Part 11

Mystery & Detective Series 32099

#Masalalu_Istriku
#part11_Mas_Aku_Mau_Anak
#Natta_D

"Mas, kita angkat anak aja, ya. Anak dari panti, Mas? Biar Ibu senang. Aku juga pengen punya anak, Mas," tanya Khira pagi-pagi dan aku duduk di balkon.

Kaget, spontan kepala menoleh ke arah Khira.

"Angkat anak?!" kataku.

"Iya, Mas, angkat anak kita. Akukan, dah tak bisa mengandung lagi," lirihnya lagi.

Tak tega melihat Khira terus-terusan bersedih. Jadi, aku setujui permintaannya itu. Akan tetapi, niat di dalam hati, aku maunya anak kandung asli dari darahku, bukan anak angkat darah orang lain.

Kebetulan hari ini aku tidak masuk kerja, ngambil cuti. Kenapa? Karena khawatir Ibu dan Khira sakit atau bertengkar, makanya aku memutuskan tidak bekerja untuk hari ini.

Terlontar sepatah kata dari bibirku yang sedikit hitam ini, pertanda aku merokok.

"Baiklah, hari ini kita ke panti ya, sayang. Kita angkat anak." Senyumku pada Faakhira.

Kulihat sedikit melengkung bibir katupnya, tipis. Tapi tetap saja manis. Alhamdulillah-lah kalau dia bisa tersenyum. Soalnya semenjak dua hari terakhir ini, setelah kejadian kemaren. Raut wajah dia selalu murung. Bagaikan manusia hidup tanpa jiwa, tidak ada semangat hidup.

Mendengar jawabanku yang menyetujui permintaan besarnya. Bergegas ia bersiap-siap untuk pergi.

"Jam sepuluh, kita berangkat!" teriakku, sedang Faakhira berlari kecil menuju kamar mandi.

"Oke, sayang!" sahutnya. Ada rasa bahagia dari intonasi suara wanita bercadar itu.

Setelahnya, kami langsung tancam gas menuju panti asuhan. Bergerak beberapa kilo dari rumah. Sekitar tiga puluh empat menit kami menggelindingkan ban, meninggalkan bayang jejak mencari panti asuhan.

Toyota kuarahkan ke simpang jalan yang berbentuk sudut sembilan puluh derajat. Sebelah kanan, terlirik sebuah panti khusus anak perempuan.

Berlanjutlah dari situ kisahku.

___

Panti Asuhan Putri adalah tempat aku dan Faakhira mengambil anak untuk dijadikan anak angkat. Memilih tempat ini, karena Khira menginginkan anak perempuan.

Ketika memasuki gerbang bercat hitam itu, tampak seorang pengasuh berjalan sambil tersenyum melihat kami. Ia bertanya.

"Ada yang bisa saya batu, Mas, Mba?" Ia yang sedikit menundukkan kepala tanda hormat kepada kami, sangat terkesan sopan.

Sontak irama lembut terdengar dari balik cadar merah jambu, menyahut atas pertanyaan wanita yang mengenakan pakaian gamis bewarna hitam. Berhadapan mereka berbincang.

"Maaf, Mba, kami datang kemari bermaksud untuk mengangkat seorang anak yang masih beliya. Apa ada disini, Mba?"

Kemudian senyum pengasuh itu nampak lebar. Hawa ceria terasa disekitar kami. Ia yang hanya menggunakan sendal jepit, langsung menjawab pertanyaan wanita yang bersamaku. Faakhira.

"Masyaallah, Mba, Mas. Ada, ada kok, Mba. Monggo kemari," ajaknya sambil berbalik.

Tangan wanita itu memberi kode untuk kami agar mengikuti jejak kakinya.

Tanpa basa-basi lagi, segera kami menuju satu ruang, yang di dalamnya terdapat tiga bayi yang imut dan menggemaskan. Lucu.

Katanya bayi ini dibuang begitu saja di pinggir jalan. Sedangkan yang dua-nya lagi diantar oleh orang tua mereka, dengan alasan tak sanggup membiayai, untuk makan sehari-hari saja dia butuh kerja keras. Itu alasan orang tua mereka.

Padahal rezeki anakkan sudah ada diberi Allah.

Akhirnya, kami memilih bayi yang dibuang di jalan. Wajah bayi itu begitu manis dan cantik, rambutnya tebal.

"Ini, Mas, surat dari Ibunya dan foto Ibunya." Pengasuh yang menemani kami tadi menyerahkan benda peninggalan Ibu kandung dari bayi yang akan kami angkat menjadi anak.

Seusai itu, aku ambil surat dan foto tadi. Kubuka lipatan-lipatan kertas bewarna putih yang ada di tanganku. Lalu, bola mata ini bergerak membaca tulisan yang ada di atas kertas yang sedikit usang.

Tertulis bahwa bayi yang akan kami angkat menjadi anak ini bernama Natasha Famelen. Seterusnya kulirik foto wanita berambut panjang hitam. Cantik.

Dibalik fotonya terdapat nama yang terpampang, Aulia Khairunnisa. Ya, Ibu dari anak ini.

"Mohon dirawat dengan baik ya, Mba, anak ini. Anggap seperti anak kandung sendiri ya, Mas, Mba," ujar pengasuh.

Ia tampak serius mengatakan kalimat itu, bisa kuuraikan dari wajah mudanya kalau dia sangat penyayang anak-anak.

"Iya, Mba, kami akan merawatnya penuh dengan kasih sayang," jawabku dengan nada ramah.

Istriku memberi senyum.

Setelah itu, kami melangkahkan betis menuju gerbang keluar, membawa bayi tadi. Rasa bahagia terukir di wajah Khira, ia tersenyum-senyum melihat bayi yang kami bawa sembari mengajaknya bicara.

"Ini Mama, Nak," kata Faakhira.

Sampai di gerbang, kami beranjak menuju mobil. Sebelumya mengucapkan terimakasih kepada pengasuh.

Kembali pulang. Menuju istana impian, rumah kesayangan.

Sekarang bagaimana tanggapan Ibu atas tindakan kami ini?

Semoga diterima lapang dada olehnya.

___

"Anak siapa ini?!" Baru saja kami sampai di rumah, sudah dicegat oleh Ibu di ruang tamu.

Dahinya berkerut ada tanda tanya yang besar. Dari nada suara pun tampak tidak menyukai tingkah kami.

"Ini anak kami, Bu. Kami mengangkat anak, namanya Natasha Famelen. Cantikkan," jawabku santun menatap Ibu.

"Dasar wanita tak berguna, tak bisa memberikan anak untuk suaminya. Padahal mertua dan suaminya sangat menginginkan anak kandung. Bukan anak orang," gumam Nyonya Mahmud.

Ia benci dengan anak ini, tidak ingin menganggap sebagai cucu.

Tapi tidak kuhiraukan, kami langsung berlalu meninggalkan wanita separuh baya bersama kalimat pedasnya.

.

Tanpa restu orang tua anak ini kami asuh penuh dengan kasih sayang, layaknya seorang anak pada umumnya tanpa kekurangan apapun. Semua kebutuhan aku beli.

Malam tiba.

Waktu itu, aku duduk di teras dan Khira ada di kamar menidurkan Natasha. Tiba-tiba Ibu menghampiriku, langsung duduk di sebelahku pada bangku kosong.

"Ada apa, Bu?" tanyaku penasaran.

Tumben sekali Ibu menghampiriku hanya ingin berbicara empat mata.

"Ibu pengen punya cucu, Nak. Cucu darah kamu, tak mau anak orang."

"Ini Ibu ada kenalan wanita yang baik, cantik lagi. Kamu nikahi dia, biar dapat anak. Kamukan juga sangat ingin sekalikan punya anak kandung," hasutnya.

Sangat menggoda dan menguji kesetiaanku kepada Faakhira.

"Kalau kamu tidak mau, Nak. Ibu merajuk dan akan jatuh sakit lagi," ancaman halus Ibu.

Aku harus apa coba.

Tak ingin mengecewakan wanita yang sudah berjuang keras membesarkanku. Maka kujawab.

"Aku pikirkan dulu ya, Bu."

Tangan yang penuh kasih sayang kepadaku itu, mengeluarkan sebuah foto yang ia simpan dari tadi di kantung baju.

"Ini wanita yang Ibu bilang tadi,"

Lalu kuamati foto yang berukuran empat kali delapan yang kuambil dari Ibu. Wah, cantik memang dan masih muda. Aku juga ingin punya anak kandung. Sementara istriku, Faakhira tidak bisa memenuhinya.

"Aku coba dulu kenali wanita ini ya, Bu," jawabku sedikit kurang yakin.

Tapi mau bagaimana lagi, aku sangat menginginkan anak keturunan asli dari darahku. Apa salahnya dicoba dulukan, tak ada ruginya untukku.

Kemudian malam ini kuakhiri dengan tidur lebih awal dengan suasana agak berbeda. Ada bayi di kamar, terkadang terjaga gara-gara tangisannya.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience