Acara pernikahan kami berjalan dengan lancar, Alhamdulillah. Mas Dito benar-benar tak bisa menghadirinya, ia langsung pamit pulang begitu mama sudah menunjukkan gelagat ketidaksukaan padanya. Ia tersenyum dan mendoakanku secara tulus untuk keberkahan pernikahanku, dan aku turut mendoakan yang terbaik untuknya. Aku tak tahu apa jadinya kalau aku memaksakan diri untuk tetap menikahinya, diluar restu Ibunya dan juga Mama, tak terbayang rasanya menikah tanpa ridho orangtua. Mungkin memang ini yang terbaik buat kami. Oh, iya aku juga sempat melihat orangtua Gina datang dan memberi selamat pada kami. Aku langsung SMS Farah, takut si Gina beneran bunuh diri. Alhamdulillah, ternyata Farah dan Abay benar kalau Gina hanya menggertak. Dia nggak bunuh diri, malah katanya lagi liburan ke Bali. Hadeuh. Dasar ABG! Bikin orang panik aja.
Jam menunjukkan pukul 22.30 ketika aku baru selesai mandi dan kembali ke kamar, aku tak menyangka kalau menikah bisa semelelahkan ini. Padahal ijab kabul pun tak sampai 5 menit, tapi kenapa acara resepsinya sesuatu sekali?
Kulihat Abay—yang sudah lebih dulu mandi— duduk di pinggiran ranjang, mengamatiku dari atas sampai bawah. Aku mengalihkan pandanganku, pura-pura tak melihat menjadi satu-satunya jurus andalanku saat ini. Aku bergerak menuju meja riasku,
“Sudah sholat isya?”tanyaku basa-basi sambil menyisir rambutku, memulai pembicaraan sepertinya tidak buruk. Tapi topiknya? Apa? dasar Fika bodoh! Pertanyaan basa-basi macam apa itu? Aku baru ingat kalau tadi Abay menyempatkan diri sholat Isya bergantian denganku selagi masih ada tamu yang berdatangan.
“Sudah,” jawabnya santai, tak kusangka ia beranjak dari duduknya dan mulai mendekatiku. Uh-oh. Aku mulai waspada, tapi tetap berusaha tenang sambil terus menyisir rambutku.
“Aku pikir rambut kamu pendek,” ujarnya setelah merapatkan tubuhnya padaku sambil membelai rambut panjangku, duh! Kok mepet-mepet gini sih si Abay, ah! Kulirik dari cermin ia tersenyum simpul. Mata kami bertemu dalam pantulan cermin.
“Kamu nggak suka cewek rambut panjang, ya?” kuletakkan sisirku dan mulai menatap matanya lewat pantulan cermin. Duh! Kok deg-degan gini, ya? Perasaan tadi biasa aja deh.
Ia tersenyum lagi,”Aku suka kamu berambut panjang,”tangannya yang bebas memeluk pinggangku. Ia kembali merapatkan tubuhnya, membuatku tersentak. Duh. Kok aku merinding gini ya? Ini beneran Abay kan yang meluk? Bukan setan.
“Tapi aku nggak suka cewek berambut panjang kalau bukan kamu,”aku tersenyum geli demi mendengar gombalannya,
“…soalnya biasanya yang berambut panjang itu kuntilanak sih…”
Ngek!
Ternyata dia nggak menggombal! Hadeh!
Abay mengetatkan pelukannya padaku, hiyaaaa! Aku merinding lagi, kali ini benar-benar merinding. Merinding semerindingnya merinding, karena helaan nafas Abay terasa di leherku. Mamah! No! tidak sekarang! Bukan sekarang!
“Eh bentar…bentar…aku…hapeku mana ya?” secepat kilat aku berusaha lepas dari pelukannya dan meloloskan diri, untungnya ia langsung meloloskanku. Aku mondar-mandir berusaha mencari hapeku. Dimanapun, dibawah bantal, nakas, dibalik bed cover, pinggiran jendela.
“Sayang, ini hape kamu,” Aku menoleh cepat dan mendapati Abay tengah memegang benda hitam itu. Aku buru-buru menghampirinya.
“Eh, dimana?” buru-buru kusambar hapeku dari tangannya.
“Di sini,” ia menunjuk meja riasku. Ups!
Aku cuma nyengir ke arahnya.
“Mau ngapain?”
“Nelpon Dini, ada sesuatu yang perlu aku sampein.”
“Ooh…”ia hanya mengangguk paham.
“Malam-malam gini, nggak apa-apa?”
“Enggak, dia mah jam segini belum tidur.”
Aku sedikit menjauh dari Abay. Kuputari ranjang dan duduk di sisi yang terjauh dari Abay. Aku benar-benar memencet nomor Dini, sebodoh amat deh ntar ngomong apa, yang penting aku tidak berbohong mau menelepon Dini.
Sembari menunggu jawaban dari panggilanku ke nomor Dini, kudengar Abay mulai beringsut naik ke atas Ranjang. Aku tak menoleh, semoga ia segera tertidur. Amin.
“Halo,” sebuah suara maskulin dari seberang menyadarkanku. Lho? Kok cowok? Aku memastikan kembali bahwa aku tak salah mendial nomor. Nah! Bener si Dini.
“Halo,”suara itu lagi. Ealah ini suara suaminya Dini kali ya, hari ini kan dia khusus pulang dari Jogja untuk menghadiri pernikahan kami.
“Ehm, Dini nya ada?”
“Lagi mandi.”
Hah? Jam segini? Tumben! Biasanya juga sehari sekali.
“….ada yang mau disampein atau nanti aku suruh telpon balik aja?” lanjut De.
“Eh enggak De, nggak usah. Masih lama, ya? Mandinya?” tanyaku lagi memastikan, aduh! Aku butuh teman mengobrol untuk mengalihkan diri dari Abay. Dini adalah penyebab keparnoanku saat ini. Jadi dia harus tanggung jawab.
“Eh, ini udah selesai Dininya.”
Alhamdulillah. Aku mendengar krasak-krusuk sebelum suara Dini akhirnya mengambil alih.
“Apaan Fika? Malam pertama malah nelepon orang? Mau diajarin, eh?” godanya lagi. Apa deh! Salah banget minta diajarin Dini. Kapok.
“Kamu tumben malem-malem mandi, Din?” aku mengalihkan pembicaraanku sebelum ia mulai bicara aneh-aneh, dan aku menjawab dengan hal yang aneh-aneh juga, dan Abay mendengar. Oh no!
“Beneran mau tau?” jawabnya dengan nada jahil. Uh-oh! Kayaknya aku salah nanya deh.
“Eng-gak!” jawabku tegas. Meminta penjelasannya adalah masalah besar, kesalahan besar.
“Bagus! Sekarang tutup telponnya, ini waktunya kerja.”
“Kerja?”
“Ya…kerja keras. Bekerja untuk menghasilkan yang keras dan yang keras untuk bekerja.”
Ini bocah ngomong apa sih? Kenapa jadi ngaco gini sih?
“Oh ya Fik, silakan dinikmati ya, hidangannya, hahahaha,” Dini tergelak keras. Tanpa babibu aku langsung mematikan sambungan telepon kami. Dasar gila! Eh, dia kan memang sudah gila, dan sekarang tambah gila! Dan bukankah aku lebih gila karena mau bersahabat dengan orang gila macam Dini? Ckckck.
“Sudah selesai?” tanya Abay membuatku terlonjak kaget. Lah? Dia nggak tidur? Idih...ini orang nggak capek apa, ya? Nggak ngantuk?
“Eh, Iya,”aku gelagapan. Aduh! Gimana nih? Dari gelagat Abay tadi entah kenapa aku mencium bau ketidakberesan. tidak, dia memang beres, tentu saja beres, lelaki normal mana yang tidak ingin mengambil haknya di malam pertama ini?
Aku yang tidak beres. Ya! Aku belum siap, dan aku merasa gengsi kalau harus mengatakan padanya bahwa aku takut dan belum siap. Astaga! Aku sudah 28 tahun, dan aku sudah ngebet nikah, bagaimana bisa aku bilang bahwa aku belum siap dan takut? Mau ditaruh dimana muka cantikku ini?
“Ada yang mau dilakukan lagi?”tanyanya.
Ada. Kabur dari sini segera. Eh?
Abay beringsut mendekatiku yang masih duduk dipinggiran ranjang. Sementara dia sudah ngesot diatas kasur demi mendekatiku.
“Eng…eh, emang kenapa?”tanyaku mulai gugup. Sumpah, saat ini aku sama sekali tak berani menoleh ke belakang, ke arahnya.
“Nggak apa-apa, kok kamu masih duduk? Barangkali ada yang ingin kamu lakukan lagi.”
Apa ya? Apa ya? Ayo Fika berfikir! Berfikir!
“Kalau nggak ada kenapa nggak langsung tidur? Atau…kamu nggak nyaman ya karna ada aku?”
Aku membalikkan tubuhku cepat. Menggeleng kuat dan mengibas-ibaskan tanganku.
“Eh, enggak kok enggak!”
Aku juga tak tahu kenapa aku reflek menjawab seperti itu, entahlah, aku tak mau membuatnya tersinggung, dan bukankah lucu kalau nanti dia memilih tidur diluar karna aku tak merasa nyaman seranjang dengannya?
Abay tersenyum kecil, “Kamu gugup, ya?”
“Enggak.”
Enggak salah.
Abay tersenyum lembut, ia menatapku dalam, membuatku lebih memilih menunduk dibandingkan harus membalas tatapan yang sama sekali tak bisa kuartikan.
Tangannya terulur, menyentuh daguku dan membawanya lembut agar aku tak menunduk dan turut membalas tatapannya.
“Kalau begitu kita bisa memulainya dengan benar, kan?”
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Mulai? Mulai apa nih?
Wajah Abay mulai mendekat, membuat jantungku kembali berdegup pada ritme yang tak seharusnya. Ia kemudian membacakan doa sebelum mengecup keningku, ada rasa haru menyeruak sebelum akhirnya aku kembali terbengong-bengong saat Abay memelukku erat. Alarm dikepalaku berbunyi keras, saat sadar bahwa ini bukan pelukan biasa. Buru-bru aku melepaskan pelukannya.
“Ehm, Abay! Bentar deh, kok aku ngerasa ada yang aneh, ya?” ujarku cepat. Sumpah, dalam keadaan kacau begini tempo ucapanku benar-benar tidak bisa diatur.
“Aneh kenapa?”tanyanya dengan wajah bingung.
“Kayak lembab gitu, Jangan-jangan aku mens, ya?”
Iya! Mens! Kenapa nggak kepikiran dari tadi! Padahal jauh-jauh hari aku berdoa dan berharap semoga aku mens dimalam pertama kami. Aku tahu kalau siklus menstruasi juga bergantung pada psikologis dan sugesti seseorang. Siapa tau dengan aku mensugesti agar malam ini aku mens. Aku bisa benar-benar mens. Lagipula ini sudah mendekati tanggalnya.
“Hah?”
“Iya! Ini kan udah deket tanggalnya, biasanya sih suka maju gitu.”
Wajah Abay terlihat bingung, menatapku tak percaya. Ia masih belum sempat mengucapkan apapun saat aku buru-buru menjauhinya.
“Aku periksa dulu,” jawabku cepat kemudian ngacir keluar kamar menuju kamar mandi.
***
Aku kembali ke kamar dengan perasaan was-was. Aku nggak mens. Bersih. Ntar pasti Abay nanya, aduh duh duh gimana, ya?
Cari ide lain Fika, cari ide lain. Biar kamu bisa kabur tanpa merasa malu, dan tetap berwibawa sebagai seorang wanita dewasa. Bukan karna parno gara-gara cerita Dini.
Pura-pura tidur adalah alternative terakhir kalau sudah sangat kepepet, meskipun akan sangat terlihat kalau aku menghindarinya.
Aku memasuki kamar perlahan.
Kosong!
Lah, Abay kemana?
Aha! Ini kesempatan bagus. Buru-buru aku membongkar lemariku. Entah darimana datangnya ide absurd satu ini, tiba-tiba saja aku ingin melakukannya sebagai bentuk pertahananku.
Kuambil dua kaus panjangku. Sweater, jaket tebal, terakhir, jaket gunung!
Kugunakan semuanya, berlapis-lapis, tak lupa aku mengambil lagi satu celana training untuk melapisi celana piyamaku.
Aduh! Mamah! Berat! Tebal! Dan panas!
Kreeek!
Abay masuk perlahan dan terlonjak kaget saat melihat penampilan baruku. Tidak lagi menggunakan piyama seperti semula tapi sudah berlapis-lapis.
“Kamu kenapa?”tanyanya sambil melebarkan mata, mungkin ia kaget mendapati istrinya udah kayak bungkusan lontong begini.
“Iya…aduh dingin banget. Takutnya bed cover aja nggak cukup,” alibiku. Padahal jelas disini udaranya sangat-sangat panas. Ah biarlah, pura-puranya sistem termoregulasiku sedang tidak beres.
“Dingin?”
“Iya duh! Dingin! Emang kamu ngga kedinginan?”tanyaku berusaha berjalan ke arah ranjang.
“Enggak tuh! Aku panas. Panas banget. Kipas anginnya juga rusak, ya?”
What? Aku menoleh cepat. Kipas angin besar yang teronggok di sudut kamarku benar-benar mati. Kok aku nggak ngeh sih? Mati aku! Mana cuaca panas begini, pake baju lapis-lapis. Neraka. Mamaaaah…
Tapi terlanjur basah, akhirnya aku nyebur sekalian. Aku beringsut naik ke ranjang dan merebahkan diri.
Abay hanya menggaruk kepalanya dan kemudian mengikutiku, tidur di sebelahku.
Aku mencoba memejamkan mataku.
“Beneran nggak apa-apa?”tanya Abay khawatir.
“Enggak, nggak apa-apa. Tidur aja. Selamat malam,” ucapku cepat kemudian memejamkan mata lagi. Sedikit memaksakan.
1 menit.
5 menit.
10 menit.
Aku nggak tahaaaaan! Haduh! Panas! Panas! Panas! Geraaaaah!
Aku membolak-balikkan tubuhku tak nyaman meskipun dalam keadaan mata tertutup.
Aduh! Abay udah tidur belum yah?
Aku membalikkan tubuhku menghadapnya, kemudian pelan-pelan, pelaaan sekali kubuka mataku, sekedar mengintip apakah Abay sudah tidur atau belum.
Aku kembali menutup mataku rapat-rapat saat ternyata Abay masih dengan mata tajamnya mengawasiku. Mati aku. Ketahuan nggak ya kalau tadi aku ngintip?
“Fika…”panggilnya lirih.
Aku tidur. Aku tidur. Aku tidur.
“Maaf ya…”
Nah lho? Kok dia malah minta maaf?
“Maaf, tadi aku terbawa suasana, kamu merasa nggak nyaman, ya?”
Aku kembali membuka mataku. Aku sudah ketahuan.
Ia tersenyum tipis,”Kamu belum siap, ya? Maaf aku nggak berpikir jauh kalau kamu belum siap, kita bahkan baru beberapa waktu kenal, kan? Kamu pasti nggak nyaman banget,”ujarnya lagi.
Ini kalimat terpanjang yang pernah kudengar dari mulutnya lagi.
“Kita bisa mulai pelan-pelan, maaf.”
Aku menatapnya sayu, duh! Kok aku jadi ngerasa salah gini, sih?
“Kamu nggak salah,”jawabku pelan.
“Aku cuma…”aku menggigit bibir bawahku,”Ehm bukan maksudku buat nolak kamu, maaf,”akuku.
Ia tersenyum lembut,”Aku ngerti,” ia mengusap kepalaku sayang.
“Aku bakal nunggu sampai kamu siap, tapi…jangan lama-lama, ya,” ia tersenyum menggoda. Aku tersenyum geli.
“Sekarang kamu bisa kan buka jaket-jaket kamu ini, pasti panas banget. Aku aja yang pake kaos panas gini.”
Ia bangkit dari tidurnya dan membantuku untuk duduk.
“Iyaaa panas banget,” keluhku,”aku nggak tahu kalau kipas anginnya rusak.”
“Nggak apa-apa. Sini aku bantuin lepas.”
Aku menatapnya takut-takut.
“Aku nggak bakal ngapa-ngapain tanpa ijin kamu,” lanjutnya seolah menangkap kekhawatiranku.
Aku membiarkannya melepaskan jaket gunungku, kemudian jaket tebalku, sesekali ia tersenyum geli, membuatku malu setengah mati.
Ia masih membantuku membuka dua kaus yang kupakai. Terakhir tangannya memegang piyama yang kukenakan. Aku buru-buru memegang tangannya yang sudah berada di kancing teratasku.
“Udah abis,” peringatku.
Ia tersenyum malu,” Oh, maaf. Kirain nggak inget,” godanya jahil.
Dibantu Abay, aku melipat kembali pakaian-pakaian itu dan mengembalikannya ke lemari.
“Sayang,” panggilnya kala aku merapikan pakaian-pakaian itu di dalam lemari.
“Aku buka kaos ya, panas banget,”lanjutnya, yaelah mau buka kaos aja pakai ijin. Mungkin ia merasa tidak enak.
“Iya,”jawabku singkat. Saat aku membalikkan tubuhku setelah menutup pintu lemari, saat itulah aku melihat pemandangan yang mungkin tak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
Bagai gerakan slow motion, aku melihat setiap detik saat Abay membuka kaosnya. Astaga! Dia cuma membuka kaosnya tapi kenapa terlihat, eeerrr…sexy!
Aku makin melongo saat mendapati apa yang ada dibalik kaos itu. Baiklah, aku akui dari awal memang sudah terlihat Abay memiliki bentuk badan yang bagus, tapi aku tak menyangka dia se…seksi ini?
Sekarang aku tahu kenapa para gadis memuja bentuk tubuh sixpack pada para pria. Abay memilikinya. Bukan jenis sixpack yang menggelikan seperti para binaragawan, astaga! Bagaimana aku menggambarkannya, itu sangat pas! Perpaduan antara dada bidang, perut rata dengan sedikit bentuk kotak-kotak, dan otot-otot lengan yang kokoh dan terlihat liat. Apalagi warna kulit Abay yang memang kecoklatan. Totally sexy!!
“Subhanallah,” reflekku lirih.
“Celana kamu,” suara Abay kembali membuyarkan lamunanku.
“Eh? Apa?”tanyaku tak fokus. Aku berusaha melihat wajahnya dan berusaha meninggalkan bentuk badan itu, astaga Fika! Otakmu kenapa?
“Celana kamu masih berlapis,” lanjutnya lagi.
Aku buru-buru mengalihkan pandanganku, oh iya! Aku belum melepas celanaku. Masih dengan perasaan gugup campur berdebar setelah menyaksikan pemandangan tadi, aku terburu melepas celana trainingku dan tanpa bisa ku kendalikan, ternyata celana piyamaku ikut melorot bersamaan dengan celana training yang ingin ku lepas. Reflek aku menatap ke arah Abay yang juga masih memelototiku dengan wajah syok.
HYAAAAAAAAA!!!
Share this novel