part 15

Mystery & Detective Series 32099

#Masalalu_Istriku
#part15
#Natta_D

"Kenapa nggak dimakan?" ujar Ibu, "Nanti keburu dingin loh, makanannya."

Nyonya Mahmud menatap terheran ke arah kami, yang sedari tadi terlihat memikirkan sesuatu.

"I-iya, iya, Bu. Kami makan, kok," sahutku agak gagap.

Entah kenapa bibir ini bergemetaran. Karena takut untuk mengatakan kebenaran masalalu istriku, mungkin.

Aku mengangkat kepala dari tundukkan. Menatap wajah wanita separuh baya itu. Terlihat ia masih baik-baik saja.

Akankah tetap seperti ini, jika kusampaikan kebenaran Faakhira. Ibu sangat membenci orang yang berbohong.

Sebab dulu Ayahnya sering berbohong pada sang istri, Ibu dari Ibuku. Makanya Nyonya Mahmud sangat membenci orang yang berbohong.

Terniang secara tiba-tiba masa lampau yang kelam jikalau mendengar ada orang yang berbohong. Apalagi membonginya.

Jangan pernah lakukan itu.

Aku jadi bingung, mohon beri kebijaksanaan kepada diriku.

Ya Allah, aku harus bagaimana?

Berbohong untuk menyelamatkan istriku atau mengatakan yang sebenarnya dan Faakhira akan dibenci oleh Ibuku hingga akhir hayat.

.

"Ibu." Mulut menghimbau.

"Iya, Nak. Ada apa?" jawabnya datar, tapi ada senyum halus di bibir.

Aku terdiam sejenak. Lalu mengambil napas dari hidung, kemudian mengembuskan dari moncong. Siap.

Sudut mata tajam. Kelat, kutatap wanita yang duduk diseberang meja ini. Sebagai sandi bahwa aku ingin bicara serius.

"Aku ingin mengatakan sesuatu." Nada suara terdengar dingin.

Mendadak sudut matanya berkerut dan alis tebal itu bertanya-tanya.

"Apa itu, Nak," tegas.

Disebelah kiriku tampak Faakhira yang mulai gelisah, ketara olehku. Ia menundukkan kepala, kelihatan dari sudut pandangnya dia memasrahkan diri kepada Sang Kuasa. Allah.SWT.

Kembali lagi aku menatap lekat ke Ibu. Lalu muncung berbibir agak hitam ini mulai mengeluarkan nada. Nada rendah tetapi tajam, dingin.

"Ibu, Faakhira rahimnya sudah tidak ada. Rahminya ia buang, jauh sebelum aku mengenalnya," jelasku pada wanita berparas masih muda yang duduk di sisi meja lain.

"Apa! Jadi surat keterangan yang kemarin ia tunjukkan kepada kita adalah surat palsu?!" serunya dengan muka mulai menegang.

Tanpa ragu aku jawab, tapi masih ada rasa takut dan khawatir. Terus aku lanjutkan.

"Iya, Bu." tegasku.

Aku mengepal tangan sangat kuat, mencoba menguatkan diri, bersiaga untuk mendengar mekikan Nyonya Mahmud.

.

Setelah itu, wanita berparas muda tadi langsung menoleh ke arah Khira. Mata melotot, seakan-akan mata berwarna hitam itu ingin terkeluar dari wadahnya.

Gigi digertakkan dan ekspresi mengeras. Pembuluh darah di leher kelihatan tegang.

Kemudian telunjuk wanita berstatus Ibu itu mengarah ke Khira. Menunjuk sangat keras. Seperti ada kalimat terkutuk dari tunjukkan itu.

Dari sini lidah Ibu sudah tidak terkendali lagi.
Semua amarah dan benci terucap begitu saja dari mulut lebarnya. Melengking.

"Kamu! Berani-beraninya membohongi aku!"

"Dasar wanita BAJINGAN! Kau!"

"Aku paling tidak bisa menerima menantu yang berbohong! Sekarang kau keluar dari rumahku ini!"

Jerit Ibu. Matanya sudah seperti harimau, memerah. Napas sudah tidak terkendali, semacam orang yang dirasuki iblis.

Itu sebabnya aku bilang jangan sampai membohongi dia.

.

Sedangkan Khira hanya tertunduk mendengar Ibu mertua. Dia sadar bahwa dirinya bersalah, dan ia tidak bisa mengekang ucapan Ibu.

Air mata meleleh hingga sedikit membasahi cadar pink itu. Tersedu-sedu, merasa bersalah telah berbohong.

Tapi mau bagaimana lagi, nasi sudah jadi bubur. Ibu terlanjur murka besar kepada Khira. Kebencian Ibu terhadap Khira sudah mencapai puncak yang paling tertinggi. Aku kira.

"Apalagi yang kau tunggu! Cepat angkat kaki dari rumah ini!" jeritnya lagi, telunjuk mengarah ke pintu keluar.

Kujawab, "Ibu jangan seperti itu, tahan emo ...."

Belum selesai aku berbicara sudah dipotong oleh Ibu dengan nada gelegar.

"Diam kau, Ari! Jangan melawan Ibu."

"Ari, kamu ceraikan dia, dan kamu nikahi Aulia," jelas Ibu sangat tegas, akan tetapi suara bagai petir belum hilang.

Aku terdiam.

"Aku mengertikan maksud Ibu, Ari," tanya wanita yang sedang marah, emosi sangat meluap.

Aku masih saja terdiam.

Kemudian, wanita berhidung mancung itu beralih lagi kepada Faakhira.

"Hey kau! Kenapa masih disini! Cepat pergi!"

"Aku sudah MUAK! dengan mukamu!" caci Ibu makin menjadi-jadi.

Amarahnya tidak juga mereda.

Melihat ini semua, aku langsung mengambil tindakan.

"Ibu, jangan seperti itu, aku mencintai Khira. Aku tidak akan menceraikannya," tegasku, sangat padat dan jelas.

Kemudian lagi.

"Walaupun Ibu tidak suka, aku tetap bersama Faakhira."

Mendengar jawaban dari mulutku, Ibu terbengong dan tercengang. Ia menatap dengan tatapan yang bingung.

Mata itu memancarkan cahaya tidak percaya terhadap jawaban yang barusan diucapkan.

"Apa kamu bilang, Ari?!"

"Jadi, ini balasanmu kepada Ibu yang sudah membesarkanmu dengan susah payah. Apa kamu lupa betapa menderitanya Ibu membesarkanmu. Setelah kamu dewasa dan berhasil, kamu malah melawan dengan Ibumu ini. Dasar anak kurang ajar." Begitulah caci maki Ibuku, kala itu emosionalnya memang tidak bisa ditahan lagi.

Aku termenung, selintas bayang-bayang kelam yang dulu, tertonton begitu saja. Setelah itu, kepala ini tiba-tiba sakit. Ibarat balon yang ingin meletus.

Masih bisa kutahan nyeri ini.

.

Saat aku sibuk menahan rasa sakit. Ibu sudah bergerak menuju Khira, ketika sampai di depan wanita bercadar itu. Tangannya mencekik leher Faakhira.

Aku terperangah!

Sigap. Kuabaikan rasa sakit di kepala. Langsung berlari cepat mengapai Khira, yang tampak kesulitan bernapas.

Setelah digapai tangan Ibu, aku berkata.

"Ibu! Ibu! Berhenti Ibu! Sadar, Bu!"

"Istighfar, Bu! Ya Allah, Bu ingat. Ingat! Ini menantumu!"

Berulang-ulang kutakan itu kepada Ibu. Tapi tidak dihiraukannya. Aku betul-betul panik dan hilang akal. Apa yang harus dilakukan?!

Aku tidak tahu.

Sementara, suara Khira mulai hilang. Aku tahu apa maksud yang ingin dikatakan Khira. Maksud dia; Tolong, Bu, lepaskan saya.

Akan tetapi, tidak bisa ia ucapkan, bagaimana tidak, leher dicekik sangat kuat.

Saat kucoba keras untuk melepaskan tangan Ibu dari leher Khira. Wanita yang sudah tampak seperti iblis itu malah makin beringas.

Ia malah menggoyang-goyangkan badan Khira. Hingga lepas cadar yang menutupi wajah cantik berhidung kecil.

Jelas sekali, wajah Khira terlihat hampir tidak mempunyai darah. Pucat seperti mayat. Aku menjadi tambah bingung.

Aku panik sekali!

Siapa saja tolong aku!

Pembantu di rumah ini tidak ada yang berani mendekat, takut dimangsa habis oleh Ibuku. Nyonya Mahmud.

Lalu terekam olehku suara Ibu. Nada itu sungguh mengerikan, ditambah lagi dengan mata yang bulat membesar melotot.

"Gara-gara kamu! Anakku menjadi melawan!"

"Gara-gara kamu! Keluarga kami jadi tambah hancur!"

"Mati saja kau sana! Hahaha!"

Gigitnya saling bertemu keras, hingga mengeluarkan bunyi gesakan yang nyaring. Tanda bahwa Ibu sangat membenci Khira.

Melihat Khira yang nyawanya sudah dekat di ujung tenggorokan. Tanpa pikir panjang lagi, kuambil sebuah guci kecil yang terpampang di atas meja kecil.

Lalu kuhantamkan di kepala Ibu. Sangat keras. Sampai-sampai semua pembantu di rumahku terkejut.

Selepas itu, Ibu langsung jatuh pingsan. Kepalanya berdarah, akibat benturan dari guci tadi.

Sigap, kutunjuk pembantu untuk memanggil dokter pribadi Ibu. Dokter Bagas.

Aku sudah hilang akal, jika tidak seperti itu. Maka Ibu tidak akan melepaskan cekikannya dari Faakhira.

Ampuni dosa hamba Ya Allah atas perlakuan kepada wanita yang telah melahirkanku.

Disisi kanan, Khira bernapas terengah-engah. Hampir saja nyawanya melayang.

Ada bekas cengkraman tangan di leher wanita berhidung kecil itu, merah pudar.

Tangan halus Khira memegangi leher, masih terasa seperti ada cengkraman tangan di leher ini.

Muka yang pucat mulai perlahan dialiri darah. Napas pun sedikit demi sedikit bisa dikendalikan dengan normal dan kesadaran mulai pulih.

"Kamu tidak apa-apa, sayang?" tanyaku yang begitu khawatir.

Ia menoleh dan tersenyum lebar.

"I-iya, Mas. Aku b-baik-baik saja."

Kujawab, "syukurlah kalo begitu, aku sangat khawatir tadi." Memegangi pipi halusnya.

"Yang lebih penting, Ibu bagaimana, Mas?" tanya Faakhira, ia mulai berdiri.

"Tenang saja, Ibu pasti baik-baik saja," sahutku dengan nada datar.

Setelah itu, kami beranjak dari dapur. Melewati lorong-lorong rumah yang berhiaskan barang-barang klasik, menuju tangga yang terhubung ke kamar atas.

"Bagaimana, sudah ditelpon dokternya?" tanyaku, pada salah satu pembantu.

"Sudah, Tuan." Ia sedikit menunduk tanda hormat.

Lalu, aku melangkahkan kaki ke samping ranjang, dimana seorang Ibu terbaring terluka sebab ulah anaknya sendiri.

Berdosa kali aku.

Faakhira mengelus-elus punggungku, lalu merangkul dengan erat. Semua pasti baik-baik saja. Sikapnya itu berbahasa; kamu tidak salah kok, Mas. Kamu sudah lakuin hal yang benar. Itu yang kurasakan.

Hangat dan nyaman.

Kami genggam tangan Ibu, berharap ia cepat bangun.

.

Tak lama setelah itu.

"Permisi, Tuan. Ini dokternya sudah datang, Tuan," ujar pembantu.

Aku langsung berdiri dan merasa lega. Akhirnya dokter datang juga.

"Tolong, Dok. Periksa keadaan Ibu saya gimana?" Masih sedikit was-was.

Kemudian Dokter Bagas memulai pemeriksaan.

...

Beberapa menit kemudian, semua sudah selesai diperiksa, dan hasilnya menyatakan "Aman" semua sehat dan baik-baik saja.

Luka di kepala tidak sampai merusak saraf. Hanya luka ringan, insyaallah dua Minggu kemudian akan sembuh total.

Aku sangat lega mengetahui itu.

"Tuan Muda, ini obat untuk Nyonya Mahmud. Silahkan dimakan obatnya sesuai prosedur yang saya tulis," terang sang dokter, kuamati ia lumayan berkarisma.

"Baik, Dok. Terimakasih banyak."

Lanjut lagi, "Kalau begitu saya permisi dulu ya, Tuan muda, Nyonya Ari," sahut dokter Bagas.

Lalu dia berlarut pergi meninggalkan bau khas dokter. Bau obat-obatan, kupikir.

Sehabis itu, aku dan Faakhira menunggu Ibu tersadar. Hingga tak sadar kami berdua tertidur duduk dengan posisi kepala di sisi ranjang khas gaya Turki.

___

"Tuan, Tuan, bangun sudah pagi." Seorang pembantu menggerak-gerakkan tubuh ini. Membuatku tersadar dari mimpi.

Perlahan tenaga mulai terisi walau masih lemah, sebab baru saja terbangun.

Kulirik kiri dan kanan, ternyata Khira sudah tidak ada. Mungkin mengasuh Natasha. Kualihkan pandangan ke depan. Terpandang Ibu yang masih saja berbaring dengan mata tertutup dari kemarin.

Lalu, bibir agak hitam ini mengecup kening wanita berparas muda yang termeram hanyut tertidur.

Cepat sembuh ya, Bu.

Sekarang harus bersiap-siap untuk berangkat kerja. Kaki kekar ini melangkah menuju ke kamar sebelah. Kamar pengantin.

Entah apalagi yang akan terjadi di hidupku ini. Rasanya hanya keluarga kami saja yang mengalami musibah yang begitu berat.

Tapi ... Entahlah.

Cukup bersyukur dengan apa yang diberi Allah.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience