Chp 10 Cara A-fra

Mature Content Series 709

Beberapa tahun yang lalu sebelum Chalentha benar-benar terkenal dan namanya belum sekedar nama. Dia kerap di perbincangkan orang-orang bahkan termasuk geng nya A-fra sekalipun.

Langit sore mulai memerah, menyisakan warna keemasan di antara awan-awan tipis yang perlahan tenggelam di balik gedung-gedung tinggi. Di salah satu trotoar yang menghadap langsung ke sebuah bangunan megah bercat putih mengilat, tiga pria berdiri dengan santai. Tangan mereka masing-masing memegang kopi kaleng, sambil sesekali melirik ke arah gedung tersebut dengan ekspresi penasaran dan antusias. Di antara mereka, nama Chalentha disebut berulang kali.

"Apakah kalian tahu," ucap pria pertama sambil menunjuk ke arah bangunan tinggi itu, "bangunan ini telah hidup kembali karena seorang superstar besar?"

"Memang benar," sahut pria kedua, Darine, dengan gaya sok tahu. "Katanya, dia bakal beli rumah itu. Gak tanggung-tanggung, langsung direnovasi habis-habisan."

"Hoo benarkah?" Chalentha tampak ikut mendengarkan.

Pria ketiga, Vernun, ikut nimbrung, wajahnya menyiratkan semangat bergosip. "Hei, aku dengar ada yang dipukuli habis-habisan cuma gara-gara si superstar itu."

Hyakte menaikkan alisnya. "Siapa yang mukul? Satpamnya?"

"Bukan," Darine menjawab dengan cepat. "Afra! Si cewek itu... dia yang mukul orang karena membela si superstar."

Vernun tergelak. "Ck, ck, ck, Chalentha. Sampai segitunya ya orang-orang fanatik sama dia."

"Apalagi waktu itu, Afra mukul cowok yang katanya ngehina Chalentha. Katanya sih, sampe babak belur," tambah Darine, mengangguk-angguk dramatis.

"Wah wah, sungguh deh...." Chalentha ikut menggeleng bersama mereka. Sambil terus membicarakan gosip itu dengan penuh semangat, mereka tidak sadar bahwa wanita telah duduk dan mendengarkan gosip mereka adalah Chalentha.

"Iya, ngomong-ngomong," ujar Hyakte dengan nada menggoda, "nona cantik, kau baru di sini ya?"

Chalentha akhirnya menoleh, bibirnya membentuk senyum tipis. "Begitulah," jawabnya singkat.

"Siapa namamu?" tanya Vernun sambil mendekat sedikit.

Wanita itu melepas kacamata hitamnya dengan gerakan pelan dan anggun. Mata tajamnya menatap langsung ke arah mereka bertiga. Ia lalu menjawab dengan tenang namun penuh tekanan:

"Chalentha."

Sejenak, waktu seolah berhenti. Ketiga pria itu membeku di tempat, mata mereka membelalak, mulut terbuka namun tak mampu berkata-kata.

"Ch-Chalentha?" Darine tergagap.

Hyakte memutar tubuhnya pelan ke arah Darine dan Vernun. "Jadi… selama ini kita…"

"...gosipin dia di depan orangnya sendiri," bisik Vernun dengan wajah pucat.

Chalentha tersenyum tipis. "Lain kali, sebelum membicarakan orang, pastikan dia tidak berdiri di belakang kalian."

Tanpa berkata lagi, ia melangkah masuk ke dalam gerbang bangunan megah itu, meninggalkan ketiganya yang masih terpaku di tempat, tidak tahu harus merasa malu, takut, atau kagum.

Dan beberapa hari kemudian mereka hanya bisa tertunduk di tegasi oleh A-fra di gang sebelah. "Siapa yang minta kalian menaikan kepala!? Tetap menunduk!" tatapnya tegas membuat mereka gemetar sementara Chalentha menatap dari jauh dan tertawa kecil.

--
Malamnya, A-fra terlihat memasak, itu bagian dia memasak malam ini. Tapi ia mendengar suara Chalentha.

"Aku tidak akan makan lagi," rengek Chalentha di depan meja makan, memeluk lututnya dengan wajah murung.

A-fra yang sedang menyiapkan makanan di dapur menoleh dengan alis terangkat. Ia membawa sepiring nasi hangat dengan sayur tumis dan irisan wortel rebus yang disusun rapi. Dengan langkah tenang, ia mendekat dan meletakkan piring itu di atas meja.

"Mengapa?" tanya A-fra sambil berjongkok di samping Chalentha, menyapukan tangannya pelan ke kepala nya.

"Mereka bilang aku terlalu gemuk," jawab Chalentha pelan. Suaranya nyaris tidak terdengar, seperti berusaha menahan tangis.

Sejenak A-fra diam. Lalu tanpa peringatan, ia menarik tubuh Chalentha itu dan mengangkatnya ke dadanya. Dengan gerakan ringan, A-fra memutar-mutar tubuh Chalentha di udara.

"Berat... gendut?" ucap A-fra, dengan kebingungan. "Tidak juga," kata A-fra sambil menurunkannya dan mengulurkan tangan. "Ayo, biar aku tunjukan bahwa kau tidak berat...." dia terlihat berlutut memanggil Chalentha untuk mendekat.

Chalentha tersenyum malu-malu, lalu melangkah mendekat. Tanpa banyak kata, ia naik ke tangan kanan A-fra.

Dengan satu tangan, A-fra mengangkat nya sekaligus, bahkan terlihat sangat ringat, atau A-fra yang juga kuat. Tubuhnya tetap tegak, dan wajahnya tidak menunjukkan rasa berat sedikit pun.

"Bahkan tidak seperti mengangkat kursi," gumam A-fra. Ia mulai menggerakkan Chalentha ke bawah dan ke atas seperti mengangkat benda untuk olahraga.

"Aku ringan?" tanya Chalentha di antara tawa kecilnya.

"Ringan seperti kertas," jawab A-fra sambil mengedipkan mata. "Atau mungkin... seperti sampah yang tertiup angin."

"A-fra!" protes Chalentha, pura-pura cemberut, tapi tawa tak bisa ia tahan.

Kemudian, A-fra menurunkan nya perlahan, lalu duduk bersila di depan Chalentha. Wajahnya serius namun lembut.

"Apa kamu tahu kenapa aku kuat?" tanyanya.

"Karena... kamu banyak berlatih?"

"Bukan hanya itu," jawab A-fra sambil menatap mata Chalentha. "Karena aku tidak pernah mendengarkan kata-kata yang menyakitkan. Orang-orang bisa berkata apa saja. Tapi tubuhmu, keberanianmu, dan senyummu—itu jauh lebih penting dari penilaian mereka."

Chalentha menunduk sejenak, lalu berkata, "Tapi mereka bilang pipiku seperti bakpao."

A-fra tersenyum kecil. "Bakpao hangat adalah hal yang menyenangkan. Semua orang suka. Mereka berbohong, mereka hanya cemburu padamu...."

"Jika sudah tenang... Ini, wortel rebus. Yang kamu bilang tidak enak kemarin, sekarang kuhias khusus untukmu," ujarnya sambil menunjuk piring yang tadi diletakkan di meja.

Chalentha menatap piring itu. Irisan wortel dibentuk seperti bunga kecil, dikelilingi oleh sayur hijau dan nasi hangat. Ia tersenyum pelan.

"Kalau begitu... aku akan makan," katanya pelan.

A-fra mengangguk. Dia selalu punya cara untuk menyenangkan Chalentha.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience