Tak Terduga

Mystery & Detective Series 32099

#Masalalu_Istriku
#part9_Tak_Terduga!
#Natta_D

Aku berdiri di balkon menatap luas ke depan. Rokok sampoerna menjadi andalan untuk bisa berpikir tenang. Perlahan mulai mengotak-atik pikiran, mencoba mencari solusi untuk permasalahan yang dihadapi.

Sekitar sepuluh kali bunyi detak jam di dinding, kuhisap rokok itu, lalu menyemprotkan asapnya ke luar dari lubang hidung dan mulut.

Merasa tidak mendapat jawaban, kuhempaskan badan pada kursi rotan yang berada tepat di belakangku, bersamaan dengan suara hembusan napas yang cukup kuat keluar dari mulut, pertanda kepasrahan.

Silir-silir angin malam menampar wajah secara manja. Seakan-akan ia berbisik, menyuruhku untuk beranjak dari tempat duduk. Dingin nanti masuk angin, katanya.

Tatkala rembulan sabit menyapa senyum kepadaku dengan sinar kekuningan. Menjadikan aku betah, duduk bersemayam dalam keheningan malam yang damai. Cahyanya memberi terang kepada ruang pikiran yang hitam.

Selepas itu, menghirup-hirup secangkir kopi hangat yang sudah kuletakkan di atas meja yang berada di sampingku. Lalu kembali berulang menghisap sebatang rokok, memulai menelusuri kejadian dua hari yang lalu.

...

"Kenapa istriku belum juga hamil ya?"

Aku yang mulai terheran melihat Dek Khira. Tidak ada tanda-tanda kalau dia akan hamil. Perutnya tetap saja sama, ramping dan sexy.

Padahal ini sudah enam bulan semenjak malam pertama kami. Tapi ... mual tidak ada, muntah tidak juga, bahkan sakit kepala pun tidak. Semua tanda-tanda kehamilan tidak dialami oleh istriku.

Aku heran loh.

Ini pasti ada yang tak beres, nih.

Kemudian langsung menutup mata, memulai memasuki dunia ilusi. Mimpi.

"Selamat tidur, Faakhira," ucapku dalam pikiran. Kulihat wanita dengan hidung kecil itu, sudah tertidur pulas.

.

Esoknya, setelah pulang dari kerja, aku singgah sebentar di rumah sakit. Memeriksa cairan kental bewarna putih, khas milik laki-laki.

Siapa tahu penyebab Khira tidak hamil karena cairan yang aku punya tidak sehat.

___

Rumah sakit Awal Bros Pekanbaru ialah tempat dimana aku memeriksa sperma yang kupunya. Gedung putih berlantai enam itu memiliki dokter spesialis yang ahli dalam bidang tersebut.

Gedungnya sangat mewah, Saat mendongak ke kanan terpampang sangat jelas baleho tentang pengecekan sperma, Ibu hamil, vaksin, dan lain-lain.

Sesudah itu, kaki kekarku yang tertutup celana polo bergerak maju ke arah pintu. Tangan kumasukkan ke dalam kocek celana. Berjalan layaknya seorang pengusaha terkenal.

"Silahkan masuk, pak," santun satpam sembari membukakan pintu untukku.

Dengan senyum ramah kubalas penjaga itu, melangkahkan kaki ke dalam menuju bagan administrasi.

"Maaf, Mba, untuk pengecekan sperma bagaimana ya prosedurnya, Mba?" tanyaku, pada salah satu suster yang berdiri dari balik meja yang tingginya sejajar dengan dada laki-laki pada umumnya.

Sedangkan beberapa suster lainnya duduk di hadapan komputer. Sibuk mengurusi dokumen-dokumen penting.

"Baik, bapak, silahkan isi formulir ini ya. Jika sudah, silahkan tunggu di ruang tunggu ya, Pak," tutur suster itu, senyum pepsodennya tampak nyaman dan indah.

"Baik, Mba. Terimakasih banyak," jawabku.

Lekas tanganku mengisi formulir tadi. Lalu menunggu sesuai dengan intruksi yang telah disampaikan.

"Pak Ari, ayo silahkan masuk. Kita mulai pemeriksaannya," perintah suster lain. Tampaknya dia bagian asisten prakter labor.

"Baik." Cuekku.

...

Setelah selesai melakukan pemeriksaan, bergegas menuju ruang hasil labor. Saat dibuka pintu bewarna coklat dengan tertempel nama "ruang labor", telah berhadang seorang dokter. Ia duduk dari balik meja kerja, dengan beberapa tumpukan dokumen dan pena di atasnya. Rupanya dokter ini sudah menungguku dari tadi.

Senyum tipis tergelincir dari bibir merahnya. Lalu tangan dokter itu memberi isyarat untuk mempersilahkanku duduk di kursi yang berada disisi lain dari meja tersebut.

"Baik, Pak Ari, hasilnya akan kami beritahu besok, karena kami membutuhkan waktu untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut," terang sang dokter dengan senyum khas tipis manis di bibir.

"Baik, Dok, besok saya akan kesini lagi. Terimakasih banyak, Dok." Tanganku terulur memberi salam.

Kemudian aku berlalu pergi dari tempat itu, melewati lorong-lorong ruangan yang berpintu sama, dengan nama kamar yang berbeda setiap ruangnya. Menuju pintu keluar.

Setelah itu, mobil meluncur gesit menjelajahi jalan aspal yang sedikit berlobang setiap beberapa kilo. Sedikit risau memang, memikirkan hasil tes besok, khawatir hasilnya nanti tidak bagus.

Semoga tidak Ya Allah.

Tak lama Toyota-ku menerobos masuk gerbang yang tidak terkunci. Klakson dibunyikan sebagai kode bahwa aku sudah pulang. Sigap penjaga pos keamanan rumah mengambil alih kemudi untuk memparkirkan mobil ini ke gerasi.

Tidak ada yang berbeda hari ini, hanya saja ketika makan malam bersama. Ibuku bertanya tentang kandungan Khira. Aku ingin menimang cucu, katanya. Sontak kami kaget dan mencoba menuli. Akan tetapi, Ibu masih saja menyinggung pembahasan itu.

Kulihat tiba-tiba Khira termenung selepas mendengar ucapan mertuanya tadi. Merasa tak enak hati, sebab sudah lama tidak juga lagi mengandung.

Selera makanku hilang, yang ada di otak hanya; aku mau anak, aku mau anak, aku mau anak. Sembari memaparkan senyum sumbing kepada Ibu.

Hanya dengan cara ini aku membalas pertanyaan Nyonya Mahmud yang sangat ingin mempunyai cucu. Tersenyum melihat wajah kecewanya tanpa memberi jawaban yang pasti.

.

"Khira, besok kamu pergi ke rumah sakit ya, cek rahimmu. Aku juga sudah cek sperma dan hasilnya akan diberitahu besok. Jadi, nanti kita bisa tahu penyebab kenapa kamu tidak mengandung," ujarku dengan intonasi sangat lirih. Berbaring sebelum kami tidur.

Bagaimana tidak, aku juga sangat ingin mempunyai anak. Salah satu alasan aku menikah, ya karna ingin mempunyai keturunan asli dari darahku sendiri.

Faakhira hanya berdehem menjawab pertanyaanku. Kemudian berpura-pura tidur agar diriku tidak mengungkit masalah ini lagi.

Mungkin dia juga khawatir, takut jika rahimnya-lah yang bermasalah bukan spermaku.

___

Tepat di depan pintu masuk rumah sakit kemarin, aku berdiri. Menghembuskan napas, berdoa semoga saja semuanya baik-baik saja, tidak ada yang tidak beres.

Lalu aku memberanikan langkah memasuki ruangan persegi dengan luas enam kali empat itu. Memang kecil, tapi di dalamnya terdapat jawaban untuk masa depanku kelak. Anak ku.

Seperti biasa, aku duduk dihadapan dokter. Untuk sesaat masih normal, tidak ada ekspresi atau tingkah sang dokter yang membuatku curiga. Ini berarti hasil pengecekan spermanya, bagus.

Tangan yang juga ahli bedah itu, menggeser sebuah dokumen kepadaku. Ini kata dokter tersebut. Menatap lurus, bergabung dengan senyum tipisnya lagi.

Kuambil dan kubuka. Tangan gemetar kuat, gugup kalau hasil tes ini menyatakan tidak sehat. Bagaimana nanti aku menyampaikan ke Ibu jika hasilnya buruk.

Kutarik lipatan-lipatan kertas dokumen itu secara perlahan. Beberapa detik dibaca, dan hasil tes nya sangat melegahkan. Tulisan di atas kertas yang aku terima menyatakan SEHAT. Tidak ada kekurangan dalam sperma milikku.

Alhamdulillah Ya Allah, terimakasih.

Selanjutnya, mengambil langkah seribu menuju mobil, segara pulang ke rumah.

Berarti yang salah adalah rahimnya Khira.

Kenapa Ya Allah?

Apa yang salah di rahimnya istriku.

...

Duduk bersandar di kursi rotan yang biasa aku duduki. Aku tanyalah langsung kepada Faakhira tentang tesnya.

"Bagaimana?"

Diriku sudah tahu pasti jawabannya tidak bagus. Karena hasil tes milikku menyatakan sehat. Sekarang aku mencoba menguatkan diri.

Takut memang mendengar jawaban Khira. Tapi ... mau bagaimana lagi kan.

Mulutnya sangat berat mengangkat, seperti tertindih batu yang sangat besar. Sulit untuk mengangkag bibit kecil itu.

Kucoba memujuki, dengan berkata:

"Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Aku tetap disini kok untukmu, Khira."

Mata dia sangat layu, jelas terlihat muka cantik itu menggambarkan kekecewaan yang sangat mendalam.

Berkejut! mata yang tadinya cuma berkaca beralih sudah tergenang air. Mengalir membentuk garis seperti sungai di pipi indahnya. Merengek sakit di dalam batin.

"Mas, aku mandul. Mas, aku mandul! Mas, aku mandul!...."

Berkali-kali diucapkan dengan nada yang semakin memengking tinggi. Tak dapat ia tahan.

Disisi lain, aku juga sangat kecewa, walaupun sudah tahu jawaban Khira. Tapi tetap saja sakit mendengar penjelasan dari mulut dia secara langsung. Berkelebat tajam seperti duri menusuk hati.

Kenapa menjadi seperti ini!

Benar kata orang, tidak ada keluarga yang sempurna. Banyak harta anak tidak ada, miskin harta tapi banyak anaknya. Keluarga kaya anak pun punya, tapi keluarga tak tentram selalu bertengkar. Penuh kekurangan tidak ada yang benar.

Hanya berpikir seperti itulah, agar pikiranku bisa tenang dengan keadaan yang menurutku sudah menyimpang. Aku pengen punya anak!

.

Tak lepas juga, aku harus menenangkan istri. Yang sedari tadi meraung tak terima akan keadaan dirinya. Sudah seperti orang gila.

Kupeluk sangat erat, sampai air mataku pun tidak terbendung lagi. Tembus dari tempatnya, memancar keluar menitik jatuh di punggung Khira. Ironis memang keluarga ini.

Sekali lagi aku merasakan. Percuma mempunyai uang tapi tidak ada kebahagian.

Akhirnya, kami berdua melepas semua rasa sakit dengan menangis bersama pelukan yang menghangatkan jiwa.

Bagaimana kami memberitahukan kepada Ibu?

***

Next?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience