Chp 12 Bagaimana Kehidupan Chalenta

Mature Content Series 709

Hujan malam itu turun dengan deras seolah langit pun marah pada dunia. Daun-daun menari terseret angin, petir menyambar langit hitam yang hanya sesekali menampakkan kilatan cahaya putih menyilaukan. Udara dingin menggigit kulit, menelusup ke tulang. Di teras sebuah rumah besar bergaya kolonial yang megah, berdiri kokoh namun terasa lebih dingin dari batu nisan, seorang gadis muda tersungkur dengan tubuh menggigil. Pakaiannya basah, rambutnya menempel di wajah pucat, dan matanya penuh kepedihan. Pintu rumah baru saja ditutup keras di belakangnya, meninggalkan gema penuh luka.

"Kau tidak berguna! Pergi dari rumah ini!" suara pria paruh baya masih menggema di telinganya, menyayat seperti belati.

"Tolong... Ayah... Ibu... buka pintunya... jangan lakukan ini..." Chalentha mengetuk pelan, lalu makin keras, dan akhirnya memukul pintu dengan kedua tangannya. Tapi tetap tak ada jawaban. Hanya suara hujan yang menjawab, satu-satunya teman malam itu, menemani kehancuran yang tak bisa ia jelaskan.

Ia menggeser tubuhnya ke bawah jendela, memeluk lutut. Tangisnya tak bisa lagi dibendung. Air mata menyatu dengan hujan, menyusup ke tanah dan hilang tanpa jejak.

---

Waktu kecil, dunia terasa begitu berbeda. Hangat. Chalentha adalah gadis kecil dengan senyum terang dan kaki yang tak pernah diam. Ia suka menari di ruang tengah sambil diiringi musik klasik dari radio tua yang sering berderak. Cahaya matahari masuk dari celah jendela, menari bersama langkah-langkah kecilnya. Ibunya dulu menyaksikan itu sambil menepuk tangan, senyum yang dulu tampak tulus terpatri dalam kenangan.

"Lihatlah, sayang. Anak kita bakatnya luar biasa!"

Ayahnya pun menambahkan, "Kau akan jadi penari terkenal. Akan mengangkat nama keluarga kita."

Tapi seiring waktu, cinta itu berubah jadi tuntutan. Tarian yang dulu penuh kebebasan kini berubah menjadi kewajiban. Mereka meminta Chalentha berhenti sekolah dan mengikuti pentas-pentas, dari satu panggung ke panggung lain. Semua demi nama keluarga dan... uang. Ketika Chalentha meminta pelatihan profesional, ayahnya berkata tegas, "Mahal! Gunakan bakatmu sendiri."

Uang yang seharusnya untuk pendidikan tari habis dipakai ayahnya berjudi dan ibunya membeli perhiasan. Setiap helaan napas gadis itu berubah jadi desahan tekanan. Chalentha hanya bisa menunduk diam, karena setiap protesnya dibalas makian atau bahkan tamparan. Mimpi yang dulu murni kini berubah menjadi jerat yang menyakitkan.

---

Malam pengusiran itu, ketika ia merasa benar-benar sendiri, satu tangan menyentuh pundaknya. Hangat. Lembut. Dan begitu familiar.

"Chalentha... ayo ikut aku."

Ia menoleh. Di balik hujan, berdiri seorang wanita paruh baya yang dikenalnya: **Ibu Rara**, pembantu rumah tangga mereka sejak ia kecil. Sosok yang diam-diam selalu memperhatikannya dengan kasih yang tulus.

"Ibu...?"

"Ayo, sayang. Kau tak sendiri."

Malam itu, rumah kecil Ibu Rara menjadi tempat yang paling hangat di dunia. Dindingnya tua dan catnya mengelupas, tapi cinta memenuhi setiap sudutnya. Di sanalah ia mulai menari lagi, bukan untuk orang tuanya, tapi untuk dirinya sendiri. Ruang tamu sempit itu menjadi studio latihan. Ibu Rara menyetel lagu-lagu, memberi kritik, dan kadang ikut menari bersamanya, membuat lantai kayu berderit pelan di bawah pijakan mereka.

"Tarian bukan hanya tentang kaki dan tangan, Nak. Tapi tentang hati."

Hari-hari mereka sederhana tapi penuh makna. Aroma teh jahe selalu menguar dari dapur. Chalentha mulai mengunggah video tari ke media sosial. Dalam sebulan, ia viral. Komentar positif membanjiri, tawaran mulai berdatangan, secepat badai musim panas.

---

Ketika ia berdiri di panggung nasional untuk pertama kali, lampu sorot menyilaukan wajahnya. Gaun putih sederhana menari bersama gerak tubuhnya. Tapi matanya selalu mencari ke satu titik: kursi penonton di barisan tengah. Di sana, Ibu Rara duduk tenang, senyum hangat tak pernah lepas dari wajahnya.

"Kau cantik sekali malam ini," ucapnya seusai pertunjukan, mengusap keringat di pelipis Chalentha.

"Semua ini karena Ibu..."

"Tidak, semua ini karena kamu bertahan, Le. Ibu hanya menemani."

---

Tapi kehidupan manis itu tak bertahan lama. Suatu hari, ia mendapat pesan dari orang tuanya.

"Nak, kami rindu. Kami ingin menebus semuanya. Pulanglah."

Hati Chalentha bergemuruh. Apakah mereka benar-benar berubah? Rasa rindu akan rumah membuatnya luluh. Ia pulang.

Beberapa bulan awal tampak baik. Tapi perlahan, semua berubah. Nama dan hak cipta karya tari dicatut oleh perusahaan milik ayahnya. Kontraknya diatur ulang. Reputasinya rusak oleh keputusan yang bukan dari dirinya. Sponsor menarik diri. Properti disita. Rumah yang dulu penuh janji kini menjadi jebakan.

Dan akhirnya, ia kembali diusir.

"Kau gagal lagi. Dan kami tak butuh kegagalan di rumah ini!"

---

Malam itu, Chalentha kembali berjalan sendiri. Kali ini tidak dengan ransel, tapi koper tua yang berat. Sepatunya rusak, bajunya kusut. Langkahnya menyusuri gang kota yang gelap. Lampu jalan berkedip seperti napas yang sekarat. Matanya sembab. Hatinya hampa.

Lalu terdengar suara.

"Yo, lihat siapa di sini... Chalentha si penari gagal."

Empat pria berwajah liar berdiri menghadangnya. Tawa kasar mereka menggelayut seperti kabut.

"Dengar-dengar kau sudah tak laku ya? Nggak bisa nari di panggung? Nari buat kami aja gimana? Yang seksi!"

Chalentha mundur. "Tolong... jangan..."

Mereka makin dekat. Tapi tiba-tiba, suara keras menghentak. Salah satu dari mereka terpental menghantam dinding.

"APA—!?"

Satu persatu ambruk, sebelum mereka sempat menyentuh Chalentha.

Sosok perempuan bertudung hoodie hitam muncul dari kegelapan. Langkahnya cepat dan hening. Mata tajamnya menatap dingin.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya, singkat.

"Iya... aku... terima kasih..."

"Ayo pergi. Mereka bisa balik."

Beberapa langkah kemudian, Chalentha menoleh. "Apa aku... bisa tinggal di tempatmu? Sementara saja."

Wanita itu berhenti. "Tak ada yang gratis. Dua ratus ribu per minggu."

"Baik. Aku akan bayar... Asal aku bisa aman."

---

Di tempat tinggal baru—ruang sempit di atap gedung lama—Chalentha kembali belajar hidup. Langit-langit bocor, lantainya dingin, tapi tempat itu memberikan ketenangan. Ia menari setiap pagi, merekam gerakan dan mengunggahnya. Gerakan tubuhnya masih anggun, tapi kini lebih kuat. Afra, wanita penolongnya, hanya mengangguk saat melihat video itu.

"Kenapa kau masih menari?" tanya Afra suatu malam, suaranya nyaris seperti bisikan.

"Karena itu satu-satunya hal yang membuatku tetap merasa hidup."

Afra menatap tajam. "Kalau begitu, jangan biarkan siapa pun mengambilnya lagi."

Hari-hari selanjutnya, Chalentha dan Afra hidup dalam diam tapi saling menguatkan. Malam-malam mereka sunyi, hanya diisi suara kipas tua dan langkah-langkah ringan di lantai. Pelan-pelan Chalentha dikenal lagi, tapi kali ini bukan karena agensi. Ia dikenal karena keberaniannya, karena semangatnya, karena ia tetap berdiri meski dunia menjatuhkannya berkali-kali.

Dan kini, saat ia menari, tak ada lagi nama orang tua yang disebut. Hanya satu nama yang ia bawa: dirinya sendiri.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience