Minggu ini banyak kejutan untukku.
Pertama. Dini dilamar.
DI-LA-MAR.
Iya, akhirnya ada lelaki khilaf yang mau melamar Dini, ups! Bercanda ding.
Aku cukup kaget, kayaknya nggak ada cerita apa-apa. Tapi tiba-tiba saja Dini memberitahuku dan Agil. Dini dilamar oleh seorang lelaki yang konon adalah sahabat Agil sejak kecil—sumpah, aku saja tidak kenal dengan sahabat Agil yang satu ini. Mereka bertemu di tempat Agil, hari dimana dia salah melamar orang untuk diminta menjadi suaminya. Agil lebih banyak bengong dan mengumam aneh-aneh atas ketidakpercayaannya ini selama acara berlangsung. Agil saja yang sahabat mempelai pria kaget, apalagi aku. Awalnya aku khawatir, jangan-jangan ada apa-apa, tapi aku baru bisa tenang saat Dini dengan tampang cueknya bilang enggak apa-apa. Dia mengatakan bahwa segala sesuatu yang baik harus disegerakan. Apalagi calon suaminya itu jelas orang baik-baik. Agil yang menjaminnya. Kalau Dini bilang tidak apa-apa berarti memang tidak apa-apa. Meskipun aku masih sedikit tak percaya, tapi doaku selalu terbaik untuk sahabatku yang akan menempuhkan bahtera rumah tangga. Akad nikahnya akan dilakukan 2 minggu lagi, sementara itu resepsinya diadakan satu bulan kemudian. Aku ikut berbahagia, Well, selain itu aku juga berdoa agar aku bisa segera menyusul Dini. Jodoh memang tak pernah diduga kapan datangnya. Siapa sangka Dini yang baru berapa minggu lalu heboh ingin menikah, tiba-tiba saja benar-benar akan menikah. Sementara aku, yang sejak zaman boyband cantik—dan sampai sekarang masih tetap cantik— ingin menikah, belum juga menikah. Heuh.
Kejutan kedua tidak bisa dikatakan kejutan. Hanya saja tetap membuatku terkesan. Bocah itu –maksudku Abay. Benar-benar melamarku. Bersama dengan keluarganya, secara resmi. Aku bisa melihat guratan bahagia di wajah mama dan papa yang seolah berkata ‘akhirnya ada juga yang khilaf mau sama kamu, Nak’, itu membuat hatiku menghangat, meskipun keraguan masih jelas-jelas meliputiku. Aku dan Abay baru beberapa kali bertemu, itupun dia lebih banyak diam. Apa karena itu? Atau karena hal yang lain? Entahlah. Aku hanya berharap keputusanku nantinya akan membawa kebaikan.
“Oh, ini Bina, ya? Udah gede, ya?” ucapku saat Tante Sri mengenalkan gadis itu padaku, gadis berusia belasan itu menatapku sinis, gadis itu adalah Sabrina, adik semata wayang Abay, terakhir aku bertemu saat ia masih bayi, masih unyu-unyu banget, tapi kenapa gadis mungil ini malah memandangku dengan pandangan tak suka saat ini?
Aku tersenyum menyapanya, sementara wajahnya sama sekali tidak ingin menyembunyikan ketidaksukaannya padaku. Hei, aku wanita yang meskipun mempunyai sensitifitas yang agak kurang, tapi aku tahu kalau gadis kecil ini tidak menerimaku.
“Hm,” jawabnya singkat sambil melipat kedua tangannya didepan dadanya. Kupandangi Sabrina dari atas sampai bawah. Saat keluarga Abay tiba, gadis itu memang terlihat mencolok dengan gaun bunga-bunga kecil berwana peach, serta rambut panjang terurainya. Tampak begitu belia dan segar. Cantik.
“Tante masuk dulu ya, Fika, Sayang, ajak ngobrol Bina dulu, ya…”ujar Tante Sri menatapku lembut.
“Iya Tante.”
Bina terlihat tidak peduli dan lebih memilih mengamati bunga-bunga koleksi mama. Aku menelan ludah, mati aku! Kayaknya abg satu ini beneran nggak respect sama aku. Alamak! Aku pikir bakalan aman setelah Orangtua Abay mau menerimaku, ternyata masih ada satu anggota keluarga lagi yang tak kuperhitungkan.
“Bina, lulus tahun ini, ya? Pengumumannya kapan?” tanyaku basa-basi.
Bina menoleh dan menatapku dengan mata belonya,” Kan udah dari sebulan yang lalu,” jawabnya acuh.
Aku terpaksa nyengir. Aih, setelah dibuat mati gaya sama Abangnya, sekarang dibikin mati kutu sama adiknya. Matiin aja aku sekalian. Err…
“Oh, hehehe iya, ya? Jadi, mau lanjut kuliah dimana?”
“Belum tau.”
“Ooh...”
Krik…krik…krik…
Tak ada percakapan lagi. Aduh duh duh bisa gila ini saya lama-lama kalau beneran nikah sama Abay.
Ngobrol sama Abay kaya ngobrol sama patung, ngobrol sama adeknya kayak ngobrol sama kucing mau beranak, ngobrol sama emaknya kayak ngobrol sama wartawati gossip , ngobrol sama Papanya kayak ngobrol sama Jendral. Haiah, jedotkan saja kepala mereka ke terowongan Casablanca!
“Kok bisa sih?” suara Bina kembali bergema, kali ini begitu dekat, dan saat aku menoleh ternyata Bina sudah berada di sebelahku dan menatapku tajam. Lho? Lho? Sejak kapan ini bocah ada disebelahku?
“Eh? Bi-bisa apa, Bin?” tanyaku gugup. Eiy, harusnya yang bikin keder itu calon mertua kan, ya? Ini kenapa malah calon adik ipar?
“Kok bisa Kakak kenal sama Kak Abay?”
Eh?
“Hah?”
“Kok bisa kenal? Terus dilamar? Padahal jelas Kakak bukan selera Kak Abay,”Bina memandangi dengan tatapan menilai, dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Lah? Meneketempreng! Yang lamar kan abangnya situ!
Aku hanya tersenyum canggung menanggapi ucapan Bina. Abang situ juga bukan selera sini!
“Kakak pakai guna-guna, ya?” lanjutnya lagi menatapku dengan tatapan yang super sinis. Idih cantik-cantik sadis.
“Astaghfirullah!” sahutku cepat menatapnya tak suka, bodo deh. Ini bocah lama-lama nyebelin. Sama-sama nggak suka? Batal! Batal aja sekalian nikahnya!
Bina mengangkat bahunya santai,” Kali aja, kan?”
Kyaaaaa boleh cekik ini bocah labil satu, nggak?
“Kalau mau pake guna-guna, sekalian aja aku guna-guna Iko Uwais!”jawabku sewot.
“Idih seleranya Iko Uwais, gantengan Dion Wiyoko ah!”
“Yaudah, aku mending guna-guna Dion Wiyoko!”
“Kok Kakak jadi ngincer Dion Wiyoko, sih? Kan Kakak udah sama Kak Abay?”ia meninggikan suaranya.
Lha? Gimana sih ni bocah? Astaga! Dasar labil! Terus ini kenapa jadi bahas artis?
Aku memijat kepalaku pelan. “Terserah dah, Bin…”jawabku mengalah, yang tua dan yang waras mengalah.
“Jadi…sebenarnya Bina tuh nggak setuju Kakak kawin sama Kak Abay,” lanjutnya lagi masih dengan tatapan tak suka.
“Aku juga nggak mau kawin sama Abay,”
“Terus? Ini acara lamaran apaan?”
“Nikah.”
“Iiih! Sama aja!” rajuknya.
Beda kali, Neng!
Aku menoleh ke arah Bina, dan kulihat ia tengah mengerucutkan bibirnya kesal. Aku memutar bola mataku bosan.
“Bina nggak suka ya, sama saya?” tanyaku lembut. Peduli amat dia tidak setuju atas hubunganku dengan Abay, tapi aku risih kalau ada orang yang sampai tidak menyukaiku karena berasal dari diriku sendiri.
“Nggak!”akunya jujur.
“Kenapa?”
“Karena Kakak lebih tua dari Kak Abay. Nggak modis pula,” Bina menatapku dari atas sampai bawah. Aku mengikuti gerakan matanya. Aku memang hanya mengenakan gamis berwarna salem sederhana dan kerudung senada.
Hah? Serius? Cuma gara-gara itu?
“Kakak juga pakai kerudung. Ntar pasti sukanya ceramahin aku ini itu, nyuruh aku berkerudung juga, Cih!” lanjutnya lagi.
Aku menggaruk kepalaku bingung. Kemudian meringis geli.
“Kok ketawa?” sewotnya.
Aku masih berusaha menahan tawa geliku,” Kamu lucu.”
“Apa yang lucu?”
“Pemikiran kamu.”
“Apa, sih?”
Aku tersenyum maklum,”Saya nggak bakal nyuruh kamu berkerudung. Lagian yang nyuruh kan bukan saya. Tapi Allah. Langsung lho…di dalam Al Quran.”
“Iih… tuh kan, tuh kan, mulai deh ceramah.”
Aku tertawa geli. Yah salah omong, ya? Lagian ini bocah sebenarnya kenapa, sih?
“Kalau udah begitu kan jadinya jleb banget di siniii!”ujarnya sambil menunjuk dadanya dramatis, “Nyebelin!”
Lha? Dia sewot lagi? Aku tertawa lagi.
“Iya… iya… nggak ngomong lagi deh,” Aku berusaha menghentikan tawaku meskipun aku masih menahan senyum geliku.
“Oke Bina, jadi, selain saya tua, nggak modis, dan berkerudung, apa yang bikin kamu nggak suka sama saya? Karena jujur, kalau usia dan kewajiban saya untuk menutup aurat saya nggak bisa ubah.”
Bina menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
Ia mulai melunak, “Nggak tau deh, em… sebenarnya bukan karena itu sih,” ujar Bina sambil menggigit bibir bawahnya, terlihat ragu.
Aku mengernyitkan kening, lah? Terus alasan sebenarnya apa dong?
“Aku ngerasa Kakak bukan selera Kak Abay aja. ”
Yee aku kan emang bukan Mie instan yang ‘selerakuuu’
“Oh ya? Memang selera Abay yang bagaimana?”
“Dua kali Kak Abay ngenalin pacarnya ke kami sih, tipe-tipe kayak aku gini, lebih muda, cantik, tinggi, putih, modis, dan yang pasti nggak berkerudung. Pokoknya beda banget deh sama Kak Fika, aku kan jadi mikir yang enggak-enggak. Ya, aku nggak suka aja kalau ternyata Kak Abay terpaksa dan nggak bahagia sama semua ini,” ujarnya polos sekaligus menampakkan wajah kekhawatirannya.
Ooh, Abay doyan cewek ala-ala Barbie juga toh, kirain…
“Yaa… liat aja Bin, kalau sampai kita jadi nikah, mungkin Abangmu itu pernah nginjek kodok,”jawabku asal tapi justru membuat Bina tersenyum kecil.
Aku ikut tersenyum kecil. “Tapi, kalau kamu tetep nggak setuju sama pernikahan ini, kamu boleh kok protes ke orangtuamu dan Abay. Mungkin suara kamu bakal di dengar,” Lanjutku lagi. Bina menatapku tak percaya. Yaa…aku juga tak percaya bisa berbicara seolah memberi peluang seseorang untuk menghancurkan rencana pernikahanku sendiri.
“Kok Kakak ngomong gitu?”
“Sabrina!” panggil sebuah suara yang begitu familiar di telingaku. Kami sama-sama menoleh dan mendapati seorang lelaki gagah dengan wajah datarnya berdiri tak jauh dari tempat duduk kami.
“Kak…”
“Dipanggil Mama,”ujarnya datar. Bina menoleh ke arahku kemudian bergegas meninggalkanku, memasuki rumah.
Abay masih berdiri di sana, menatapku lurus, kemudian bergerak mendekatiku setelah Sabrina pergi. Aku jadi salah tingkah, dia, tak mendengar semua pembicaraan kami, kan?
“Selain suara Sabrina, apa ada suara lain yang perlu kudengar setelah lamaran ini?”tanya Abay dengan nada tegas dan tatapan tajam setelah ia duduk di sebelahku.
Aku menelan ludah, ngeri juga. Hiyaaa kenapa aku jadi merinding disko gini? Abay nggak marah kan, ya?
“Hey, mentang-mentang udah lamaran! Sini masuk dulu, dilanjutin nanti pacarannya!” seru Mama jahil dari ambang pintu yang telah menyelamatkanku dari tatapan mengerikan milik Abay.
***
Dini mengambil cutinya selama satu minggu setelah pernikahannya, dan aku menjadi sasaran narasumber orang-orang bangsal setelah kabar bahwa Dini menikah tersebar di ruangan. Dokter Adit menjadi salah satunya, aku ingin tertawa melihat wajah kaget serta wajah leganya, hahaha. Dokter tampan itu ternyata polos.
Sepulang kerja, Abay menemuiku dan kami makan malam bersama di warung lamongan langgananku. Tyo tersenyum lebar saat melihatku memasuki warung bersama Abay.
“Kemarin Mbak Dini bawa gandengan kesini, sekarang Mbak Fika, aduh… sakitnya tuh di sini, Mbak… disini,” ujar Tyo sambil menunjuk dada ayam yang akan ia goreng saat aku memesan makanan. Aku tertawa geli melihat kelakuannya
“Agil masih single tuh Yo, bolehlah.” Godaku.
Tyo bergidik ngeri,” Idih. Masa batang ketemu batang, nggak tumbuh buah nanti, Mbak.”
Aku terkikik geli, kemudian aku dan Abay mulai menyebutkan menu pesanan kami.
“Biasa makan di sini?” tanya Abay terlebih dahulu membuka mulut. Tumben.
“Iya, biasanya sama Agil sama Dini,” jawabku, kami kemudian memilih tempat duduk yang masih kosong.
“Ooh…”
“Fika…”
“Ya?”
“Nggak apa-apa kan aku panggil Fika aja?”
“Bukannya dari kemarin-kemarin juga gitu?”
Abay tersenyum kecil,”Sorry, barangkali kamu keberatan.”
“Nggak apa-apa, santai aja.”
“Fika…”
“Hm?”
“Apa kamu keberatan dengan rencana pernikahan kita?”tanyanya serius. Uh-oh. Ternyata benar, Abay mendengar pembicaraanku dengan Sabrina waktu itu.
Tyo datang dengan pesanan minuman kami, membuatku terselamatkan untuk beberapa detik. Deuh, kenapa aku jadi gugup gini, sih?
“Kamu sendiri?” tanyaku balik setelah Tyo meninggalkan meja kami.
“Bagian mana dariku yang membuatmu ragu?” Abay tampak tenang,” Usiaku?”
Uh-oh. Aku tahu ini merupakan hal yang sensitif. Laki-laki tak suka diragukan sekalipun usianya jauh lebih muda.
“Ini terlalu cepat Abay, bukannya aku sudah bilang, kalau kamu mau nikah sama aku karena Mama kamu, mending nggak usah.”
“Dan bukannya aku udah bilang kalau ini bukan semata-mata karena Mama?”
“Terus? Apa? kamu beneran naksir aku?” aku tersenyum meremehkan,” Jangan konyol, kita baru beberapa kali ketemu, dan bukannya aku bukan tipe kamu?” aku kembali teringat 2 mantan pacar Abay yang diceritakan Bina.
“Kalau kamu sendiri nggak setuju sama pernikahan ini, kenapa kamu terima?”
Ish! Abay membalikkan pertanyaanku!
Aku membuang muka,”Kamu tahu apa alasannya.”
“Usia? Mama kamu? Atau karena kamu juga mulai tertarik denganku?” Abay menyeringai jahil, dan aku baru melihatnya kali ini. Abay dengan seringaian jahilnya. Manis, Maaaaak.
“Auk ah lap!” jawab saya sewot, dan tanpa diduga Abay malah tersenyum geli, grr…
“Okay. Jadi intinya kita bakal tetep nikah tanpa ada cinta diantara kita?” lanjutku.
Abay menaikkan sebelah alisnya,” Cinta? Cinta yang gimana?”
Grr…ini bocah.
“Yaaa cinta! C.I.N.T.A itu kayak lagu.”
“Emang definisi cinta menurut kamu itu apa?”tanyanya. nah loh! Kenapa jadi kayak Dini?
Cintaku itu kamu, halalku! Aku tersenyum sendiri mengingat jawaban yang kuberikan pada Dini.
Eh, ngomong-ngomong kalau tidak salah ingat, hari ini Abay kok lebih banyak omong dari biasanya, ya?
“Kok kamu hari ini tumben banyak omong? Abis disubsidi, ya?”
Abay menatapku geli,” Nggak usah alihin pembicaraan.”
“Ih, Abay ternyata aslinya cerewet ya, iya?”
“Fika…”sahutnya dengan nada mengingatkan.
Aku mengatupkan bibirku, ehm…pengalihan pembicaraan tak berhasil.
“Ehm…makan dulu deh,” ujarku ketika Tyo kembali datang menyajikan menu makanan yang kami pesan.
Abay hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Selama makan kami terdiam. Diam-diam aku mencuri pandang ke arah Abay, dan kembali mengalihkan pandangan saat ia memergokiku. Aish! Kok aku jadi belingsatan begini sih? Eh salah, bukannya aku memang selalu belingsatan ya kalau dekat-dekat dengan Abay?
Abay sama sekali tak melepaskan pandangannya dariku setelah ia menyelesaikan makan malamnya, sementara aku masih menghabiskan makananku. Dia kok makannya cepet banget sih?
“Lama-lama aku bisa karatan kalau kamu liatin terus,” jawabku asal.
Abay tersenyum geli,”Jadi apa jawabannya?”
“Jawaban apa?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Definisi cinta?”
Aku berdehem, menyeka sisa makanan yang mungkin menempel di mulutku dengan tissue. Perlahan aku menatap Abay.
“Sebenernya aku udah nggak percaya lagi sama cinta setelah 2 kali patah hati. So, menurut aku, cinta itu cuma pantas buat orang yang benar-benar serius. Yang memintaku secara baik-baik kepada waliku. Yang mengucapkan ikrar sucinya di hadapan Allah dan malaikat-malaikatNya. Juga yang memuliakanku sebagai istri dan ibu dari anak-anak kami kelak,”Jawabku tegas.
Abay tersenyum simpul. Hh…aku benar-benar tidak menyangka berondong ini begitu manis, terkadang aku ingin sekali mengesampingkan ingatanku tentang beda usia kami dan menikmatinya sebagai kekaguman seorang wanita kepada lelaki biasa. Ups! Aku buru-buru mengalihkan pandangan.
“Aku rasa… definisi cinta menurut kita nggak jauh beda.”
“Maksudmu?”
“Aku sependapat denganmu.”
“Abay, bisa nggak ngomong dengan kalimat yang rada eh yang panjang. Biar aku nggak meraba-raba maksud kalimatmu kayak orang buta.”
Abay kembali tersenyum geli,” Aku sependapat sama kamu. Bahwa orang yang pantas dapat cintaku itu hanya orang yang bisa memuliakanku sebagai imam dan juga ayah dari anak-anak kami kelak.”
Pipiku menghangat, dan aku lebih memilih menunduk.
“Nggak kreatif, masa ikutin kata-kata aku,” Omelku perlahan dan aku pastikan Abay mendengarnya.
Selesai makan, Abay kembali menawarkan untuk mengantarku pulang. Aku menolak secara halus.
“Kita memang udah lamaran, bukan berarti kita udah bisa sering-sering berdua-duaan, ya… ketemuan sering-sering begini juga nggak bagus lho sebenernya,” ujarku memperingatkannya juga memperingatkan diriku sendiri yang kadangkala masih suka aja diajak ketemuan Abay, meskipun ditempat umum. Apalagi kalau berhubungan sama makanan begini. Yaelah, jadi harga diriku cuma sebatas makanan? Aku geleng-geleng kepala sendiri.
Abay menatapku lembut,”aku mungkin nggak seteguh kamu dalam memegang prinsip-prinsip hubungan antara lelaki dan perempuan dalam agama kita. Ingatkan aku kalau aku kelewatan, ya,” ujarnya membuatku sedikit tersenyum.
“Aku juga perlu diingatkan.” Jawabku jujur yang kadang masih juga suka bodor-bodoran sama Agil atau sama rekan-rekan sejawat yang lain jenis. Eeh tapi kan mereka beda sama Abay. Eh tapi mah sama aja laki-laki, ya?
Abay mengantarku sampai benar-benar masuk angkot. Ia kemudian mengikuti angkot yang kutumpangi dengan motornya. Aku tersenyum kecil, itu yang selalu ia lakukan saat diminta mamaku untuk menjemputku dan aku menolak untuk berboncengan atau naik mobil bersamanya. Ia akan melakukan itu sampai aku benar-benar sampai di depan gang rumahku atau di depan rumah pas.
Share this novel