part 13

Mystery & Detective Series 32099

#Masalalu_Istriku
#part13_Membisu_dan_Terkuak
#Natta_D

Duduk dari balik meja, yang ada di kepala hanya Aulia, Aulia dan Aulia. Wah, ternyata aku sudah gila kepadanya.

.

Ini kisahku. Kisah seorang dermawan terpojok asmara yang kedua. Rasa kekecewaan tidak bisa mempunyai anak kandung yang tidak dapat dikabulkan oleh istri pertama sekarang sudah hilang, lenyap dari muka bumi.

Menggeser-geserkan kursi roda, sambil memegangi pena dan membayangkan pertemuan kami kali ini. Senyum-senyum manis selalu tampak di bibir. Pertanda bahagia.

Tak lama, ketukan pintu terdengar. Lantas aku berdengkus sebal, mengganggu hayalanku saja.

"Masuk!"

"Maaf, Pak. Ini ada yang harus ditanda tangani," tuturnya.

Karyawati perusahaan ini, dia sekaligus seorang skretaris. Sangat ulet dan terampil.

"Baik, sini, biar saya tanda tangani." Membuka tutup pena yang sedari tadi aku main-mainkan.

"Terimakasih ya, Pak," ucap skretaris.

"Ya." Cuek.

Kemudian dia beringkah pergi dari hadapanku. Melanjutkan pekerjaan.

Menit demi menit terasa lama, tak sabar ingin berjumpa dengan Aulia. Sekejap-kejap kulirik jam dinding yang ada di sebelah kanan.

"Ah! Masih lama lagi."

Masih menunggu.

...

Pukul tujuh belas lewat tiga puluh, kakiku melangkah terburu-buru menuju mobil. Ingin bertemu dengan calon istri kedua. Sudah selesai kerja.

Mobil kupacu berlaras dengan rasa bahagia. Tempat pertemuan kami masih sama, Erber Coffee. Akan diingat lekat-lekat tempat ini, dari sinilah kehidupan bahagiaku dimulai.

...

Gaya jalan tegap menunjukkan kejantanan yang gagah. Disebelah bergandeng seorang wanita impian, Aulia Khairunisa. Berjalan layaknya sepasang kekasih, mengarah pada satu meja yang berada di sudut ruangan.

Pembicaraan kami sungguh terasa adem. Cahaya gold dari bahlom, bervariasi bersama alunan musik klasik romantis santai. Membuat kencan kali ini tak kan terlupakan.

"Aulia, ini cincin pertanda bahwa aku serius." Aku yang memasukkan cincin emas di jari manisnya.

Kuamati wajahnya sangat bahagia beraduk dengan rasa terharu. Bibir merah jambu itu tidak henti-hentinya menarik perhatian hatiku. Berdebar.

Rasanya ia ingin menangis.

"Ya Allah, Mas, terimakasih banyak. Aku suka cincinya," kata Aulia yang duduk berhadapan, sambil mengelus-elus tanganku. "Aku sayang, Mas Ari." Tersenyum begitu manis dan mempesona.

"Mas, juga sayang Aulia. Mas akan segera menikahimu. Kita punya anak dan hidup bahagia," sahutku juga yang membalas lengkungan manis di bibirnya.

Berlama-lama alunan suaraku bersahut sanda gurau bersama Aulia. Melipat gandakan kebahagiaan dan kemesraan kami. Hingga ujung-ujungnya jam menunjukkan pukul dua puluh dua lewat tiga puluh menit Waktu Indonesia Barat, kini kami harus pulang. Berpisah untuk sementara.

Ada rasa sedih di hatiku. Tidak ingin berpisah, maunya dibawa ke rumah aja. Tidur bersama.

Tapi ....

Okelah, saatnya pulang.

.

Terus kemudian, kami pergi mengendarai sebuah mobil, bergerak di bawah deretan pohon yang rimbun menimbulkan suasana horor. Sudahlah jalan sepi, gelap pulak lagi.

Ban mobil bergesek secara perlahan, artinya sudah sampai di rumah Aulia.

"Dah ... sayang."

"Dah ... sayang," sahutku.

Langsung secara perlahan kakiku menekan gas. Pulang.

...

Aku mengendap-endap, takut membangunkan Ibu. Langkah sangat berhati-hati, sebisa mungkin tidak mengeluarkan detak-detak kaki di lantai.

Ketika sampai di pintu kamar. Tangan kanan menggapai gagang pintu, membuka sangat pelan. Khawatir menganggu tidur nyenyak Faakhira dan Natasha.

Lalu pintu terbuka lebar. Baru saja mengangkat kaki kanan dan meletakkan lagi ke lantai. Mataku menangkap Khira yang masih terjaga, duduk di tepian kasur. Menunggu kedatangan suaminya yaitu aku.

Kuperhatikan dari belakang agak ke samping. Tampak wajah cantik berkulit bersih putih.

Ia menahan kantuk, sekejap mata indahnya mulai tertutup. Lalu dengan gerakan mengejut iya gerakan kepalanya, sentak dia kembali terjaga. Mempertahankan kesadaran.

Lantas aku segera mendekap Khira dari belakang. Lamban dan halus kugerakan tangan ini. Lalu bibir berdekatan dengan telinganya. Berbisik.

"Sayang, kamu nungguin aku, ya?" tanyaku.

"Mas Ari! Iya, Mas. Aku nungguin kamu dari tadi, loh." Bola mata itu melirik ke wajahku yang berada sangat dekat di samping leher. Berdempet.

"Kok, pulangnya selarut ini, Mas?" Ia bertanya dengan nada suara bervolume rendah.

"Biasa, Khira. Mas lagi lembur lagi, banyak kerjaan akhir-akhir ini," jawabku, sangat cekatan dan terampil memasang topeng dusta.

Wah, itu kejagoanku, berakting di depan Khira.

Sukses, Khira percaya telak.

.

"Maaf ya, sayang. Aku jadi membuat kamu menunggu," ujarku memuntal wajah merasa bersalah.

"Iyalah sayang, nggak apa-apa, kok. Cuma lain kali kabarin istrimu ini kalo lembur, jadikan aku nggak khawatir lagi," tutur Khira sangat lembut. Sayang kepadaku.

Setelah itu, kami berdua langsung berbaring menarik selimut. Tidur pulas untuk mengisi stamina di hari esok.

___

Begitulah hari-hari baruku yang penuh dengan asmara bersama Aulia Khairunisa. Setiap hari selepas pulang kerja, aku dan dia selalu berjumpa. Berkencan di tempat-tempat yang romantis.

Kemudian, tepat seminggu sudah kami bertemu. Entah ini pertemuan yang keberapa, aku tidak tahu.

Berlokasi di kafe Coffee In pukul empat belas Waktu Indonesia Barat. Kali ini kami ketemuan di siang hari. Ya, memang hari Sabtu aku bisa lekas pulang kerja. Khusus untuk hari Sabtu, tiap minggunya.

Seperti di waktu-waktu yang sebelumnya. Aku dan Aulia bemesraan, merancang rencana hidup keluarga kami kelak. Kami asyik berbicara.

Hingga tiba-tiba.

Khira datang di tengah-tengah perbincangan kami.

Aku kaget! Bola mataku membesar, wajahku hampir saja memucat. Air liur sangat kuat kutelan. Sontak aku bertanya-tanya.

Kok, bisa Khira ada disini, ngapain dia kesini.

Aku harus bagaimana.

"Mas Ari!" Panggil Faakhira dengan suara keras.

Seisi kafe sentak melirik ke arah kami semua, kaget mendengar suara Khira.

Muka Khira sangat terkejut, ada banyak tanya yang akan dia ajukan kepadaku. Ekspresi wajah memuntal sedih saat melihat ada gadis yang menawan duduk bersamaku. Walaupun tertutup cadar, tapi aku tahu reaksi wajahnya itu.

Ini kiamat besar untuk aku.

Lanjut lagi.

"Siapa wanita ini, Mas?!" tanya Khira, kali ini dengan nada emosi tertahan.

Air mata mulai berkeluaran. Mulai memerah.

Orang-orang pada tercengang semua kepadaku. Sorotan pandangan mereka mengatakan bahwa aku laki-laki binatang, biadab! Tukang selingkuh.

"Jawab, Mas! Jawab, MAS! Siapa wanita ini!"

Tangisnya terisak, air mata berguguran tanpa henti.

Aku terdiam, duduk di kursi membisu tidak bisa berkata apa-apa apalagi. Sementara Aulia langsung pergi menjauh, tak ingin ikut masuk dalam permasalahan ini.

"Mas, aku pulang dulu, ya. Nanti telpon aja aku," ujar Aulia, ia berdiri menyandang tas khas untuk wanita. Langsung ia beringsut pergi.

Sekali lagi.

"Siapa, Mas wanita itu ...!"

Ya Allah, aku harus apa coba

Tak tahan berdiri lama-lama di tempat itu, malu dipandangi oleh banyak orang. Khira berbalik arah, pergi berlari meninggalkanku.

Aku waktu itu bingung harus bertindak apa. Setelah beberapa menit. Baru akhirnya aku mengejar Khira. Aku yakin dia pasti ke rumah, di kamar.

Mobil kupacu sangat laju, hingga benda-benda disekitar hanya terlihat selintas-lintas bayang saja. Ada mobil atau motor yang menghalangi jalanku, kuklakson dengan keras terus-menerus hingga menyingkir.

Toyota direm secara kuat, berbelok masuk menerobos gerbang rumahku.

Lalu bergegas aku melangkah kaki naik menuju lantai atas. Kamar. Disisi lain, Ibuku sudah menduga akan ada hari seperti ini, dia hanya cuek, acuh tak acuh kepada Faakhira. Seolah-olah, senyum bengisnya itu mengatakan; lantak dialah situ! cerai bagus lagi. Jadi, Ari bisa menikah dengan Aulia dan aku akan punya cucu.

Tak kuhiraukan, yang terpenting Khira dulu.

Ketika sampai di depan pintu, tangan bergerak kilat memegangi gagang pintu, kusentak pintu bewarna coklat dengan ukiran bunga mawar yang indah itu. Tapi tidak bisa. Sudah dikunci Khira dari dalam.

Kemudian kupanggil-panggil wanita yang berstatus istriku itu. Memujukinya agar mau membuka pintu dan semuanya akan aku jelaskan.

Akan tetapi yang aku peroleh.

"Mas Ari, JAHAT!"

"Tak ada yang perlu dijelasin lagi, Mas! Semua sudah jelas." Tangis Khira menjadi-jadi, isaknya mulai terdengar nyaring.

Kucoba terus, tapi tetap saja tak bisa. Dia masih mengurung diri di kamar bersama dengan tangisnya itu.

Kutunggu di depan pintu kamar, menunggu keadaan Khira membaik. Berjam-jam aku duduk bersandar di dinding di samping pintu. Akhirnya aku tertidur disana.

.

Setelah aku bangun, kulihat ini sudah pukul dua malam. Langsung aku berdiri pengen melihat keadaan istriku. Padahal kepala masih pusing, bangun secara tiba-tiba.

Kupanggil dengan pelan dan lembut.

"Khira, Khira, oh ... Khira"

Tidak ada sahutan dari balik pintu ini, kucoba lagi.

"Dek Khira, Mas boleh masuk?"

Masih tidak ada sinyal jawaban dari dalam. Suara tangis atau apapun itu tidak terdengar lagi disebalik pintu besar ini berukir indah.

Lalu, saat kucoba buka pintu tersebut. Eh, ternyata tidak terkunci lagi. Kubuka dengan sangat pelan agar Faakhira tidak bangun.

Berjalan tanpa bunyi.

Ternyata di dalam kamar ini sangat gelap, hanya cahaya rembulan yang masuk lewat pintu balkon yang menerangi.

Kuamati kamar kami sangat berantakan, semua barang-barang yang ada disini habis terhambur semua. Akibat amarah Khira.

Setelah itu, kuhidupkan lampu kamar ini. Kulihat Faakhira sudah tidak ada lagi. Natasha pun juga tidak ada.

Loh, kemana orang ini?

Kaget dan khawatir. Jam dua malam begini, kemana mereka pergi.

Selepas mengetahui bahwa istriku sudah tiada di kamar itu. Aku mengambil langkah seribu, berkeliling diseluruh ruang rumah ini. Akan tetapi, hasil memberi nilai nol. Mereka tidak ada di rumah.

Ya Allah, kemana mereka pergi.

Kutelpon-telpon, tidak juga diangkat. Rupanya HAPE Khira ditinggal di kamar. Lalu aku duduk di sudut kamar memeluk betis. Pasrah.

Kehidupanku mulai kacau lagi.

Merasa Allah tidak adil kembali.

Kemudian, aku beres-bereskan barang yang berhamburan di kamar itu.

Tak sengaja kakiku menginjak sebuah kertas. Kemudian kuambil kertas itu dan kubaca.

Kilat. Suasana hatiku berubah setelah membaca kalimat-kalimat di kertas putih tadi. Mulai memerah wajah ini. Rahang mengejang, urat-urat leher muncul.

Marah AKU!

Hawa panas mulai menyelimuti dada dan darah mulai naik ke atas.

Sedih, kecewa, marah atau entahlah. Aku tak tahu lagi apa yang sekarang dirasakan. Bercampur aduk semua.

Dasar wanita kurang ajar!

Beraninya dia melakukan ini kepadaku! Awas saja nanti, akan kubuat pelajaran untukmu, Khira!

Menggenggam erat kertas itu, tapi tidak merusaknya. Sebagai bukti, agar kubisa mengbungkam mulut licik bohongnya itu.

Biadab kau, KHIRA!

Masih saja ia mempermainkan aku rupanya.

Matilah kau nanti. Tunggu aja.

___

Apa isi kertas itu?

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience