part 16

Mystery & Detective Series 32100

#Masalalu_Istriku
#part_16
#Natta_D

Di kbm app sudah part 27

Seperti biasa, sebelum berangkat kerja aku duduk di balkon pada kursi rotan. Kali ini agak sedikit lama. Semua kejadian kemarin, asal muasal dari masalah Faakhira merembet ke Ibu. Itu semua membuatku stres, hampir saja gila.

Untung saja badan ini dari Made in Allah, jikalau Made in Cina. Pasti otak dan tubuh ini akan hancur dan sudah tak waras lagi.

.

Bersandar dengan hikmat. Berteman dengan hembusan asap sampoerna, dan ada sahabat berbentuk cair bewarna hitam pekat. Rasanya pahit tapi menenangkan pikiran. Rokok dan kopi hitam.

Lalu tertentang oleh indra pengelihatan, sang baskara ingin menampakkan diri. Namun redum berkata lain. Warna abu dan hitam mulai menutup atap bumi, dan angin sejuk mulai membawa embun dari langit membelai wajah tampanku. Kumohon jangan hujan.

Aku benci hujan. Suara air yang jatuh ke bumi membuka tirai-tirai masalalu yang kelam, episode demi episode. Tidak tahan dengan hal demikian.

.

Baru saja selesai kusuap sepotong Tays Bakers, terdengar suara khas pintu dan lantai yang bergesek. Terbuka.

Lalu sosok malaikat cantik keluar bersama seorang bayi mungil, Natasha. Ia langsung duduk disebelah sisi meja yang lain, lebih tepatnya di samping.

Langsung kutanya, "Ada apa, Khira?"

Jelas dia yang mengendong Natasha sambil mengayun-ayunkan penuh dengan kasih sayang. Khas seorang Ibu terhadap anaknya.

Bibir tipis manis Khira terbuka, suara alun dan lembut bertebaran ke gendang telinga ini.

"Mas, baik-baik aja, kan?" Terselip rasa khawatir dari kalimat tanyanya.

"Ya, aku baik-baik saja kok, Khira," jawab muncung ini.

Padahal batinku lagi tidak baik-baik saja. Tapi bagaimana bisa aku bilang kepada Faakhira, jika aku lagi tidak baik-baik saja, stres.

Tak sampai, hati kecilku mengatakan kalimat sesimpel itu. Bisa menambah beban pikiran Khira.

Sudahlah dia banyak mendapatkan cobaan. Dilipat gandakan lagi dengan khawatir kepada suaminya, aku.

Ya Allah, tak tega aku. Maka dari itu, aku diam.

Terus, mulut wanita berparas manis tadi kembali bersahut.

"Hmm ..., Iyalah, Mas. Kalo memang berat cerita sama Adek ya, Mas. Kita jalani sama-sama." Senyum memaparkan gigi. Sungguh mempesona.

Senyum tipis hinggap di bibir yang berwarna agak hitam, akibat merokok. Damai rasanya ketika mendengar lontaran kata-kata indah tadi dari birai wanita pujaan hati belahan jantung.

Menentramkan jiwa yang resah dan menetralkan pikiran yang kusam.

Masyaallah, kenikmatan apa lagi yang kamu dustakan.

.

Setelah mendapat semangat dari sang istri, waktunya berangkat kerja. Rokok sampoerna yang masih menyala di atas asbak kumatikan.

Lalu berdiri, beranjak untuk memasang jas, dasi, sepatu dan membawa koper berwarna hitam berisi dokumen-dokumen penting perusahaan.

Aku berangkat!

___

Malam, saat aku baru saja pulang dari kantor. Rintik-rintik hujan beserta kilat-kilat gemuruh bermain di atas langit.

Sesekali ada bunyi yang paling keras seperti bom atom yang akan menghancurkan bumi. Sangat gelegar.

Kemudian kaki berbulu lebat dengan otot yang cukup lumayan besar, menaiki susunan anak tangga yang terhubung ke lantai dua.

Satu persatu kuinjak anak tangga itu, hingga sampai di penghujung. Lalu aku menuju ke sebuah kamar yang berisi seorang wanita yang terbaring sakit.

Iya. Siapa lagi kalau bukan Ibuku. Dari kemarin belum juga sadar. Kayaknya dia betah tertidur dan hanyut dalam mimpi.

Sedangkan aku merasa sangat cemas akan keadaannya. Asupan untuk tubuhnya hanya sekantong air, dimana pada kantung tersebut bertuliskan Ringer Laktat bewarna merah.

Kemudian dari kantung tadi dihubungkan dengan sebuah selang, dan di penghujung selang tersambung sebuah jarum. Yang mana jarum ini tertancam di lengan kiri Ibuku. Infus.

Inilah yang menjadi stamina wanita berparas muda itu. Terkadang satu kantung pun tidak habis dalam sehari semalam.

.

Kuangkat kaki kekar ini, lalu meletakkan kembali ke lantai dengan pelan. Terus berjalan hingga sampai disisi ranjang Ibu.

Kemudian, menarik sebuah kursi kayu berwarna coklat mengkilap yang berada disisi meja kecil. Aku duduk.

"Ibu cepatlah bangun lagi." Mata dengan kornea bewarna hitam mulai berkaca-kaca.

Kuelus-elus tangan tua Ibu yang sedikit timbul urat-urat lengannya. Tanda betapa keras perjuangan Ibu ketika aku masih kecil.

"Ayolah, Bu! Bangun! Bangun!" lirih.

Setelah itu, jari-jemari Ibu tiba-tiba bergerak. Aku terkejut, seketika melihat sedikit ada gerakan di ujung jari. Langsung kuamati tanpa melepas sedikitpun pandangan darinya.

Fokus.

Benar saja, jari itu sekarang lebih kuat lagi bergerak. Mata yang tertutup pun mulai ingin bangkit dari jam istirahat. Berkedip-kedip.

Hingga akhirnya mata Ibu terbuka lebar. Ia langsung menoleh ke arahku, memberi senyum manis yang selama ini dirindukan.

Ibu ....

Subhanallah, bibirku langsung membentuk setengah lingkaran. Sebagai ungkap rasa bahagia.

"Khira! Khira! Kemari Ibu sudah siuman!" Ada getaran bahagia dari gelombang suara tersebut.

"Iya, Mas! Aku kesana!" sahutnya.

Tatkala Faakhira berlari-lari kecil menuju kamar sebelah. Kaki mulus itu terhenti tepat di depan pintu besar yang terbuka lebar.

Lalu mata berwarna coklat itu bercahaya, mengilat kilau. Alhasil derai air bening membanjiri pipi mulusnya.

Sedikit terburu-buru Khira berjalan menuju sisi ranjang. Nyata sekali aura bahagia memancar dari tubuh langsing wanita itu.

"Ibu! Syukurlah kalo Ibu sudah siuman. Aku senang sekali," ucap Khira bersamaan dengan senyum khas miliknya, manis.

Tak disangka-sangka Ibu malah marah dan stres.

"Ha! Kamu! Pergi sana. Kamu sudah berbohong kepadaku. Kamu tidak berguna! Tidak bisa memberikan aku cucu," hina Ibu kepada Faakhira.

Akan tetapi, Kali ini marahnya Ibu terlihat agak berbeda. Ia tampak stres akut dan sudah semacam orang teleng.

Dapat kubaca dari tatapan Ibu penuh dengan ketakutan dan kegelisahan. Psikologis Ibu sudah terkena.

"Pergi, pergi, pergi sana! Jangan dekati aku!"

"Aku mohon!..., Jauhkan aku dari wanita iblis ini!" jerit Ibu yang menggila-gila.

Sedang Faakhira yang beridiri tepat dihadapan Nyonya Mahmud merasa tersayat hati oleh ucapan dari mertuanya sendiri, yang menolak keras keberadaan Faakhira.

Kemudian aku berdiri, bergerak menuju tembok rumah ini. Lalu tangan yang telah dikepal dihantamkan sangat keras ke dinding yang terbuat dari semen. Hingga menyisakan bekas-bekas cat tembok di tangan kanan.

Dengan cara inilah segala bentuk emosi kulampiaskan pada dinding rumah. Tak peduli tangan ini hancur sekalian pun. Aku tak peduli.

Sangat kesal dan marah. Berapa banyak cobaan yang harus dilalui.

"Sudah cukup Ya Allah! Sudah cukup!"

"Aku sudah tidak tahan lagi."

Linangan air mata berguguran membasahi pipi dan menetes ke lantai. Benar-benar sudah tidak bisa ditahan lagi.

Tersedu-sedu, terisak-isak, diriku tak kuasa.

Sementara Ibu masih saja berjerit-jerit tidak waras. Aku sudah kehilangan Ayah, kumohon Ya Allah jangan renggut akal sehat Ibuku.

Bersamaan dengan suara bising dari tangis dan jerit Ibu. Faakhira langsung memeluk diri ini dari belakang. Sedang aku menyandarkan kening ke dinding sambil melepas semua emosi.

"Sudah, sudah sayang. Jangan seperti ini, ada Adek yang menemani. Kita jalani pelan-pelan, ya." Nada suara Khira terdengar pilu.

Tanpa membalikkan muka, aku memgetahui jika dia juga manangis isak di punggungku. Pelukan Nyonya Ari sangat erat, setidaknya hal inilah yang membuat batinku sedikit lebih tenang.

Setelah menguatkan diri. Kami panggil seorang pelayan untuk menjaga Ibu. Lalu Khira dan aku beralih kamar, berada disebelah kamar ini.

"Mba, tolong jaga Nyonya, ya," pintaku kepada pelayan.

"Baik, Tuan," sahutnya.

Untuk sekarang aku biarkan dulu Ibu sampai besok. Barulah nanti pagi kubawa ia ke rumah sakit jiwa. Kalau sekarang nggak mungkin, hari hujan dan petir lagi bersenang-senang. Ditambah lagi hari sudah larut malam.

Takutnya di bawah pikiran yang kusut. Malah terjadi kecalakaan di jalan.


Lebih baik, bertenang dahulu.

.

Kami langsung berbaring di ranjang ala Pakistan. Megah dan elegan.

"Mas, kita harus banyak-banyak bersabar," ucap Khira.

"Allah tidak akan menguji hambanya diluar dari kemampuan. Kita diuji seperti ini, itu berarti Allah tau kita pasti bisa menghadapinya." Istriku berdakwah, mencoba menghilangkan pikiran negatif dari otak ini.

"Hm."

"Ya." Cuek kujawab.

Jauh di dalam benak, sebenarnya aku menyangkal semua itu. Aku tidak bisa terima. Sudah tidak tahan lagi.

Bagaimana tidak, aku sebelum menikah sudah banyak menderita. Lalu aku menikah agar mendapatkan kebahagiaan.

Ini malah kesengsaraan yang berturut-turut.

"Ya Allah, apa salahku?! Hingga engkau memberi ini semua kepada hamba,"

Hati terus membantah kata-kata Khira. Hingga akhirnya aku terlarut tidur.

Entah apa lagi besok yang akan aku terima. Bisa-bisa aku ikut gila dengan ini semua.

Rasanya ingin mati saja.

Iya mati saja.

Perlahan mataku terpejam dan hilang kesadaran, tertidur.

Semoga aku bisa bunuh diri.

Aku ingin mati.

.

.

.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience