part 12

Mystery & Detective Series 32099

#Masalalu_Istriku
#part12_Sang_Pemikir_Handal
#Natta_D
Di KBM app sudah part 26

Pagi yang tenang seperti dulu sekarang sudah mati. Berganti dengan tangisan dan tawa bayi setiap hari.

Kini hembusan asap rokokku yang dulu bersapa dengan heningnya pagi. Sekarang sudah diusik oleh getaran tawa di udara.

Meskipun begitu, rutinitas pagi di balkon tetap terasa nyaman. Tetap bersyukur atas nikmat yang diberi Tuhan.

Khira bisa tersenyum kembali, terlukis di wajahnya rasa bahagia. Terkuak kasih sayang layaknya seorang Ibu kepada anak.

Itu sudah cukup menetralkan suasana hati dia yang mula-mula patah, menjadi penuh cinta.

Setelah secangkir kopi habis kuminum. Berikutnya aku mengambil tas hitam khas milik pegawai kantor yang sudah disiapkan Khira. Lalu mengenakan jas dongker berdasi hitam.

Rambut style pendek pola jambul berkombinasi dengan sepatu hitam khas kantor. Siap untuk berangkat kerja.

"Aku berangkat, sayang." Pamitku.

Meninggalkan Khira yang sibuk mengurus Natasha. Kulihat masih menggantikan popok.

"Sayang, baik-baik di rumah, ya. Jangan bertengkar dengan Ibu. Biarkan saja Ibu mau berkata apapun," cetusku, merasa cemas meninggalkan Faakhira bersama Ibu.

Kemudian langkahku terhenti di depan pintu mobil, membukanya. Lalu menancap gas menuju kantor, melewati lalu-lalang kendaraan di jalan yang juga sibuk mengurusi hidup, mencari duit.

Beberapa menit berkendara, mobil kuparkirkan di samping Sedan bewarna hitam. Selanjutnya berjalan memasuki kantor menuju lantai atas, ruang kerja saya.

Sesampainya di ruang kerja, aku langsung duduk dari balik meja menghadapi layar laptop yang berisi angka-angka, administrasi keuangan perusahaan.

Setelah kuamati beberapa menit deretan angka tersebut. Aku mengangguk-anggukkan kepala, mengetahui keuangan kami berjalan dengan baik.

Kemudian menghempaskan punggung pada kursi roda yang empuk khas milik pegawai kantoran.

Setelah itu, Tangan kuletakkan di belakang kepala sambil menghela napas, pertanda bimbang.

Berpikir. Harus bagaimana aku?

Dicoba atau tidak.

Lalu ingatan pagi tadi mulai bermunculan, kisah asmara baru akan dimulai.

...

Pukul tujuh lewat dua puluh menit, sebelum aku berangkat kerja. Saat menuju mobil melangkahkan kaki melewati pintu depan.

Tiba-tiba telinganku mendeteksi suara bisik dari sebelah kanan. Ari katanya, ia memanggil.

Ketika menoleh ternyata itu Ibu yang berdiri di dekat tangga. Kesini! Ayok kesini, Ari.

Haluan kaki kuarahkan ke arah wanita yang memanggil namaku dengan bisik. Firasat mengatakan ada hal penting yang akan disampaikan.

Saat sampai, langasung kutanya.

"Ada apa, Bu?"

"Ibu sudah mengatur pertemuanmu dengan wanita itu, selepas kerja kamu temui dia," ujarnya, sambil menyerahkan secarik kertas.

Kuamati kertas itu, ternyata isinya alamat sebuah kafe, tempat dimana kami akan berjumpa.

Selepas membaca kertas yang barusan dikasih, mataku menatap Ibu penuh kebimbangan. Pergi atau tidak.

Kalau tak pergi Ibu akan kecewa dan kesempatan aku punya anak akan hilang. Jika aku pergi maka semua keinginan besarku dan Ibu akan terwujud.

Usai berbincang aku langsung berlalu pergi. Berangkat kerja.

...

Setelah kupikir-pikir kembali, apa salahnya dicoba aja dulu. Nanti minta izin aja sama Faakhira, kalau aku ingin menikah lagi agar dapat keturunan asli.

Tidak mungkin dia menyangkal keinginanku, pasti dia pahamlah terhadap kemauanku yang sangat ingin mempunyai anak kandung.

Keputusan sementara ini saja dulu. Masih penuh keraguan aku.

Apa aku akan jadi setega ini dengan Faakhira, dia tidak bisa punya anakpun bukan karna kesalahannya tapi memang takdir Tuhan.

Semakin rumit!

Terusku pikirkan hingga waktu pulang kerja, pilihan ada dua, temui atau tidak?

.

Tak terasa waktu kerja sudah selesai, meja yang penuh dengan berkas dokumen dan peralatan tulis kukemas dan dirapikan.

Habis itu, aku beringkut pergi dari ruangan kerja. Bergerak ke halaman parkir untuk masuk mobil.

Kemudian Toyota kupacu sedang menyusuri jalan yang tampak menggelap, wajar sebab sinar surya mulai memudar.

Dibawah cahaya senja yang khas, merah-merah, jingga. Masih bertarung dalam pikiran, memilih antara menemui atau tidak wanita itu.

.

Akhirnya, ban mobilku terhenti di sebuah parkiran yang cukup luas. Lalu keluar dari kendaraan itu, berjalan tegap menuju karpet merah yang terbentang memanjang menuju pintu.

Kemudian aku melangkahkan kaki, memasuki tempat yang terbilang megah. Erber Coffee namanya.

Baru dua langkah aku berjalan dari saat masuk kafe itu, lalu kakiku terhenti. Berdiri beberapa detik disini.

Mengamati dengan rinci setiap meja yang ada. Kulihat satu persatu tamu yang hadir. Ini bukan, itu bukan, yang ini juga bukan, dimana dia? Mencari seorang gadis.

Tatapanku terhenti di sebuah meja yang terletak di tengah. Ada satu gadis yang duduk seperti menunggu seseorang.

Pakaiannya bergengsi dan anggun. Bibir merah muda, lipstik yang bagus. Rambut gaya bergelombang. Sangat sempurna.

Sedikit terkejut ia yang menatapku memberi isyarat dengan tangannya. Kesini, kesini. kira-kira seperti itulah maksud dari gerak-gerik tangannya itu.

Tanpa ragu lagi, aku langsung mendekatinya. Sampai disana langsung kuberi senyum pertama.

"Hai! Selamat malam," tuturku, sambil menggeser kursi bersiap untuk duduk.

"Hai! Mas Ari, kan?" tanyanya, sambil tersenyum tipis.

"Iya, aku Mas Ari. Aulia, kan?" sahutku.

"Iya, Mas. Aku Aulia." Menyudurkan tangan kanannya, tanda kenalan kami.

Rasa nyaman mulai terjalin diantara aku dan dia. Beberapa kali tatapan kami saling bertemu, kemudian secara tidak sengaja kami tersenyum bersama.

"Aku sayang kamu, Aulia," ucapku.

Tangan gadis berkulit putih kupegang dengan lembut.

"Iya, Mas, aku juga sayang sama, Mas Ari," jawabnya.

Senyum Aulia membuatku terlena dalam lautan asmara. Ditambah lagi dari keterangan Ibu, kalau wanita ini bisa memberikan aku seorang anak. Tidak seperti Faakhira.

Apalagi yang kurang? Dia tidak kalah cantiknya dengan Khira, malah bisa memenuhi keinginan besarku lagi. Memang cocok untukku pinang.

Setelah itu, kami larut dalam perbincangan yang terasa nyaman. Membicarakan berbagai macam hal, layaknya seperti orang yang sedang kencan.

Waktu berasa cepat, tak tau-taunya jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Kemudian kami beranjak keluar dari Erber Coffee. Pulang.

Biar aku makin dekat bersama Aulia, maka kuputuskan untuk mengantarnya pulang. Disisi lain aku juga khawatir wanita secantik Aulia pulang sendiri. Takut ada laki-laki biadab yang mendekatinya.

Lalu Toyotaku bergerak menuju ke rumah Aulia. Setiap belokkan dan persimpangan kuingat dengan hati-hati dimana rumah Aulia.

Setelah beberapa menit melewati jalanan yang begitu lengang. Mobilku disuruh berhenti oleh gadis itu tepat di depan rumah yang sederhana.

Oh ... ini toh rumahnya.

"Makasih ya, Mas, sudah anterin sampe rumah," ucap Aulia, yang berdiri di pagar rumah.

"Iya, tidak masalah kok. Kalau gitu, aku pulang dulu ya,"

"Daaah ..."

.

Segera pulang ke rumah, sudah terlalu telat aku pulang. Mobil bergesit kilat.

Sepanjang jalan aku cengar-cengir, membayangkan Aulia.

Alhamdulillah aku akan punya anak kandung, nih.

...

"Aku pulang!"

Berjalan ke atas, menuju kamar. Kulihat Ibu sudah tertidur pulas. Saat masuk kamar, Faakhira menungguku.

"Loh, Mas, kok pulangnya terlambat?" tanya bacotnya.

"Iya. Tadi ada meeting mendadak." jawabku.

"Kenapa nggak telpon?" tanya Khira lagi, suara ramah.

"Nggak sempat nelpon tadi," sahutku datar.

Tak panjang cerita, aku langsung mengganti pakaian dan berbersih-bersih badan untuk bersiap tidur.

"Kenapa senyum-senyum, Mas? Lagi bahagia ya, Mas," ujar Khira.

"Tidak! Tidak! Bukan apa-apa."

Langsung menarik selimut menutupi badanku. Tidur aja langsung.

Lalu kami tidur seperti hari-hari biasanya. Kulirik Natasha juga sudah tertidur pulas.

Selamat malam Natasha.

Selamat malam sayang.

Kapan aku bilang ke Faakhira, ya. Kalau aku ingin menikah lagi.

___

Pagi bisingku dengan suara tangis dan tawa Natasha, kini terasa hilang. Aku duduk di kursi rotan balkon memandangi HAPE sambil tersenyum sendiri. Suara bising tadi tak terdengar lagi di telinga, kalah dengan rasa bahagia.

Sangking senangnya, suara bising pun tak dengar lagi.

Aku chatting-an bersama Aulia, gadis yang akan memenuhi keinginanku dan Ibu. Faakhira tidak tahu, dis sibuk mengurusi Natasha.

[Kita ketemuan lagi yok, sayang.]

[Oke, Aulia, pulang kerja Mas jemput.]

Kami bermesraan di dalam media sosial, saling mengupload foto berduaan kami. Untung status sudah kusembunyikan dari Khira. Jadi dia tidak akan tahu.

Seusai itu, kembali aku bersiap berangkat kerja, penuh semangat. Tidak seperti hari-hari biasanya.

Sepertinya Tuhan sudah mulai adil denganku.

"Dah, aku berangkat kerja ya, sayang." Pamitku.

"Iya, Mas, baik-baik di jalan. Oh iya, lepas pulang kerja, tolong belikan popok Natasha ya, udah mau abis tuh popoknya," ujar Faakhira.

Ia yang menggendong Natasha sembari mencium tanganku.

"Oke, ntar aku belikan."

Setelah itu, aku berjalan menuruni anak tangga satu persatu melewati barisan lukisan klasikku.

Sampai di bawah, ada Ibu.

"Gimana Ari, ceweknya cocokkan." Tersenyum lebar di wajah.

"Iya, Bu, aku suka sekali," jawabku.

"Kalo begitu apalagi, langsung saja kamu nikahi dia," ujar Ibu lagi.

Tampaknya Ibu sudah penuh harapan dengan Aulia ini, ia akan memberikan cucu, jika aku menikahinya. Apalagi dia seorang gadis perawan. Kurang apalagikan.

"Tenang, Bu, semua akan kuatur." Senyum licik terpampar olehku. "Aku juga sudah berniat untuk menikahi Aulia."

Kemudian kakiku berlanjut pergi ke mobil. Saatnya pergk kerja, takut telat.

Pertemuan kali ini aku harus belikan dia hadiah.

Tak sabar cepat-cepat selesai kerja, ingin berduaan lagi bersama dia.

Gaskan ke kantor KUA! hidupku akan terasa sempurna!

Begitulah selama perjalanan menuju kantor, bayang-bayang menikah dan akan punya anak. Selalu membuat otakku bereaksi kuat, rasa senang memuncak.

Ternyata memang sesudah kesusahan pasti kebahagiaan.

Aulia aku datang!

***

next?

Mohon baca di KBM app sudah part 26 pada akun dengan username Natta_Godang

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience