BAB 4

Other Completed 1536

Ketika Mentari pagi datang menyapa, Argi pamit pulang karena harus mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk daftar ulang mahasiswa baru di UPI. Begitupun Tio, ia harus segera mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk daftar ulang mahasiswa baru Universitas Brawijaya, karena seminggu lagi ia harus berangkat ke Malang. Pagi itu menjadi saksi perpisahan Tio dan Argi untuk sementara waktu.

Sebagai bekal untuk berangkat ke Malang, Tio memutuskan untuk membuka celengannya. Dari celengan itulah terkumpul uang yang cukup untuk menanggung ongkos perjalanan dan biaya hidupnya selama beberapa waktu di Malang. Dua hari sebelum keberangkatannya ke Malang, sang bunda memanggilnya untuk berbicara.

“Nak, ini uang hasil penjualan kue yang ibu kumpulkan selama beberapa hari. Bawalah uang ini nak sebagai bekalmu di Malang, walaupun jumlahnya mungkin belum bisa memenuhi kebutuhanmu disana”, ucap Ibunya.

“Bu, tidak usah. Nanti kalau Tio ambil uang ini, bagaimana dengan Ibu ?, nanti ibu makan apa?’, tanya Tio kepada ibunya.
“Sudahlah nak. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan ibu. Yang penting kamu bisa kuliah dan menggapai cita-cita yang kamu inginkan. Doa ibu selalu menyertaimu”, ucap ibunya sembari mengelus-elus rambut Tio.

Tio merasa terharu mendengar perkataan ibunya. Ia menerima uang itu, meskipun perasaannya tidak tega ia rasakan. Ia tahu bahwa kehidupan ekonomi keluarganya sedang sulit. Akan tetapi, menyerah dengan keadaan bukanlah keberanian sejati seorang lelaki. Tio tetap bertekad melanjutkan mimpinya ke pulau Jawa walaupun bayangan mahalnya biaya kuliah masih menghantui. Dua hari kemudian, ia berpamitan kepada ibunya untuk berangkat ke Malang. Sang bunda pun menitikan air mata. Tio meminta do’a restu pada sang bunda untuk melanjutkan mimpinya di Malang. Akhirnya, sang bunda harus rela melepas putra semata wayangnya untuk pergi ke Malang. Tio meninggalkan tanah Lampung dengan semangat membara dan tekad membaja. Ia tidak ingin membuat kedua orang tuanya kecewa.

Perjalanan melelahkan bersama bus yang membawanya ke Bumi Arema ia nikmati. Ada sesuatu yang menantinya setiba disana yakni daftar ulang mahasiswa baru Universitas Brawijaya. Perjalanan pun terus berlanjut. Sesampainya di Malang, hawa dingin malam hari menyambut kedatangannya. Fahrur, sahabatnya satu sekolah semasa duduk di bangku SMP Negeri 4 Bandar lampung, telah menunggu di Terminal Arjosari untuk menjemputnya.

“Halo sobat. Bagaimana kabarnya ? Welcome to Malang, bro”, ucap Fahrur sambil memeluk Tio.
“Alhamdulillah, luar biasa rur. Hehehe”, jawab Tio.
“Bagaimana perjalananya kemari ? lancar kah ?”, tanya Fahrur.

“Lancar bro. Kamu diterima di UB juga kah ?, jadi sekarang kamu tinggal di Malang ya ? Wah maaf ya kemarin kemarin aku telat membalas sms mu”.

“Tidak apa apa, sobat. Aku diterima di fakultas Hukum. Ayah dan ibuku pindah tugas kemari, jadinya aku ikut kemari, sampai akhirnya kami punya rumah disini’, ucap Fahrur sembari tersenyum.
“Oo begitu. Syukurlah, rur”.

“Kalau begitu, mari segera kuantar kerumah. Makan malam untukmu telah ku siapkan. Nanti, lekaslah kamu istirahat. Besok adalah hari pendaftaran ulang mahasiswa baru. Butuh istirahat dan tenaga yang cukup, oke ?”.

“Baiklah rur. Terima kasih ya rur”.
Sesampainya di rumah Fahrur, Tio menikmati hidangan yang telah disediakan oleh Fahrur sebagai makan malamnya. Rasa kenyang membuatnya tertidur pulas sekali malam itu. Tidur yang cukup untuk menghapus seluruh rasa penatnya selama perjalanan menuju ke Malang. Keesokan harinya, Fahrur mengantarnya ke Gedung Rektorat Universitas Brawijaya Malang untuk mengurus pembayaran daftar ulang mahasiswa baru. Sesampainya di depan gedung, Fahrur meninggalkan Tio karena ia harus mengurus beberapa hal. Kemudian Tio memasuki gedung itu dan menuju ke lantai 5.

Sesampainya di lantai 5, antrian panjang mahasiswa baru untuk menunggu giliran menghadap petugas bagian keuangan menghiasi suasana. Hingga jam menunjukkan pukul 14.00 WIB, tibalah gilirannya untuk menghadap, setelah namanya dipanggil oleh Satpam yang menjaga ketertiban antrian. Beberapa pertanyaan dilontarkan oleh petugas kepadanya. Namun satu pertanyaan terkait pelunasan pembayaran SPP semester 1 membuatnya terdiam. Di hadapan petugas, ia menyampaikan keberatannya jika harus melunasi pembayaran SPP semester 1 dalam waktu dekat. Apalagi di dompetnya hanya tersisa sedikit uang untuk bekal hidup selama beberapa hari di Malang. Sontak hal itu membuat petugas terkejut.

“Kamu ini bagaimana mau kuliah kok tidak menyiapkan biaya ? Kalau begitu, bagaimana kalau kamu bayar 50% nya saja dulu ? ”, tanyanya kepada Tio. “Maaf, pak. Saya belum bisa. Orang tua saya belum punya uang sebesar itu”, jawab Tio lirih. “Bagaimana kalau kamu bayar 25% nya saja dulu ? sudah jauh lebih ringan kan ?”, tanya petugas sekali lagi kepadanya. Namun, Tio tetap bersikukuh bahwa ia belum memiliki uang untuk membayar SPP semester 1.

“Uang saya tersisa Rp 250.000 di dompet, pak. Jika bapak tidak keberatan, saya akan bayar Rp 150.000 dulu untuk SPP semester 1. Karena sisa uangnya akan saya gunakan sebagai biaya hidup disini untuk beberapa hari. Namun jika bapak tidak berkenan, maka dengan berat hati saya akan mengundurkan diri dari kampus ini, pak”, ucapnya dengan setengah berharap kepada petugas.

“Baiklah dik, tidak apa-apa kalau kamu baru mampu membayar sebesar itu. Kamu anak yang pemberani. Jauh-jauh dari Lampung kesini hanya untuk menuntut ilmu. Semangat ya dik, jangan sampai kamu tidak kuliah hanya karena biaya. Carilah beasiswa. Itu harapan dari Bapak Rektor kepada mahasiswa yang kesulitan biaya”, kata petugas.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience