EPILOG

Romance Completed 38734

Mama bilang, Abay selalu berhasil menghamiliku setelah menyelesaikan kasus besar. Aku nggak tahu juga Mama dapet teori itu darimana, tapi aku memang hamil anak pertama setelah Abay dan timnya berhasil menyelesaikan kasus pembunuhan yang cukup kusut. Pelakunya adalah putra dari pejabat teras, korbannya masih ada hubungan saudara. Kasus yang membuat Abay dan timnya lembur berhari-hari. Ke luar kota. Bukti-bukti yang dihilangkan, Pokoknya sibuk dan heboh banget deh.

Sebelumnya kami usaha apaa aja biar cepat dikasih momongan, mulai dari yang masuk akal sampai yang nggak masuk akal. Mulai dari bulan madu sampai minum jamu, pokoknya semua deh. Tapi aku hamil justru satu bulan setelah kasus itu selesai, putra pertama kami lahir secara normal, kami memberinya nama Ghazi, panggilannya Ozi. Satu tahun kemudian, Abay dan timnya kembali dihadapkan pada kasus besar, penangkapan gembong narkoba besar yang membuat salah satu anggota timnya harus menjadi korban. Setelah kasus itu selesai, Fatima lahir. KB? Jangan ditanya, setelah hamil Ozi aku memakai KB IUD yang konon tingkat keberhasilannya tinggi, nyatanya aku ternyata termasuk kedalam kategori yang tingkat kegagalan yang rendah itu. Setelah Ima lahir aku bahkan memakai 3 metode KB sekaligus. Kalender, CI, dan pil. Tapi tetap saja aku was-was saat enam bulan kemudian Abay kembali berhasil menangani kasus yang sulit, kali ini kasus pembunuhan yang justru melibatkan orang kepolisian. Dalang dan para tersangka begitu piawai menyembunyikan bukti-bukti. Saat pulang dengan wajah penuh kelelahan sekaligus lega, Abay memelukku erat. Membuatku kembali teringat teori mama yang sedikit mulai kupercayai kini.

“A, Ima baru 6 bulan…” ujarku ngeri membayangkan kalau kali ini Abay kembali berhasil menghamiliku. Ya… nggak apa-apa sih, tapi jangan sekarang juga, kali. Mana ini masa suburku.

“Emang kenapa?”

“Nanti kalau kata Mama bener, gimana?”

“Kata Mama yang mana?”

“Itu… Aa bisa bikin Fika hamil kalau abis dapet kasus besar.”

Abay tersenyum geli, “katanya mau punya anak banyak?”

“Yaa… nggak gini juga kali, A…”

“Ya… masa ditunda sih, Sayang?” ujarnya dengan wajah merana.

“Emangnya Aa nggak takut punya anak banyak, biayanya makin banyak lho A,”

“Kenapa harus takut kalau Mamanya aja sehebat ini?” pujinya membuatku senyum malu-malu. Deuh, kalau ada maunya aja… pinter banget ngerayunya.

“Semut aja dikasih rezeki, masa anak kita enggak sih, Sayang,”lanjutnya lagi kembali memelukku erat.

***

“Berapa minggu?” tanya Oka menatapku ngeri saat aku bilang kalau aku hamil lagi.

“8 minggu.” Jawabku mantap, sambil mengawasi Ozi yang sibuk berkeliaran di antara rak- rak baju. Ima kutitipkan pada mama, sementara Oka kuminta untuk menemaniku berbelanja bulanan, sekaligus membelikan pakaian untuk Ozi dan Ima. Karena Abahnya, si Abay sedang tugas ke luar kota.

“Hobi bener bikin anak,” Komentarnya.

“Nanti kamu juga, makanya buruan nikah,” godaku sambil memilihkan kaos untuk Ozi.

Oka mencibir penuh, hm… kata mama sampai sekarang Oka belum ada tanda-tanda punya pacar, ya aku sih berharapnya Oka nggak pacaran. Langsung nikah aja, toh ia sudah menjadi dokter sekarang.

Aku mengamati sebuah kaus berwarna biru laut, warna kesukaan Ozi. Duh, kira-kira cukup nggak, ya?

Mataku berkeliling mencari Ozi yang memang hiperaktif. Untuk keadaan toko tak terlalu ramai, nggak kuatir amat kalau itu bocah ngilang. Saat itulah kutangkap sosok mungil itu sedang bengong di sebelah sebuah manekin anak.

“Ozi! Ngapain di situ? Sini, cobain bajunya, Nak,” panggilku membuat bocah itu menoleh.

Mata beningnya menatapku polos,”Bentar, Ma, ada cewek cantik,” ujarnya kembali memfokuskan pandangannya pada gadis mungil yang mungkin seusia dengannya sedang mengikuti sang Bunda yang tengah memilihkan baju di rak-rak baju cewek.

Aku menutup mulutku dan membulatkan mataku. Haduuuuh darimana bocah segitu ngerti cewek coba? Yakin 100% bukan Abahnya yang ngajarin. Abahnya godain aku aja jarang, apalagi godain cewek lain sampai ngajarin anak godain cewek?

Ini pasti ada tersangka lain nih. Aku segera mendelik ke arah Oka yang pura-pura melihat ke arah lain dan mengalihkan perhatian.

“Eh, itu kayaknya bagus buat Ima,” ujarnya kemudian ngacir sebelum aku mengomelinya…huuuuh dasar Okaaaaaaa!

Bener-bener aku sama Abay mengajari anak supaya dewasa sesuai usianya, ini sama Omnya malah diajarin yang enggak-enggak. Dasar! Ternyata sehati-hati apapun kita mengajari anak, lingkungan ngaruh banget, ya!

***

END

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience