Chp 8 Di Apartemen

Mature Content Series 709

Karena cedera kaki ketika berlatih menari, Calentha harus memakai kursi roda untuk sementara waktu. Meski ini bukan hal baru baginya—karena ia memang cukup sering mengalami cedera ringan akibat latihan yang terlalu intens—kali ini tetap saja membuatnya kesal karena harus bergantung pada orang lain. A-Fra, dengan wajah pasrah dan pundak sedikit menegang, bertugas mendorong kursi roda itu, mengajaknya jalan-jalan untuk menghirup udara segar di taman kota yang sedang ramai oleh suara burung, anak-anak kecil, dan aroma bunga yang mulai bermekaran.

Calentha tampak dengan santai menatap ponselnya sambil sesekali tersenyum kecil, tenggelam dalam dunia digitalnya, seakan tak peduli pada dunia nyata. A-Fra terus menghela napas panjang, menatap lurus ke depan sambil berusaha menahan keluh, jelas terlihat bahwa ia mulai lelah. Tubuhnya sedikit membungkuk ke depan, dan sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa jenuh.
"(Well, ini bukan sekali atau dua kali dia terkilir dan aku harus ekstra melayaninya... Bahkan hal ini sudah dianggap biasa karena Calentha bisa sembuh dengan cepat...)" pikirnya dengan putus asa, sambil melirik gadis yang tampak nyaman duduk di kursi roda itu, nyaris seperti sedang liburan.

Hingga tiba-tiba matanya menangkap pemandangan yang membuat alisnya terangkat—di depan sana, di antara rindangnya pepohonan yang menjulang tinggi dan dedaunan yang ditiup angin, ada dua orang sedang berpacaran. Mereka berdiri sangat dekat, membiarkan diri larut dalam momen manis yang seakan tak terganggu dunia sekitar, bibir mereka saling bertemu dalam ciuman yang mesra.

Tanpa pikir panjang, A-Fra menghentikan kursi roda Calentha tepat di depan pasangan itu. Sekilas ia menatap Calentha, lalu dengan langkah ringan dan tanpa sepatah kata pun, ia meninggalkannya di sana. Calentha yang awalnya tidak menyadari apa yang terjadi hanya mengangkat kepala setelah beberapa detik, wajahnya menunjukkan kebingungan. Pasangan yang sedang berciuman itu pun ikut menghentikan aktivitas mereka dan menatapnya dengan ekspresi terkejut. Merasa diperhatikan, Calentha tersentak dan panik, berusaha mendorong roda kursi rodanya sendiri untuk mundur, namun sialnya justru kehilangan keseimbangan. Dengan suara ‘bruk!’ tubuhnya jatuh ke belakang, membuat dedaunan di sekitar ikut berguguran karena hebohnya kejadian itu.

Pasangan tadi terkejut setengah mati, sementara dari kejauhan terdengar tawa keras—itu suara A-Fra, yang menyaksikan semua itu dengan ekspresi terhibur dan tangan bersedekap.

Beberapa hari kemudian, ketika Calentha sudah merasa lebih baik dan tidak lagi bergantung pada kursi roda, benda itu hanya teronggok di pojokan apartemennya yang hangat dan wangi lavender. Sinar matahari sore masuk dari celah tirai, menyinari permukaan kursi roda itu seakan menjadi benda mati yang kini tak lagi dibutuhkan.

Sementara itu, A-Fra yang baru saja pulang dari luar, membawa kantong belanja berisi bahan makanan segar, berhenti sejenak ketika menaiki tangga menuju apartemen Calentha. Suaranya sempat terhenti, karena matanya menangkap pemandangan beberapa pria yang tampak sibuk mengangkat kardus dan perabot ke lantai atas. Mereka kelihatan seperti anak band, dengan gaya nyentrik dan tawa keras.
"(Hm, tetangga baru sepertinya...)" pikirnya singkat, sebelum kembali berjalan dengan santai.

Begitu masuk ke dalam apartemen yang tenang, ia melihat Calentha yang sedang terbaring di sofa. Gadis itu terlihat lesu, tetapi masih fokus menatap layar ponselnya. Sinar lampu hangat membuat wajahnya tampak pucat namun tetap anggun.

“Kau sudah merasa lebih baik?” tanya A-Fra sambil menaruh belanjaan.

“Yeah....” jawab Calentha singkat, masih dengan nada datar dan mata terpaku pada ponsel.

Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Sejak kedatangan tetangga baru di lantai atas, suasana apartemen berubah drastis. Malam hari yang biasanya sunyi mendadak diwarnai oleh suara gitar listrik, dentuman bass keras, dan sesekali suara-suara aneh seperti kayu ditebang, atau bahkan suara tembakan dari game tembak-tembakan yang dimainkan dengan volume maksimal.

Di kamar yang remang, Calentha duduk di atas ranjang dengan rambut terurai berantakan. Matanya sayu, tubuhnya lelah, dan ekspresinya jelas menunjukkan frustasi.
"(Sialan!! Kenapa mereka berisik, tapi ini masih malam, aku lelah.... Aku ingin tidur... Tubuhku sudah malas....)" pikirnya sambil menutup telinganya dengan bantal, namun tetap saja suara bising itu menembus segalanya.

Akhirnya, menjelang pagi, dengan wajah lusuh dan lingkaran hitam di bawah mata, ia hanya bisa duduk dan mengucek matanya. Ia bangkit dari tempat tidur, lalu menyalakan lampu dengan gerakan pelan, mencoba memulai hari dengan tenaga yang tersisa.

Namun di sisi lain, di atas sana, pria yang menjadi sumber kebisingan justru merasa terganggu oleh suara kecil dari apartemen bawah. Dengan amarah membara, ia turun dan mulai menggedor pintu Calentha dengan keras seperti orang kesurupan. Suara gebrakan pintu menggema di sepanjang lorong.

Dengan langkah malas dan kepala berat, Calentha membuka pintu setengah, matanya masih berat karena kantuk.

Begitu pintu terbuka, pria itu langsung menyemburkan kemarahannya. “Begitu keras, kau tidak tahu bahwa aku sedang mencoba tidur?" katanya kesal, ekspresi wajahnya menyebalkan dan penuh pembenaran. Dia bahkan tidak sadar bahwa dirinyalah sumber kekacauan selama ini.

Tiba-tiba, dari arah samping, seperti angin menerjang, sebuah tendangan mendarat keras ke tubuh pria itu dan melemparkannya ke sisi lorong. Calentha terdiam, terpaku. A-Fra muncul dari samping, wajahnya tak menunjukkan amarah tapi jelas-jelas terganggu. Ia berdiri tegas.

“Pergilah dari sini dan sewa komplek di tengah lapangan!!” teriaknya lantang. Suaranya bergema dan cukup untuk membuat pria itu bangkit dalam panik dan lari ke atas tanpa menoleh lagi.

Calentha tertawa kecil, geli, meski juga menggeleng pelan. "Hei, jangan menggunakan kekerasan...." katanya, suaranya mengandung nada lelah namun tulus.

A-Fra hanya menghela napas panjang, meliriknya dengan sedikit kesal. "Jangan selalu berpikir aku selalu pakai kekerasan... Nasib baik aku membantumu menyingkirkan dia tadi.." katanya sambil melangkah masuk ke dalam apartemen Calentha. Gerakannya tegas, meninggalkan Calentha yang berdiri diam di depan pintu dengan pikiran berputar.
"(Dia memang kasar, tapi aku harap dia tidak berulah lagi....)"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience