BAB 7

Romance Completed 38734

Akhirnya setelah 1 minggu masa cuti Dini dan 2 minggu tak berada dalam satu shift bersamanya, malam ini akhirnya kami berada dalam satu shift jaga. Dini kembali diinterogasi olehku, Mbak Farah, dan juga Mas Toni yang juga kebetulan jaga malam ini. Ia dituntut untuk bercerita tentang pernikahan kilatnya yang ia jawab dengan seenak jidatnya. Mereka menikah tanpa pacaran, menikah karena merasa sama-sama perlu. Hiyaaah kenapa rada-rada mirip aku sama Abay gini?

Jam setengah 12 malam, seperti kebiasaanku saat jaga malam bersama Dini, kami ‘ngopi di kafetaria rumah sakit yang buka 24 jam. Meninggalkan Mbak Farah dan Mas Toni berjaga di bangsal. Yess! Saatnya interogasi Dini secara privat.

“Jadi gimana?”

“Gimana apanya?” jawabnya sembari menyeruput kopi hitamnya, kayak mbah dukun. Entahlah, selera Dini memang rada-rada.

“Rasanya jadi istri, hihihi,”

Dini mengangkat bahunya cuek,”biasa aja.”

“Masa gitu aja?”

“Ya abis mau gimana dong?”

“Mm…mm… kalau malam pertamanya gimana, Din?” godaku usil. Meskipun Dini sudah habis diledeki Mbak Farah dan Mas Tony saat di bangsal dan hanya ditanggapi dengan asal oleh Dini tetap saja aku penasaran dengan tanggapan malam pertama—malam yang konon nggak kalah sakral sama pernikahan itu sendiri.

“Uhuk!”Dini keselek! Astaga! Segera kutepuk-tepuk pelan punggungnya. Dini buru-buru menepis tanganku setelah meraih air mineral yang ada dihadapannya dan menegaknya seperti orang kesetanan.

“Lo mau gue ceritain acara perang-perangan kita?” tanyanya setelah tenang.

“Kok perang sih, Din? Pake istilah yang unyuan dikit kenapa?”

Dini kembali mengangkat bahunya cuek.

“Eh tapi masa lo mau cerita masalah ranjang lo, kan nggak boleh, ya?” ujarku mencoba mengingat-ingat. Aduh tapi penasaran juga, Dini gitu lho… kayak gimana ya kira-kira? Aduuuh otakmu, Fiiiiiik…

“Emang gue bilang iya mau cerita? No! Ntar lo mupeng lagi.”

Idih!

“Tapi… tapi… tapi gue penasaran banget Din, bocorin dikit deh dikiiiit aja, enggak perlu detailnya. Gue cuma mau tahu…ehm…sakit nggak sih?” tanyaku takut-takut.

Dini terdiam sebentar, tampak berpikir, tapi kemudian menatapku serius.

“Sakit banget, Fik.” suara Dini langsung menggema di telingaku, berikut dengan ekspresinya yang tampak serius dan pelan. Aku mengerjapkan mataku. Sa-kit. Ba-nget? Kok kayaknya serem banget ya? Aku memperhatikan setiap detail ekspresi yang Dini pancarkan. Ya Allah, Dini kan orangnya paling tahan sakit, jangankan kena jarum suntik, jari kena pisau sampai hampir putus saja ia cuma meringis. Tapi, memperhatikan ekspresi yang Dini berikan baru saja, rasanya mustahil kalau yang ia rasakan hanya sakit. Pasti benar-benar sakit. Hyaaaa! Mamah! Emang segitu sakitnya, ya? Aduh-duh, Dini aja sampai begitu, apalagi aku yang baru kena sariawan saja udah nangis-nangis?

“Se-segitunya ya, Din?” tanyaku takut-takut. Sebentar! Ini dalam bayanganku malam pertama kok jadi nggak ada unyu-unyunya kayak yang di TV, ya?

Dini menatapku serius, aku sendiri masih tegang dan entahlah, mungkin sekarang wajahku sudah pucat pasi membayangkan rasa sakit yang digambarkan Dini.

Tiba-tiba ia mengangkat sebelah alisnya dan menyeringai kecil,” Oh iya, sebentar lagi kan lo mau nikah, ya?”

Uh-oh.

Aku gelagapan. Iya ya? Kok aku lupa kalau tanggal pernikahanku dengan Abay sudah ditetapkan. Tak kurang dari satu bulan lagi. Mengingat itu semua aku mendadak panik, apalagi melihat seringaian Dini. Firasatku sudah tidak enak kalau sudah melihat seringaian menyeramkannya itu.

“Hahahaha!” Dini tertawa puas,”Berarti sebentar lagi lo juga ngerasain ya…” lanjutnya

“Sama Abay…”

Aku membulatkan mataku lebar, mendadak bayangan Abay muncul dengan senyuman mempesonanya kemudian berubah menjadi seringaian menyeramkan.

“Lo bakal di…”

“Diniiii!!!”

Dini tertawa lebar dan membiarkanku cemberut serta berusaha mengenyahkan bayangan Abay yang mendadak menyeramkan itu.

Getaran ponsel Dini di meja berhasil menghentikan tawanya.

“Assalamualaikum, hai, De!”jawabnya, aku menatapnya penasaran.

Dini membuka mulut tanpa suara menjawab pertanyaanku,’ suami’

Aku hanya melengos, masih kesal dengannya

“Hah? Kangen? Enggak tuh!”Lanjutnya lagi. Idih! Gila nih bocah, nggak ada romantis-romantisnya sama suami. Selanjutnya aku membiarkan mereka bertelepon ria sementara aku memilih menikmati acara tengah malam yang disajikan di televisi, daripada nguping, kan?

Sayangnya acara TV yang kutonton kini tak lagi membuatku menikmati apa yang disajikan. Berulang kali aku menggelengkan kepalaku berusaha mengenyahkan bayangan-bayangan mengerikan mengenai malam pertama. Ish! Ini semua gara-gara Dini!

***

Pernikahan tinggal satu bulan lagi, dan aku justru semakin takut saat bertemu Abay. Kata-kata Dini terus terngiang mengenai malam pertama itu. Cish, tau gitu aku nggak tanya-tanya soal malam pertama. Lagipula mana aku tahu kalau ceritanya bakal bikin aku se-parno ini. Cerita malam pertama yang aku baca di novel dan kulihat di TV tak semenyeramkan itu. Sayangnya, sebanyak apapun yang kubaca dan kulihat tentang ke-unyu-an malam pertama, mendadak lenyap setelah aku mendengar cerita Dini.

Aduh duh duh. Kalau begini caranya mending nggak jadi nikah aja deh Mamah, huwaa…

Sabrina masih tak merestui hubunganku dengan Abay, dia bilang dia akan mempertimbangkan hubungan kami kalau kami berhasil memberikan keponakan yang lucu. Nah! Gimana ceritanya kita bisa ngasih keponakan ke dia kalau kita nggak nikah dan nggak ‘nananina’. What? ‘nananina’? baiklah itu istilah unyu yang kubuat, lebih baik kan daripada ‘perang-perangan’ seperti istilah Dini. Astaga! Mengingat hal itu aku kembali bergidik. Apalagi kalau liat badan Abay yang agak-agak keker gitu, hiyaaaa ini kalau badanku remuk pas dipeluk sama dia gimana? Huwaaa kok jadi serem gini sih?

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Abay sembari mengibas-ibaskan telapak tangannya di depan wajahku. Ternyata sejak tadi ia berusaha menyadarkanku dari lamunan.

“Kesambet kali Bang!” sahut Oka—adik semata wayangku asal.

Aku melirik kesal ke arah Oka. Kesambet? Sembarangan! Mahasiswa kedokteran kok masih percaya begituan!

“Kalian mau langsung pulang?” tanya Abay lagi, kali ini pertanyaan ia tujukan pada Oka. Kami baru saja selesai checking terakhir untuk gaun pengantin kami. Bersama dengan Oka aku menemui Abay di tempat kami berada saat ini. Sebuah salon sekaligus wedding organizer.

“Mau ambil kue pesenan Mama dulu, Bang,” jawab Oka kemudian membenarkan letak kacamata tipisnya.

Abay hanya mengangguk, “Ok. Aku juga mau balik ke kantor,”jawabnya singkat. Matanya kemudian beralih padaku, tapi aku segera mengalihkan pandanganku pada Oka yang sibuk dengan ponsel buntutnya.

“Oka, abis ini anter Mbak ke kontrakan Mbak Dini, ya?” pintaku pada Oka.

“Hm,”Oka hanya menggumam.

“Kak Bayu!” aku dan Abay serentak menoleh dan mendapati seorang gadis yang baru saja turun dari Nissan juke-nya.

Ih cewek ababil itu lagi!

Gadis itu mempercepat langkahnya ke arah kami bertiga dengan raut wajah yang sama sekali tak enak dipandang.

“Gina?” Abay bersuara.

Gina-gadis itu menatap kami berdua dengan tatapan marah sekaligus kecewa. Fine. Aku cukup tahu kalau dia salah satu dari penggemar Abay. Dan aku masih kesal dengannya yang seenak jidatnya manggil aku dengan sebutan tan-te!

“Jadi bener?” suaranya serak, saat ku lihat, mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Oka pun yang tadinya tak terlalu mempedulikan kehadiran gadis itu kini turut memperhatikannya.

“Jadi bener Kak Bayu mau nikah sama tante ini?” tanyanya dengan nada pilu menatap Abay.

Heh? Tan-te? Rasa iba yang tadinya mencuat kini ditenggelamkan oleh rasa kesal karena panggilannya.

“Tante?” Oka menggumam keheranan,” keponakan baru kita ya, Mbak? Anak siapa?” tanyanya nggak nyambung! Aku memelototinya dan dia malah balas memandangku kebingungan.

“Ehm, iya. Sebulan lagi,” Jawab Abay tenang sambil melirikku.

Gina balas menatapku, kemudian kembali menatap Abay.

“Nggak! Kak Bayu bohong, kan? Iya kan, Kak?” air mata gadis itu mulai luruh.

Aku dan Oka saling berpandangan sementara Abay juga tampak kebingungan.

“Bilang sama Gina kalau ini bohong. Dia Cuma pacar pura-pura Kak Bayu, kan? Atau… atau kalian mau nikah kontrak, iya, kan?” Seru Gina sambil memegangi lengan Abay yang tertutupi jaket kulitnya.

Aku melongo hebat, ini bocah dijanjiin apa sih sama Abay? Atau dia yang kebanyakan nonton sinetron?

“Kok jadi kayak sinetron gini, ya?” gumam Oka lagi sambil menggaruk kepalanya.

Perlahan Abay melepaskan pegangan Gina di lengannya.

“Enggak Gina,” Jawabnya singkat. Gina masih tersedu. Tubuh Gina merosot, ia berlutut dan menangis tersedu. Aku, Oka, dan Abay saling berpandangan bingung.

“Huwaaaa! Aku nggak rela! Huhuhu, Kak Bayu jahat!”

Gumam gadis itu masih menangis seperti anak kecil. Astaga! Anak orang sampai dibikin nangis kejer begini gara-gara rencana pernikahan kami?

Aku menatap tajam Abay yang masih terlihat bingung sebenarnya dia menjanjikan apa sih sama cewek satu ini? Kok sampai segitunya?

“Gina…” panggil Abay pelan berusaha berbicara pada gadis itu,” Maaf kalau kamu sakit hati. Tapi saya tidak membohongi siapapun, dan saya rasa saya tidak perlu menjelaskan apapun yang sudah jelas.”

Gina menatap tajam ke arah Abay. Ia menyeka air matanya dengan kasar.

“Aku nggak nyangka Kakak bisa sejahat ini!”

Aku mendengus kesal menyaksikan adegan ala sinetron di depanku saat ini, dimana aku seharusnya sama sekali tak terlibat, dan aku malas terlibat. Aku sudah terlanjur ilfeel dengan gadis songong satu ini.

” Oka, kita pergi aja!” ujarku menyenggol Oka yang masih bengong menikmati dialog Abay dan gadis itu. Tanpa menunggu jawaban Oka aku berjalan lebih cepat menjauhi mereka dan menuju dimana mobil kijang tua kami diparkir Oka.

Sebuah tarikan di lenganku membuat langkah seribu berhenti. Dalam satu sentakan aku berhasil menoleh ke arah pelaku yang ternyata adalah Abay.

Aku menatapnya kesal, menghentakkan pegangan tangannya di lenganku. Kulirik tempat kejadian sebelumnya. Gadis itu sudah pergi entah kemana, hanya Oka yang berdiri menatap kami dari tepatnya sedari tadi. Abay menatap Oka seolah memberi isyarat bahwa ia hanya ingin bicara berdua denganku. Oka mengangkat kedua tangannya mengerti dan berjalan ke arah mobil. Meninggalkanku sendiri dengan Abay.

“Kamu marah?” tanyanya.

“Enggak!”

Abay tersenyum tipis,” Kamu marah, Fika.”

“Sok tahu!”

“Gina sudah pergi.”

“Nggak nanya!”

Abay kembali tersenyum tipis, membuatku menyadari sesuatu, kok aku jadi merajuk begini? Kekanakan ah.

Aku berdehem,” Ehm, maaf, maksudku…itu urusanmu dengannya, bukan urusanku.” Jawabku mencoba lebih kalem.

“Aku nggak ada apa-apa sama dia.”

“Nggak ada apa-apa kok sampai nangis kejer begitu,” gumamku pelan, dan sayangnya Abay mendengarnya.

“Dia putri atasanku.”

Aku menghela nafas panjang,”Abay…mungkin rencana pernikahan kita perlu ditinjau ulang,” ucapku melemah.

Abay mengernyitkan keningnya.

“Aku rasa banyak pihak yang tidak menghendaki pernikahan ini. Sabrina. Gadis itu. Dan juga…”aku menggigit bibir bawahku ragu,”Toh kita tak benar-benar saling mencintai.”

Aku menatapnya takut-takut. Ya, beberapa kali aku berfikir, ternyata aku memang nggak siap-siap amat menikah. Apalagi dengan cara seperti ini, dijodohkan dan ada pihak-pihak yang tidak merestui. Ditambah lagi kesiapan lahir batinku, aku merasa akhir-akhir ini merasa sedikit tertekan.

Abay menatapku serius,”Kayaknya kamu kena sindrom pra nikah deh,”

Hah?! What?!

“Kamu cuma butuh istirahat. Aku balik dulu. Hati-hati di jalan.” Lanjutnya lagi kemudian berbalik meninggalkankuu yang masih melongo tak percaya.

Sindrom pra nikah?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience