Titik Temu

Mystery & Detective Series 32099

Pilihanku sekarang hanya diam dan ingin memastikan, siapa istriku ini sebenarnya?

Duduk bersandar di kursi mobil sambil menunggu Khira yang dari tadi tak kunjung datang. Sekali-kali kutilik jam tangan, jarum pendek mengarah angka dua, sedangkan jarum panjang berhenti di angka enam. Tiga puluh menit lagi jam tiga.

Kok, lama kali Khira datang.

Sedikit cemas meninggalkan istri seorang diri bersama laki-laki lain yang tampak seperti brandalan. Malah aku lebih was-was jika lambat pulang takutnya terjebak di kemacetan.

Dari balik kaca mobil yang guram, mataku berkelebat ke arah pintu Mal. Sepertinya aku melihat Khira. Garis muncul antara alis, mengamati. Apa benar wanita yang baru saja keluar dari Mal itu adalah wanita bercadar yang baru saja kunikahi.

Tangan di pangkuan paha kuangkat menggapai sebuah tombol yang letaknya tidak jauh dari gagang pintu di dalam mobil yang bermerek Toyota. Kutekan tombol itu ke arah atas, sontak kaca yang menghalangi pandangan tertarik ke bawah.

Saat tatapan kupusatkan ke arah wanita dengan gamis bewarna maron, ternyata benar dia istriku. Aku masih mengamati. Tampak ia berjalan melewati barisan mobil yang terparkir rapi di halaman Mal.

Setelah itu, seorang pria berpostur tubuh tinggi dan gagah, keluar dari BMW 5 SUV yang juga terparkir di tempat. Sesaat, ia mengamati sekeliling halaman Mal yang tampak sepi. Lalu pandangannya terhenti pada wanita dengan gamis bewarna maron itu.

Ia melangkah dengan tegap, detak sepatunya terdengar tegas, kemudian berhenti di depan Khira. Matanya terpaut dari ujung kaki hingga kepala mengamati dengan detil setiap inci tubuh wanita bercadar itu.

Alisnya tersentak bersama-sama, bersamaan dengan itu mulutnya bergerak. Tak dapat kudengar dari kejauhan.

Beberapa menit kemudian mereka berpisah, pria yang gagah itu menyisakan senyum.

Khira membuka pintu mobil, lalu masuk dan duduk dengan kaki menyilang. Wajahnya menoleh kepadaku, menunjukkan barang belanjaannya. Kubalas dengan memberikan setengah-senyum.

"Mang, kita pergi," sahutku dengan cuek.

"Baik, pak," jawabnya.

Mobil kami meluncur laju pergi menuju rumah, menyusur jalan raya di kota Pekanbaru.

Suasana terasa lengang, hanya bunyi mesin dan kendaraan lain di luar yang terdengar. Sesekali aku menoleh Khira, memandang dengan lekat. Apakah ada tanda di tubuhnya kalau dia melakukan hal aneh dengan pria brandalan tadi di Mal. Semua baik-baik saja.

Tak terdengar kata maaf ataupun penjelasan dari Khira atas kejadian di Mal. Bahkan keterangan saat bertemu pria di halaman parkir tadipun tidak ada. Semua disembunyikan, seolah-olah aku tidak mengetahui tingkahnya. Padahal aku tau betul apa yang sedang terjadi.

Masih saja kutunggu, berharap wanita dengan mata berwarna coklat itu menjelaskan semuanya. Namun, masih saja sama. TIDAK ADA. Dia hanya duduk berdiam diri dengan tatapan fokus ke hadapan.

Rasa sakit hati bercampur dengan kesal dan curiga. Aku berpikir.

Kenapa dia tidak menceritakan kejadian tadi padaku?

Biadab kau Khira! Berarti memang benar kalau laki-laki di Mal tadi adalah simpananmu.

Tapi ..., rasa tidak mungkin kalau seorang wanita yang terjaga seperti Khira melakukan itu, dia kan slalu di pondok.

Terus!, kenapa dia sembunyikan kejadian di Mal tadi, kalau memang benar laki-laki berkumis tipis itu bukan simpanannya.

Apalagi sudah jelas kulihat, pria berotot lengan cukup besar itu mendekatkan wajahnya ke Khira. Aku kira mereka berciuman.

Atau jangan-jangan, pria bertubuh tinggi tadi, juga simpanannya.

Aargh!

Ingin ku bungkam mulutnya, agar kutahu apa sebenarnya terjadi.

Tak ingin berdebat yang tak jelas antara pikiran dan perasaan. Aku bertanya langsung pada wanita bercadar itu.

"Dek Khira, tadi laki-laki di parkiran siapa?" tanyaku yang sok lembut, padahal dalam hati ingin sekali marah padanya.

"Oohh ..., itu. Dia teman aku waktu SMP, sudah lama tak berjumpa," jawabnya singkat.

Entah dia berbohong atau tidak, aku tak tahu. Jawabannya tak dapat kupercaya. Rasa curiga masih saja menganga.

"Uh, begitu. Kalau pria di Mal tadi siapa?" Aku bertanya lagi.

Tampak matanya membesar menatapku, raut wajah Seperti berkata.

Kenapa dia tahu.

Aneh. Ia bicara terkencar-kencar.

"Ada apa?"

"Jadi, siapa laki-laki itu?"

Patah lidah ia menjawab,

"Ooh ..., itu. Pria itu pelanggan di Mal itu, dia minta tolong tunjukkan tempat belanjaan," sahutnya.

"Oke," jawabku cuek.

Aku tidak bertanya lagi, ia kembali menatap ke depan dengan keadaan yang gelisah. Secara bersamaan dalam suasana yang kikuk, setelah aku bertanya tadi.

Sekarang sudah jelas dia berbohong padaku. Kenyataan ini menambah kepastian di dalam diriku jika dia selingkuh. Namun, masih terbesit keraguan dan tidak percaya.

Wajahku memerah, beriringan dengan hawa panas yang mulai membakar dada.

Sekali sentak, hati terasa ditimpa batu dengan berat seribu ton. Sesak memang, menerima jawaban Khira.

Kenapa dia berbohong padaku.

Berarti memang benarlah, pria dengan kumis tipis itu laki-laki gelapnya di belakangku.

Dasar bajiangan kau, KHIRA!

Di keadaan yang sesak dan panas di dada. Aku masih memilih berdiam dan mempertahankan keluarga yang baru saja ku bangun. Tak ingin melihat ibu dan ayahku kecewa. Semantara, diriku masih bertanya-tanya.

Kok, bisa Khira bisa dekat dan kenal dengan pria.

Kalaupun itu teman sewaktu dia sekolah SMP, seharusnya mereka tidak tahu bahwa wanita yang mengenakan gamis maron itu Khira. Apalagi tubuh Khira tertutup, hanya matanya yang terlihat.

Ini tidak masuk akal.

Pasti ada sesuatu, aku harus mengetahuinya.

Untuk sekarang yang aku tau, Khira berbohong.

Tiba-tiba mobil perlahan di rem, berbelok ke kiri menuju halaman rumah. Meluncur masuk dari gerbang yang tidak tertutup rapat.

"Mobil langsung masukkan ke gerasi, Mang." Perintahku yang berucap tegas.

"Baik, Tuan," sahutnya.

___

Dari mobil Toyata bewarna hitam keluar sepasang suami istri, mereka disambut oleh pelayan dan keluarga besar tepat di depan rumah yang bercat putih.

Istri Mas Ari tercengang, menilik banyaknya pelayan yang menyambut kedatangannya.

Baju hitam bercorak putih menambah gaya khas bahwa mereka adalah pelayan.
Sekitar lima puluh orang kira-kira, bercampur laki-laki dan perempuan.

Aku seperti seorang ratu, ujar Khira dalam pikiran.

Bangunan dengan pondasi batu bewarna hitam dan dinding bewarna putih serta ornamen kecil keemasaan disetiap sudut dinding rumah. Menjadikan rumah tersebut seperti istina dalam mimpi.

Rumah Arianto.

***

next?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience