Adakah telaga unyu-unyu yang bisa kubuat untuk menenggelamkan diriku saat ini juga?Mamaaah…Aduh, kepalaku! Kepalaku, aduh!
Ya Allah kenapa kecerobohanku tak berkurang sedikitpun diusiaku yang makin tua ini Ya Allah!
Abay berdehem keras sebelum akhirnya memalingkan wajahnya dari pemandangan memalukan sepanjang abad ini. Aku sambil merutuk pelan buru-buru menaikkan celana piyamaku.
“Hm, aku tidur dulu. Selamat malam,” ujar Abay tanpa memandang ke arahku.
“Ma…malam,”jawabku miris dan tertunduk lesu.
Tamatlah riwayatmu Fika! Nyemplung aja kamu ke empang. Mempermalukan diri sendiri di depan suami di malam pertama? Haha! Ke empang aja kamu ke empaaaaang.
Aku berjalan pelan menuju ranjang, pelan-pelan menaikinya. Abay sudah tak bergerak, yang kulihat kini hanyalah punggung lebarnya.
Huwaaaa! Seandainya saja Abay bisa hilang ingatan besok ketika ia terbangun. Ya Allah, tadi dia lihat apa? Dia mikir apa? Mamah!
Jangan-jangan dia ilfeel punya istri macam aku.
Padahal tadi udah lumayan manis intronya, tapi kejadian itu malah membuat kami tidur saling memunggungi begini. Duh, aku kan cuma nggak pengin langsung nananina sama Abay malam ini, tapi kenapa malah berakhir tragis gini sih? Pantat-pantatan. Padahal kayaknya enak kalau tidur peluk-peluk Abay, apalagi bersandar di dada bidangnya itu, ups! Hiyaaa! Aku mikir apa sih? Kok jadi kacau gini?
Tidur fika, tidur.
Besok Abay hilang ingatan.
Besok Abay hilang ingatan.
Besok Abay…. Hilang.
Besok Abay….
Besok…
***
Kulirik jam di dinding kamarku setelah mataku membuka sempurna, jam 7.45. Selepas sholat shubuh tadi aku dan Abay memilih melanjutkan tidur kami, awalnya kami ingin turut beraktivitas, tapi Mama melarang keras dan mendorong kami kembali ke kamar. Buatku kesempatan bagus, karna jujur saja aku masih mengantuk, acara kemarin benar-benar menguras tenaga.
Kulirik Abay masih tertidur, meskipun beberapa kali ia terlihat tak nyaman dengan posisi tidurnya. Sekedar info, pagi tadi Abay sudah tidak bertelanjang dada, mungkin karena udara pagi yang kelewat menusuk, membuat kami justru sempat rebutan bed cover. Hm, sayang sekali, padahal bisa buat cuci mata di pagi hari, ups! Ish, ini otak kenapa jadi rada-rada gini sih?
Aku menyambar kerudung kausku dan memakainya asal. Aku terlonjak kaget saat mendapati Mama sudah berdiri di depan pintu dengan baki berisi makanan.
“Mama ih, ngagetin!” ujarku. Mama menatapku dengan wajah bahagianya, tapi sayangnya beliau menghalangi jalan keluar.
“Misi dong, Ma, Fika mau keluar.”
“Ngapain? Kamu pasti kelaperan, kan? Ini Mama kasih makanan. Makannya di dalem kamar aja sama Abay,” ucap Mama kemudian menyerahkan baki itu secara paksa kepadaku.
Aku hanya mengerjap bingung, kok kita jadi kayak pasien di ruang isolasi gini? Mama sedikit mendorongku mundur, aku masih bengong saat kusadari Mama sudah memberiku semangat dan menutup pintu dari luar.
“Ada apa sih?”tanya Abay dengan suara parau, meskipun ia masih tampak enggan bangun dari tidurnya. Matanya masih mengerjap-ngerjap membiasakan dengan cahaya yang masuk melalui celah-celah korden yang tak tertutup rapat.
“Ini Mama ngasih sarapan,” jawabku sembari meletakkan baki berisi dua nasi goreng telur beserta teh hangat di atas meja.
Abay mendongak menatap wajahku, ia tersenyum polos,”Oh,” pandangan matanya tiba-tiba langsung beralih ke bagian bawah tubuhku.
“Kenapa?”tanyaku reflek saat mengikuti arah matanya,
Abay tersenyum geli, “Nggak apa-apa.”
Kyaaaaa!!! Jangan-jangan Dia ngolokin aku gara-gara kejadian semalam. Huwaaa! Kok masih inget sih? Abay kembali merapatkan matanya, senyum jahil masih terpampang diwajahnya, ia mulai meringkuk dan memeluk guling yang ada didepannya dengan erat. Busyet! Kenceng banget meluknya, ntar kalau aku dipeluk begitu terus kegencet gimana?
“Kamu makan aja duluan, aku masih ngantuk,” ujarnya kemudian kembali terlelap.
Huwaaaa! Tidur aja sana sampai hilang ingatan!
Untungnya setelah ia bangun, ia tak menampakan lagi senyum gelinya tiap melihatku , setelah selesai mandi aku memilih berkeliaran di luar kamar, sengaja kuhindari pertemuan dengan Abay. Takut kalau-kalau ia kembali meledekku atas insiden semalam. Astagaaa benar-benar memalukan.
Tapi Alhamdulillah, sepertinya niatan Abay untuk mengolokku hanya sampai tadi pagi saja, setelahnya kami bersikap biasa-biasa saja. Menghabiskan waktu dengan bermain game berdua dan juga memasak. Abay bisa memasak, tapi jangan tanya bagaimana rasa masakannya. Ibarat tanda panah, ia akan menunjuk kemana-mana, nggak jelas.
***
“Jiaaah, masih duluan aku.Ayo dong, cepetan!” teriakku ke arah Abay yang masih berlari pendek, beberapa meter dibelakangku.
Abay tak menghiraukan teriakanku, ia masih terus berlari lari kecil menuju ke arahku.
Minggu pagi, selesai sholat subuh, Abay tak membiarkanku kembali masuk kedalam selimut dan memaksaku untuk menemaninya jogging. Haaaah? Olahraga? Sama sekali tak ada dalam kamusku selepas aku SMA. Tapi tak apalah, kan romantis juga jogging berdua sama suami.
Abay terengah dan memilih duduk di sampingku setelah ia berhasil menjangkau tempatku. Kuulurkan sebotol air putih yang kami bawa dari rumah.
“Gimana? Asyik kan joggingnya?” tanyaku sambil tersenyum lebar, hari mulai panas, entah jam berapa sekarang. Aku menoleh ke arah Abay yang masih fokus melepas dahaganya. Tubuhnya berkeringat. Ehm, sexy.
“Lebih asyik lagi kalau kamu ikut,”jawabnya pendek, ia mulai mengelap keringatnya dengan handuk kecil yang ia sampirkan di lehernya. Abay mengibas-ibaskan kaos yang ia pakai, mungkin untuk melepas kegerahannya, duh, rasanya aku pengen ngintip apa yang ada di dalamnya. Ups!
3 hari sesudah insiden itu, aku tak pernah lagi melihat Abay bertelanjang dada. Dia kelewat sopan, padahal Papa dan Oka juga sering berkeliaran di rumah sambil bertelanjang dada. Apalagi sejak ia membeli kipas angin baru untuk kamar kami, tak ada lagi kesempatan untukku melihat kotak-kotak coklatnya itu. ck.
“Aku kan ikut.”
Abay menatapku kemudian menatap skutermatic yang terparkir cantik didekat kami duduk.
“Iya, tapi bawa motor.”
Aku nyengir lebar, hahaha! aku kan nggak biasa jogging, jadi daripada aku menganggu acara jogingnya dengan segala macam keluhanku kan lebih baik aku mengikutinya dengan motor maticku.
“Udah ah. Udah mulai siang nih, cari bubur ayam yuk!”
“Dimana?”
“Pemda sana, naik motor aja. Lumayan jauh soalnya.”
Abay berdiri mengikutiku, ia menyerahkan botol minuman yang hanya tinggal seperempat dan mengambil kunci motor dari tanganku.
Kami berboncengan menuju kawasan pemda, yang biasanya ramai di minggu pagi seperti ini untuk mencari sarapan. Ternyata kami sama-sama pecinta bubur ayam, itu juga baru kutahu saat aku menanyainya dalam perjalanan menuju pemda.
Abay duduk tak jauh dari tempatku memesan bubur ayam untuk kami berdua, aku menatapnya yang sedang duduk sambil menselonjorkan kedua kakinya. Kalau di lihat lihat begini, siapa yang menyangka kalau Abay sudah menikah? Dengan wanita yang lebih tua lagi! Siapa lagi kalau bukan aku, ih, kalau inget umur sebenarnya aku minder sendiri deh, kadang juga masih suka latah menganggap Abay selalu lebih kecil dariku, tapi aku tak mau membuatnya tersinggung, sebisa mungkin kuberikan penghormatan padanya layaknya seorang suami. Lagipula Abay bahkan terlihat jauh lebih dewasa dibandingkan denganku, mungkin karena pembawaannya yang jarang bicara.
Aku mengernyitkan dahiku kala 2 orang gadis mendekati Abay, dengan kaus ketat, celana pendek, dan sepatu olahraga. Jiah, mau ngapain mereka?
Aku masih mengamati gerak-gerik mereka, dua gadis muda itu berbicara sambil cekikikan pada Abay yang masih memasang wajah datarnya.
“Neng, ini buburnya.”
Suara tukang bubur mengalihkan pandanganku.
“Eh, makasih, Bang,” ujarku kemudian segera merebut dua mangkuk bubur ayam dari si tukang bubur dan berjalan cepat mendekati Abay.
Semakin dekat, samar-samar aku mendengar dua gadis itu menanyakan alamat Abay. Jiah, modus ternyata.
“Ehem!” aku sengaja berdehem lebih keras untuk mengalihkan mereka. Abay menoleh dan tersenyum padaku, sementara dua gadis tadi menatapku tak suka.
“Saya bukan orang sini, Mbak. Coba tanya istri saya, mungkin tahu,” jawab Abay sopan kepada dua gadis belia tadi.
Dua gadis belia tadi menatapku dari atas sampai bawah, “Oh istrinya? Ehm, nggak jadi deh Mas, kita udah inget jalannya kok. Permisi.”jawab si gadis yang memakai kaus pink, mereka kemudian berlari kecil menjauhi kami tanpa perlu repot-repot tersenyum pada kami.
Kuserahkan semangkuk bubur ayam pada Abay, dan kami duduk pada tikar yang digelar diatas rerumputan.
“Itu tadi siapa?”tanyaku.
“Oh, tanya alamat.”
“Alamat kamu?”
“Bukan, alamat daerah sini terus sekalian tanya alamatku,” jawabnya datar.
Jiah, modus banget tuh ABG-ABG. Heran deh, perasaan Abay nggak ganteng-ganteng amat, emang sih manis dan juga berkharisma, apalagi bodynya yang tegap dan berisi itu. Healah ternyata banyak juga kelebihan fisik suamiku ini, pantesan aja banyak yang suka dari mulai emak-emak, tante-tante, mbak-mbak kayak aku, sampai ABG-ABG.
“Aku suruh tanya kamu malah pergi.”
“Jiaaah ya iya atuh Kang, orang mereka mau modusin situ malah disuruh nanya ke istri,” aku tertawa geli mengingat ekspresi kedua gadis tadi saat Abay mengatakan ‘istri saya’ hahaha, tiba-tiba saja aku membayangkan dialog modus ala abg kayak gini nih…
‘Mas, tau alamat ini?’
‘Enggak, Mbak.’
‘Kalau Mas, alamatnya dimana?’
‘Saya bukan orang sini, Mbak. Coba tanya istri saya, mungkin tahu.’
Hahaha cengo banget pasti.
“Modus?”tanya Abay menatapku bingung.
“Iya, modusin kamu. Paling-paling juga mau kenalan sama kamu,” aku kembali terkikik geli, ini nih Abay cuek apa polos, sih?
“Kamu sering modus juga?”tanyanya masih dengan wajah datar.
Hah? Waduh, jangan-jangan aku dikira punya banyak trik modus.
“Kok nggak pernah modusin aku?” lanjutnya lagi, dan tentu saja dengan wajah dan intonasi yang datar.
Alamak! Kenapa malah dia yang minta aku modusin?
“Buburnya enak, nggak?” tanyaku mengalihkan pembicaraan dan kembali menyuapkan bubur ayam ke dalam mulutku.
***
Abay benar-benar memenuhi janjinya untuk memberiku ruang bernapas dan membiarkan hubungan kami berjalan secara alami. Ia tak pernah lagi memintaku secara khusus untuk melakukan ibadah khas suami istri, meskipun begitu ia tetap mengusahakan skinship diantara kami, seperti sentuhan-sentuhan ringan, pegangan tangan, pelukan, atau bahkan ciuman.
Itu membuatku merasa nyaman disisinya, sedikit melupakan keegoisanku atas kata-kata Dini yang sebenarnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sejujurnya akhir-akhir ini justru aku yang ingin terus menempel pada Abay. Aku jadi mulai berfikir, mungkin ini pengaruh hormone di masa suburku. Seringkali aku merasa Abay begitu sexy bahkan saat ia hanya memakai kolor dan kaus oblong.
Rasanya aku tak ingin memperlama lagi waktu kami untuk segera menyempurnakan ibadah kami, ini hari terakhir kami tinggal di rumah Mama, mulai besok aku akan pindah ke rumah yang sudah mulai dicicil Abay sejak ia bekerja disini.
Dan tibalah momen itu, momen dimana aku yakin ini takhanya berakhir dengan sebuah canda tawa, ah mungkin ini memang saatnya, aku baru saja ingin menyuarakan isi hatiku saat tiba-tiba sebuah suara benda terjatuh dan pecah seolah menyadarkan kami.
Aku dan Abay saling berpandangan kemudian buru-buru beranjak dari posisi kami saat ini, kuraih jilbab kausku dan keluar kamar bersama dengan Abay.
Ini jam 11 malam, astaga! Siapa yang membuat keributan ditengah malam seperti ini.
Aku menyalakan lampu di ruang tengah, tempat dimana sumber suara berada. Saat itu ku lihat sebuah guci telah tak berbentuk di lantai, di depannya kulihat Oka dengan mata terpejamnya masih berkeliaran seperti vampire. Astaga! Syndrome jalan sambil tidurnya itu kumat lagi. Aku menginstruksikan pada Abay untuk menyeret Oka kembali ke kamarnya saat Oka kembali menubruk tembok kamar Mama. Untung saja Mama dan Papa sedang di luar kota, bisa diomeli habis-habisan si Oka karena kembali berulah, ckckck, adikku itu, ganteng-ganteng tapi punya kebiasaan aneh.
Setelah membersihkan bekas pecahan guci dan Oka sudah kembali ke kamarnya aku dan Abay kembali ke kamar. Aku berbaring canggung di sebelah Abay. Kami terdiam beberapa saat. Bagaimana caranya memulai lagi kegiatan kami tadi, aaarrrgh!
“Besok kamu jaga pagi, kan?” Abay membuka suara.
“Eh, iya.”
“Abis jaga aku jemput kita langsung ke rumah.”
“Ehm, iya.”
Setelah itu sunyi, kami sibuk dengan pikiran masing-masing dan akhirnya terlelap.
Share this novel