Bab 14

Other Completed 4495

BAB 14

"Awak jangan urut saya kuat-kuat ya,"

"Lagi satu jangan urut kaki kanan saya,"

Pesan Yana.

"Kenapa kakinya mbak?" tanya tukang urut.

"Terseliuh tadi,"

"Mahu saya urutkan?" tanya dia.

"Jangan, kaki terseliuh jangan diurut," bantah Irfan.

"Siapa ni mbak? Suami ya?"

Yana hanya diam.

"Taklah ni bodyguard,"

"Bagus bangat suaminya nemanin sampai ke spa,"

Irfan hanya ketawa.

"Hei bukanlah bukan, dia tak nak dekat saya,"

"Dahlah cepatlah urut,"

Yana mengaduh setiap kali di urut.

"Huhuhuhu, janganlah kuat sangat, awak makan nasik banyak sangat ke?"

Tukang urut itu hanya ketawa.

"Ternyata mbak ini lucu orangnya,"

Selesai berspa, Yana rasa lebih tenang.

Cuma masalahnya, kakinya sakit.

Kali ini lebih sakit dari tadi.

"Macam mana? Sakit?" tanya Irfan.

"Dah tau sakit lagi nak tanya,"

"Meh sini abang dukung,"

"Kita jalan jelah, jalan perlahan-lahan,"

"Yana, nanti bertambah sakit kaki Yana,"

"Yana tak nak abang dukung,"

"So Yana nak siapa dukung?"

"Siapa-siapalah janji bukan abang,"

"No way am gonna let it happen,"

Irfan terus merangkul Yana dan mendukungnya.

"Why not? Abang kan cakap kita ni adik dengan abang?"

"Dah tentu-tentu ada orang lain akan dukung Yana nanti?"

Irfan hanya mendiamkan diri.

Mereka tiba di bilik.

Berpeluh-peluh dia.

"Yana tahu tak, susah dukung orang and bercakap at the same time,"

"Yana tak suruh pun aba..."

Belum sempat dia menghabiskan ayat Irfan mencium bibirnya.

"Please Yana, stop it,"

"Abang pun sama terseksa macam Yana,"

Irfan mendudukkan Yana di hadapannya.

"Kalau Yana nak tahu, abang ni anak angkat,"

"Entah anak terbuang mana yang papa kutip and bela sebagai anak sendiri,"

"Abang takut abang tak setaraf dengan Yana,"

"Yana ada semuanya, tapi abang cuma ada papa and Yana,"

Yana tersentak mengetahui kebenaran itu.

"Abang sedih kalau abang lukakan hati papa,"

"Tapi abang tak sedih lukakan hati Yana?"

"I love you abang, I really do,"

"And Yana tahu abang and Yana kita takde pertalian darah,"

"Yana pernah terdengar mak cik and papa bertekak pasal masukkan nama abang dalam wasiat,"

"Right before I left for Aussie,"

Kali ini giliran Irfan pula terkejut.

"Kenapa Yana tak pernah bagitahu abang?"

"Penting ke untuk abang tahu?"

"Semua tu tak penting bagi Yana,"

"Yang Yana tahu, hati Yana hanya pada abang,"

"Kenapa abang buat Yana macam ni?"

Yana menangis semahu-mahunya.

"Maafkan abang sayang,"

"Maafkan abang,"

"Abang pun tak boleh hidup tanpa Yana,"

"Abang terseksa fikirkan masa depan kita,"

"Abang sayangkan Yana, abang sayangkan papa,"

"Do you really love me abang?"

"Yes I do,"

"Abang tak pernah ada mana-mana perempuan dalam hati abang kecuali Yana,"

"Satu-satunya perempuan yang abang sayang and cinta is you Yana,"

Yana memeluk Irfan.

Mereka menangis bersama.

"Yana nak abang jadi suami Yana,"

"Kalau tak Yana tak nak kahwin sampai bila-bila,"

"I will never,"

Yana masih lagi menangis.

Irfan memeluk Yana.

Dia ingin melindungi Yana sehingga nafasnya yang terakhir.

************************

Datuk Kamal mendengar segala-galanya di luar bilik.

Dia memegang dadanya.

Apakah benar apa yang didengari?

Yana dan Irfan saling mencintai?

"Kenapa boleh jadi macam ni?" tanya Datuk Kamal.

Yana dan Irfan mendengar bunyi sesuatu terjatuh.

Pintu bilik dibuka.

"Papaaaaaa," jerit Yana.

Irfan segera menelefon reception dan meminta mereka menghubungi ambulans.

"Papa, please buka mata," Yana mula menangis.

Tangan papa digengam erat.

Sebaik tiba di jabatan kecemasan, papa di tolak masuk.

Irfan dan Yana menunggu di hadapan pintu masuk.

Setelah 3 jam menanti, seorang doktor keluar dan menerangkan keadaan sebenar.

Benar telahan Yana, papa diserang sakit jantung.

*******************************

Yana masuk dan duduk di hujung katil Datuk Kamal.

Datuk Kamal membuka mata.

"Yana..." panggil papanya.

"Ya papa," sahut Yana.

"Yana sayang papa?" tanya Datuk Kamal.

"Mestilah Yana sayang papa,"

"Kalau macam tu Yana kena lupakan Irfan,"

"Papa," Yana terkejut.

Datuk Kamal hanya memejamkan mata.

Yana serabut. Dia keluar menghirup udara luar.

Sesak nafasnya mendengar permintaan papanya.

Irfan mendengar segala-galanya.

Hatinya remuk, jiwanya sengsara.

Begitu besar dugaan mereka.

Tapi dia harus kuat demi Yana.

"Yana," sapa Irfan lembut.

"Abang," Yana menoleh setelah mendengar suara Irfan.

"We need to talk,"

"Can you do me a favor?"

"Anything,"

"Can you stop loving me?" Irfan menelan pahitnya permintaan itu.

Yana hanya memandangnya sepi.

Air mata Yana jatuh.

"Betul ini apa yang abang nak?"

"Abang sungguh nak suruh Yana lupakan abang?"

"Yana dah letih dengan semua ni,"

"Maybe you're right,"

"Sebab cinta Yana, sayangnya Yana pada abang akan buat abang rasa terseksa,"

"Baik, I'll take it back,"

"You don't deserve my love,"

Yana pergi meninggalkan Irfan.

Dia menuju ke bilik Datuk Kamal.

"Papa, Yana tak dapat nak lupakan abang kalau kami still tinggal serumah,"

"Jadi Yana buat keputusan untuk keluar,"

"Biar Yana yang keluar sebab Yana nak abang sentiasa ada untuk pantau papa,"

"Yanaaa," Datuk Kamal terperanjat mendengar keputusan Yana.

"Yana mintak maaf, Yana mungkin susah nak lupakan abang,"

"Tapi abang tak salah, papa jangan bencikan abang,"

"Yana yang pentingkan diri, sebelum ni abang dah cakap yang dia tak mampu teruskan hubungan ni,"

"Tapi Yana paksa dia,"

"Sebab Yana tak boleh tipu hati Yana,"

"Tapi sekarang mulai saat ni, Yana akan cuba lupakan dia,"

"Yana nak pindah ke mana?"

"Yana dah nak mula kerja minggu depan, so Yana akan pindah masuk rumah kawan Yana,"

"Papa jaga diri ya,"

"Yana nak ke mana?" tanya Datuk Kamal.

"Yana nak balik Malaysia,"

"Papa rehatlah kat sini, abang akan temankan papa,"

*************************
Percutian yang sepatutnya membahagiakan bertukar tragedi.

Yana pulang ke Malaysia seorang diri.

Meninggalkan papa dan Irfan di Bandung.

Dia perlu pulang dan mengemas apa yang patut.

Yana mengatur langkah longlai.

"Abang kejam," raung Yana.

Masuk kali ini sudah dua kali Irfan meminta dia melupakan cintanya.

Selesai mengemas apa yang patut, Yana meninggalkan rumah.

************************
Selang beberapa hari, Datuk Kamal dan Irfan kembali ke Malaysia.

Irfan membuka pintu.

Rumah senyap dan sunyi.

Dia yakin Yana benar-benar pergi.

Selesai menguruskan papa, Irfan kembali ke biliknya.

Tidak pernah dia rasa sepenat ini.

Hatinya sakit, kepalanya berat sekali.

Perlahan-lahan air mata yang ditahannya mengalir.

Irfan tahu Yana pasti membencinya.

Irfan terlelap setelah tenggelam dalam perasaannya.

***************************
"Sunyinya rumah kita," kata Datuk Kamal.

"Yana dah pindah,"

"Kamu pulak asyik on call,"

"Entah berapa lama pulak Yana nak menyendiri,"

"Irfan, papa betul-betul tak tahu apa nak buat,"

Irfan hanya tersenyum kelat.

Seminggu sudah berlalu.

Irfan teringat hari ini adalah hari pertama Yana perlu melaporkan diri ke pejabat barunya.

"Papa Irfan pergi dulu," selesai menyalami Datuk Kamal dia mengatur langkah ke hospital.

Irfan sedaya upaya mengelak untuk berbincang mengenai Yana.

Dia tidak boleh lemah sedangkan dia yang meminta perpisahan ini.

Dia sanggup membuat apa sahaja untuk menatap wajah Yana ketika ini.

******************************
Hari ini adalah hari pertama memulakan kerjayanya sebagai seorang Editor di sebuah syarikat penerbitan terkemuka di ibu negara.

Kesibukkan kerja sedikit sebanyak berjaya mengubat hatinya.

Cuma sekali sekala dia teringatkan papa dan Irfan.

"Yana is that you?"

Tegur satu suara yang amat dikenalinya.

"Zarul,"

"Yana what happened? You look different," Zarul terkejut melihat Yana.

Yana menceritakan segala-galanya kepada teman baiknya itu.

Zarul pelik selalunya air mata Yana tentu akan tumpah jika berbicara soal hati dan perasaannya.

Tapi Yana dihadapannya kini bagaikan mayat hidup.

Tidak lagi ceria, tiada lagi gurauan bersahaja dari Yana.

Zarul yakin Yana sedang melalui fasa perubahan yang ketara.

Akibat patah hati.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience