BAB 12

Romance Completed 38734

Sudah satu minggu ini kami tinggal di rumah mungil yang masih dalam tahap cicilan. Hehehe, rupanya Abay memang sudah berencana mencicil sebuah rumah untuk tinggal menetap sejak beberapa bulan yang lalu, jauh sebelum kami bertemu, siapa sangka Allah mempermudah dan mepercepat pernikahan kami, dan Abay menikah lebih cepat dari targetnya di usia 25 tahun.

Selain mulai kembali aktif bekerja di rumah sakit, kini aku mempunyai peran baru sebagai seorang istri, Mengerjakan pekerjaan rumah yang untungnya selalu mendapat bantuan dari Abay selagi ia tak sibuk, kecuali memasak, itu mutlak bagianku, karna Abay benar-benar parah untuk hal satu itu. Awalnya aku tak menyangka kalau Abay cukup luwes untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu atau mengepel, meskipun hasilnya tak bisa dikatakan sempurna, tapi lumayanlah. Lebih baik dibandingkan dengan Papa atau Oka yang sama sekali buta tentang pekerjaan rumah tangga. Mereka terbiasa terlayani, akupun sudah bersiap jika mendapatkan suami model mereka, untungnya Abay berbeda, hehehe.

Aku sedang duduk di depan TV yang meskipun menyala tapi tetap tak bisa mengenyahkan bayangan obrolanku dengan Dini siang tadi, hari ini kami berada pada satu shift jaga. Dini si bocah sarap itu mulai mengomel tentang Agil yang merengek minta dijodohkan agar ia cepat-cepat menyusul kami. Masalahnya, yang paling lengket di otakku bukan tentang itu, melainkan tentang pembicaraan kami selanjutnya. Yaitu tentang tips dan trik cara menarik perhatian suami untuk nananina. Astagaaaa! Aku berjengit kaget saat Dini membisikkanku tentang hal itu, ia tahu kalau aku jaim dan bukan tipikal wanita agresif yang akan mengatakan dengan gamblang kalau aku mulai menginginkan suamiku—seperti saat ini.

Dengan segenap perhatian akhirnya aku mendengarkan seluruh tips and trik ala Dini itu. Hyaaa! Kenapa aku jadi kayak gini? Jujur saja aku sendiri sudah merasakan kelimpungan, tepat hari dimana kami pindah ke rumah ini, aku menstruasi, dan astaga! Hormonku memang benar-benar keterlaluan disaat-saat seperti itu. untung saja aku bukan tipikal istri beringas yang langsung menerkam suami, meskipun untuk itu aku harus menelan ludah bahkan ketika melihat Abay dengan muka kusutnya saat bangun tidur rasanya sudah membuatku ingin guling-guling saat itu juga.

Cekrek!

Pintu kamar kami terbuka, membuat lamunanku buyar seketika. Jantungku berdetak keras saat memandangi Abay yang baru keluar kamar dengan kaus oblong, celana pendek, serta rambut yang basah, okay aku memang biasa melihatnya seperti ini sejak menikah, tapi yang berbeda hari ini adalah aku ingin memberinya sinyal, iya sinyal seperti yang dikatakan Dini.

“Kamu udah makan?” tanyanya tanpa memandangku dan memilih langsung menuju ke ruang makan sederhana kami, yaa…barang-barang di rumah ini memang belum bisa dikatakan lengkap, mengingat dulu Abay masih sendiri dan kami baru saja pindah kemari.

“Belum, kan nungguin Aa,” ujarku masih dengan ritme jantung yang luar biasa ketika aku mengikutinya ke meja makan.

Astagaa! Kok aku deg-degan banget gini ya? Apa aku batalin aja nih ya acara ngasih kodenya?

Kami duduk bersisian, ia mulai memandangi menu makan malam kami yang sederhana, sayur asem, ayam goreng, tempe goreng, dan sambel terasi. Ada juga buah melon yang sudah ku potong kecil-kecil untuk mengawali makan malam kami kali ini.

“Fika cuma beli melon sama apel, mau dikupasin apel?” tawarku.

Abay menggeleng, ia tak bicara apa-apa dan memilih mencomot irisan melon yang tersedia.

Makan malam berlangsung dengan damai, tentu saja, mengingat siapa partner makan malamku sekarang—dan insyaallah seterusnya—rasanya absurd kalau makan malam ini berlangsung sambil perang.

Seusai makan malam dan membereskan peralatan makan kami, Abay memilih menonton televisi. Aku bergerak maju meskipun ragu, jantungku benar-benar tidak bisa diajak berkompromi. Duh! Haruskah aku melakukannya lebih dulu? Tapi, kalau tidak, kapan lagi kami akan memulai penyempurnaan ibadah kami itu? sementara Abay mengatakan kalau ia siap menungguku. Jadi, secara otomatis, dia tidak akan memintaku sebelum aku mengatakan ‘ayo kita lakukan!’—dan demi apapun aku tak akan pernah melakukan itu—jadi satu satunya cara adalah aku yang harus membuatnya memulai terlebih dahulu.

“Ehem!” aku berdehem keras saat berdiri disebelahnya yang tetap fokus menatap layar kaca.

Ia tak memberi respon apapun! Ayo Fika!

“Ehm…A-Aa,” panggilku gugup, lho? Kok jadi gugup gini sih? Kan harusnya aku memanggilnya dengan panggilan menggoda.

Ia menoleh ke arahku, membuat jantungku makin kebat-kebit.

“Aa…eh, ehm…ke…kamar, yuk!” ujarku akhirnya meskipun dengan susah payah. Sumpah! Dari nada bicaraku sama sekali tak ada gaya menggodanya sama sekali! Mamah! Aku bukan wanita penggoda, huwaaaa!

“Kamu udah ngantuk? Aku mau nonton bola,”jawabnya datar.

Aku melongo, Bo-bola?! Bola?! Dia lebih memilih bola daripada ke kamar bersamaku? Oke, dia salah paham, bagaimana kalau aku bilang saja kalau aku ingin ‘melakukan sesuatu’ dengannya di kamar itu?

Ah! Tapi itu melukai harga diriku.

Akhirnya dengan sangat terpaksa aku mengangguk dan benar-benar melipir ke kamar.

***

Jika cara pertama gagal, maka setidaknya aku harus tetap berusaha dengan menggunakan cara yang kedua, sedikit lebih ekstrim dan memalukan memang, tapi aku harus mencobanya.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, aku mematut diriku di cermin. Rasanya aku tak tega melihat tubuhku yang hanya berbalut pakaian tidur tipis. Huaaa aku jadi wanita penggoda malam ini!

Abay masih di luar, entah apa yang dia lakukan, mungkin menonton televisi. Aduh! Aku harus bagaimana ya? Kata Dini, aku cukup menunggunya di kamar dengan pakaian seperti ini, karena jika aku keluar menemuinya, maka bisa disinyalir malam pertama kami bukan di ranjang, tapi di sofa. Oh no! aku lebih suka konvensional untuk pengalaman pertamaku.

Biasanya jam segini Abay sudah masuk kamar dan tidur, well kecuali kalau dia menonton bola, aku sendiri tak tahu kapan ada jadwal bola, bukan favoritku. Tapi sepertinya malam ini tidak ada jadwal, bukannya semalam sudah ada bola? Masa iya hari ini ada siaran sepak bola lagi? Memangnya pemainnya nggak capek apa lari-lari melulu?

Aku memilih menunggu Abay sambil tiduran di ranjang, capek juga habis dinas siang, pasien lumayan banyak dan rewel, tadi saja ada dua balita hiperaktif yang menguras tenaga saat harus menginfusnya. Bekerja di bangsal anak sebenarnya menyenangkan, hanya saja kami harus mengeluarkan tenaga ekstra saat anak-anak yang sulit untuk di infus karena hiperaktif dan juga menangis meraung-raung menggema ke seluruh ruangan. Para perawat beserta ibu atau keluarga pasien harus bekerja sama untuk memegangi sang bocah agar tak bergerak kesana-kemari saat pemasangan jarum infuse, disertai dengan tangisan memilukan hati, ah rasanya menjadi perawat di bangsal anak harus super tega mendengar tangisan malaikat malaikat kecil itu.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, astaghfirullah! Rupanya aku ketiduran. Ku lirik sebelahku masih kosong, Abay belum masuk kamar? Saat ku lihat jam di dinding ternyata sudah menunjukkan pukul 2 dinihari, hah?

Aku bergegas keluar kamar dan mendapati Abay sudah ngorok di sofa dengan televise masih menyala, ugh! Gagal lagi!

***

Pergantian musim di Indonesia makin lama makin tidak bisa diprediksi, bagaimana mungkin di pertengahan tahun seperti ini hujan justru mengguyur begitu derasnya. Abay yang menjemputku dengan sepeda motor terpaksa ikut berbasah kuyup karena ternyata jas hujannya tertinggal di rumah. Padahal jarak rumah kami tinggal beberapa ratus meter lagi. Kepalang basah akhirnnya kami pun berhujan-hujan ria ditengah kemacetan kota.

Kami langsung berhambur ke dalam rumah dan mandi di kamar mandi terpisah, Abay mandi di kamar mandi dekat dapur dan aku mandi di kamar mandi dalam kamar kami.

Abay sedang menyisir rambutnya yang basah saat aku keluar dari kamar mandi, masih dalam keadaan mengigil karna aku hanya memakai daster lusuh. Aku masih mengeringkan rambutku dengan handuk. Saat menghadap ke arah cermin, saat itulah aku sadar bahwa tak seharusnya penampilan seperti ini terpampang di depan Abay, apalagi untuk proses ‘pengkodeanku’, Daster lusuh dan rambut berantakan sepertinya bukan kombinasi yang pas. Dua hari yang lalu aku memotong rambut panjangku, untungnya Abay merespon positif dan malah memuji lebih kelihatan fresh. Tapi hasilnya begini nih kalau habis keramas, berantakan.

“Mau Fika buatin jahe anget?” tawarku pada Abay yang masih memandangiku.

Bukannya memberi jawaban, Abay malah merangsek maju dan memelukku dari belakang, membuatku menghentikan aktivitasku. Napasnya terdengar berat saat mengucapkan,” Nggak usah.”

Waduh, Abay nggak kena penyakit napas kan, ya?

“Fika, sayang…” kudengar Abay memanggilku dengan suara berat dan tertahan, aku segera membalikkan tubuh dan menatapnya, jangan-jangan dia sakit?

“Aa sakit?” tanyaku panik, ia menggeleng, tangannya masih bertengger di pinggulku, tatapannya sayu dan berkabut, mengingatkanku pada tatapannya saat kami hampir saja melakukannya malam itu. Menyadari hal itu aku menjadi gugup.

“Aku…”Abay menggantungkan kalimatnya, sungguh jantungku berdetak lebih cepat saat menyadari bahwa napasnya mulai memberat dan tatapannya seolah siap menerkamku hidup-hidup. Ia memelukku erat. bukan jenis pelukan yang ia berikan kepadaku selama ini.

***

“Jangan tidur dulu,” protesku saat melihat Abay sudah mulai memejamkan matanya setelah kami selesai membersihkan diri.

“Hm, aku nggak tidur,” ujarnya sambil mengetatkan pelukan kami.

“Cerita-cerita, yuk!”

“Cerita apa?” tanyanya kemudian membuka mata, meskipun beberapa kali menguap tapi aku senang ia memperhatikan keinginanku.

“Apa aja, tentang perjalanan cinta kita sebelum nikah, misalnya. Kan kita belum pernah bahas ini,”lanjutku, ehm, sejujurnya aku hanya penasaran tentang mantan-mantan pacar Abay yang diceritakan Sabrina.

Abay mengerenyitkan dahinya,“Coba contohin dulu.”

“Ehm oke, tapi janji jangan marah ya, ini cuma bagian dari masa lalu,”

Abay mengangguk pelan.

“Fika lupa kapan tepatnya Fika merasakan pertama kali jatuh cinta, kayaknya pas akhir-akhir masa SD. Fika naksir sama tetangga,”sebisa mungkin aku tak tersenyum, meskipun rasanya aku ingin senyum-senyum sendiri mengingat kejadian saat pertama kali aku menyadari aku sudah naksir Dito.

“Abis itu yaa…gitu, masa SMP cuma dipenuhi dengan acara taksir-taksiran tanpa pacaran. Setelah SMA kelas 2, Fika baru mulai pacaran, 5 tahun, sampai lulus D3.”

“Terus?”wajah Abay mulai terlihat kesal, tapi aku tahu ada raut penasaran dari wajahnya.

“Yaa putus, soalnya Mama nggak setuju kalau Fika mau nikah sama dia.”

“Sampai mau nikah?”

“Cuma sebatas rencana,”tegasku,”Setelah itu Fika pacaran lagi, cuma tahan 2 bulan karena orang tua kami masing-masing nggak setuju, dan dia nikah sama cewek lain.”

Abay tersenyum samar,”kapan kejadiannya?”

“Udah lama banget. Setelah itu Fika mutusin buat nggak pacarin lagi. Capek patah hati. Dosa pula. Sampai akhirnya yaa…Mama jodoh-jodohin Fika, tapi yang beres cuma kamu,”

Abay tersenyum geli,”Masa?”

Aku mengangguk semangat,” Mama ada tuh jodohin Fika sama Om-Om, sama duda yang ternyata cerai 2 kali juga pernah, tapi gombalnya minta ampun, Fika kan jadi geli.”

Abay meringis geli,“untung nggak ada yang jadi, ya?”

“Kalau jadi mah Fika nggak nikah sama Aa, dong. Nah! Sekarang giliran Aa.”

“Aku?”

Aku mengangguk semangat.

“Kamu tanya aja, nanti aku jawab.”

“Oke. Kapan pertama kali Aa jatuh cinta dan sama siapa?”

“Lupa.”

Hyaaaaah.

“Berapa kali pacaran?”

“2.”

Ealah singkat amat sih jawabannya.

“Kapan aja dan kenapa putus?”

“Waktu SMA. Putus karena dia pindah ke Jakarta buat jadi model.”

Mak! Model? Tiba-tiba saja aku kembali merasa minder, ternyata bener apa yang Sabrina bilang.

“Terus?”

“Waktu kuliah, putus gara-gara dia ketahuan selingkuh,” jawabnya datar, nyaris tanpa ekspresi.

Uh-oh, pengalaman patah hati nih?

“Kapan terakhir pacaran?”

“Setahun yang lalu.”

Astaga! Untung aja Abay nggak jadi orang penting yang perlu diwawancara, gempor gempor deh wartawannya kalau dapet narasumber si Abay.

“Sebelum ketemu aku dan mutusin buat nikah, ada gebetan lain?”aku bertanya was was, sejujurnya aku masih penasaran hubungan Abay dengan abg labil yang beberapa kali kami temui itu.

Abay tersenyum tipis,”penting, ya?”

Oke, aku akui mendadak aku merasa jengkel, Abay jawabnya setengah-setengah, ugh! Greget.

“Penting, dong,” jawabku cepat, ih kan aku kepo juga kali,“Dimana ketemu? Sempet pedekate? Atau nggak jadi gara-gara kita di jodohin?”cercaku.

“Hm…” dia tampak berpikir,”ketemu ya… katanya sih waktu kecil pernah ketemu, tapi aku lupa-lupa ingat. Yang aku ingat sih, hari itu ada cewek yang mau dikenalin sama Mama.”

Ooh, jadi perjodohan juga?

“Itu…sebelum ketemuan sama Fika ya, A?”

“Waktu itu dia kelihatan nyaman banget sama pakaiannya. Nggak peduli sama aku yang udah dandan rapi banget.”

“Oh ya? Jadi tipe-tipe cewek cuek, ya? Orangnya gimana? Cantik?” penasaran tapi gemes, ini nih yang aku rasain sekarang.

“Orangnya… lucu,” Abay tersenyum kecil. Duh, mendadak aku cemburu apalagi melihat matanya menerawang penuh cinta begitu.

“Sayang anak-anak lagi.”

Aku juga sayang anak-anak kali A, sayang banget malah.

“Oh…” jawabku pelan, yah…jadi nyesel sendiri deh nanya-nanya.

“Awalnya biasa aja. Tapi pas lihat interaksinya sama anak-anak. Tiba-tiba kayak ada yang berbisik,”Ini nih yang bakal jadi Ibu dari anak-anakku kelak”.”

Aku menganga. Eh seriusan nih Abay yang ngomong lho… romantis banget, apalagi untuk ukuran orang yang jarang ngomong kayak Abay. Tapi sayangnya…itu bukan buat aku.

“Aa jatuh cinta ya sama dia?” tiba-tiba saja aku merasa bersalah juga… cemburu.

Abay mengangguk, kemudian melirikku malu-malu.

“Maaf, ya…”

Huwaaaaa… malah minta maaf, kan tambah menyayat…

“Maaf nggak nepatin janji kita…” lanjutnya.

“Janji yang mana?” tanyaku tanpa semangat.

“Janji buat saling cinta setelah nikah. Aku… udah duluan jatuh cinta sama kamu…”

Eh? Eh?

Aku masih mengerjap tak percaya, jadi? Dadaku bergemuruh begitu saja mendengar semua pengakuan Abay. Subhanallah…

“Sudah ya, aku ngantuk,”ujarnya lagi. Aku tak mampu berkata-kata, ya Allah setelah adegan-adegan romantisan begini dia bilang ngantuk? Uh! Tapi tak apalah aku sudah cukup terharu dengan pengakuannya, aku mengangguk.

“Makasih ya, A,” ujarku lirih.

Ia tersenyum, kusandarkan kepalaku didadanya dan mengeratkan pelukanku. Abay balas memelukku, tak lama kudengar dengkuran halus mengisi kesuyian ruanganku yang kontras dengan euphoria hatiku. Ah, betapa manisnya pengakuan, meskipun Mungkin akan berbeda jika Abay mengakuinya saat kami belum menjadi suami istri. Rasanya lebih manis, lebih mengharukan, dan lebih romantis saat Abay mengakuinya ketika kami sudah halal.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience