jadi…”
“Jadi kita tetep nikah.” Tegasnya mengultimatum. Dan aku seolah baru sadar kalau Abay memang bukan berondong biasa. Tatapan tajam dan kalimat tegasnya malah membuatnya makin berkharisma dan mempesona.
Aku terdiam, menggigiti bibir bawahku. Jujur saja aku masih tak tenang, aku sampai meminta Farah untuk melaporkan padaku bagaimana kondisi Gina. Kalau perlu benar-benar mengawasi bocah itu. Aduh kan nggak lucu kalau dia benar-benar bunuh diri? Belum lagi obrolanku dengan Mas Dito semalam. Membuatku hampir tak bisa tidur semalaman.
”Bay… jujur ya sama aku, selain karena Mama kamu, apa kamu bener-bener ikhlas kalau nantinya mendapati aku jadi istri kamu? Aku enggak semuda dan secantik Gina atau mantan-mantan pacar kamu. Sebelum terlambat, aku nggak mau ya ada acara kabur-kaburan atau nyesel-nyeselan setelah kita nikah nanti,” aku berujar pelan, membayangkan bagaimana pernikahan Mas Dito gagal karena perjodohan. Juga kata-katanya tentang penyesalan. Bahkan ia masih berharap kembali padaku. Bagaimana kalau hal itu juga terjadi padaku dan Abay? Meskipun perceraian Mas Dito dan istrinya lebih dikarenakan istrinya yang nggak mau punya anak, tapi tetap saja, menurutku pondasi mereka yang tak cukup kuat menjadi penyebab utamanya. Bagaimana kalau aku dan Abay ditempa masalah lain yang membuat pernikahan kami goyah atau bahkan gagal?
Abay menatapku dalam, membuatku harus mengalihkan pandangan ke arah luar,”Kalau yang aku mau kayak mantan-mantanku atau Gina, mereka yang bakal aku nikahi. Bukan kamu.”
Nyess…
Rasanya seperti ada lelehan air es yang menyentuh dasar hatiku yang terasa lelah. Aku memberanikan diri untuk kembali menatap Abay,”Bay, bisakah kita…?” tanyaku penuh keraguan. Allah, pernikahan tinggal menghitung hari, bagaimana mungkin aku masih sedemikian ragu?
“In syaa Allah. Semoga. Meskipun ini juga pertama kalinya buatku,” ujarnya kemudian meringis.
Hm, dikira aku udah pernah apa?
“Kayaknya bener kalau orang mau nikah mending nggak usah sering-sering ketemu deh.” Ujarku bermaksud mengakhiri pertemuan kami hari ini.
“Nanti bakal dipingit, kan?”
Aku mengangguk. Tapi emang masih zaman ya pingit-pingitan begitu?
Ia menatapku cukup lama, membuatku malu sendiri,” Apa sih? Udah ah, aku mau pulang aja.” Ujarku kemudian beranjak dari kursi. Lama-lama disini entar malah bukan cuma tatap-tatapan. Bisa cakar-cakaran. Ya kaleeee.
Ia tersenyum kecil, mengikutiku beranjak. Setelah membayar ia mengikutiku sampai parkiran motor tempat skutermaticku berada.
“Mau balik ke kantor?” tanyaku sambil memakai helm dan menaiki motor.
Ia mengangguk pelan.
“Yaudah, aku duluan, ya…”aku mulai menstarter motor.
“Helmnya…”
“Hah?” tanyaku bingung.
“Itu… talinya dipasang. Biar aman.”
“Oh,” aku buru-buru mengikuti perintahnya. Sedikit tersanjung karena perhatian kecilnya. Duuuh, jangan blushing sekarang, Fikaaa.
Ia tersenyum kecil saat aku selesai,”sampai ketemu. Rasanya nggak sabar mendapati kamu sebagai istriku.”
Kali ini aku yakin pipiku sukses memerah. Mamaaaaaaah Fika dirayuuuuu.
***
“Ma, kalau misalnya acara nikahannya batal, gimana?” tanyaku takut-takut pada mama tercinta di H-1 hari pernikahanku. Aku sudah mulai cuti, dan saat ini rumahku tengah disibukkan dengan berbagai persiapan untuk pernikahanku. Beberapa kerabat dekat juga telah berkumpul dan turut menjadi seksi sibuk.
“Batal gimana?” tanya mama tampak kalem.
“Ya… batal, misal Abay yang kabur…”
“Nggak mungkin.”
“Atau Fika yang kabur…”
“Kabur aja, terus nanti kamu dapat azab dari Allah,” jawab mama santai.
Aku berjengit ngeri,”Mama ih, serem!”
Mama melengos,”Kamu juga macem-macem. Mau ikut-ikutan sinetron, heh?”
Aku mencebikkan bibirku, sinetron apaan?
“Kalau mau ikutan tuh ikutan yang awalnya dijodohin terus saling jatuh cinta gitu lhooo...”
Hah, itu sih Mama aja yang jadi korban sinetron, emang segampang itu apa?
“Jangan yang kabur-kaburan. Nanti kamu beneran kena azab gimana? Azab melawan orangtua! Kayak yang di sinetron-sinetron itu,”lanjut mama lagi.
Halaaah sinetron lagi.
“Lagian kamu, Kabur kok ngomong dulu, ya namanya bukan kabur!” gerutu mama lagi, meskipun sambil menggerutu, tangan mama tetap terampil merangkai bunga-bunga .
“Berarti kalau nggak ngomong boleh kabur ya, Ma?”tanyaku iseng.
Mama melirikku tajam,”Boleh.” Jawabnya santai, lho? Bukannya tadi bilang nggak boleh?”Tapi siap-siap terima azab melawan, bikin malu, dan murka orangtua!” lanjut mama kalem.
Yeee…azab lagi.
“Assalamualaikum,”sebuah sapaan halus mengalihkan perhatianku dan mama, aku kenal betul pemilik suara ini.
“Waalaikumsalam,”jawab kami bersamaan.
“Tante Tia!”aku berseru girang, buru-buru kuhampiri Tante Tia yang tengah tersenyum lembut. Tante Tia adalah adik kandung papa, semasa kecil aku dekat sekali dengan beliau. Tapi, ketika aku beranjak SMP, beliau menikah dan ikut suaminya tinggal di Semarang.
Aku menghampiri beliau, memeluk dan mencium tangan beliau takzim. Kapan ya terakhir aku ketemu Tante Tia? Mungkin 2 tahun yang lalu.
Tante Tia mencium kedua pipiku, mama menghampiri kami dan turut menyambut kedatangan Tante Tia.
“Mbak kira kamu sampainya nanti malam lho, Ti,” ujar mama, satu minggu yang lalu Tante Tia memang mengabarkan bahwa beliau mendapatkan tiket pesawat untuk keberangkatan malam.
“Iya, Mbak. Kebetulan ada yang cancel, kami juga dapat pemberitahuannya kemarin mendadak dari teman Mas Salim yang kerja di maskapainya.”
“Oh, yasudah, istirahat dulu. Aduh, ini rumah masih berantakan. Suami sama anak-anakmu dimana?”
“Masih di ruang tamu, ngobrol sama Mas Danu.”
“Yasudah, Mbak tinggal dulu, ya, kamu istirahat atau ngobrol-ngobrol sama Fika dulu.”pamit mama kemudian meninggalkanku bersama Tante kesayanganku.
Aku menggiring Tante untuk duduk di pinggiran ranjangku. Kami berbagi cerita untuk waktu yang cukup lama.
“Wah, nggak kerasa ya, Fika besok nikah, Alhamdulillah.” ujar Tante Tia tiba-tiba.
“Tante, Fika udah tua lho, Mama aja sering ngatain begitu.” ujarku sambil cemberut mengingat setiap ejekan mama.
Tante Tia tertawa renyah.
“Eh, ayo dong cerita sama Tante, kok bisa tiba-tiba gini? Kayaknya beberapa bulan lalu kamu masih curhat deh nggak bisa move on dari Dito?”
Aku menunjukkan cengiran lebarku pada Tante Tia. Meskipun tak pernah bertemu, terkadang kami memang saling menghubungi melalui telepon atau sosial media.
“Biasalah Tante, Mama ribet banget jodoh-jodohin Fika.”
Tante Tia tertawa lagi, beliau tau betul tabiat kakak iparnya, alias mamaku.
“Ya…maksud Mama kamu kan baik, sayang. Jadi? Hasil perjodohan nih?”
Aku mengedikkan bahuku.
Tante Tia kembali tersenyum tulus, beliau mengusap punggungku lembut.
“Kamu suka sama calon kamu?”
Aku hanya tersenyum tipis. Suka ya? Entahlah.
“Fika belum ngerasa jatuh cinta ya, sama dia?”
“Mungkin,” jawabku pelan.
Abay juga belum jatuh cinta pada Fika. Lagipula bukankah kami sepakat bahwa cinta itu akan datang bila kami sudah menikah?
“Cinta, bukan satu-satunya alasan untuk memulai sebuah rumah tangga, Fika.”
Ya. Aku tahu.
“Cinta karena terbiasa ya, Tan? Nanti kalau nikah pasti lama-lama jatuh cinta, gitu?”aku menyela. Well, sebenarnya aku juga lumayan percaya pada ungkapan itu.
“Kalau sudah jodoh. Allah pasti menyusupkan rasa itu dalam hati kalian, sekeras apapun kalian menampiknya.”
“Gitu ya Tante?”
Tante Tia mengangguk lembut,”dua-duanya. Hati kalian akan saling tergerak, bukan salah satu. Percaya, nggak?”
Aku menatap Tante dalam diam. Oh ya?
” Sudah istikharah, kan?”
“Sudah sih Tante, tapi…”aku menggigit bibirku ragu,”kayaknya Fika nggak dapet jawabannya deh,” lanjutku serius. Terhitung sejak aku mulai meragukan pernikahan ini aku memang mulai ber-istikharah, mecoba meminta petunjuk-Nya. Tapi rasa-rasanya kok aku sama sekali tak mendapat jawaban baik melalui mimpi ataupun kemantapan hati, ya?
Tante Tia mengerenyitkan dahinya.
“Maksudnya?”
“Ya…jawaban lewat mimpi kek atau kemantapan hati misalnya.”
“Kamu belum mantap?”
Aku menunjukkan cengiranku,” Nggak tahu deh Tante, sampai hari ini Fika masih merasa di awang-awang. Nggak ngerti harus berpijak atau terbang.”
“Hm…gini deh, selama perjalanan menuju pernikahan, ada nggak halangan yang bener-bener berarti buat Fika atau calon?”
“Adiknya kurang merestui hubungan kami sih,”aku berkata pelan,”dia bilang dia mau merestui kami kalau kami ngasih keponakan yang lucu buat dia.”
Tante Tia tertawa renyah,” Lha berarti kan dia pengen kalian nikah?”
“Hehehe, iya juga, ya?”
“Terus? Ada lagi?”
Aku mulai mengingat-ingat dan entah mengapa bayanganku justru jatuh pada ABG labil yang mendekati Abay kala itu, membuatku mendadak kesal. Aku kemudian menceritakan tentang Gina yang mengancam bunuh diri, juga tentang kedatangan Mas Dito.
“Mungkin itu godaan buat kalian. Kamu… masih ada rasa sama Dito?”
Aku menggeleng pelan,”Fika nggak tahu, Tante, tapi Fika ngerasa aja kalau Istikharah Fika belum terjawab, jangan-jangan sebenernya Fika nggak dibolehin nikah sama Abay?”
“Hm… gini deh, selain itu…ada lagi? Restu dari kedua keluarga besar? Halangan saat persiapan?”
Aku menggeleng lemah,”Lancar-lancar aja sih, Tante, makanya bisa cepet kayak gini.”
Tante Tia tersenyum, tangannya terulur membelai kepalaku yang tertutup kerudung, beliau memelukku.
“Nah, bisa jadi itu jawaban dari istikharah Fika.”
“Masa sih, Tante?”
Beliau mengangguk,”Allah ngasih jawaban lewat apa saja yang Ia inginkan, termasuk kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan pernikahan, juga disegerakannya sebuah pernikahan.”
“Gitu, ya?”
“In syaa Allah.”
“Terus Mas Dito?”tanyaku setelah melepas pelukan Tante Tia.
“Hm… kamu akan segera melupakannya segera setelah kamu menikmati peran kamu sebagai istri, begitupun dia. Keraguan itu datangnya dari syaitan, Fik. Hati-hati… jangan sampai gara-gara terjebak perasaan masa lalu malah menghancurkan semuanya.”
Aku mengangguk mengerti.
“Barakallah ya, Fika.”
“Aamiin. Makasih ya, Tante.” Aku kembali memeluk beliau.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu kamarku yang sebenarnya sudah terbuka membuatku melepaskan pelukan Tante Tia. Aku menoleh dan mendapati Dini tengah menunjukkan cengiran lebarnya. Masih dengan seragam dinasnya.
“Temen kamu?”tanya Tante Tia lirih.
Aku mengangguk kecil.
“Ganggu, ya?” Dini bersuara.
“Enggak, kok. Sini…sini, Tante udah mau keluar, temennya Fika, ya?”
“Hehehe, iya, Tante,” Dini mendekati kami dan memberi salam pada Tante Tia.
“Tante, ini Dini temen kerja sekaligus temen Fika dari SMA,”aku memperkenalkan keduanya,” Din, ini Tante Tia. Adiknya Papa yang tinggal di Semarang.”
Setelah cukup berbasa-basi, Tante Tia pun meninggalkan kami berdua.
“Nggak sama De?”tanyaku basa-basi. Sudah satu minggu lebih, sejak menghadiri resepsi pernikahannya, aku tak lagi bertemu dengan Dini dan suaminya.
“Lagi di Jogja dia, besok baru pulang,”jawabnya cuek.
Aku hanya ber-oh ria. De, suami Dini memang seorang putra konglomerat yang sedang menjalankan usahanya di Jogja. Dini, astaga, aku masih tidak percaya, sahabatku yang asal-asalan itu beberapa hari yang lalu menjelma menjadi putri impian di acara resepsi super megah mereka. Cinderella jadi-jadian banget! Bedanya kalau Cinderella asli kalem dan baik hati. Kalau Dini? Ah, sudahlah. Dari acara resepsinya dan juga orang-orang yang menghadirinya, aku tahu bahwa keluarga De, memang bukan dari kalangan keluarga biasa saja.
“Percaya deh sama gue. Yang kayak beginian nih, nggak bakal guna di malam pengantin. Mending situ siapin seprai cadangan sama air minum atau makanan juga bolehlah,” ujarnya menyebalkan saat melihat dekorasi kamarku yang telah diubah menjadi kamar pengantin.
“Gue nggak mau lagi dengerin lo.”
Terakhir aku denger ceritanya malah bikin aku takut kawin.
“Yeee… dibilangin. Yaudah liat aja besok malam.”
Aku melotot ke arahnya.
“Kenapa?”tanyanya sok nggak tahu. Dia baru aja bahas tentang malam pertama yang menyeramkan itu, kan?
Aku sudah mendapatkan pinggang rampingnya untuk kujadikan sasaran cubitan. Dini masih tertawa cekikikan sambil berusaha menghindariku. Ini bocah rese banget deh.
“Fika…ada tamu.”
Aku menghentikan kegiatanku membalas dendam pada Dini saat kulihat mama di ambang pintu dengan wajah masamnya.
“Siapa, Ma?”
“Liat aja sendiri deh,”jawab Mama tampak aneh kemudian pergi meninggalkan kami.
“Eh, gue tinggal bentar ya…”pamitku pada Dini.
***
“Oh, hai, Mas, kirain siapa tadi,” sapaku canggung begitu melihat sosok Mas Dito yang tersenyum hangat ke arahku. Haduuuh godaaan Fika….godaan!
“Ehm, ganggu, ya? Cuma mau ngasih ini,” ia menyerahkan sebuah bingkisan padaku.
“Eh apa nih, Mas?” tanyaku menerimanya dengan malu-malu, padahal sih penasaran juga isinya apa.
“Ehm, maaf ya, aku kayaknya besok nggak bisa datang. Harus ke Surabaya, jadi kadonya duluan.”
“Eh, ehm… makasih ya, Mas. Mohon doanya,” sahutku.
Mas Dito mengangguk dan tersenyum canggung,”kita saling mendoakan saja.”
Aku mengangguk setuju, kemudian tersenyum kecil. Dulu aku banyak sekali hal yang kami bicarakan tentang pernikahan. Mengingat usia kami saat pacaran sudah cukup mapan, tentu saja hubungan kami sudah menuju ke arah pernikahan. Siapa sangka hubungan kami justru terhalang orangtua yang membuat kami harus terpisah, dan kami justru dipertemukan lagi menjelang hari pernikahanku. Dia yang gagal pada pernikahannya dan berencana untuk bersamaku kembali, mungkin akan berbeda cerita jika ia datang sebelum Abay datang. Begitulah, manusia memang boleh berencana tapi Allah tetap Sang penentu segalanya. Pada akhirnya yang pernah singgah di hati akan kalah oleh orang yang menikahi.
Ponsel di saku gamis yang kukenakan bergetar, aku merogohnya dan melihat satu pesan diterima. Dari Abay. Tumben.
Gimana caranya biar nggak deg2an? Aku tanya Papa, katanya suruh ngehubungin kamu.
Aku tersenyum geli membaca smsnya. Mana saya tahu, Boy! Hahaha, kadang si Abay lucu juga. Sms dari Abay yang biasanya jaraaaang banget nongol di barisan SMSku rasanya memberi angin segar buat keraguanku. Oh, ya, mulai sekarang nggak ada lagi masa lalu, yang ada hanya masa depanku, bersama Abayku. Ups! Calon halalku.
Share this novel