APAAAAA???APA APAAN? Hyaaaaaa jadi calon yang diajukan oleh Tante Sri itu anaknya sendiri? Aduh kepalaku! Kepalaku, aduh! Ini emak-emak pada kenapa? Apa mempromosikan anak sendiri itu sedang menjadi tren?
Tante Sri sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Beliau bercerita panjang lebar tentang putranya, yang dinilai siap untuk menikah. Tetapi berhubung putranya ini belum ada pacar, akhirnya dia mempersilakan Tante Sri untuk mencarikan calon yang cocok untuknya. Abay yang ini itu ini itu. Oh iya sih aku dengerya yang baik-baik. Ya iyalah, namanya juga lagi dipromosi. Mana ada sales yang mempromosikan kecacatan barangnya, ups!
Saat ini aku sedang terbengong-bengong dengan suksesnya di kamarku sendiri, setelah aku menghabiskan waktu selama setengah jam di kamar mandi. Untuk apa? 20 menit untuk syok dan 10 menit untuk mandi dalam keadaan syok.
Aku menatap cermin di kamarku, memperagakan bagaimana senyum mirisku tadi saat Tante Sri dengan sangat berbinar mengatakan dengan sangat lantang dan berbinar bahwa beliau berharap gadis yang cocok untuk putranya adalah aku. Ulala.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri, ternyata ekspresi senyum mengerikanku tadi benar-benar mengerikan. Tapi lebih mengerikan lagi adalah sosok pria yang sedang direkomendasikan itu. Oh… liatlah tadi ekspresi kaget campur berbinar dari raut wajah Mama tadi, ish benar-benar sekongkol. Bagaimana mungkin mereka berdua bisa menggunakan ekspresi yang sama yang membuatku ngeri sekaligus ingin kabur?
Sebenarnya masalahnya tidak terletak pada ekspresi kedua emak-emak yang sedang kena sindrom makcomblang gratisan itu, tapi masalah yang sesungguhnya adalah pada perjodohan itu dan tokoh dari korban perjodohan itu. Mungkin tidak bisa dikatakan perjodohan juga. Mereka bilang sih hanya perkenalan, siapa tahu cocok, kalau nggak cocok pun nggak apa-apa. Tapi bagaimana mungkin seorang Rafiqoh Khairiyanti alias Fika alias diriku sendiri. Seorang gadis berusia 28 tahun yang cantik, seksi, imut, dan kalem ini dijodohkan pada seorang Titok Bayu Kresna alias Abay alias anak dari Tante Sri, alias laki-laki yang baru berumur 24 tahun. Catat! 24 TAHUN. DUA PULUH EMPAT TAHUN! Dia bahkan cuma berbeda 4 tahun dengan Oka, adik semata wayangku yang anehnya nggak ketulungan. Oke nggak usah bahas Oka sekarang. Sekarang tentang Abay, aduh. Bagaimana mungkin mama dengan begitu teganya, oke ralat, mama memang selalu tega kalau berhubungan denganku. Tapi Tante Sri? Sebegitu teganya kah ia menyerahkan putra pertamanya yang masih unyu-unyu itu ke tangan seorang tante-tante imut sepertiku? Baiklah kiasan itu sepertinya kurang baik untuk reputasiku. mama, aku tahu mama memang sedikit desperate dengan masalah jodohku, tapi menyerahkanku pada laki-laki yang baru berumur 24 tahun? Yang masih sedang dalam masa pertumbuhan itu? Sungguh terlalu!
Aku kembali mengingat ingat wajah seorang Abay yang pernah aku temui bertahun-tahun lalu. Kira-kira berapa tahun ya? Lebih dari 15 tahun yang lalu, saat itu aku baru memasuki bangku SMP, dan waktu itu aku datang ke Bandung dalam rangka liburan sekaligus menghadiri acara khitanan Abay. Nah! Lihatlah, dari kilasan balik ini saja sudah sangat mengerikan. Seorang gadis yang bahkan sudah memasuki masa puber bisa di jodohkan pada anak yang baru saja disunat?! Sungguh terlalu!
Aku mulai menyuapkan nasi kedalam mulutku. Iya, sekarang posisiku sudah di ruang makan dengan sepiring nasi, sayur sop, dan tempe goreng kesukaanku. Aku juga tidak sadar sejak kapan berada disini, berpikir selalu mendorongku untuk menuju ruang makan dan berakhir dengan aktivitas yang sangat kukagumi, makan.
Aduh Mama dan Tante Sri pasti sudah resmi gila. Abay… Abay… Abay sebenarnya tak terlalu buruk, saat aku bertemu dengannya, dia masih anak kelas 3 atau 4 SD yang lucu dan imut, tubuhnya gendut dan pipinya chubby, lucu. Aku bahkan berniat menjadikannya adik angkatku kalau dia dibuang orangtuanya. Nah! Liat lagi konteks pemikiranku, menjadikannya adik angkatku, dan sekarang? Malah dijodohkan, mau dijadikan suamiku? Aduh, kepalaku!
“Kamu kenapa sih ngotot banget nggak mau ketemu sama Abay? Kan cuma ketemu Fika, nggak bakal dipaksa kawin,” sahut mama tiba-tiba sudah duduk disampingku, yang saat ini sudah berada di sofa ruang tengah, tempat kami biasa menonton drama korea bersama kalau sore-sore begini. Nah kan! Aku sudah pindah tempat lagi. Berpikir memang membuatku tidak sadar keberadaanku.
“Ya sih nggak dipaksa kawin, sekarang. Nanti-nanti? Lagian Mama ih, masa iya Fika mau dijodoh-jodohin sama anak kecil begitu.”
“Anak kecil? Jee… anak kecil yang bisa diajak bikin anak kecil maksud kamu?”
“ Jee… Si Mama, tapi kalo bikinnya sama anak kecil, entar jadinya liliput gimana?” kilahku lagi, oke, pembicaraan ini sudah tidak normal menurutku.
Mama mencibir kesal,” Kenapa sih? Lagian Abay juga udah gede, udah kerja, jelas dari keluarga baik-baik, imut pula.”
“Iya, dulu imut, kalo sekarang amit-amit gimana?”
“Nggak mungkin, Abay itu imut.”
“Dih, Mama sok tahu deh, emangnya Mama pernah ketemu sama Abay?”
“Pernah dong.”
“Kapan?”
“Dulu waktu dia sunatan.”
Yee… si Mama, kalau itu aku juga ketemu!
Aku hanya melengos kesal, susah deh ngomong sama mama.
“Enggak ah Ma, masa Fika nikah sama berondong? Entar apa kata dunia? Kayak tante-tante haus kasih sayang berondong aja deh.”
“Nah! Itu kamu ngaku udah tante-tante, kenapa nggak kawin-kawin?”cibir Mama, aduh salah lagi! Iya ya, kenapa aku bilang ‘ tante-tante’ ih, emang nggak bisa bohong nih umur.
“Nikah Ma, Nikah. Bukan kawin.”
“Kan abis nikah langsung kawin,” ujar mama nggak mau kalah. Serah deh serah.
“Ih Mama gemeeeees deh sama kamu,” ujar mama lagi terlihat gregetan padaku, tapi lucu, hehehe aku hanya meringis.
“Ye… salah siapa emang? Dulu pas Fika pengen nikah nggak dibolehin, eh sekarang udah nggak pengen malah di paksa-paksa,” ujarku santai.
Mama melirikku kesal, “ Gimana Mama mau ijinin kalau kamu nikahnya sama rocker ketombean nggak jelas begitu?”
Aku hanya nyengir mengingat kejadian beberapa tahun lalu, saat itu aku baru berusia 21 tahun, baru saja lulus dari D3 keperawatan. Dan aku memang berniat menikah dengan Riki, pacarku sejak SMA, seorang anak band. Ya… dulu kan aku masih alay, jadi masih suka kemakan rayuan cowok macam Riki yang gayanya keren banget menurutku, yah meskipun memang ketombean, oke kalau yang satu itu aku khilaf. Riki terlalu ganteng untung diingat seberapa banyak ketombenya sebagai bentuk kekurangannya. Tapi sudahlah, toh setelah itu aku putus dari Riki dan melanjutkan studiku ke S1 keperawatan. Sementara Riki, kudengar dia sudah menikah dan pindah ke Yogyakarta, menjadi pengajar di sebuah sekolah musik.
“Dikasih yang lebih tua nggak mau, yang muda juga nggak mau, jadi kamu maunya apa sih? Jangan-jangan kamu masih ngarep ya sama Dito?”
Aku hanya menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Jadi, Dito adalah tetanggaku, sekaligus mantan pacarku. Pacar lima langkah dong, hehehehe. Jadi singkat cerita, aku dan Dito pacaran setelah aku putus dari Riki, sebenarnya kami sudah saling menaksir sejak masa remaja, tapi karena sama-sama malu-malu kucing kecebur got, akhirnya kami baru melangsungkan perpacaran kami itu setelah aku lulus kuliah. Dito berusia 2 tahun di atasku, ganteng dan kalem. Berbeda dengan Riki yang bad boy, Dito ini versi good boynya, hangat dan suami-able banget. 2 bulan masa pacaran yang manis, kami putus karena terhalang restu orangtua. Nggak tahu kenapa Mamaku ini nggak suka banget sama Bu Harun, mamanya Dito. Tapi Bu Harun emang rada-rada sih, dan beliau juga dengan terang-terangan menolakku. Ya… cinta sih cinta tapi kalau menyangkut orangtua aku tak berani, takut kualat. Apalagi kalau harus punya mertua kayak emaknya Dito, waduh aku juga pikir-pikir deh.
Kami putus, dan 1 tahun lalu Dito resmi menikah dengan gadis pilihan ibunya. Aku juga datang di pernikahannya, kami memang memutuskan berteman sejak kami putus, apalagi kami juga tetangga. Ah rasanya sayang kalau mengingat manisnya hubunganku dengan Dito. Tapi ya sudahlah, mungkin kami memang tidak berjodoh. Setelah putus dari Dito itulah aku tak pernah lagi berpacaran, dua bulan yang singkat, manis, dan membekas. Membuatku kembali berpikir tentang arti sebuah pasangan.
“Apaan sih Mama, Fika sama Dito udah nggak ada apa-apa, lagian gara-gara siapa dulu Fika putus sama dia, jadi jomblo abadi deh,” ujarku melirik Mama, bukan bermaksud menyalahkan beliau, hanya ingin mengerjai saja, hehehe. Dan benar, raut wajah Mama langsung berubah.
“Kan Mama nggak nyuruh kalian putus,” jawabnya lirih, hehehe aku jadi ingin tertawa, Mama polos banget deh ah.
“Iya deh iya,” aku nyengir lucu.
“Jadi kamu mau sama siapa Bagas? Atau Abay?” Tanya mama mengalihkan pembicaraan lagi.
Aku meliriknya kesal,” Iko uwais!” jawabku ketus.
“Ih, kan udah jadi suaminya Audy, lagian Iko mana mau sama kamu?” cibir mama.
“Ya abis, Mama udah deh, kenapa sih buru-buru banget pengen jodohin Fika? Fika masih seneng kok manja-manjaan sama Mama, belum mau manja-manjaan sama yang lain…” ujarku sambil memeluk mama dari samping, tapi sejujurnya memang itulah yang kurasakan. Bersama dengan mama yang cerewet, adik yang aneh, dan papa yang pendiem misterius.
“Mama tahu, Mama juga maunya kamu nggak kemana-mana, tapi kamu juga harus inget umur dong, Mama kan juga pengen nimang cucu Mama sendiri, bukan cucu-cucu sepupu-sepupu kamu, bukan cucu-cucu temen-temen Mama. Lagian Mama suka sedih kalau denger Mamanya Dito koar-koar seneng banget kamu belum nikah sementara Dito udah nikah,” ujar mama terdengar sedih, aku jadi ikut terharu. Ah sudah kuduga Mama Dito yang ‘rada-rada’ itu jadi salah satu biangnya.
Aku melepas pelukanku, agak malas dengan keadaan melankolis begini.
“Ya… Mama jangan gitu juga dong, jodohin Fika sama Oom-Oom. Kalo Oom-Oomnya kayak Song Seung Hoon atau Park Si Hoo sih nggak apa-apa, lah ini? Gantengan juga Jarwo kuat,” cibirku.
“Lah, kamu seleranya yang kayak Jarwo kuat?” ujar mama lagi, nggak nyambung lagi.
“Idih Mama mah.”
Mama tertawa lepas. Aku hanya tersenyum kecil, senang rasanya melihat Wanita yang berusia hampir setengah abad ini tersenyum dan tertawa seperti ini.
“Barusan Tante Sri nelpon, katanya besok siang kamu disuruh ketemuan sama Abay dulu,” kata Mama dengan wajah serius lagi.
Uh! Ketemuan lagi. Sebenarnya aku malas ketemuan lagi ketemuan lagi. Tapi ini ikhtiar mama, juga ikhtiarku dalam mencari jodoh. Aku selalu berusaha menjaga agar tak terlalu intens berhubungan—baik melalui telepon, sms, atau bertemu—dengan calon-calon yang diajukan mama. Malas berhubungan nggak jelas sama laki-laki. Mama kularang memberikan nomor ponselku, kalaupun bertemu aku juga selalu meminta di tempat umum. Pokoknya sebisa mungkin menjauhkan diri dari khalwat dan modus-modusan deh.
“Ketemu dulu Fika, kalau saling cocok Alhamdulillah. Kalau enggakpun kan bisa sodaraan. Nambah relasi,” Lanjut mama lagi sebagai kalimat andalan kalau aku menolak perjodohan.
Aku hanya menatap wajah mama yang masih tetap cantik walaupun sudah berumur, apa salahnya aku mengikuti acara perjodohan beliau, meskipun calonnya aneh-aneh. Lagipula itu kan Abay, kalaupun tidak anggap saja reuni. Bagaimanapun kami pernah saling mengenal saat remaja.
“Oh iya, si Bagas juga hubungi Mama terus tuh, nanyain kamu…”ujar mama tiba-tiba. Lha…lha…masih ada ya orang itu, ups!
“Hah? Terus Mama bilang apa?”
“Mama bilang aja ternyata kamu udah punya calon yang kamu ajuin sendiri.”
Haaah? Kapan aku mengajukan calon?
“Jiaaaah, Mama bohong dong?”
“Bisa jadi itu bukan kebohongan sih, kalau kamu membuatnya itu bukan kebohongan.”
“Ha? Maksudnya?”
Mama menatapku serius,”Mama anggap calon yang kamu ajuin itu Abay.”
“Lho? Lho? Kok gitu? Kan bukan Fika yang ngajuin?” aku masih kebingungan dengan ucapan mama. Sumpah. Gagal paham.
“Ya, tadi kan Mama bohong bilang kalau kamu udah ngajuin calon sendiri. Tapi itu bisa nggak jadi bohong kalau kamu beneran mau sama Abay.”
“Yaelah Mama, bohong mah bohong aja.”
“Emang gara-gara siapa Mama jadi bohong begitu?”
Aku mengkeret. Ya… masa gara-gara aku?
“Gini aja deh, ini si Bagas kayaknya beneran mau sama kamu. Kalau kamu lancar prosesnya sama Abay, bakalan lebih mudah buat bikin si Bagas mundur. Tapi kalau enggak…”
“Mama mau paksa Fika sama Bagas?” tanyaku ngeri. Aduh kenapa jadi kayak di sineton-sinetron gini?
“Ya daripada kamu nggak laku-laku? Ini masih untung ada yang mau. Inget umur Fika, coba berapa banyak lelaki yang suka perempuan seumuran atau yang lebih tua? Mereka biasanya cari yang lebih muda.”
“Tapi, Ma… Jodoh kan udah diatur, yakin deh nggak bakal ketuker atau telat atau kecepetan datengnya. Pasti tepat waktu.”
Mama mengembuskan napas berat kemudian menatapku sedih,”Tapi gimana kalau Bagas adalah lelaki terakhir yang memintamu untuk menjadi istrinya, Fik?”
Aku tersentak kaget, lelaki terakhir? Bukan, bukannya aku tidak percaya pada qada dan qadar. Bagaimanapun aku pemegang kuat keyakinan bahwa jodoh itu pasti ada. Kalaupun nggak di dunia, pasti di akhirat. Aku juga percaya bahwa jodoh bisa jadi perantara untuk beribadah lebih baik kepadaNya. Ya, nikah adalah ibadah. Tapi tetap saja amalan masing-masing yang mengantarkan ke surga atau neraka, kan? Nah, kalau lagi waras sih bisa mikir beginian, coba lagi kumat pengen nikahnya? Tapi setelah ketemu tiga calon yang rada-rada, hasrat ingin nikahku berasa mblesek sedalam-dalamnya ke dalam tanah.
Tapi rupanya memegang keyakinan itu saja nggak cukup, ada mama papa yang harus kuperhatikan hatinya, aku hanya mampu melihat wajah sedih sekaligus kekhawatiran dari mama tanpa berani menjawab apa-apa. Aku juga ingin menikah, sungguh. Bukan sekadar untuk menyenangkan kedua orangtuaku. Tapi juga untuk kebahagiaanku, dengan lelaki pilihanku.
Share this novel