Chp 6 Menghadapinya

Mature Content Series 709

Meskipun A-Fra adalah sosok yang tegas dan tangguh, dia juga tidak akan kalah jika ingin berdebat atau bertarung. Tapi jika Calentha sudah bilang hal yang seperti itu maka yang harus A-Fra lakukan hanyalah tenang, mau itu Calentha kesal atau apapun itu, Afra harus bisa tenang seperti saat ini.

"Apa yang aku bilang padamu!” kata Celantha dengan marah. Suaranya menggema di antara dinding gang sempit yang sunyi dan basah oleh sisa hujan semalam. Udara lembap menusuk hidung, tapi kemarahan Celantha jauh lebih menusuk dari aroma apapun. Dia berdiri tegak di hadapan A-Fra dengan mata melotot dan napas memburu. Dia marah kepada A-Fra, dan mereka berdua saat ini berada di gang sempit yang hanya cukup untuk dua orang berjalan berdampingan.

“Aku sudah bilang padamu, jangan melawan! Jangan melawan! Tapi kau tidak pernah mendengarkanku!” Nada suaranya meninggi, penuh amarah yang selama ini ditahannya. Dia menunjuk-nunjuk dada A-Fra dengan jari telunjuknya yang gemetar, lalu tanpa ragu mengambil tongkat pemukul milik A-Fra — tongkat yang selama ini menjadi simbol kekuasaan A-Fra atas orang-orang lemah di sekitar sana. Tanpa basa-basi, dia menyita tongkat itu, bahkan dengan mudahnya melarang A-Fra, sosok yang dikenal sebagai penindas menakutkan di sekitar lingkungan kumuh itu.

Suasana yang tadinya tegang mendadak berubah ketika terdengar suara tawa dari kejauhan. “Hahaha, dia dimarahi.” Suara itu berasal dari anggota geng A-Fra yang berdiri agak jauh di ujung gang, menyaksikan kejadian itu seolah sedang menonton hiburan langka. Tawa mereka terdengar mencemooh, membuat A-Fra menoleh cepat ke arah mereka dengan sorot mata penuh amarah dan rasa malu. Namun Celantha sudah lebih dulu berjalan pergi, membawa tongkat A-Fra di tangannya.

Tapi siapa sangka, dia mendadak berhenti, berbalik arah, lalu mundur kembali mendekati mereka. Sepatu botnya menginjak genangan air yang terciprat pelan. Dengan langkah tenang namun tegas, dia menatap teman-teman A-Fra itu satu per satu. Pandangannya tajam seperti bilah pedang yang siap menebas. Dia mengulurkan tangan, menandakan bahwa dia juga berniat menyita tongkat pemukul milik mereka — benda yang selama ini digunakan untuk mengintimidasi, menguasai, dan menyakiti orang lain.

Tak ada satu pun yang berani menolak. Mereka hanya diam, tubuh mereka seolah membeku karena tekanan aura Celantha yang kuat. Satu per satu tongkat diserahkan, dan akhirnya wanita cantik itu memegang semua tongkat milik geng menakutkan tersebut. Angin sore mengayunkan rambut panjangnya yang sedikit acak-acakan. Geng A-Fra hanya bisa menatap ke arah A-Fra, seolah bertanya-tanya apa yang terjadi. Sementara A-Fra sendiri hanya mengangkat kedua bahunya, tidak mengerti bagaimana harus menjelaskan semua ini. Begitulah bagaimana cara Celantha dengan berani melawan A-Fra, sosok yang ditakuti banyak orang. Tapi ironisnya, jika dia mulai kesal dengan A-Fra, dia hanya akan merengek dan menangis seperti saat ini.

“Aku tak mau lagi bicara denganmu,” kata Celantha sambil menangis dan merengek di dalam mobil yang kini terparkir di bawah pohon besar pinggir jalan. Interior mobil itu jadi saksi bisu pertengkaran kecil mereka, dengan suara tangis Celantha yang menggema dalam kabin. A-Fra hanya bisa menghela napas panjang, pandangannya kosong mengarah ke kaca depan yang mulai berembun karena suhu dingin dari AC. “Well, dia mulai lagi... (Merengek tidak jelas....)” gumamnya dengan nada putus asa.

“Aku mau pergi darimu, kamu tidak mendengarkanku setiap hari,” kata Celantha sambil tersedu. Air matanya menetes, membasahi pipi dan dagunya. Tapi saat dia masih menangis, A-Fra dengan cepat menyodorkan segelas teh susu hangat yang baru dibelinya di toko dekat SPBU. Celantha sempat menatapnya dengan ekspresi bingung, namun refleks membuka mulut dan meminumnya meskipun tangisnya belum berhenti. Suasana menjadi sedikit lebih tenang, meski suara isakannya masih terdengar.

Merasa belum cukup, Celantha kembali mengeluarkan unek-uneknya. Suaranya sedikit terputus-putus karena emosi. “Kau sama sekali tak peduli padaku, kau… kau selalu bicara yang membuatku marah, aku rasa kau ini—” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, A-Fra menyodorkan burger hangat yang tadi dia beli bersamaan dengan teh susu. Tanpa pikir panjang, Celantha menggigit burger itu, masih sambil menangis. Suara gigitannya terasa lucu di tengah suasana emosional mereka, membuat A-Fra sedikit menahan tawa, meski dia tidak menunjukkannya.

Namun siapa yang menyangka, setelah satu gigitan itu, Celantha kembali menangis. Suaranya nyaring dan penuh emosi. “Apa kau pikir kalau aku ini tidak marah?! Lalu kau anggap aku bodoh?! Kau tahu kadang-kadang aku—” Belum juga selesai, A-Fra sudah kembali dengan gerak cepat menyodorkan lipstik kesukaan Celantha, yang selalu disimpannya di laci dashboard.

Mata Celantha langsung berbinar meski masih berlinang air mata. Dia mendekatkan wajahnya ke cermin kecil di visor mobil, lalu mulai memakai lipstik itu perlahan dengan bibir bergetar. “Hiks, kau tahu kadang aku kalah berdebat, dan kau tahu itu, kenapa kau tidak mengalah saja!! Kau bahkan tidak mendengarkanku ketika aku melarangmu untuk tidak memukul orang lain... dan kau menganggap dirimu paling benar... hiks...” Suaranya meninggi, hingga akhirnya menjadi teriakan yang nyaris pecah, memantul di dalam kabin mobil yang sempit.

Tapi A-Fra tetap tenang. Dia asyik mengupas bungkus permen dengan gerakan pelan, lalu ketika Celantha mulai bicara panjang lebar lagi, dia menyodorkan permen tusuk itu. Celantha terdiam. Dengan masih kesal dan kebingungan, dia memakan permen itu sambil menatap A-Fra. “Ini rasa apa?” tatapnya curiga.

Namun A-Fra hanya menjawab dengan senyuman dan tatapan menggoda. “Masih ingin marah?” tanyanya tenang.

“Kau bilang dulu lah ini rasa apa, huhu,” Celantha mulai merengek lagi, matanya masih basah tapi ekspresinya mulai melunak.

A-Fra menghela napas panjang sambil bersandar di joknya. “(Yah, paling tidak, itu mengurangi rasa marahnya...)” pikirnya dalam hati. Begitulah cara dia mengatasi Celantha setiap kali wanita itu marah — dengan makanan, barang kesukaan, dan sedikit kesabaran.

Itu adalah bagaimana A-Fra menghadapi Calentha, entah itu marah, merengek bahkan apapun itu, A-fra memang harus tenang dan pasrah saja selama Calentha bisa merasa tenang karena mau bagaimana lagi, dia juga di bayar.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience