Aku masih terbengong-bengong hingga sampai di rumah. Iya sih memang kebiasaanku jadi suka bengong. Sejak kejadian di rumah makan tadi dan di perjalanan tadi aku setengah sadar gara-gara sibuk berpikir? Untung nggak nyasar atau kebablasan waktu naik angkot tadi. Baiklah, mari kita runtut kejadiannya. Aku sedang makan bersama Abay, tiba-tiba saja ada bocah karbitan datang dan mepet-mepet Abay, udah gitu manggil-manggil Tante lagi, ih! Dan satu kalimat Abay yang akhirnya membuatku sampai pada tahap ini. Aku segera berpamitan pulang setelah cuma bisa bengong dan sama sekali nggak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Gadis itu marah, dan oh aku lebih mikirin nasib kenapa si Abay jadi ngaku-ngaku aku sebagai calon istrinya? Ngelamar juga belum? Masa iya dia naksir aku? Nggak ada kode sama sekali! Dan kemungkinan terakhir membuat aku harus sedikit tahan napas. Abay sedang berusaha membuat gadis itu cemburu, atau aku dijadikannya alibi untuk menghindari gadis itu? Aku lalu memutuskan untuk berpamitan pulang terlebih dahulu. Abay sempat mencegahku dan berkeras ingin mengantarku. Tapi aku menolak halus dan memilih naik angkot seperti biasa. Aku nggak tahu lagi apa yang terjadi pada mereka setelah aku pergi. Tapi ternyata, Abay mengikuti angkot yang kutumpangi dengan mobilnya.
Ia mengejarku sampai ke rumah.
“Ngapain kamu ngikutin saya?” sembur saya langsung begitu sadar dia ternyata ada di belakang saya.
Abay dengan gaya cool-nya mengangkat bahu santai.
“Mungkin ada yang mau dibicarakan, setelah kejadian tadi?”
“Enggak. Emang mau omongin apa?” tanyaku dengan nada sedikit ketus, sebenarnya memang harus ada yang diomongin sih, tapi sebenarnya aku juga bingung. Lagipula kok kayaknya aku nggak siap kalau harus mendengar kenyataan kemungkinan bahwa Abay menggunakanku untuk membuat gadis tadi cemburu.
“Abay,” panggilku sedetik setelah ia berbalik, hendak menuju mobilnya setelah berpamitan. Ia menoleh dan menatapku datar. Aku berjalan mendekatinya.
“Iya. Kayaknya kita emang perlu ngomong,”ujarku langsung. Ya apapun kenyataannya, hal ini nggak bisa dibuat berlarut-lerut, enak aja mau dimainin anak kecil, hiiih.
Ia mengernyitkan keningnya.
“Maksud kamu apa ngaku-ngakuin saya sebagai calon istri kamu?” tanyaku, agak sedikit ketus juga sih.
Dahinya masih berkerut, tapi detik berikutnya ia kembali tersenyum tenang.
“Pokoknya saya nggak ikutan ya urusan kamu sama cewek tadi. Kalau kamu pengen bikin cemburu dia atau pengen menghindar dari dia, Bukan gini caranya. Kalau kayak gini kan jadinya nggak enak semua. Dia salah paham, dan aku....” aku langsung bungkam begitu merasakan tangannya memegang tanganku lembut. Aku membelalak kaget kemudian cepat-cepat menarik tanganku dari genggamannya. Jantungku kali ini benar-benar dibuat jumpalitan, antara rasa kesal juga karena… ini pertama kalinya kami bersentuhan.
“Maaf,” Ujarnya saat merasakan hawa tidak enak. Enak aja pegang-pegang belum juga mahram, ih!
“Kamu kan memang calon istri saya,” lanjutnya kalem.
“Enak aja! Sejak kapan?!” semprotku langsung. Ia kembali tersenyum kalem.
“Sejak Mama bilang kita dijodohkan.”
Aku melotot lebar. Heh?! Perjodohan apaan? Perjanjiannya kan cuma kenalan dulu. Kalau cocok lanjut kalau enggak anggap menyambung tali silaturahim, dan enggak ada tanda-tanda kecocokan tuh. Ngobrol aja jarang gimana mau cocok-cocokan?
“Kita? Dijodohkan?Bentar! Ini kayaknya salah paham deh!” sahutku cepat.
” Mama bilang pengen punya mantu Fika.”
Aku melotot lagi. Tante Sri... dan eh, kenapa dia jadi manggil aku Fika? Aku mengalihkan pandanganku darinya, malu juga biasanya dia panggil aku ‘Mbak’ dan sekarang Fika saja.
“Kan Mama kamu yang pengen, kamu nggak harus terima, kan?” jawabku lagi. Enak aja! Dia mau nikah sama aku cuma gara-gara mamanya aja gitu? Ih, nggak banget deh. Bakti sih boleh, tapi kalau nikah tanpa cinta? Sori mayori ye.
“Aku terima kok.”
Oke, hari ini Abay memang aneh, atau jangan-jangan yang didepanku ini bukan Abay, tapi kembarannya. Eh tapi Abay kan nggak punya kembaran, atau barangkali kembarannya baru ketemu kemarin-kemarin seperti sinetron-sinetron itu? Ya, Abay aneh hari ini, mulai dari mengklaim aku sebagai calon istrinya, manggil Fika-aja-, dan pakainya Aku-kamu, biasanya juga Saya-Mbak Fika, ckckck.
Tapi pernyataan Abay tentang penerimaannya atas perjodohan ini tak urung membuatku kebat-kebit juga. Ini bocah serius nggak sih?
“Kenapa?” Tanyaku pelan.
“Ya?” tanyanya tak mengerti, ih dodol deh!
“Kenapa kamu terima?” tanyaku lagi sambil membuang muka, salah-salah dia lihat wajahku yang mulai memerah.
“Mama...”kalimatnya terputus karna aku menoleh demi menatapnya.
“Jadi kamu mau nikah sama aku karna Mama kamu?” tanyaku sedikit kesal. Nasib bener deh, giliran ada yang mau nikahin bukan karna cinta, tapi karna bakti. Yaiyahlah, bocah kayak Abay mana doyan sih ‘Embak-Embak’ kayak aku gini.
“Mama bilang kamu pantas buat aku. Aku juga seneng kalau sama kamu.” jawabnya lagi.
Aku kembali mengalihkan pandanganku, memilih menatap pagar rumahku yang menjulang tinggi. Aku nggak tahu harus sebel atau justru... ah, sudahlah....
“Bukan berarti kamu bisa klaim aku sebagai calon istri kamu, kan? Kita belum benar-benar sepakat,” Ujarku mulai melunak.
“Kamu nggak setuju?” tanyanya lagi.
“Kayaknya konsep pernikahan kita beda deh. Aku nggak bisa nikah cuma sekadar buat berbakti sama orangtua aja, kalau kamu cuma pengen nikah karna pengen bakti, mungkin ada cewek lain yang bisa terima dengan konsep itu, tapi aku, nggak.” ucapku tegas. Mendadak dadaku sesak, aku ingat bagaimana dulu Mas Dito dan aku putus, kemudian ia memilih menikah dengan gadis pilihan ibunya. Apa Abay seperti itu juga? Lalu bagaimana nasib gadis yang –mungkin- sedang mencintai dan dicintai Abay?
“Aku percaya sama pilihan Mama. Bukan hanya karna itu pilihan Mama, tapi karna aku juga percaya sama kamu.”
Eh?!
“Tapi aku hargai kalau kamu menolak ini semua. Mungkin rasanya memalukan ya dijodoh-jodohin di jaman kayak gini?” lanjut Abay kali ini menatapku dengan penuh simpati.
“Bukan itu, tapi....”
“Tapi, boleh aku tahu bagaimana konsep pernikahan menurut kamu?” tanyanya lagi.
“Eh?”
“Definisikan konsep pernikahan yang kamu maksud, jika aku memenuhinya, nggak ada alasan buat kamu nolak lamaran keluargaku, kan?”
***
Abay, Abay, Abay, astaghfirullah, itu bocah kenapa malah muter-muter di kepalaku mulu sih, ckckck. Padahal, setelah hari itu, ia tak pernah lagi menghubungiku. Katanya sih lagi tugas di luar kota. Mama heboh banget. Malam itu ternyata mama mendengar percakapan kami. Ck, dan langsung antusias begitu dengar keluarga Abay bakal datang melamar, ckckck.
Berkutat dengan pekerjaan adalah salah satu cara agar nama Abay berikut orangnya lekas-lekas enyah dari pikiranku. Bahaya nih. Belum juga nikah, belum tentu jadi. Yang namanya lamaran mah masih bisa gagal, kan? Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pikiranku sedikit teralih saat melihat siluet Dini datang dengan wajah lempeng, membuatku sedikit khawatir. Akhir-akhir ini dia kayaknya desperate banget pengen nikah. Sampai-sampai tega betul melamar Dokter Adit, membuat Dokter muda pujaan kami itu serasa masuk rumah hantu kalau sedang visite di bangsal ini. Aku kadang terkikik geli melihat wajah Dokter Adit yang pias saat bertemu kami, terutama Dini. Sementara Dini masih dengan wajah lempengnya seolah tak terjadi apa-apa atas tragedi lamaran dadakan itu. Hahahaha.
“Lo beneran desperate banget ya pengen kawin?” tanyaku.
“Liatnya?”
“Banget sih,” aku nyengir.
Dini mendengus kesal.
“Tapi nggak Dokter Adit juga kali. Liat tuh dia jadi horor banget kalau lagi visite ketemu kita, hahahaha.”
Dini mengedikkan bahunya cuek.”gue kan cuma coba. Yakali diterima. Kalau ditolak yaudah sih. Harusnya gue yang malu. Kenapa malah dia yang belingsatan?”
“Halah. Kayak lo punya malu aja, Non!”
Dini cuma nyengir.
“Eh, kalau lo emang desperate banget. Kenapa nggak coba lamar Agil? Dia kan lagi jomblo juga tuh,” ujarku usil. Bayangin Agil dan Dini nikah? Pasti heboh banget! Hahahaha. Sama-sama bodor gitu.
“Udah.”
“HAH?!” aku melotot kaget. Dini beneran udah ngelamar Agil? Positif sableng nih bocah. Ckckckck.
“Tapi salah orang, ck!”
“Eh?!”
“Kemarin gue ke rumah Agil. Ngelamar dia. Mau ngajak kawin gitu. Eh malah dia ngilang, begitu gue nengok. Malah ada makhluk nggak jelas di depan muka gue.”
“Ha? Makhluk nggak jelas gimana, Din?”
Tiba-tiba aku membayangkan Dini sedang berbicara pada Agil tapi kemudian wajah Agil berubah jadi wajah-wajah menyebalkan macam wajah kolera seperti di film-film horror, hiiiy...
“Tau tuh! Kata Agil sih temen dia dari kecil, kebetulan lagi main disitu,” ujar Dini manyun,” Tengsin kan gue. Udah minta dikawinin, salah orang pula! Bah!”
Aku tergelak sejurus kemudian. Ya Allah, bocah ini yang positif gila. Dan kurasa aku nggak kalah gilanya sampai bisa-bisa bersahabat dengan makhluk macam Dini.
“Huahahahaha, terus-terus gimana?”
“Ya gue minta maaf lah, terus pamit pulang. Tengsin euy!”
“Makanya… ngebet sih lu!” ledekku lagi.
“Embeeer!” Dini mencebikkan bibirnya kesal.
“Eh ganteng, nggak? Lumayan tuh! Siapa tahu khilaf, terus mau sama lo, hahahaha,”
Dini menatapku sebal,” Lumayan sih, kata Agil sih baru pulang dari luar negri gitu,”
“Buidih! Kece amat! Ngapain di luar negri?”
“Tauk dah! Jadi TKI kali.”
Aku menoyor kepalanya,” Gelo siah!” Dini hanya tergelak, setidaknya saat bersama Dini, duniaku sedikit lebih berwarna dan tidak melulu tentang nikah, mama, dan Abay.
***
Jam 14.15, aku dan Dini berjalan beriringan keluar bangsal, sambil membahas beberapa pasien baru yang cukup menarik perhatian kami. Ada saja tingkah pasien yang kadang membuat kami sebal atau mengulum senyum, tapi itu semua bisa jadi menarik kalau aku sudah membahasnya dengan Dini. Langkahku terhenti saat di depan IGD, kulihat sosok lelaki yang sejak hari itu memenuhi otakku dengan tingkah-tingkahnya yang tak terduga. Abay. Tepat saat aku menarik lengan Dini untuk mengajaknya keluar lewat pintu lain, Abay menoleh dan mata kami bertemu, membuatku mengurungkan niatku, udah terlanjur ketangkap basah. Ia tersenyum lembut ke arahku, membuatku belingsatan sendiri, matilah aku. Ada Dini pula. Aku kan belum cerita sama Dini. Aku tetap mengikuti langkah Dini yang tetap cuek melenggang tidak menyadari kehadiran Abay dengan hati was-was.
“Gue mau ketemu Fanny dulu ya,” pamit Dini malah berbelok ke ruang perawat IGD, menemui Fanny, teman sejawat kami yang bertugas di ruang IGD. Meninggalkanku yang kini berdiri tak jauh dari tempat Abay.
Abay berjalan mendekat ke arahku.
“Hai,” Sapaku basa-basi,” Ngapain disini?”
“Ada saksi yang terluka,” jawabnya singkat.
“Ooh,”
Duh! Kok aku jadi salah tingkah gini, ya? Apalagi kalau ingat tanggal ditentukannya keluarga Abay bakal datang kerumah untuk melamarku secara resmi. Dan hari ini kami harus dipertemukan begini? Aku nggak siap.
“Bukannya harusnya kamu jaga malam?”
“Hehehe, tukeran sama temen.”
Abay tersenyum maklum, lagian dia inget aja kemarin aku bilang hari ini dapat jatah jaga malam. Kami terdiam lagi, aku juga sedang nggak mood ngomong. Aku tergagap saat melihat Dini sudah keluar dari ruang perawat, padahal baru saja aku berniat menyusulnya. Dini memicingkan mata saat melihatku berdekatan dengan Abay. Ia berjalan mendekat ke arah kami.
“Eh? Kok cepet, Din?”
“Fanny udah pulang, di dalem juga lagi pada sibuk.” Jawabnya, tapi jelas-jelas tatapan matanya menatap Abay dengan penuh selidik.
“Oh yaudah, kita pulang aja,” jawabku cepat kemudian menyeret Dini anpa berniat mengenalkan mereka,” Duluan ya, Bay, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Dini tak berkomentar apa-apa, tapi begitu sampai di lobby, ia menghentakkan tanganku yang kugunakan untuk sedikit memaksanya pergi dari ruang IGD.
“Tadi siapa?” tanyanya curiga.
“Abay,” Jawabku cuek, masih berjalan, Dini menjajari langkahku.
“Namanya Abay, jabatannya?”
“Dia bukan pejabat.”
“Maksudnya di kehidupan lo.”
“Anaknya temen Mama,” jawabku singkat, kemudian mempercepat langkahku. Dini mengikutiku, bahkan sampai di halte.
“Boleh juga tuh laki,” Komentarnya singkat saat kami menunggu Bus ditengah panasnya cuaca.
“Masih kecil dia,” Jawabku. Aku tahu dia sedang membahas Abay.
“Masa sih? Segede gitu?”
“Baru 24.”
“ Ya elaaah beda berapa tahun ini. Macho gitu,” Dini tersenyum geli.
“Genit banget sih, lu!”
“Biarin. Kenapa? Mau?” jawabnya mengolokku. Aku melengos. Nggak tahu aja dia.
Aku berdehem kecil,”Sebenernya dia calon yang diajuin ke gue,”akuku, rasanya memang sudah saatnya aku cerita ke Dini, sebelum dia mencak-mencak tahu yang sebenarnya bukan dari mulutku langsung.
“HAH?!”
“Kalau jadi,” Sahutku cepat.
“Ini bulan April, ya?”
Aku melotot ke arahnya, jeee dikira ini April mop apa.
“Bukan!” jawabku ketus, “Sorry, baru cerita. Gue juga nggak yakin soalnya,”lanjutku pelan.
“Eh? Seriusan, Fik?”
Aku mengangguk,” Anak temennya Mama, gue pikir juga nggak bakal jadi. Apalagi mengingat umurnya yang baru 24. Tapi rencananya keluarganya bakal dateng, ngelamar secara resmi.” Ujarku tanpa semangat. Kualihkan pandanganku pada lalu lalang kendaraan.
“Lo, masih ragu, ya?” tanya Dini pelan. Aku menoleh ke arahnya, dan cuma meringis. Ragu? Mungkin.
“Kenapa? Dito? Lo masih cinta sama dia?”tanyanya lagi dengan mimik serius.
“Cinta? Emang cinta itu apaan sih?”tanyaku jahil, mencoba merubah arah pembicaraan yang sedikit sensitif untukku.
“Gue tahunya cincau bukan cinta!” jawabnya kesal karena aku mengalihkan pembicaraan.
“Hahahahaha, ih sewot! Sewot!” aku menjawil-jawil dagunya, Dini lucu kalau lagi sewot gini.
“Ya abis lo gitu deh. Lo masih cinta yang sama laki orang tu, sampai-sampai ngeraguin cowok keren di depan lo itu.”
Aku cuma nyengir, bingung juga mau jawab apa. Aku lagi kalut.
“Cengengesan lagi! Ck, emang lo masih cinta beneran ya sama Dito?”
“Hmm... Cinta? Setelah kegagalan 2 kali tanpa hasil? Sorry, tapi definisi cinta gue udah berubah sekarang.”
“Gaya banget sih, lagak filsafat aja. Emang sekarang definisi cinta lo itu apa?”
Aku nyengir kuda ke arah Dini,”Cinta?”
“Cintaku itu kamu, halalku!” Godaku sambil menjawil dagunya, kemudian beranjak saat Bus yang akan kutumpangi berhenti di depan kami.
“Idih! Najrong!”Sengit Dini. Hahahaha.
Share this novel