BAB 12

Other Completed 1536

Selangkah lagi impiannya menjadi Sarjana akan tercapai. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Tio. Suatu hal yang terus mendorongnya untuk sulit memejamkan mata di malam hari. Hal itu adalah mengungkapkan perasaannya pada Narma. Ia ingin menyatakan rasa cintanya pada Narma. Oleh karena itu, ia memutuskan menulis surat untuk Narma. Surat yang kan menjadi cerminan perasaannya pada Narma. Ia mengambil pena dan mulai menggoreskan kata demi kata. Dalam surat itu, pertama-tama ia memperkenalkan dirinya, kemudian ia bercerita perjalanan hidupnya dari masa kecil hingga dewasa. Dan yang paling utama, ia tulis curahan perasaannya kepada Narma. Setelah selesai menulis, ia masukkan surat itu dalam sebuah amplop cokelat. Ia menunggu waktu yang tepat kapan ia harus menyampaikan surat itu pada Narma.

Lama ia simpan surat itu didalam kamarnya. Hingga beberapa hari menjelang wisuda, surat itu tak jua ia sampaikan kepada Narma. Pada saat sehari sebelum pelaksanaan wisuda, ayah dan Ibu Tio tiba di Malang untuk menyaksikan wisuda sang putra yang dibanggakan. Kedatangan orang tua adalah semangat tersendiri bagi Tio. Ia semakin bersemangat untuk mengungkapkan perasaannya pada Narma. Dan masa itu hampir saja tiba dikala malam hari sebelum wisuda. Malam itu, Tio menelepon Narma.
“Assalamualaikum, Narma. Bagaimana kabarmu ? apakah besok kamu bisa datang di acara wisuda ? mas mau diwisuda lho”, ucap Tio.

“Waalaikumsalam. Kabar baik, mas. Ciyee yang mau diwisuda. Insya Allah saya akan datang bersama teman-teman, mas”, ucap Narma.

“Bagus kalau begitu. Ada titipan surat dari seseorang untukmu”, ucap Tio.
“Oh ya ? Surat dari siapa itu mas ?”, tanya Narma.

“Dari seseorang yang tak mau disebutkan namanya. Aku tunggu kedatanganmu besok. Karena sehari setelahnya, saya akan kembali ke Lampung, barangkali kita tidak akan bertemu”, ucap Tio.
“Ooo begitu, saya usahakan untuk datang, mas. Jangan berbicara seperti itu mas, Insya Allah kita bisa bertemu lagi di waktu yang berbeda”, ucap Narma.

“Amin. Baiklah kalau begitu, dik. Sampai bertemu besok ya. Assalamualaikum”.
“Waalaikumsalam, mas”, ucap Narma singkat mengakhiri pembicaraan.

Malam terasa singkat bagi seseorang yang esoknya akan merasakan wisuda. Mentari bersinar dengan cerahnya pagi itu. Ribuan mahasiswa yang kan diwisuda memulai memasuki Gedung Samantha Krida. Dengan ditemani orang tua, Tio dan Didit yang telah mengenakan pakaian wisuda dan toga dengan gagah memasuki arena wisuda. Kemudian mereka duduk di kursi peserta bersama dengan mahasiswa lainnya. Tio dan Didit mengikuti acara tersebut dengan serius. Mereka menyimak pidato Bapak Rektor dengan seksama. Pidato yang membawa pesan penting kepada para wisudawan.

“Saudara-saudara sekalian yang berbahagia, hari ini saudara telah resmi dinobatkan sebagai Sarjana, dengan segala hak dan tanggung jawab yang melekat pada diri saudara.Oleh karena itu, gunakanlah ilmu anda sebaik-baiknya untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Jadilah sarjana yang tidak hanya pandai mencari kerja, namun pandai membuka lapangan kerja. Bangsa dan negara ini menanti bakti anda. Selamat !”, ucap Bapak Rektor sebagai penutup pidatonya.

Pidato Bapak Rektor mengundang decak kagum para peserta wisuda. Tepuk tangan membahana di seluruh penjuru. Setelah itu, para peserta wisuda dipanggil namanya untuk naik keatas panggung untuk menerima Ijazah Sarjana, tak terkecuali Tio dan Didit. Setelah rangkaian acara wisuda berakhir, Tio dan Didit tak ingin melewatkan kesempatan berfoto bersama yang mungkin untuk terakhir kalinya sebagai penutup perjuangan studi di kampus. Tak lupa, mereka juga berfoto bersama orang tua tercinta dan teman-teman seperjuangan di angkatan 2011. “Mas Tio, ayo foto sama aku dan teman-teman”, ucap Narma yang datang menghampiri Tio. Kemudian Tio menyempatkan diri untuk berfoto bersama Narma dan teman-temannya.

“Narma, ini surat yang ingin mas berikan ke kamu. Kamu baca ya”, ucap Tio.
“Iya mas, Narma akan baca surat ini. Terima kasih ya mas”, ucap Narma.

Melelahkannya sesi foto-foto pada saat wisuda membuat Tio tertidur pulas disamping kedua orang tuanya setibanya di kos. Malamnya, Narma mulai membuka surat yang Tio berikan. Ia baca surat itu dari bagian awal hingga akhir secara perlahan-lahan. Nampaknya, Ia mencoba memaknai isi surat tersebut. Setelah selesai membaca surat itu, Narma diam sejenak. Kemudian ia mengambil HP dan menelepon Tio. Dering telepon dari Narma membuat Tio terbangun dari tidurnya. Tio mengangkat telepon dari Narma, dan beberapa menit kemudian, mereka memasuki inti pembicaraan.

“Mas, sebelumnya Narma mengucapkan terima kasih atas suratnya. Tapi, Narma tidak ingin memberi harapan kosong kepada mas. Narma tidak ingin membuat mas menunggu dan berharap. Masih banyak wanita yang lebih baik diluar sana selain sosok yang engkau maksudkan di surat itu, mas”, ucap Narma dengan lembut.

“Iya Narma, tidak apa-apa. Mas hanya mengungkapkan perasaan. Maafkan ya dik jika saya keliru”, ucap Tio.

“Tidak apa-apa mas. Mas tidak salah kok. Sebenarnya dalam waktu dekat, Narma akan secepatnya menikah dengan seorang lelaki yang sejak lama ingin meminangku, mas. Mohon do’anya ya mas”, ucap Narma dengan sedikit tersendat. Tampak berat lisannya mengatakan demikian pada Tio.

Mendengar perkataan itu, seketika perasaan Tio serasa hancur lebur. Sukmanya menangis sekuat-kuatnya. Berat hatinya menerima kenyataan pahit yang tak sesuai dengan harapannya. Karena tak kuat menahan pilu, tanpa kata, Tio langsung menutup telepon itu. “Mas Tio..tunggu..Mas Tio”. Teriakan Narma serasa tidak ada artinya karena Tio telah menutup telepon darinya. Tak menyerah sampai disitu, Narma mengirimkan pesan singkat kepada Tio.

“Aku minta maaf mas. Mungkin berat hati bagi mas menerima keputusanku ini. Aku mohon mas, aku melakukan ini demi kebahagiaan ayah dan ibuku”, pinta Narma.

Tio merenung diri sejenak sembari introspeksi diri. Dengan menghela nafas panjang, Tio membalas pesan singkat Narma setengah jam kemudian.

“Baiklah jika itu memang pilihan terbaikmu, dik. Seharusnya aku tetap memposisikan diri sebagai sahabatmu, dan tidak berharap lebih. Semoga acara pernikahanmu nanti akan berlangsung dengan baik dan lancar”

“Terima kasih, Mas Tio. Mas sungguh berjiwa besar. Sikapku kepada mas tidak akan berubah, kita tetap sahabat baik ya mas sampai kapanpun”

“Sama-sama, dik. Pasti, sahabat tak selalu jadi cinta, karena jodoh terkait dengan restu-Nya. Sudah dulu ya dik, mas harus mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa kembali ke Lampung besok jam 3 sore”.

Pesan singkat itu menutup dialognya dengan Narma. Setelah itu, Tio mulai mengemasi barang-barangnya untuk dibawa pulang ke Lampung. Ia akan meninggalkan kamar kos yang telah menemaninya selama kurang lebih 4 tahun lamanya, banyak kenangan indah yang tertulis di kamar ini yang sulit untuk dilupakan. Namun, itu adalah konsekuensi karena hidup berbicara tentang pertemuan dan perpisahan, dan hidup berkaitan dengan awal dan akhir. Ada jalan baru yang akan kita tempuh setelah jalan lama telah kita telusuri. Itulah yang namanya hidup.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience