Chp 5 Karena Uang

Mature Content Series 709

Jika dipikir-pikir, kenapa ya A-Fra mau-mau saja disuruh diminta itu-itu oleh Calentha? Mungkin jawabannya bisa ditelusuri dari suatu kejadian sederhana, ketika suara bel pintu apartemen Calentha berbunyi. A-Fra yang kala itu mengenakan kaos hitam santai langsung beranjak dari tempat duduk dan membuka pintu. Udara sore yang lembap dari lorong luar masuk sejenak. Dia menyapa dengan nada santai, seolah sudah akrab dengan siapa pun yang berdiri di luar sana.

"Yo, sudah datang?"

Sementara itu, Calentha—dengan rambut acak dan pakaian rumah yang mahal tapi terlihat malas—terbaring di sofa empuk berwarna krem sambil bermain ponsel. Ia bahkan tak berniat bangkit untuk melihat siapa yang datang, hanya menoleh sedikit dan tampak acuh. Yang datang ternyata adalah Hyakte, pria dengan jaket tebal dan raut serius, salah satu rekan besar A-Fra.

"Aku sudah menyiapkan video game-nya...." ucap Hyakte sambil mengangkat flashdisk kecil yang menggantung dari jari telunjuknya, sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan.

Namun langkahnya terhenti begitu melihat sosok Calentha di ujung ruangan. Meski wanita itu tampak santai, auranya cukup mengintimidasi. Ia pun mencoba memberi salam dengan sopan.

"Calentha, halo..."

"Hmm...." Calentha hanya membalas singkat, suaranya terdengar datar tanpa minat.

A-Fra yang duduk santai di karpet di bawah sofa, menyenggol bahunya pelan. "Tunggu apa lagi, ayo.." katanya tanpa beban, mengisyaratkan agar permainan dimulai. Mereka pun duduk bersisian, televisi menyala menampilkan layar awal permainan, lampu ruangan yang hangat menambah kesan tenang, dan suara klik stik terdengar berulang.

Namun di tengah keasyikan mereka bermain game bersama di sofa, tiba-tiba kaki Calentha menjulur, menekan bahu A-Fra dengan ringan. Gerakan itu begitu santai, seperti sudah menjadi kebiasaan. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya, Calentha berkata, “A-Fra, pijatkan…”

Nada bicaranya tenang, seolah memerintah bukan hal besar. Tanpa protes atau tanya, A-Fra menaruh stik PS yang ia pegang, dan mulai memijat kaki Calentha yang kini berselonjor di pangkuannya. Gerakan tangannya pelan, seolah sudah terbiasa. Sementara itu, ekspresi Hyakte perlahan berubah. Ia terdiam, memandangi pemandangan aneh itu dengan alis berkerut.

"(Astaga, terulang lagi...)" pikirnya, matanya tak bisa melepaskan pandangan dari momen yang membuat dadanya berat.

Ada ketidakwajaran dalam rutinitas itu. A-Fra, yang selama ini dikenal sebagai pribadi dominan dan berani, justru terlihat jinak di hadapan Calentha—wanita muda dengan suara lemah namun penuh pengaruh. Bahkan, saat A-Fra tengah berkumpul bersama gengnya, tertawa dalam permainan kartu di rumah salah satu dari mereka, suasana tiba-tiba berubah.

Ponselnya berdering, dan A-Fra mengangkatnya tanpa menunggu jeda. Dari seberang sana terdengar suara Calentha yang jernih dan jelas, “Belikan aku secangkir kopi, kirim ke gedung himpunan, A-Fraaa…”

Tanpa bertanya, tanpa ragu, A-Fra perlahan berdiri. Tawa yang tadinya memenuhi ruangan menjadi terhenti. Ia berjalan pergi, meninggalkan yang lain dalam kebingungan. Hyakte yang duduk di sudut hanya bisa menggeleng, kecewa dan heran bercampur menjadi satu.

"(Kenapa bisa-bisanya dia mau disuruh-suruh?)"

Kini, kembali di apartemen, setelah Calentha merasa cukup dipijat, dia menyingkirkan kakinya begitu saja, bangkit, dan meninggalkan ruangan seolah tak ada yang terjadi. A-Fra mengangkat stik PS-nya lagi, seperti robot yang kembali pada tugasnya.

"Baiklah, ayo lanjut..." ucapnya pada Hyakte dengan nada biasa, seolah tak ada yang janggal terjadi barusan.

Hyakte mengangguk perlahan, matanya setengah mengamati Calentha yang baru saja meninggalkan ruangan. "(Akhirnya, pasti dia tidak bisa menyuruh A-Fra lagi....)"

Namun harapan itu langsung runtuh. Calentha muncul kembali, kali ini dengan keranjang cucian di tangannya. Dengan langkah malas namun mantap, ia meletakkan keranjang itu di samping A-Fra. “A-Fra, cucilah untukku,” katanya ringan, seolah hanya menyuruh memindahkan bantal.

A-Fra mengangguk dengan patuh. Tak ada gurat marah, bahkan senyum kecil muncul di wajahnya. Ia seperti menemukan kesenangan dalam kepatuhan itu.

Hyakte yang melihatnya tak bisa lagi menahan diri. Ia berdiri, wajahnya memerah karena campuran amarah dan kecewa. Suara protesnya menggema di ruangan yang awalnya tenang. “Cukup, bro, kau menganggapnya sebagai teman?! Apakah itu teman jika dia menyuruhmu begitu?!”

Nada suaranya naik, mengguncang keheningan ruangan. “(A-Fra selalu bilang bahwa wanita itu temannya ketika dia ada bersama kami, tapi apakah teman menyuruh begitu?!)”

Namun A-Fra hanya tampak bingung, seolah tak memahami mengapa temannya marah. “Ha? Ada yang salah?” tanyanya polos, menatap Hyakte dengan wajah tanpa dosa.

Hyakte menggeleng, napasnya berat. “Sudahlah, bro, kau benar-benar telah diperbudak…” katanya, matanya menatap kosong ke arah tumpukan cucian.

A-Fra masih tak memahami. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, Calentha selalu membayarnya setiap kali ia melakukan sesuatu. Mungkin bukan karena dia patuh... tapi karena uang.

“(Perasaan aku melakukannya karena uang kan?)” pikirnya, menoleh ke keranjang cucian itu.

Segalanya bermula ketika mereka pertama kali bekerja bersama. Saat itu, A-Fra masih belum mengenal siapa sebenarnya Calentha. Dalam sebuah perjalanan, mereka berada di kabin pesawat yang sesak. Calentha berdiri di lorong dengan wajah jengkel sambil menatap tiketnya.

“Apa kau bercanda! Aku superstar dan kau menempatkanku di kelas ekonomi?!”

Nada suaranya penuh kekesalan, tiket kelas ekonomi tergenggam erat di tangan. A-Fra yang kala itu hanya bisa menggaruk kepala, tak tahu harus berkata apa. Namun dalam waktu singkat, Calentha membuktikan kekuatannya. Ia memesan ulang tiket, duduk nyaman di kelas eksekutif, tangannya bebas meregang di ruang luas, dan memandang A-Fra dari balik kacamata hitam.

“Baiklah, duduklah…” katanya angkuh. A-Fra terkesima melihat betapa mudahnya Calentha mengubah situasi. Jiwa miskinnya seperti terbakar api kagum. Ia berlutut dramatis, menyembah.

“Keinginan kecilmu adalah bagian dari perintahku sekarang,” katanya serius, dan Calentha tersenyum kecil, puas dengan hasilnya.

Itu belum berakhir. Pernah suatu malam A-Fra memberi sebungkus mi instan untuk makan malam Calentha.
“Baiklah, makanlah.”

Namun reaksi Calentha tidak seperti yang dibayangkannya. Tatapannya tajam dan jijik. “Kau memberikanku makanan murahan ini?!”

Tanpa ragu, ia membuangnya. A-Fra hanya bisa terdiam, sedih. “Tapi, itu sangat enak… untukku…”

Namun, alih-alih terus marah, Calentha malah membawanya ke restoran mewah, memesan banyak makanan mahal. “Ini baru makanan enak, makanlah…” katanya dengan angkuh, mulutnya tersenyum tipis.

A-Fra yang sedang duduk di seberangnya, perlahan mengangguk. Lagi-lagi, ia merasa terpesona.

“Kau adalah yang terbaik…” katanya lirih.

Calentha tertawa pelan, puas.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience