Chp 4 Sahabat Terbaik

Mature Content Series 709

Hari ini, Calentha tampak masih terlelap dalam tidurnya. Selimutnya setengah menutupi tubuh, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajah, dan napasnya teratur, menunjukkan betapa dalam ia tertidur. Di balik wajah polos itu, ekspresinya saat tidur terlihat sedikit, di saat itulah kamera A-Fra menyala tanpa ampun, memotret wajah Calentha dari sudut paling tidak menguntungkan. Suara cekikikan tertahan muncul dari balik punggungnya.

Namun siapa yang menyangka, tawa A-Fra terhenti seketika. Tangan Calentha terulur dari balik selimut, menodongkan pistol tembakan ke arah kepala A-Fra dengan ekspresi setengah bangun yang serius namun sangat kesal.

“Hei, buang itu sekarang,” ucapnya dengan nada mengancam, sorot matanya tajam meski kelopak matanya masih berat. Aura tegasnya muncul secara alami, membuat A-Fra langsung gemetar dan tergopoh-gopoh menghapus foto itu dari ponselnya, lalu menunjukkannya pada Calentha dengan ekspresi bersalah dan tidak berani menatap matanya.

Seketika, pistol mainan itu dilemparkan jauh. Calentha malah merangkul perut A-Fra, memeluknya dengan hangat.

“Sungguh anak baik,” katanya dengan nada yang tak terduga penuh kasih sayang. Pelukan itu mendadak menenangkan, membuat A-Fra terdiam dalam ketidakpercayaan. Suasana yang semula tegang berubah jadi aneh tapi hangat. Ia hanya bisa menghela napas panjang, pasrah menerima pelukan tiba-tiba itu.

Namun momen tenang itu tak berlangsung lama. Calentha tersentak seperti teringat sesuatu. "Oh, ayo kita ke taman....!" serunya bersemangat, matanya berbinar.

A-Fra menatap dari ujung rambut ke ujung kaki. “Kau saja belum mandi, sana mandi...” tatapnya sambil menyilangkan tangan di dada. Ucapannya membuat Calentha terdiam sejenak lalu mengangguk cepat dan berlari kecil ke kamar mandi.

Ketika dia membuka pintu kamar mandi dan meraih sabun cair yang terpajang di rak, langkahnya melambat. Tangannya menggantung di udara, dan pandangannya kosong. Di antara kabut uap air yang mulai menyelimuti ruangan, kenangan lama kembali menyeruak.

Dulu, Calentha punya teman yang sangat menjengkelkan—orang yang pernah tinggal bersamanya dalam satu atap. Ingatan itu begitu jelas, seperti terpampang di depan matanya. Setiap kali ia mandi, sabun miliknya tak pernah aman. “Aku minta ya,” ucap suara masa lalu yang begitu familiar, sambil dengan cueknya menekan sabun cair dalam jumlah tak wajar. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Calentha hanya bisa menatap, membeku. Terbiasa? Mungkin. Tapi di dalam hatinya, itu menyakitkan.

"(Dia dulu menjengkelkan, dia bahkan selalu meminta barang-barangku.... Aku menyesal tinggal bersama dengannya....)"

Bahkan ketika dia membeli barang-barang atau kosmetik dari luar, belum sempat ia menyentuhnya, temannya langsung mengambil tanpa izin. “Bagilah denganku ya,” ucapnya sambil melenggang pergi, meninggalkan Calentha yang terkejut dan tak bisa berkata apa-apa. “Aku… belum memakainya…” ucapnya lirih waktu itu, dan kenangan itu masih menyisakan luka.

Meskipun A-Fra sempat datang melihat Calentha yang terdiam saat kejadian itu terjadi. “Kenapa ini?” tanyanya sambil menatap wajah Calentha.

“Tidak apa-apa,….” jawabnya pelan, menunduk dan berjalan menjauh, menyembunyikan matanya yang sedikit basah. A-Fra hanya terdiam, bingung dan tak tahu harus bereaksi bagaimana.

"(Jika saat itu aku memberitahu A-Fra, apakah dia akan melawannya?)" Calentha bertanya dalam hati, dengan perasaan campur aduk. Teman perempuan itu kini sudah tidak lagi bersama dengannya. Hanya kenangan dan rasa sesak yang masih tertinggal. Ia menggeleng pelan, mencoba mengusir bayangan itu, dan melanjutkan mandi. "(Kupikir kita tak akan bertemu... A-Fra adalah satu-satunya temanku....)"

Setelah semua itu, mereka berjalan berdua di taman. Udara segar menyambut langkah mereka, dedaunan bergoyang perlahan ditiup angin pagi. Calentha melihat ponselnya sambil tersenyum kecil, namun tanpa diduga kakinya terpeleset oleh tanah yang licin. Ia terjatuh seketika, ponselnya terlepas dari tangan, melayang dan ditangkap dengan sigap oleh A-Fra. Namun tubuh Calentha mendarat mulus di atas genangan lumpur, menodai bajunya dan membuatnya tampak sangat berantakan.

“Hahahaha.” Tawa A-Fra meledak tanpa bisa ditahan, mengisi udara dengan nada ceria yang kontras dengan kekacauan yang baru terjadi.

Namun tawa itu cepat meredup ketika Calentha menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Air mata jatuh perlahan dari pipinya yang kotor oleh lumpur.

Ketika sudah puas tertawa, A-Fra mengulurkan tangan dengan lembut. “Bangunlah…” ucapnya dengan senyum kecil.

Tapi Calentha masih menangis, matanya sembab. Ia menepis tangan itu dengan tamparan kecil yang lembut namun penuh rasa kesal.

A-Fra terdiam, hanya menatap Calentha dengan tatapan lembut. Lalu, tanpa peringatan, ia melompat ke dalam lumpur yang sama, bahkan berguling-guling hingga tubuhnya ikut kotor. Lumpur menempel di bajunya, bahkan sampai ke rambut, namun ia tertawa lepas seakan tak peduli.

Calentha yang menyaksikan itu hanya bisa terdiam, lalu senyum mulai muncul di wajahnya. Tawa kecil lolos dari bibirnya.

A-Fra bangkit, menepuk sisa lumpur di pundaknya lalu mendekat dengan uluran tangan yang baru.

“Baiklah, ayo pergi…” ucapnya dengan suara tulus.

Calentha tak ragu lagi, ia menerima uluran itu dengan senyuman hangat. Ia mendekap lengan A-Fra, menempel seperti anak kecil yang enggan jauh dari sahabatnya.

"(Dia selalu punya cara untuk membujukku....)" pikir Calentha dengan perasaan yang menghangatkan dada.

Tiba-tiba A-Fra berkata, "Oh, soal perempuan yang selalu meminta barang padamu itu, apa kau masih memikirkannya?" tatapnya.

"Eh, kamu tahu hal itu?"

"Bagaimana aku tidak tahu, dia selalu mengambil barangmu bahkan kau tidak bisa melakukan apapun. Kenapa tidak memberitahuku saja?" A-Fra memandangnya serius.

Tapi Calentha hanya menggeleng pelan. "Sudahlah, itu sudah berlalu. Aku tidak bisa melakukan apapun. Mungkin jika bertemu dengannya lagi, dan jika dia melakukan kebiasaannya lagi, mungkin aku juga akan memintamu membalas dendam, tapi tidak sekarang...." ucapnya dengan nada datar.

"Itu payah sekali. Kau bahkan tidak bisa menjadi diriku ketika di asrama dulu..." tatap A-Fra, mengangkat alis.

"Asrama? Oh benar, kau pernah di asrama kan, tapi karena kau bertingkah seperti pria, kau malah ditempatkan di asrama para lelaki... Bagaimana perasaannya teman sekamarmu bisa berada di dekat wanita yang tangguh sepertimu?" tanya Calentha, kali ini matanya berbinar penasaran.

A-Fra mengangkat dagunya dengan bangga. "Hmp, hanya cecenguk... Aku lah yang berkuasa.... Biar aku ceritakan sedikit soal bagaimana aku memberikan pelajaran pada mereka yang tidak mau melakukan perintahku..."

Calentha langsung menatap penuh antusias.

"Jika mereka membuka pintu, aku akan mengingatkan bahwa untuk menutup pintunya lagi. Tapi jika mereka melawan dengan tidak menutup pintu, aku akan mengikatnya berdiri dan mengumpulkan banyak pintu kayu lalu memukulkan satu per satu dari atas kepalanya hingga dia benar-benar menyesal seribu kali...."

Tawa Calentha mulai muncul. "Hahaha lalu apa lagi?"

"Jika mereka membuat berisik seperti ketika masih jam tidur pagi, mereka akan merapikan sprei secara sengaja dan menimbulkan suara, bermain bola basket sambil berjalan keluar asrama, mengobrak-abrik sabun mandi di depan tempat tidurku, bahkan menyalakan stiker dari laptop mereka, aku akan memberikan hukuman satu per satu. Aku akan memukul mereka, bahkan menyalakan speaker besar di telinga mereka! ...."

Calentha terpingkal-pingkal.

"Jika mereka tukang minta, seperti minta tisu terlalu banyak, minta sabun cuci, sabun mandi terlalu banyak bahkan mereka memakan makanan diam-diam apalagi itu makananku, aku akan melakukan hal yang sama juga..... Aku akan mengirim mereka ke kandang babi dan memberikan mereka makanan layaknya babi.... Bahkan jika mereka tidak bersyukur atas suatu makanan, seperti kurang ada rasanya, aku juga akan mengirim mereka ke pantai garam, menyuapi mereka dengan paksa garam... Dan masih banyak lagi..."

Calentha tak bisa menahan tawanya. Tawa itu tak berhenti meski baju mereka berdua masih penuh lumpur. Mereka terus berjalan menyusuri taman, tertawa dan saling berbagi cerita. Mereka tahu, tawa dan persahabatan itu lebih penting dari pakaian bersih.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience