Apa Kebenarannya

Mystery & Detective Series 32099

Kring!... kring!... kring!....

Bunyi jam weker. Terlihat tangan pria itu keluar dari balik selimut. Meraih jam yang berbunyi di atas meja berada di samping kanannya.

-Arianto-

Tepat pukul 05:00 WIB aku terbangun, ini sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terdengar suara kumandang azan di telinga. Bergegas aku membersihkan diri dan berwudhu untuk melaksanakan sholat Subuh.

Selesai berwudhu, aku mengendap berjalan menekan tombol on lampu di saklar. Lalu berjalan pelan mendekati Khira. Wajahnya begitu manis saat tidur. Kaki dan tangan yang telanjang memeluk guling sangat erat. Rambut hitam lurus terurai kusut. Berbaring menyamping ke sebelah kanan, terendus olehku wangi Estee Lauder Pleasure di badan Khira.

Aaa, aku mencintai istriku.

Ingin kupeluk dan menciumnya, maniak mesum di dini hari.

Mencoba untuk membangunkan. Kugapai pundak Khira dengan tangan kanan. Digerak-gerakkan pundak lembut itu dengan pelan sembari memanggil namanya dengan suara manja.

"Dek Khira, ooo ..., dek Khira."

"Bangun yuk, kita sholat Subuh berjama'ah,"

"Hmm ..., iya, Mas," sahut Khira, matanya yang masih sipit belum terbuka lebar.

___

Pagi tiba, suasana terasa damai. Aku yang berbaring di kasur melirik Khira yang berdiri di jendela, menatap mentari pagi yang indah.

"Mas," panggilnya.

Mendengar itu akupun bangkit dan berjalan mendekati. Dari belakang kupeluk Khira secara perlahan. Bibirku berkedut mencium pipinya yang hangat.

"Ada apa?" tanyaku

Sudut mulut muncul, isyarat darinya bahwa ia baik-baik saja.

Akupun mengajak Khira untuk sarapan. Wanita berparas manis dengan kulit putih berseri itu hanya mengangguk, pertanda "iya" dari ajakkanku.

Tak lama setelah itu, kakinya beranjak pergi ke ruang ganti. Seperti biasa aku tidak akan melihat senyumnya kalau di luar, bersiap dia akan menggunakan cadar.

Setelah keluar, kami segera menuju lantai dasar untuk menyantap sarapan yang telah disiapkan oleh pegawai hotel.

"Kesini sayang," ujarku.

Kutarik salah satu kursi di meja makan. Tangan terulur mempersilhkan Khira untuk duduk.

"Biar aku yang mengambil makanannya, kamu duduk dan tunggu saja disini." Senyum simpul terpancar olehku.

Sementara dia hanya tersenyum sumbing. Matanya berkeliling memperhatikan seisi ruang makan di Labersa Grand Hotel Pekanbaru tempat bulan madu kami. Ini sensasi baru bagi Khira, bisa berada di tempat ini dan merasakan nikmatnya pelayanan di hotel. Biasayanya ia hanya melayani kyai bukan dilayani.

"Sayang, ini makanannya," ujarku.

Melatakkan sepiring nasi lengkap dengan ikan dan sayur. Ditambah juga dua macam jenis minuman, kopi dan teh.

Aaa ..., ayok buka mulutnya. Khira tersipu malu, tak mau menerima suapan dari suaminya.

Diiringi musik klasik yang santai di tempat yang elegan bersama istri tercinta. Suasana terasa tentram dan damai saat melahap hidangan yang telah disajikan.

Selesai makan, kami beranjak pergi ke kamar. Kulihat istriku masih saja diam. Belum terbiasa dengan suasana disini, mungkin.

"Dek Khira, hari ini kita ke rumah orangtuaku," ujarku.

"Ke rumah orangtua?!" sahutnya.

Alisnya naik sembari pupil coklat itu membesar.

Apa dia belum siap? ujarku di dalam pikiran.

"Iya, dek Khira."

"Sekarang kita akan tinggal bersama orangtua kita," sahutku lagi.

Kuhadapkan wajah ke wanita bercadar itu dengan bibir membentuk setengah lingkaran, seraya memejamkan mata. Semantara matanya berkilau dan terlihat senyum terpampang di wajah wanita itu, membalas senyumku.

Waktunya berkemas.

Tangan kanan kumasukkan ke kocek celana, mengambil sebuah smartphone. Jari-jari ini menekan tombol di layar, mencari nomor kontak supir.

"Assallammualaikum, Mang," salamku.

"Waalaikumsalam, Pak," jawab Mamang.

"Tolong jemput saya di hotel sekarang ya, ditunggu," ujarku, berdiri di dekat jendala.

"Baik, Pak. Segera saya kesana," sahutnya.

"Assallammualaikum," salam pentup.

"Waalaikumsalam, Pak," jawab Mamang.

Beberapa menit kemudian, mobil jemputan kami telah tiba. Aku dan Khira langsung masuk ke mobil yang terparkir di depan hotel. Diperjalanan kami singgah sebentar di Mal SKA membeli oleh-oleh untuk mama.

Awalnya aku menikmati shopping ini, tapi tidak ketika aku melihat istriku berbincang dengan pria lain.

Mulanya aku biasa saja, tidak mempermasalahkan dia mau berbicara dengan siapapun. Akan tetapi, saat kuamati tampak dari kejauhan tangan lelaki dengan muka angkuh itu menggapai tangan Khira.

Dia terlihat jantan dariku dengan bulu yang melintang di bawah hidung. Ditambah lagi jambang tipis di rahang, membuat pria dengan otot lengan yang cukup besar itu seperti pria yang lebih dewasa. Sudut mataku berkerut tajam, berusaha mengamati lebih jelas.

Sedang apa mereka?

Walaupun dada ini rasanya sesak melihat Khira yang hanya berdiam diri saja saat tangannya dipegang oleh lelaki lain.

Tega kau, Khira!

Otot rahangku mengejang, gigi menggertakkan. Sesekali mata Khira memutar memperhatikan keadaan, apakah aku melihatnya atau tidak. Namun, tak terlihat oleh dia aku yang bersembunyi di balik untaian baju dan celana.

Tak bisa kudengar apa pembicaraan mereka, perlahan kaki kuangkat mendekati dua orang tersebut. Kaki terasa berat untuk melangkah, masih tak percaya dengan apa yang terlihat sekarang. Kira-kira sekitar dua meter jarakku dengan mereka. Masih berada di balik baju dan celana yang bergantung, tepat di belakang pria itu aku berdiri. Dialog mereka terdengar lajat.

Harusnya aku tak perlu mendekati mereka, cukup perhatikan dari jauh saja. Sekarang nasi sudah jadi bubur, mataku melebar berkaca-kaca, menahan air mata. Sekujur tubuh tak kuasa, tangan dikepal sangat keras. Darah mendesir merangkak naik di wajah, dan aku meringis. Pikiran sudah kacau.

Memang wanita bajingan kau, KHIRA!.

Aku beringkut pergi ke mobil, sementara Khira ditarik oleh pria dengan jambang tipis itu ke tempat sepi. Tak ingin merasakan perih yang lebih dalam, makanya aku biarkan saja istriku bermain dengan laki-laki lain. Sangat jelas terlukis di telinga dialog mereka.

"Sayang, lama tidak jumpa. Kemana aja?" Ujar lelaki itu dengan suara genit, sambil memegang tangan istriku.

Dek Khira hanya diam, tidak merespon sama sekali. Lalu kemudian, "ayok ikut abang, kamu harus membayarnya. Kamu masih ingatkan."

Mereka langsung pergi ke tempat sepi, kubuntuti dari belakang. Kenampakan olehku mereka masuk ke WC, saat ku intai. Pria dengan muka angkuh itu sudah mulai mendekatkan wajahnya ke wajah istriku.

Dari situ, aku langsung beringkah pergi.

Untuk sekarang aku diamkan saja, tapi rasa penasaran menyelimutiku, rasa sakit di dada sangat kuat, seakan dada ini di tusuk oleh ribuan jarum. Bagaimana tidak, baru saja malam tadi kami melakukan malam pertama. Esoknya malah menjadi seperti ini.

Apa yang terjadi dengan istriku?

Kok bisa anak pondok dekat dengan pria yang seperti itu.

Apa aku salah telah membiarkan istriku berduaan begitu saja dengan laki-laki lain.

Terlintas olehku sekejap.

Kau bodoh, Ari! masa iya membiarkan istri tercinta diganggu pria lain.

Tergambar juga olehku, kalau pria dengan kumis tipis itu adalah pasangan gelapnya. Tetapi tidak mungkin dia punya pasangan gelap. Sementara dia tinggal di pondok.

Aaa! Perdebatan yang sia-sia antara hati dan pikiran.

Aku tak tau yang mana benar.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience