BAB 13

Romance Completed 38734

“Kayaknya lantai garasi itu perlu ditinggiin deh, A,” ocehku saat kami sedang bersantai di ruang tengah usai makan malam. Sejak kami menikah, aku memutuskan untuk tak lagi memanggil namanya, yah paling tidak ada embel-embelnya, untuk menghormati beliau sebagai suami. Nggak mungkin kan ntar sampai punya anak cucu aku masih manggil ‘Abay’? nggak romantis!

“Masa jalan depan rumah sama lantai garasi tinggian jalannya?” lanjutku masih memprotes pada Abay, minggu lalu ada perbaikan jalan di RT kami, termasuk jalan depan rumah kami. Hanya saja aku merasa kalau lantai garasi kami lebih rendah dibanding jalanan, tak terlalu terlihat secara kasat mata memang, mungkin hanya berbeda satu atau dua cm, entahlah aku tak terlalu pandai juga dalam hal itu.

“Masa sih?” jawab Abay tampak ogah-ogahan.

“Iya A, takutnya nanti pas ujan air malah pada masuk garasi gimana? Kebanjiran deh ni rumah.”

“Enggaklah, kamu tenang aja. Disini nggak pernah banjir kok,”elak Abay. Ih dibilangin nggak percaya.

“Iya tahu. Sini nggak pernah banjir. Tapi kalau itu lantai garasinya lebih rendah airnya pada masuk kalau ujan, A,”

Abay menautkan kedua alisnya tampak berfikir, membuatku makin kesal, pasti Abay nggak percaya deh sama aku. Ish! Oke! Liat aja nanti!

“Yaudah kalau Aa nggak percaya, Liat aja nanti kalau ujan deres,” ucapku kemudian meninggalkan masuk ke dalam kamar. Nyebelin.

***

“Astaghfirullah! A! sini nih liat!” teriakku pada Abay yang berada di dalam rumah. Seusai sholat subuh, aku berniat membuang sampah ke depan, dan malah menemukan garasi kami benar-benar kebanjiran. Beberapa sandal dan sepatu kami ikut tergenang banjir. Untung nggak sampai masuk ke dalam rumah, karena lantai teras sampai rumah memang dibuat lebih tinggi dibanding lantai garasi. Semalaman hujan memang hujan sangat deras. Sempat was-was juga garasi kebanjiran, dan akhirnya sekarang terbukti.

“Kenapa sih?”

Abay tergopoh-gopoh menghampiriku yang masih terpaku di teras sebelah garasi.

“Uh-oh!” komentar Abay singkat sambil menggaruk kepalanya.

Huh! Rasain! Batinku gemas. Dibilangin nggak percaya sih!

“Kamu masuk aja deh, biar aku yang bersihin,”ujarnya, mungkin ngerasa nggak enak karena sempat meragukan perkataanku semalam.

“Enggak. Fika bantu aja biar cepet selesai,” jawabku dengan nada sedikit ketus. Baru saja semalam aku bilang, nggak percaya. Rada sewot juga sih, tapi mau bagaimana lagi. kalau nggak dibantuin malah tambah lama. Lagian kasian juga kalau harus membersihkan sendirian.

Pagi itu kami memulai hari dengan membersihkan genangan air di garasi. Kemudian berlanjut dengan kegiatan rumahan lain yang ku kerjakan saat Abay sudah berangkat bekerja, sementara hari ini aku mendapat jatah jaga siang.

***

“Aku udah hubungi tukang buat ninggiin lantai garasi,” ujar Abay ketika kami dalam perjalanan menuju salah satu tempat makan untuk makan siang kami.

Hari ini aku mendapat libur setelah 2 malam mendapat jatah jaga malam. Setelah sampai rumah dan membuatkan Abay sarapan –satu-satunya pekerjaan rumah yang sangat membahayakan bila dipegang oleh Abay—aku memilih untuk tidur sebentar.

Saat bangun, aku menemukan Abay sibuk mengutak-atik mobil dan akhirnya mengajakku makan siang di luar selepas sholat dzuhur.

“Terus?”

“Nggak bisa dalam waktu dekat.”

Nggak bisa dalam waktu dekat? Wah, padahal cuaca makin nggak jelas, hari ini panas bisa jadi malam hujan, masa iya garasi kami mau terus kebanjiran.

“Fika ada temen sih, pemborong gitu, rumahnya juga nggak jauh dari komplek kita, apa Fika tanya aja, ya? Barangkali dia punya tukang yang bisa dalam waktu dekat.”

Masih sambil menyetir Abay menaikkan sebelah alisnya. “Siapa?”

“Namanya Yusuf. Temen SMA Fika dulu, pas ketemu sih dia bilang sekarang kerja jadi pemborong gitu.”

“Teman SMA? Masih saling komunikasi?” tanya Abay dengan nada tak suka.

“Ehm, enggak juga sih.” Jawabku jujur. Aku bertemu dengan Yusuf beberapa bulan yang lalu, saat ibunya dirawat di rumah sakit tempatku bekerja. Beberapa kali dia memang sms tapi hanya sekedar untuk menanyakan kabar layaknya teman lama yang lama tak bertemu.

“Udah nikah?”

“Siapa?”

“Temen kamu.”

“Si Yusuf?”

Abay mengangguk pelan.

“Belum,” Jawabku, dan melihat perubahan pada wajah Abay aku baru menyadari sesuatu,”Astaghfirullah, jangan bilang A’ cemburu deh?!” ujarku sembari sedikit menahan tawa. Aku masih ingat bagaimana wajah tak suka Abay saat aku terlihat begitu akrab dengan Agil di hari pernikahan kami. Padahal sejak awal aku sudah mengenalkan mereka, mengenalkan Agil sebagai sahabat senasib dan seperjuanganku bersama dengan Dini juga. Tapi sepertinya Abay memang tak terlalu suka aku terlalu dekat dengan lelaki lain. Abay tipe pencemburu.

Abay tak menjawab apapun. Ampuuun susah deh kalau Abay udah diem gini, iya sih biasanya juga diem, tapi kali ini beda.

“Yusuf itu cuma temen SMA Fika. Sekelas pas kelas 3. Beberapa bulan lalu kita ketemu pas ibunya dirawat di tempat Fika kerja. Kita emang sempet ngobrol dan tukeran nomor HP. Tapi nggak ada kelanjutan. Nggak ada apa-apa, okay?! Bahkan dari SMA pun kami cuma teman biasa. Nggak ada acara gebet-gebetan apalagi pacar-pacaran. So?! Nggak ada yang perlu dicemburui, oke?!” jelasku panjang lebar.

“Aku kan nggak bilang aku cemburu.”

Apa?! ish! Kalau nggak terhitung dosa udah pengen kujitak kepalanya tu, tampang udah kusut kayak baju diuwel-uwel terus nggak disetrika gitu masih bilang enggak cemburu?

“Jadi gimana nih? Mau Fika hubungi Yusuf?” tanyaku, kalau nggak cmeburu, berarti boleh.

“Nggak usah! Aku sendiri nanti yang cari tukang.”

See?

“Oke. Terserahlah.”

***

Ribet itu adalah pas hari senin, aku pas dapet dinas pagi, dan Abay juga harus apel pagi. Mulai dari ribet nyiapin sarapan, kaus kaki Abay yang mendadak ilang, beras di rice cooker yang masih berupa beras karena lupa dinyalain, dan akhirnya kami sarapan super cepat pakai nasi uduk beli di sebelah rumah. Belum lagi melintasi macetnya jalanan di senin pagi. Untung bukan musim hujan, jadi kalaupun pakai motor nggak kuatir kotor karena air menggenang dimana-mana. Setelah mengantarku ke rumah sakit, Abay bergegas ke kantornya. Setelah dinas, aku pulang ke rumah Mama, kesepakatan semalam, Vira, teman SDku yang juga merupakan tetanggaku melahirkan. Udah janjian sama Mama nengokin Vira bareng. Katanya semalam sudah dibawa pulang dari Rumah Bersalin. Abay akan menjemputku malam nanti setelah ia selesai dengan urusannya.

Tepat sebelum adzan maghrib berkumandang, Abay sudah datang. Disambut ocehan Mama tentang genteng belakang rumah yang bocor, Papa lagi ke keluar kota, dan Oka yang sama sekali nggak bisa diandelin karena takut ketinggian. Abay cuma senyum kalem, hiyaaa lagian Mama ngadu sama Abay, genteng rumah kami bocor aja manggil Pak Budi, jangan ngarep Abay mau benerin—eh tapi nggak tahu juga kalau mendadak pengen jadi mantu idaman. Lagian ini udah malem kaleee, bentar lagi kami juga pulang.

“Yaelah Mama, genteng rumah kemarin bocor aja kita pake tukang. Kenapa nggak manggil tukang aja, Ma? Bang Dodi?” selorohku sambil membawakan minuman untuk Abay ke ruang tamu, Abay sedang selonjoran. Dan Mama sibuk mengoceh.

“Udah sih. Si Dodi bisanya besok.”

Lha? Terus ngapain ngadu sama Abay?

“Ya Mama kan cuma pengen cerita aja sama Abay,” sahut Mama kalem kemudian ngeloyor ke dapur. Hiyaaa si Mama.

Aku melirik Abay yang cuma mesam-mesem ditengah keletihan yang tampak dari wajahnya, ia menyesap minuman yang kusediakan kemudian mengeluarkan HP dari saku celananya. Ah, aku jadi ingat, seharian ini ia sama sekali nggak ngabari aku. Aku SMS juga nggak dibales. Duh, mendadak bikin sewot. Biasanya walau singkat ia membalas atau malah menelepon balik.

“Sibuk banget tadi ya, A? smsku nggak dibales,” ujarku manyun. Selama enam bulan lebih menjadi istrinya, aku mulai mengerti kalau lagi marah atau ngambek mending langsung bilang. Masalahnya kalau cuma pakai aliran kebatinan, alias dibatin aja, yakin juga bakal dicuekin juga sama dia.

“Oh, iya? Maaf, tadi lagi buntutin orang jadi lupa.”

Aku menghela napas, hadeuh enak bener bilang lupa. Sini yang di rumah belingsatan nggak ngerti kabar suami gimana. Mau ngomel tapi kasian baru pulang kerja.

Emang nggak ada waktu barang semenit aja buat baca terus bales? Pengen rasanya ngomel begitu, tapi aku tahan. Hiyaaah bisa-bisa aku yang gondok sendiri. Paling Abay cuma menatapku dengan tatapan aneh terus dijawab satu patah dua patah kata yang akhirnya bikin aku gondok juga.

“Buntutin kemana?” tanyaku mengalihkan topik, terkadang asik juga mendengarkan kasus-kasus Abay, ya meskipun kadang ada yang ngeri, tapi tak jarang juga ada yang lucu.

“Banyak, ke Bioskop, mall, sampai Sukabumi juga,” Jawabnya agak malas, ah mungkin beneran capek. Apalagi ternyata sampai Sukabumi segala. Eh, tapi ngapain ke bioskop? Emang penjahatnya sempet nonton gitu?

“Ha? Ke bioskop? Ngapain?” tanyaku langsung.

“Ya nonton.”

“Aa juga?”

Abay mengangguk. Aku makin bingung. Dalam bayanganku Abay sedang membuntuti penjahat yang bertubuh besar, bertato, dan berwajah seram, ya meskipun nggak semua penjahat berciri-ciri kayak gitu. Tapi kalau bayanganku bener, ngapain juga sampai bioskop? Masa iya Abay sampai buntutin orang penjahat pacaran sih?

“Aku buntutin orang selingkuh,” Jawabnya kalem seolah mendengar segala kecamuk di pikiranku.

“Hah?” aku melongo. Emang itu masuk list pekerjaannya juga?

“Perintah komandan,” Jawabnya santai. Hyaaaah kalau perintah komandan mah, kali di suruh masuk ke sumur juga jabanin dah.

Adzan maghrib berkumandang, menghentikan pembicaraan kami.

“Abis maghrib langsung pulang aja ya, mau mandi di rumah aja.” Ujarnya sebelum beranjak.

Aku mengangguk,”Beli makan di jalan aja, ya? Lagi pengen bebek goreng.”

Abay mengangguk pelan kemudian beranjak dari kursi, menuju belakang untuk berwudhu. Selesai berwudhu ia bergegas ke Musholla yang terletak beberapa blok dari rumah.

“Oh iya, tadi Mama juga SMS. Belum aku bales.” Jawabnya enteng sebelum meninggalkan rumah.

Hadeuh. Ternyata bukan cuma aku yang dicuekin.

Aku mengambil HP Abay dan bergegas ke kamar melaksanakan sholat maghrib. Selesai sholat dan berdzikir secukupnya aku buru-buru membuka HP Abay. Langsung masuk ke pesan masuk. Membaca SMS Mama mertua siang tadi, pesan untukku sebenarnya, karena kata Mama HPku takbisa dihubungi. Ah ya, tadi siang memang sempat lowbat. Sebuah pesan yang menyampaikan bahwa ada saudara yang akan ada hajat akhir bulan ini di Bandung. Aku membalas singkat pesan dari Mama. Setelah selesai membalas, tiba-tiba niat usil bin kepo-ku menguar begitu saja. Penasaran dengan siapa saja Abay SMSan selain denganku. Aduh, usil banget nggak sih? Tapi kan wajar juga. Eh wajar nggak sih istri periksa-periksa HP suami? Aku menimbang-nimbang. Aku takpernah sebelumnya mengecek HP Abay, seperti yang dilakukan teman-teman sejawatku pada suami-suami mereka. Tapi kan penasaran juga. Tapi kalau Abay marah gimana? Ah, tapi dia kan udah ngasih ijin tadi buat buka SMS dari Mama, tapi kan dari Mama doang? Hyaaaaah aku seperti perang batin sendiri. Tapi…nggak apa-apa kali ya ngintip dikit. Dorongan rasa ingin tahuku akhirnya membuatku melakukan hal itu. Kembali ke semua pesan masuk. SMS dari teman-teman kerjanya, komandannya, dariku, Mama, dan ups! Ada nomor tak dikenal. Aku berniat membukanya karena penasaran. Tepat sebelum aku membukanya, sebuah SMS masuk. Dari nomor takdikenal itu!

Aku buru-buru membukanya.

Mas gimana kerjaannya? Sudah selesai? Jangan lupa makan, ya! :)

Mataku melebar seketika. Gegas kubuka riwayat pesan sebelumnya.

Beberapa jam yang lalu, tepat saat makan siang.

Selamat siang Mas Bayu, selamat beraktifitas ya…jangan lupa makan siang ;)

Darahku rasanya mendidih. Astaghfirullah siapa ini? Pakai ingetin makan segala. Tambah emot-emot begitu? Yakin bukan cowok. Mana ada cowok SMS geli kayak gitu? Dari riwayat pesan jelas tak ada tanggapan dari Abay tapi tetap saja aku ngerasa panas.

SMS sebelumnya bernada sama.

Aku terus menelusuri riwayat pesan, dan SMS pertama adalah 3 hari yang lalu. Itu kan malam dimana kami sedang bermesraan, ada SMS masuk. Dan Abay mengabaikannya—atau pura-pura mengabaikannya?

Selamat malam, Mas Bayu, ya? Ini Rida yang di Ciawi. Masih ingat?

Aduh duh duh, kok mendadak ngilu, perut mules-mules gini sih?

Huhuhuhu, Rida jelas nama perempuan. Lagian jijay banget kalau ada cowok SMS mesra begitu. Dan jelas-jelas si Rida ini menyatakan ketertarikannya sama Abay.

Ya Allah, kami nikah kan belum genap setahun. Anak juga belum ada, masih anget kalau kata orang. Tapi masa iya udah ada orang ketiga?

Iya sih memang Abay nggak bales SMS-SMSnya, atau jangan-jangan Abay bales tapi langsung dihapus? Huhuhu, maafkan prasangka HambaMu ini Ya Allah.

Tapi kalau bener nggak dibales kenapa juga Abay nggak bilang kalau dia sudah beristri? Ya paling enggak aku bisa tahu kalau dia bangga memilikiku sebagai istrinya. Atau jangan-jangan…duh mendadak aku ingin menangis.

Ketukan di kamarku membuatku sedikit teralihkan.

“Mau langsung pulang, Fik?” tanya Mama dari balik pintu.

“Iya, Ma.” Jawabku dari dalam.

“Mau bawa makanan dari sini, nggak?”duh boro-boro mikir makan deh, hati aja rasanya udah mual mules begini.

“Enggak, Ma.”

“Mama mau ke tempat Mpok Bide dulu. Nanti kunci taruh aja di bawah keset kalau pulang, ya…Oka paling bentar lagi pulang.”

“Iya, Ma.”

Kudengar langkah Mama perlahan menjauh. Aku kembali membaca ulang SMS-SMS itu, dan rasanya ingin meledak. Aku tahu Abay nggak seganteng Mas Dito, atau sekaya suami Dini, tapi Abay memang memiliki pesonanya tersendiri yang herannya membuatku bertekuk lutut padanya. Apalagi perempuan lain?

Abay pulang sesaat kemudian, tanpa melihat atau memperhatikan perubahan wajah dan nada suaraku, Abay tetap bersemangat pulang ke rumah.

“Udah siap? Ada yang ketinggalan?” tanyanya.

“Rida siapa, A?” tanyaku tajam. Kesal, gemas, benci, sedih, semua campur aduk jadi satu.

Ia mengernyitkan dahi.

“Nggak tahu. Emang itu siapa?” tanyanya ringan.

Aku menyerahkan ponselnya yang masih terpampang SMS dari Rida.

Ia membaca sekilas,”biarin aja.” Ujarnya enteng.

Aku menghela nafas panjang, bisa-bisanya dia sesantai itu?

“Aa kenal nggak? Tapi kalau nggak kenal kenapa SMS Aa? Berkali-kali lagi.” tuntutku.

“Mana aku tahu.” Jawabnya lagi dengan wajah datar. Nggak tahu apa ini darah rasanya udah sampai ubun-ubun?

“Nggak tahu kok SMSnya mesra.” Jawabku ketus.

“Ya emang nggak tahu.”jawabnya terlihat kesal.”jadi pulang, nggak?”

Aku menatapnya sewot. Menyambar tasku kemudian memakai jaketku keluar kamar.

***

Aku masih terus terdiam sepanjang perjalanan. Kubiarkan perutnya menganggur tanpa ada lingkaran tanganku yang biasa memeluknya saat naik motor begini.

“Mau beli bebek dimana?” tanyanya agak keras agar bisa terdengar olehku yang juga mengenakan helm.

“Nggak tau!” jawabku ketus. Aku masih kesal.

“Kok nggak tau? Jadi beli, nggak?”

“Tau! Terserah!”

“Yaudah nggak usah beli!” jawabnya ikutan kesal mendengar jawaban sewotku.

“Yaudah!”

Kami kembali terdiam selama perjalanan. Rasanya masih gondok banget. Bayangan-bayangan terburukku tentang perselingkuhan menari-nari di depan mata. Dan aku malas berantem di jalan. Pertama karena pasti harus teriak-teriak karena nggak kedengeran karna pake helm. Kedua, aku nggak mau ada insiden “turunin aku disini sekarang!” biasanya senjata para cewek kalau lagi berantem di motor atau mobil. Karena nggak mungkin dia naik kereta minta di turunin, kan? Tapi kalau aku mah ogah. Kalau ada di situasi kayak gitu, mending Abay yang aku suruh turun. Biarin aku nyetir sendiri sampai rumah. Masalahnya aku juga sedang emosi, jelas nggak baik untuk keselamatan jiwa ragaku. Jadi kutahan saja amarahku sampai rumah.

Kami sampai di rumah dengan tampang sama-sama kusut.

“Kamu kenapa sih?” tanyanya setelah kami sampai di rumah dan aku masih memasang wajah kesalku.

Hah? Masih tanya kenapa? Ya Allah ini nggak peka atau emang pura-pura nggak tahu sih?

“Kok kenapa sih? Aa masih belum jelasin siapa Rida!”

“Aku kan udah bilang aku nggak tahu.” Jawabnya sambil melepas jaket dan menatapku kesal.

Aku meletakkan tasku di meja.

“Nggak tahu kok SMS terus. Terus darimana dia tahu no. HP Aa kalau kalian nggak saling kenal?” cercaku lagi.

“Ya mana aku tahu?”

Aku mendengus kesal. Enak banget jawabnya, terus kenapa dia jadi ikutan sewot pula. Harusnya kan aku yang marah.

“Jadi sebenernya Rida ini siapa? Ya tapi masa nggak pernah ketemu terus tiba-tiba SMS kaya gitu?”

Abay terdiam sejenak, seperti mengingat-ingat sesuatu.”kalau dari Ciawi, mungkin sepupu Anton yang baru lulus kuliah dan nyari kerja disini. Kami memang pernah ketemu dulu.”

Aku mendengus kesal. aaaarrrggghhhh!

“Emangnya dia nggak tau kalau Aa udah punya istri? Kok masih SMS mesra kayak gitu? Jelas-jelas dia tertarik sama Aa!”

“Tapi aku kan nggak tertarik sama dia.”

“Oh jadi kalau tertarik Aa mau terusin gitu?”

“Kok jadi ngaco sih? Lagian aku nggak pernah balas SMSnya. Masalahnya dimana?”

“Justru itu masalahnya! kenapa Aa nggak bales? Bilang kalau udah ada istri kek.”

“SMS nggak penting, ngapain dibales? Kalau capek juga berenti.”

“Ya itu sama artinya Aa nggak ngebiarin dia tau kalau Aa udah beristri, mau dia terus ngarep?”

“Kalau setelah itu selesai? Kalau ternyata malah diterusin?”

“Jadi Aa mau nerusin?”

Abay menatapku tajam, ia jelas sedang kesal. Kenapa juga dia ikutan kesal? Harusnya aku yang kesal.

“Terserahlah.”Jawabnya kemudian dengan tampang makin kusut meninggalkanku ke kamar mandi. Setelah mandi, Abay segera bersiap ke Musholla di dekat rumah saat Adzan berkumandang.

Aku memutuskan untuk berwudhu dan lanjut sholat isya untuk sedikit mengerem kemarahanku. Ini adalah pertengkaran hebat kami selama menikah. Sebelumnya hanya debat kecil atau gondok-gondokan kecil yang kemudian terlupa begitu saja. tapi kali ini jelas berbeda.

Selesai sholat, ada sebuah bbm masuk. Broadcast tentang kajian yang kuikuti rutin setiap satu minggu sekali. Mendadak aku teringat nasihat Ummu Sarah, ustadzah yang membimbing kajian kami. Bahwa dalam setiap rumah tangga pasti bermasalah. Tak luput pertengkaran-pertengkaran kecil yang harus dialami pasangan suami istri. Itu wajar. Aku jadi ingat hadist yang disertakan saat membahas itu. diceritakan bahwa saat ada masalah seorang istri mencium tangan dan meminta maaf kepada sang suami, ia tak akan bisa tidur dengan tenang sebelum sang suami ridho kepadanya.

Nyes.

Hatiku basah.

Mengingat kembali kronologi pertengkaran kami malam ini. Kalau ditelusuri lagi kok kayaknya memang aku yang lebay, ya? Tapi memangnya salah kalau aku cemburu? Takut kehilangan suamiku? Lagipula Abay juga sih…lah kok jadi nyalahin dia lagi?

Aku menghela nafas, harusnya kami bisa membicarakannya baik-baik. Nggak perlu pakai otot kayak tadi. Apalagi liat wajah kesal Abay tadi, mendadak aku serem. Hadeuh, kasian. Udah capek pulang kerja dari luar kota pula, malah pulang diomelin.

Dan belum tentu juga Abay niat selingkuh sama si Rida Rida itu. Tapi kan…tetep aja keseeeeeel.

Pukul 9 malam. Puncak kekhawatiranku. Abay masih belum pulang, aku mondar-mandir di ruang tamu. Waduh! Jangan-jangan beneran marah dia. Terus mengasingkan diri di Musholla.

Aku baru berhenti mondar-mandir saat terdengar pintu pagar terbuka. Setelah beberapa saat, kudengar Abay mengunci pintu pagar dan memasukkan motor ke garasi. Abay masuk dari pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang tamu.

“Assalamualaikum,” ucapnya dingin kepadaku.

“Wa-waalaikumsalam.” Jawabku terbata. Aku jadi kikuk. Jantungku berdegup. Rasa ragu, malu, takut, menyergapku sekarang. Aku harus minta maaf, tapi gimana kalau Abay tetep marah? Atau gimana kalau tambah marah? Menepis semua rasa itu, aku bergegas mneyusulnya ke kamar. Ini harus selesai malam ini juga.

“Aa…” panggilku ragu. Ia yang baru saja membuka sarung dan baju kokonya menoleh tanpa minat.

Melepaskan semua jubah egoku, aku mendekat, kuraih tangannya dan kucium khidmat,”Maafin Fika, A…”

Mendadak aku ingin menangis. Abay memegang bahuku dan membuatku menatapnya. Ia menatapku lembut.

“Fika nggak seharusnya marah-marah dan curiga sama Aa. Maafin Fika.” Ujarku lagi.

Ia terdiam lama, “Maafin aku juga, ya. Aku nggak tahu itu bikin kamu terganggu.” Ujarnya lembut. Ia kemudian menarikku dalam pelukannya. Bukan jenis brother hug tentu saja. Aku terlarut dalam kehangatannya yang melenakan. Rasa haru menyeruak. Tanpa banyak kata kami saling merasa.

Sebuah bunyi yang takdiharapkan membuat kami saling melepaskan. Kami saling menatap, kemudian tertawa kecil. Ternyata bunyi perut kami yang kelaparan belum di isi.

***

Malam itu akhirnya kami hanya makan mie instan rebus. Untung di kulkas masih ada telur dan sosis.

Tentang Rida, aku memutuskan untuk tak membahasnya lagi. Abay ada benarnya juga, mending nggak usah ditanggapi. Ia akan bicara pada Anton, temannya yang merupakan sepupu Rida. Siapa tahu Rida belum tahu kalau Abay sudah beristri embak-embak cemburuan macam aku. Abay juga kayaknya ogah bener bales SMSnya walau sepatah dua patah kata.

Dan soal ia taklangsung pulang sesusai sholat Isya, ternyata karena ada rapat dengan bapak-bapak di Musholla.

“Kirain karna marah. Rapat apa emang A?” tanyaku setelah menghabiskan satu mangkuk mie rebus. Di hadapanku, mangkuk Abay juga sudah kosong. Astaga! Kapok deh ngambek kalau akhirnya kami kelaparan begini akhirnya. Sampai nggak jadi beli makan malam gara-gara ngambek.

“Oh buat lomba baca Qur’an.”

“Aa mau ikutan?” tanyaku sangsi. Meskipun suara Abay bagus saat mengaji, tapi emang beneran ada lomba buat Bapak-Bapak? Eh Mas-Mas?

“Buat anak-anak kok.”

Aku nyengir,”Ooh…”

“Iya nyumbang tenaga sama ide dulu. Kalau yang udah punya anak, baru nyumbang anak.”

“Hah? Nyumbang anak?”

Emang anak-anak beras?

Abay tertawa kecil,”Nyumbang buat ikutan partisipasi.”

Aku terkikik geli,” Abis Aa bahasanya, nyumbang…”

Ngomong-ngomong tentang anak, sampai sekarang kami masih belum diberi rezeki oleh Allah berupa malaikat kecil itu. Dibilang nyantai enggak juga. Kalau Abay lebih slow. Tapi aku yang jelas mikir. Rahim udah mau expired gini. Ya meskipun Abay selalu menghibur, apalagi kami menikah masih dalam hitungan bulan. Tapi tetap saja rasa khawatir itu muncul disamping rasa syukur karena mempunyai suami sesabar dan sebaik dia. Juga keluarga yang takmenuntut.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience