Chp 9 Terlalu Cepat Menilai

Mature Content Series 709

Sore harinya, suasana apartemen lebih tenang dari biasanya. Hening yang merambat seperti kabut tipis menyelimuti setiap sudut ruangan. Cahaya matahari keemasan masuk dari celah tirai jendela, menebar sinarnya secara perlahan ke lantai kayu yang hangat. Pantulan cahaya itu berkilau lembut di permukaan meja, menciptakan kesan damai dan nyaman—seolah dunia ikut menenangkan diri menjelang malam.

Namun, ketenangan itu buyar saat suara bel pintu terdengar, nyaring dan tajam, memecah keheningan seperti lonceng bahaya di tengah meditasi. Nada suaranya membuat jantung Calentha berdebar, bukan karena terkejut semata, tapi karena firasat aneh yang tak bisa dijelaskan.

Calentha, yang semula duduk di sofa sambil melamun, sontak bangkit. Langkah kakinya cepat, namun masih terkontrol, menuju pintu apartemen. Tangannya menyentuh gagang pintu, dingin, seperti baru saja menyimpan sesuatu yang rahasia. Saat ia membuka pintu, udara luar menyelinap masuk, membawa aroma debu dan jalanan kota.

Begitu melihat siapa yang berdiri di sana, Calentha langsung terdiam, matanya melebar sedikit karena terkejut. Dua orang berdiri di ambang pintu—salah satunya duduk di atas kursi roda dengan wajah tenang dan tatapan yang dalam, sementara yang satunya lagi berdiri menjulang, dengan postur tinggi dan bahu lebar, mengenakan jaket lusuh dan tatapan yang seperti pisau—tajam dan penuh ancaman. Sorot matanya langsung mengarah ke dalam ruangan, seolah sedang menilai, mengukur, mengintimidasi tanpa kata.

“Di mana A-Fra?” tanyanya, suaranya dalam dan berat, seperti suara guntur yang menahan dentumnya. Nada itu tak meninggi, tapi cukup kuat untuk membuat Calentha tak bisa berpaling.

Sontak, Calentha terpaku. Matanya kini menatap ke arah pria di kursi roda, yang justru menatapnya balik dengan ketenangan yang aneh. Tatapannya seperti tidak datang dari seseorang yang lemah, justru terkesan mantap dan tajam, seolah ia tahu apa yang terjadi—dan lebih dari itu.

Tak lama, langkah ringan terdengar dari belakang Calentha. A-Fra muncul dengan ekspresi yang seolah tahu siapa yang datang, dan seakan sudah menebak semuanya dari awal. Suaranya ringan, nyaris santai, mengambang di udara seperti asap rokok yang tidak pernah benar-benar padam. “Wah, hei, aku tak percaya kau menemukannya,” katanya.

Namun sebelum suasana berkembang lebih jauh, Calentha mengambil keputusan mendadak. Ia menutup pintu begitu saja, tanpa kata lain. Daun pintu berderak keras, suara kayunya seperti mengguncang dinding, menciptakan jeda tegang yang menggantung di udara.

“Kenapa kau menutup pintunya?” tanya A-Fra heran, alisnya sedikit terangkat, bukan marah, lebih kepada bingung.

Tapi Calentha menatapnya dengan emosi yang mulai mendidih. Wajahnya mengeras, matanya tajam, penuh kekecewaan dan kemarahan yang ia tahan terlalu lama. “Kau benar-benar merasa hebat, huh? Bahkan orang cacat sekalipun?” katanya tajam. Suaranya terdengar getir dan sinis, seperti pisau yang sudah lama diasah.

A-Fra sedikit tersentak. Wajahnya berubah, tidak hanya karena kata-kata Calentha, tapi karena luka lama yang mungkin tersentuh tanpa sengaja. “Apa?!” katanya. Nadanya menggambarkan keterkejutan yang sulit ia sembunyikan, antara bingung, kecewa, dan terluka.

Calentha mengumpat, kalimatnya meledak seperti granat kecil yang dilempar tanpa arah. “Benar saja, anjing tidak bisa mengubah kotoran mereka, hanya membuat masalah setiap hari demi kesenangan…” katanya tajam, suara itu lebih dari sekadar marah—ada luka lama yang muncul bersamaan.

A-Fra membeku. Sorot matanya seketika kosong, wajahnya kaku, seperti seseorang yang baru saja ditampar oleh kenyataan. Beberapa detik ia tak berkata apa-apa. Hanya diam, berdiri, seolah waktu berhenti untuknya. Namun, ia kembali melangkah ke depan, membuka kembali pintu yang ternyata belum sepenuhnya ditinggalkan oleh dua orang tadi.

Tanpa diduga, orang yang berdiri—yang tampak seperti preman itu—mendekat dan langsung menjabat tangan A-Fra dengan hangat. “A-Fra, kau menyelamatkan nyawa kakakku. Aku datang untuk berterima kasih, terima kasih…” katanya penuh hormat. Nada suaranya berbanding terbalik dengan penampilannya—lembut dan tulus, seperti seseorang yang benar-benar menghargai hidup.

Calentha berdiri di belakang, matanya membelalak, napasnya tertahan. Wajahnya memucat, seolah semua kata yang ia lontarkan tadi berubah jadi pisau yang kini justru menusuk dirinya sendiri.

"(Apa yang baru saja aku pikirkan? Aku benar-benar terlalu cepat menilai?!)"

Kilasan kenangan menelusup masuk ke benaknya, memutar ulang seperti rekaman lama yang terpaksa diputar kembali.

Dulu, saat ia menjemput A-Fra seperti biasa di gang sempit dekat jalanan kota yang suram dan lengang, ia menyaksikan sesuatu yang membuat dadanya runtuh. A-Fra terlihat tengah memaksa seorang pria—menarik kerahnya dengan nada keras. “Berikan padaku!! Berikan padaku!” katanya, ekspresinya tajam, tubuhnya menegang. Calentha menyaksikan dengan syok, hatinya remuk melihat A-Fra merogoh saku pria itu dan mengambil dompetnya. Ia bahkan mengusapnya pelan, seolah itu barang berharga—sementara pria itu kabur ketakutan.

Itulah momen saat Calentha merasa dikhianati.

Wajah A-Fra terangkat, dan matanya bertemu dengan tatapan Calentha. Di situ, A-Fra tampak terkejut, melihat ekspresi kecewa yang tak bisa disembunyikan oleh Calentha. “Kau mengecewakan ku...” ucap Calentha lirih, namun nadanya penuh kerapuhan.

Namun sekejap setelah itu, seorang pria lain datang terburu-buru melewati Calentha. Pria itu langsung mendekati A-Fra, wajahnya lega dan penuh syukur. “Terima kasih, terima kasih kau sudah mengambil dompetku dari pencuri tadi...” katanya sungguh-sungguh, tanpa ragu.

“Tak apa…” balas A-Fra singkat, dan pria itu pun pergi. A-Fra kemudian menatap kembali ke arah Calentha, yang kini berdiri kaku, terdiam. Seluruh dugaannya runtuh begitu saja.

"Maafkan aku..." kata Calentha, suaranya nyaris tenggelam oleh angin.

Namun A-Fra hanya menurunkan wajah, lalu mengenakan tudung jaketnya. “Tak apa, sudah terbiasa…” katanya, lalu melangkah pergi dengan punggung yang terasa jauh lebih berat dari biasanya.

"(Seharusnya aku tidak mengulangi kesalahan dua kali... Jika dipikir-pikir, kemampuannya sangat berguna juga... Dia hanya melindungiku, tapi ternyata aku salah. Dia juga melindungi orang lain...)" pikirnya sekali lagi, disertai penyesalan yang menusuk.

Kenangan lain muncul—saat pertama kali mereka naik kereta cepat bersama. Calentha berdiri berdua dengan A-Fra, memegang pegangan di atas kepala mereka. Gemuruh rel kereta di bawah kaki mereka seperti jantung kota yang berdetak cepat. “Wah, ini pertama kalinya aku naik kereta bawah tanah, ada banyak hal…” ujar Calentha dengan mata berbinar, penuh rasa ingin tahu. Tapi A-Fra tetap menatap ke depan, tak terganggu.

“Itu normal, jangan berisik...” jawabnya, pendek tapi tidak kasar. Lebih kepada seseorang yang terbiasa hidup dalam kewaspadaan.

Tapi beberapa menit kemudian, Calentha terdiam. Ada rasa tak nyaman, dan ia berbisik pelan pada A-Fra. “Ah, sepertinya ada yang menyentuh pantatku, apa itu wajar di sini?” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Mata A-Fra langsung menoleh ke belakang, dan ia melihat jelas tangan seorang pria tengah menyentuh bagian belakang Calentha. Seketika, tangan itu ditangkap, dan pria itu langsung disalto, tubuhnya terjungkir balik dan terkapar keras di dalam gerbong. Penumpang lain terkejut, tapi A-Fra tak peduli.

“Tangan yang kotor, itu semua tidak wajar dilakukan di kereta!” katanya lantang, suaranya seperti palu keadilan. Ia menginjak pria itu sebelum membiarkannya pergi, melindungi Calentha tanpa keraguan sedikit pun.

Calentha bersembunyi di belakang A-Fra, lalu menepuk tangan kecil-kecil dengan kagum, matanya berbinar.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience