BAB 3

Romance Completed 38734

Aku memandang kecut baju yang ada dalam tasku. Sebuah gamis berwarna merah muda dengan corak bunga-bunga kecil polos yang baru dibelikan mama kemarin, beserta dengan phasmina berwarna peach. Hadeuh, mama ini semangat banget. Perasaan sama calon yang lain nggak sampai begininya deh.

“Nggak ganti baju?” Tanya Dini, sahabat sekaligus rekan kerjaku untuk jaga pagi hari ini. Aku meliriknya yang sudah mengenakan sweater merah marun untuk menutupi seragam perawatnya.

“Lu sendiri? Nggak bawa baju ganti? Mau pulang pake seragam?” tanyaku masih mengamatinya. Sebenarnya peraturan di Rumah sakit ini setiap perawat atau staff disini diharuskan memakai baju ganti selain baju dinas sebelum atau sesudah bertugas. Untuk menghindari penularan infeksi Nosokomial (infeksi yang diperoleh dari rumah sakit). Tapi beberapa staff lebih suka melanggarnya, yah begitulah, orang bilang, peraturan dibuat untuk dilanggar.

Dini hanya nyengir,”Males ah, sekalian kotor. Besok ganti juga. Kan lumayan, irit nyuci bo,” kilahnya. Hahaha, alasan yang sama dengan yang sering kupakai. Aku biasanya juga seperti itu, masa iya aku mau ketemuan pakai seragam?

Ah, malasnya. Siang ini aku ada janji bertemu dengan Abay. Blind date. Again. Seharusnya bukan Blind date, tapi mengingat setelah sekian tahun aku tak pernah bertemu atau sekadar berhubungan dengan Abay. Anggap saja begitu. Aku mengembuskan napas berat. Ngomong-ngomong ini sudah kali keberapa aku mengikuti blind date ya? Dan sudah berapa kali juga blind date itu gagal? Hihihi. Aku meringis sendiri, terkadang kasian juga dengan mama yang sudah mau repot-repot mencarikan aku calon suami. Ah tapi sekalipun sedang di kejar deadline nikah, aku juga tidak boleh sembarangan memilih suami. Kita, kaum hawa memang tidak seperti kaum adam yang bisa memilih wanita mana yang ingin dipinangnya, tapi kita kaum hawa kan berhak juga menentukan apakah harus menerima atau menolak pinangan dari sang lelaki. Ngomong-ngomong tentang pinangan, kan selama ini belum ada yang pernah melamarku, dalam artian benar-benar melamar ke kedua orangtuaku. Aku dan Riki baru berdiskusi tentang pernikahan setelah aku lulus ketika Mama udah menyambar, menyerukan ketidaksetujuannya. Belum lagi kasusku dengan Dito. Blind date yang selalu kulakukan ini pun tak membuahkan hasil, tak ada yang benar-benar berlanjut—sudah kuceritakan kan betapa mereka membuatku ilfeel—Aish, bahkan sampai umur 28 begini tidak ada yang datang melamar, ah nasib…nasib. Mendadak aku ngeri sendiri mengingat ucapan mama tentang lelaki terakhir yang mau menjadikanku istri. Hiiiyaaa…

Tapi Abay? Ah, anak kecil itu? Si unyu-unyu? Dia lebih potensial menjadi adik yang manis ketimbang Oka, si manusia aneh itu. Ya sudahlah, ketemuan saja. Hitung-hitung menyambung tali silaturahim. Sudah lama juga kami nggak ketemu, kayak apa dia sekarang, ya?

Aku hanya mengambil jaket belel kesayanganku dan memakainya dengan cepat. Kemudian menyusul Dini yang sudah mendahuluiku.

“Kayaknya tadi lo bawa baju, kagak dipake?” tanyanya begitu aku menjajari langkahnya.

“Kagak! Males gue.”

“Mau langsung pulang?”

Aku diam seketika. Ah masa aku harus cerita mau ketemuan, sama anak kecil pula, bisa diledek abis-abisan sama miss somplak yang satu ini nih.

“Heh! Ditanya begong! Mati tau rasa lo!”

“Yeee, situ nyumpahin sini mati?”

“Dengernya?” ujarnya melengos. Diiih…

“Mana ada orang mati karena bengong? Ada juga kesambet.”

“Dih, mana ada setan doyan nyambet elo? Rugi! Hahahaha.”

Asli nih bocah, kalo udah nyela sedep beneer.

“Ih, kok tau? Pengalaman yaaa? Oh iya gue lupa elo kan ratunya,” cibirku tak mau kalah.

“Iya dong! Orang gue lagi dialog sama setannya, tuh di belakang elu!”

Asli! Aku langsung berjingkat reflek memeluknya membayangkan benar-benar ada setan di belakangku.

Tawa Dini pecah. Kami berhenti berjalan sejenak ketika aku memeluknya erat. Ah! Dia mengerjaiku. Dasar mak lampir! Tau aja kelemahanku yang takut banget sama hal-hal klenik macam begitu.

“Hahahahaha, elah siang-siang begini masih aja kumat parno, Fik?” ledeknya. Iiiih nyebeliiin.

“Ah curang nih, bawanya kolera!” ucapku sebal, melepaskan pelukanku pada Dini yang masih tertawa bahagia. Kolera adalah sebutan yang kusematkan pada makhluk-makhluk astral yang nggak jelas itu.

“Hahahaha! Lagian elu, percaya aja siang-siang begini ama begituan?”

“Ya kali beneran. Elu kan bangsanya dedemit juga!” ujarku kesal, dia masih menertawaiku. Ugh! Dasar!

“By the way, gimana blind date lo kemarin?” tanyanya setelah puas menertawaiku.

Aku menggeleng dramatis, Dini mengembuskan napas melankolis.

“Gagal lagi? Kenapa?”

“Kayak Oom-oom! Eh emang Oom-Oom deng.”

“Huahahahahaha. Ah kayak lo nggak Tante-tante aja Fik.”

Yah, sebelas duabelas sama mama dia.

“Ya, seenggaknya yang kecean dikit kek, kayak Oom Song Seung Hoon apa Park Si Hoo kan lumayan.”

“Deuh, kalo mereka mah bukan lumayan lagi, kebagusan buat lo.”

Aku hanya mencibir. Kami berpisah di depan rumah sakit saat sopir pribadi Dini –alias angkot—sudah datang. Sementara Dini sudah mendekam di mobil umumnya—alias angkot—aku bergegas menuju tempat yang dimaksud mama.

***

Aku memasuki area café bergaya minimalis namun elegan. Café MIU. Ih jadi inget kucing. Tumben Mama ngatur ketemuan di sini? Biasanya di Restoran Family Garden, restoran langganan buatku blind date sampai beberapa pelayan disana hapal, idih bikin malu aja deh. Aku menuju sebuah meja yang ditunjuk oleh salah satu waitress. Kulihat ada beberapa pelanggan, tak terlalu ramai. Tapi jelas ini café bukan sembarang tempat nongkrong anak-anak alay macam Oka, eh Oka mah enggak alay, ya? Cupu aneh dia mah. Karena kulihat pengujungnya rata-rata adalah pekerja yang menikmati waktu luang mereka di café yang bernuansa klasik modern ini. Eh, klasik modern? Entahlah, yang pasti café ini tak seperti kebanyakan café biasa tempat untukku dan dua sahabatku –Dini dan Agil—menghabiskan waktu bersama.

Aku melihat jam tanganku, baru menunjukkan waktu 14.20, masih ada waktu sekitar 10 menit lagi dari jadwal pertemuan kami. Ah, tak apalah aku menunggu sekalian mencoba menu makanan di café ini, kalau enak kan lumayan buat referensi nongkrong bareng Dini dan Agil, hehehehe.

Ehm, kira-kira seperti apa ya Abay sekarang? Apa masih segendut dan seunyu dulu? Lalu apa kabar Sabrina, gadis mungil adik semata wayang Abay? Sudah sebesar apa dia? Kata Tante Sri, Bina—panggilan akrab Sabrina—sudah kelas 3 SMA tahun ini. Hahaha pasti lagi alay-alay nya. Lah kok aku jadi mikirin Bina?

“Mbak Fika, ya?” sebuah suara berat membuatku mendongak saat ia memanggil namaku.

Seorang laki-laki berdiri di hadapanku. Tinggi, tegap, kulit sawo matang, dengan garis muka yang tegas tapi tetap terkesan manis khas lelaki Indonesia tengah tersenyum menatapku. Ma Syaa Allah, senyumnya, maaaak. Mata tajamnya. Hidung mancungnya. dan aaah…siapa ni orang?

“Sudah lama?” tanyanya lagi. Pas. Suaranya pas untuk ukuran tubuh dan wajahnya. Kenapa semuanya jadi proposional begini?

“Ehm, eh maaf? Bener Mbak Fika, kan?” tanyanya lagi. Uh oh, aku masih melamun ya?

“Eh, iya, siapa-ya?” Jangan bilang kalau dia…

“Bayu. Saya Bayu,” Ucapnya sambil tersenyum manis kemudian duduk di depanku.

Bayu? Bayu siapa? Otakku kosong untuk beberapa saat.

“ABAY?!”pekikku tertahan, membuatku tersadar bahwa ia sedang menatapku kebingungan dan pandangan beberapa pengunjung mulai terarah pada meja kami. Aish, Fika noraaaaaak.

***

Demi apa?! Kenapa dia Abay? Bukan, ehm maksudku, kenapa Abay seperti itu? Dimana Abayku yang unyu-unyu yang menggugah hasratku untuk selalu mencubit pipinya dan menculiknya untuk dijadikan adikku? Kok sekarang yang ada malah Abay pria dewasa mempesona nan penuh kharisma?

“Sudah lama menunggu saya ya, ehm... Mbak?”

Mbak?!

Panggilan itu rasanya bikin aku merosok jatuh ke dalam jurang dan terkubur di rawa-rawa. Ah iya, jangan lupakan kalau dia tetaplah pria berusia 24 tahun, semempesona apapun dia sekarang. Dia tetap anak kecil Fika, anak kecil. Ya lagi masih mending dipanggil Mbak, dibanding dipanggil Mas atau Bapak? Kan minta ditendang?

”Enggak juga, tapi kamu kok tau kalau saya?”tanyaku penasaran. Ia tersenyum, dan demi apapun itu manis dan menyilaukan, dia pake senter, ya? Ampuuun! Jaga pandangan Fika, jaga pandangan!

“Saya masih punya ingatan yang bagus.”

Aah, dan saya punya ingatan yang sangat buruk dalam mengingat wajah orang, termasuk wajahnya yang dulu unyu munyu bin kiyut dan sekarang berubah jadi begitu lelaki dewasa penuh pesona dan kharisma?

“Mama bilang, Mbak Fika bekerja sebagai perawat,” dia memandangi seragamku yang hanya tertutup jaket. Jadi lebih mudah terindentifikasi begitu, ya?

“Ooh…”

Kami terdiam lagi, ah ini yang paling aku benci dari acara-acara seperti ini. Mati gaya. Atau apapun lah itu bahasa gaulnya, aku selalu bingung membuka pembicaraan dengan orang baru, terlebih jika orang itu berjenis kelamin laki-laki dan berlabelkan ‘teman kencan buta’ aaah, itu label yang paling kubenci untuk memulai sebuah pembicaraan, sekalipun itu Abay. Oh bukan, maksudku terlebih itu Abay, pria ‘muda’yang membuatku sukses mempermalukan diriku sendiri didepannya dan didepan orang-orang.

Sampai saat pesanan kami datang, kami masih saling diam. Sejujurnya aku lebih tertarik pada moccachino float dan pancake chocco cheese yang baru saja di sajikan oleh waitress. Ah aku bahkan sudah meneguk ludahku berkali-kali sejak melihat daftar menu yang disajikan oleh cafe ini. Demi apapun! Lupakan saja jaga image dan sebagainya itu, aku benar-benar menginginkan dua barang itu saat ini juga, ah sebenarnya sejak kemarin, siapa sangka cafe ini juga menyediakannya.

Kusedot moccachino floatku dengan penuh khidmat, sebodo amat kalau setelah ini aku harus siap-siap bolak-balik kamar mandi. Aku pecinta minuman jenis kopi, tapi entah kenapa tidak dengan tubuhku. Sepertinya ginjalku sensitif sekali dengan kopi. Sehingga aku bisa berkali-kali buang air kecil hanya dengan minum segelas kopi. Eh memangnya moccachino termasuk kopi? Ehm, entahlah, yang pasti aku mengalami gejala yang sama jika minum sebangsa itu.

Hahaha aku jadi ingat saat-saat aku harus mengerjakan skripsiku saat kuliah dulu, sebelum lembur aku selalu minum kopi. Tapi percayalah, aku tetap mengantuk. Dan satu-satunya yang membuatku tidak bisa tidur adalah karna aku bolak-balik kamar mandi untuk buang air kecil.

Aku terus menikmati pancake di hadapanku hingga tinggal setengah porsi, aku hampir lupa kalau ada manusia lain di hadapanku kalau saja tidak ada pelayan yang mengantarkan makanan pesanannya ke meja kami, ternyata Abay sediam ini, dia bahkan sama sekali tak bersuara ketika aku tenggelam dalam makananku sendiri. Ia tersenyum kepadaku sebelum menyantap makanannya, sepiring mie atau bakmi atau entahlah, yang pasti masih peranakan mie. Aku meringis malu karna terlihat seperti gadis sedang kelaparan. Ah, kenapa bakminya terlihat sama menggodanya. Tapi, aku baru saja makan siang dengan Dini saat istirahat makan siang tadi, masa aku harus makan lagi?

“Mbak Fika mau?” tanyanya saat memergokiku sudah tak fokus lagi pada pancakeku, melainkan pada bakmi yang begitu menggoda perutku dengan sukses.

Aku meringis lalu menggeleng, kembali menekuni pancakeku. Memangnya kalau aku mau bakminya dia mau menyuapiku, eh? Otakmu Fikaaaaaaa!

Kami benar-benar makan dalam keadaan tenang, hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang bertemu dengan piring. Sesekali aku mencoba membuka pembicaraan, tapi ia hanya menjawab singkat-singkat. Krik…krik! seumur umur jalan sama laki, baru kali ini aku menemui lelaki sepasif dia, kerjaannya hanya tersenyum, mengangguk, dan diam. Kupikir dia akan cerewet atau mungkin dia memang cerewet? Cerewet dalam hatinya sendiri! Mungkin saja, kan? Ah, aku jadi meragukan pekerjaannya yang konon menjadi intel muda terbaik di kantornya. Apa orang seperti dia bisa menangkap penjahat? Aku bahkan membayangkan dia kehilangan targetnya karna memerintahkan partnernya dengan perintah dari hati—saking pendiamnya—syukur-syukur kalau partnernya juga mempunyai bakat bicara dalam diam juga, hahahaha.

Aku tersenyum geli membayangkan dia benar-benar berkomunikasi dengan partnernya dari dalam hati. Argh! Mati aku kalau dia memergokiku. Bisa dikata orang gila aku! Buru-buru aku melirik ke arahnya yang ternyata tidak sedang memperhatikanku, syukurlah.

“Ehm, adik kamu, siapa namanya? Udah kuliah?” tanyaku memecah keheningan, ah bisa mati berdiri aku kalau dalam beberapa menit saja tidak mengeluarkan suara merduku ini. Dan asal tau saja, ini kali pertamanya aku diam lebih dari 10 menit dalam keadaan normal. Saat ujian, menghadapi dosen, atasan, rapat dan hal lain-lain tidak dimasukkan, aku termasuk pendiam saat-saat seperti itu, apalagi saat tidur.

“Bina?”

“Ah, iya Bina, udah kelas berapa dia sekarang?”

“Kelas 3 SMA.”

“Wah, udah mau lulus dong, Mau kuliah dimana selanjutnya?”

“Coba-coba di UNPAD.”

“Sudah tau mau jurusan apa?”

“Komunikasi.”

Krik...krik...krik...

Astaga! Boleh aku mencekik orang di depanku ini sekarang juga? Barangkali pita suaranya sedang macet di kerongkongannya sehingga ia begitu irit berbicara? Apa suaranya itu listrik yang harus digunakan se-irit mungkin agar tagihan tidak membengkak? Kalau iya aku rela memberinya subsidi suaraku agar setidaknya bisa berbicara lebih banyak saat bersamaku.

“Mbak…”

“Ya?” aku buru-buru mendongak, mungkin saja subsidiku berhasil.

“Setelah ini mau kemana?” tanyanya. Kulihat piring dan gelasnya sudah kosong. Begitupun piring dan gelas di hadapanku.

“Saya mau langsung pulang aja, deh.”

“Saya antar.”

“Oh enggak usah, Bay, saya naik angkot aja,” jawabku tersenyum kalem.

Ia mengernyitkan dahinya,”kenapa?”

Ha? Kenapa apanya nih?

“Ehm, enggak apa-apa. Saya naik angkot aja, kamu bisa melanjutkan aktivitas kamu yang lainnya.”

Ia mengangguk-angguk mengerti, kemudian ia kembali tersenyum, sebuah senyuman hangat yang membuatku sepertinya harus siap-siap membuat janji dengan dr. Sutoyo, salah satu dokter jantung di Rumah sakit tempatku bekerja, aku benar-benar harus memperhatikan jantungku sedini mungkin bila melihat senyumnya saja sudah memberi efek seperti ini pada jantungku.

***

Sudah 2 kali aku bertemu dengan Abay, bertemu di luar untuk sekadar makan atau ia yang mengunjungi rumahku. Sepertinya Mama dan Tante Sri ini semangat sekali menjodohkan kami berdua. Abay sendiri? Datar, seperti robot berbentuk manusia kalau kubilang. Kami lebih sering saling diam, seperti biasa jika aku bertanya dia hanya menjawab seperlunya, atau sesekali menanyakan hal sebaliknya padaku, tapi hanya sedikit. Tentu saja aku yang lebih banyak berbicara, ah mulutku oh mulutku, rasanya gatal sekali kalau aku tidak berbicara dengan orang yang sudah beberapa kali kutemui. Tapi anak itu benar-benar, haaah. Aku curiga, jangan-jangan dulu saat Tuhan sedang membagikan suara di datang paling akhir karena menangkap penjahat terlebih dahulu, hahahaha krik...krik...krik. Kriuk. Garing.

Tapi setidaknya sikapnya justru membuatku nyaman. Ia sama sekali tak terkesan menggoda, hyaaa kaleee dia tergoda sama aku? Hahaha, tapi dia beneran sopan, nggak macem-macem. Mungkin karena pembawaannya yang pendiam. Nggak kayak calon-calon terdahulu yang terkesan agresif dan ngebet. Abay cenderung atau malah memang pasif. Sumpah deh, enggak kelihatan lagi nyari atau butuh istri seperti yang dikatakan Tante Sri. Oh, oke, emangnya aku ngarep dia ngebet ke aku, gitu? Haha in your dream, Fika!

Iya, aku sama Abay sih biasa aja, tapi malah mama yang mendadak lebay, kalau aku mendapat dinas siang, yang itu berarti mengharuskan aku pulang lebih dari jam 9 malam, mama jadi suka nyodor-nyodorin Abay sebagai tenaga supir antar jemput.

“Duh, anak perawan kok pulang malem sendirian, nggak takut kamu diperkosa di angkot kayak di berita itu. Kalau dijemput Abay kan aman, sekalian bisa pedekate,” Titah mama waktu itu. Bla bla bla, pulang malam sendirian dan di perkosa di angkot itu sungguh hanya alibi semata, yang sebenernya ya itu, PEDEKATE. Apa peduli pulang malem, toh ini bukan kali pertamanya aku pulang malam karena mendapat giliran jaga siang. Kenapa mama mendadak jadi manja begitu sejak ada Abay?

Aku berusaha terus mengelak, sebenarnya aku hanya meminimalisir acara khalwat-khalwatan. Cuma berduaan sama Abay di kendaraan? Hm…

Hari ini, aku dan Dini mendapat giliran yang sama. Jam 9 malam kami keluar dari rumah sakit, setelah itu kami menuju ke warung lamongan pinggir jalan langganan kami. Tak lama kemudian Agil—sahabat kami—datang menyusul kami. Bukan menyusul juga sih, hari ini Agil dapat bonus dari kerjaannya, dan ia berjanji untuk mentraktir kami. Aku, Agil, dan Dini sudah berteman sejak lama. Sejak SMA. Ditambah lagi kami kuliah di universitas yang sama. Aku dan Dini mengambil jurusan keperawatan sementara Agil lebih memilih memasuki jurusan akutansi. Tapi justru sejak kuliah itu lah kami menjadi dekat, merasa sama-sama jauh dari ornag tua dan berasal dari satu daerah membuat kami lebih kompak dalam hal apa saja, terutama kuliner, hahahaha.

“Gue, ehm... Bebek goreng sama es jeruk aja, Yo,”pesan Agil pada Tyo, seorang laki-laki berusia dua puluhan yang bekerja di warung itu.

“Gue lele sama tempe aja deh, minumnya jeruk anget, eh sama Ca kangkung ya, Yo. Yang pedes,” Sahut Dini.

“Kalo Mbak Fika?” tanya Tyo

“Ah, gue kayak biasa aja, Yo. Ayam dada sama jeruk anget,” Jawabku kemudian. Tyo bergegas meninggalkan meja kami.

“ Sering sering aja lo dapet bonus, Gil, biar sering sering juga traktir kita,” sahut Dini santai.

“Yeee itu mah maunya lo,” timpal Agil.

Selanjutnya kami mengobrol ngalor ngidul. Tentang pekerjaan, juga gossip teman-teman SMA yang ternyata banyak yang kena cinta lokasi. Dalam tahun ini aja ada 4 pasangan berasal dari angkatan kami yang menikah, hahaha. Oh ya, aku jadi mikir, beberapa tahun ini kami bertiga sering jalan bareng. Bahkan ada yang ngira kalau Agil bakal jadi sama salah satu dari kami, aku atau Dini. Sama aku? Kayaknya enggak. Gimana kalau Dini sama Agil? Mereka kan sama-sama gila dan sekarang ini lagi sama-sama jomblo.

“Eh by the way, kalian kan lagi sama-sama jomblo. Nggak kepikiran buat pacaran gitu? Atau langsung nikah aja mungkin?” ujarku.

Mereka saling memandang kemudian tertawa bersama-sama.

“Huahahahahaha pacaran sama badak bercula satu ini? Ogaaaah! Eh tapi jujur aja ya, sebenarnya gue lebih mengharapkan kalian berdua yang pacaran,” Sahut Dini santai. Asal tahu saja, ini tahun kedua Dini Jomblo, dan Agil baru saja move on setelah putus dari pacarnya beberapa bulan lalu.

“Yang pasti gue nggak mau pacaran sama kalian berdua. Kayak pacaran sama kloningan sendiri tau nggak?” Timpal Agil. Ah iya, benar juga sih, lagian apa enakan pacaran sama temen sendiri, apalagi temen model Agil.

“Ogah amat gue kloningan sama elu,” sahutku kesal. Enak aja, masa klonengan ama Agil. Mending klonengan ama Dian Sastro.

“Gue juga ogah!”seru Dini lagi. Kami berdua tertawa, kasihan, nggak ada yang sudi se-kloning sama Agil, bahkan kami sahabatnya sendiri, hahahaha.

Agil mencebik,” lagian lo kenapa pada kepikiran begitu sih, eh jangan-jangan kalian ini sebenernya diem-diem ngefans ya sama gue?”

Aku dan Dini saling memandang kemudian kompak menjawab,”Ogaaaaaaah!”

“Kayak kebagusan aja lo!” sahut Dini asal.

“Tau nih, pede banget sih!”

“Iya deh iya, lagian sensi amat ini perawan tua,” ujar Agil masih menahan tawanya. Perawan tua? Grrrr....

“Eh kita seumuran ya. Kalau gue tua kalian juga tua. Gimana sih?” sewotku.

“Hahahahaha,” mereka tertawa lagi. Yee, si Dini juga ikutan sableng. Kalau aku dikatain perawan tua berarti dia juga dong, kita kan seumuran meskipun aku lebih tua 2 bulan dibanding dia. Tapi kita lahir di tahun yang sama. Dan aku tidak akan menyebutkan tahun berapa aku lahir, itu terlalu menyayat hatiku.

Tawa kesurupan mereka berhenti ketika Tyo datang mengantar minuman kami dan ikut tersenyum melihat kami bergurau.

“Tante Fika?” aku menoleh dan mendapati seorang gadis tinggi semampai dengan senyum manis karena eye smile yang di milikinya. Senyuman khas yang menjadi favoritku bahkan sejak ia masih kecil.

“Eh, Farah, darimana kamu?” tanyaku pada gadis itu, namanya Farah, satu dari sekian banyak keponakanku. Ia cucu dari kakak tertua mama. Ah, akan sangat panjang jika kujelaskan silsilah keluarga besarku, yang jelas ia memang keponakanku meski kami hanya berjarak 8 tahun saja.

“Hehehe, tadi abis maen ke kos temen, kelaperan sekalian mampir beli makan,” Jawabnya manis.

“Sama temen-temen, Tan?” matanya beralih kepada Dini yang sedang tersenyum ke arahnya, dan Agil yang sedang melongo memandangnya, untung saja air liurnya tidak menetes. Ih, itu orang pasti naksir Farah deh.

“Iya, kamu sendirian?”

“Enggak, sama temen,” Ia menoleh dan saat itulah satu temanya muncul. Cantik, lebih cantik dari Farah sebenarnya, hanya saja wajahnya tak seramah Farah.

“Gina, nih kenalin Tante gue, Tante Fika,” ujarnya memperkenalkanku.

“Tante?”Ujarnya dingin sambil menaikkan alisnya dan memandangiku seolah aku ini seorang tersangka, ih dasar anak kecil. Aku tersenyum dan ia mengabaikanku, ih kayaknya bibt-bibit songong deh.

“Mau gabung disini?” tawarku basa basi, ih aku sih mau aja gabung sama Farah, tapi kalau sama temannya itu, aduh.

“Farah, itu ada meja kosong,” sahut temannya itu yang dengan sangat gamblang menunjukkan bahwa ia enggan satu meja dengan kami.

“Ehm, kami disana aja deh, Tan,” ujar Farah terlihat canggung, mungkin tidak enak. Aku hanya tersenyum mempersilakan. Mereka duduk di meja belakang tempat Agil dan Dini duduk.

“Itu beneran ponakan lu, Fik? Cantik euy! Kenapa gue baru tau kalo elu punya ponakan secakep gitu?” Ujar Agil dengan mata berbinar.

“Udah tunangan dia, jangan diganggu!” sahutku sedikit kesal, tentu saja! Farah baru saja semester 6 dan pacarnya itu bahkan sudah melamarnya, sementara aku? Kugigiti sedotanku kesal mengingat hal itu, sekalipun aku turut bahagia atas kebahagiaan keponakan tersayangku itu.

“Yaaahhh,”

“Hahahahahaha kasian deh lu!” cibir Dini. Aku ikut tertawa, padahal kalaupun sama Agil aku setuju kok. Meskipun nggak cakep, tapi Agil cukup manis dan yang pasti dia pria baik-baik.

“Eh tapi songong amat tu temennya, padahal aslinya lebih cantik.” Komentarnya lagi, kayak emak-emak.

“Huu, dasar mata keranjang!” sahut Dini.

“Yeee daripada mata gayung? Mending keranjang sekalian muat banyak.”

“Huahahahaha gelo siah!”

“Iya eh, belagu! Hah dasar anak muda!” jawabku ikutan bergosip.

“Duuuh Faraah ini kenapa menunya gorengan semua begini? Kalau gini caranya bisa gendut gue, aturan makan salad aja jam segini,” sebuah suara omelan yang bisa kupastikan berasal dari suara gadis itu. Hanya ada 4 wanita dalam warung tenda ini, aku, Dini, Farah, dan temannya itu. Aku seratus persen yakin itu bukan suara Farah.

Aku, Agil, dan Dini terkikik menertawai gadis itu,” Ih, cantik-cantik sableng! Mana ada salad di warung lamongan begini?” bisik Agil. Kami tertawa lagi, saat itu Tyo datang membawa pesanan makanan kami itu terkikik geli.

“Yo! Lu kasih dia lalapan aja gih, kalo perlu kemanginya doang!” ujar Agil lagi.

Tyo menatap kami bingung, dan tawa kami benar-benar pecah, sebodo amat gadis itu sadar atau tidak kalau sedang kami tertawakan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience