Hari ini Calentha tampak melirik ke sekeliling dalam apartemennya yang sunyi. Aroma sabun mandi masih melekat samar di kulitnya, menandakan ia baru saja selesai membersihkan diri. Ia melangkah pelan dengan rambut masih sedikit basah, lalu menatap sekeliling ruang tamu yang rapi tapi terasa kosong. “A-Fra? (Kemana dia setelah aku mandi?)” gumamnya pelan dengan dahi mengernyit. Rasa bingung menyelimuti wajahnya sesaat, namun pandangannya yang kebetulan tertuju pada stik PS di atas sofa membuatnya langsung mengingat sesuatu.
“Hmm, di mana A-Fra? Dia pasti bermain PS lagi bersama teman-temannya di warnet, enak sekali kau ya, awas saja aku ke sana sekarang… dengan beraninya dia pergi tanpa izin, biarkan aku membuatnya kalah hari ini..." gumamnya sambil menghela napas. Dengan langkah mantap dan sedikit gemas, Calentha mengambil tas kecilnya dan berjalan keluar, menuju tempat yang seolah sudah menjadi markas rahasia bagi A-Fra dan gengnya—warnet langganan mereka.
Ia menaiki kereta cepat. "(Well, aaku tidak mungkin susah susah mengeluarkan mobil dari garasi apartemen, lagipun jaraknya dekat, jadi ini baik-baik saja jika aku duduk di kereta... Meskipun aku superstar...)" saat duduk di kursi paling pojok yang menghadap jendela, Calentha menyandarkan tubuh, lalu mulai merapikan rambutnya yang sedikit kusut akibat tergesa. Pemandangan di luar kereta hanya sekilas ia perhatikan. Suasana di dalam gerbong cukup tenang, hanya deru mesin dan percakapan pelan sesekali terdengar. Di dekatnya, berdiri seorang pria yang tampak mengantuk, mengenakan topi lebar yang agak miring. Karena posisi duduk Calentha berada di pojok, pria itu berdiri sangat dekat dengannya.
Pria itu beberapa kali menundukkan kepalanya, mungkin berusaha melawan kantuk yang berat. Namun tiba-tiba, sebuah rambut palsu yang dikenakannya terlepas dan jatuh tepat ke pangkuan Calentha, membuatnya terdiam sejenak. Ia mengambil rambut itu perlahan dan menatapnya, lalu menoleh pada pria yang kini memperlihatkan bagian kepalanya yang ternyata setengah botak.
Calentha tak bisa menahan tawa kecilnya yang manis, lalu menepuk ringan lengan pria itu. “Um, maaf, ini milikmu,” ucapnya sambil mengulurkan rambut palsu itu.
Pria itu terdiam, mungkin karena malu, namun Calentha dengan lembut memakaikannya kembali. Wajah pria itu terlihat semakin merah. Ia bahkan ingin berdiri untuk mempersilakan kursinya.
“Untukmu saja,” ujar Calentha.
“Ah, terima kasih… pekerjaan ku berat tadi,” jawab pria itu sambil duduk, dan tak butuh waktu lama, ia pun langsung tertidur pulas. Calentha tersenyum kecil menyaksikan pemandangan itu, lalu kembali menatap jendela.
Sementara itu di warnet, seperti biasa, Afra sedang asyik bermain PS bersama gengnya. Saat diajak bermain, dia selalu bersikeras untuk menang, bahkan setelah kalah berulang kali dan wajahnya sudah terlihat kesal.
“Sekali lagi.”
Tapi teman-temannya sudah tak kuat dan mulai mengeluarkan berbagai alasan untuk menghindar dari pertandingan berikutnya.
“E… rumahku bocor, sepertinya aku harus pulang.”
“Ibuku sedang datang bulan, dia membutuhkanku.”
“Dan ayahku menikah untuk kedua kalinya.”
Alasan-alasan aneh itu membuat Afra mencibir kesal, namun tiba-tiba suara yang sangat familiar terdengar dari belakang.
“Halo, apakah aku bisa ikut?” suara itu terdengar lembut dan manis, membuat seluruh ruangan seolah menjadi lebih cerah.
Begitu mengenali bahwa yang datang adalah Calentha, teman-teman A-Fra langsung tersenyum malu-malu, bergegas mengenakan kembali headset mereka dan dengan semangat menyambut kehadirannya.
“Ayo login, Nona.” Mereka bahkan langsung tertarik jika ada wanita cantik bergabung padahal belum tentu Calentha akan membuat mereka menang.
Dan siapa sangka, mereka kalah membuat A-Fra semakin kesal. "Haa! Kalian payah!!" Dia bahkan akan mengamuk lagi tapi Calentha menatap kesal. "Sudah cukup! A-Fra! Jangan banyak emosi! Aku tadinya ke sini karena untuk membuat kalian kalah dan berhenti!" tatap Calentha.
Seketika mereka terkejut, wanita cantik memang payah dalam bermain. "Apa maksudmu?! Kau!!" A-Fra kesal, tapi karena dia tidak bisa memukul Calentha, dia hanya bisa memukul rekan rekan nya itu.
"A-Fra! Baiklah, cukup, aku pergi saja!!" Calentha mendadak perhi begitu saja membuat A-Fra terkejut dan langsung mengejarnya membuat rekan rekan A-Fra itu menghela napas panjang tidak jadi di amuk oleh A-Fra. Alhasil dia mencoba membujuk Calentha, mengejarnya hingga di stasiun kereta.
"Hei, kenapa kau marah begitu?" tatap A-Fra, tapi Calentha tampak kesal dan berhenti berjalan langsung menatapnya. "Kau kebiasaan pergi tanpa izin setelah aku mandi pagi begini, kau pikir aku tidak membutuhkan mu? Selama ini aku lelah menghubungi mu.."
“Baiklah, baiklah, aku tidak akan melakukan itu lagi, jadi jangan marah,” kata A-Fra sambil berjalan mundur dengan raut bersalah, matanya tak lepas dari Calentha yang berjalan di belakangnya dengan ekspresi masih kesal. Mereka masuk ke dalam kereta dan berdiri berdekatan, suasana terasa cukup padat namun tak begitu sesak.
"Kau tidak marah kan? Aku tidak akan pergi tanpa izin lagi..." kata A-Fra membujuknya.
“Jaga ucapanmu,” tatap Calentha dengan masih kesal, kini membelakanginya dan mencoba mengabaikan A-Fra. Tapi saat itu juga, ia tanpa sengaja melihat kejadian yang membuatnya terkejut—seorang pria yang tampak mencurigakan tengah mendekati seorang perempuan, ekspresinya menunjukkan niat yang buruk. Calentha mendadak gelisah, dan tanpa bicara ia menyikut A-Fra pelan.
A-Fra menoleh ke arahnya. Calentha menunjuk ke arah pria itu secara halus. Begitu melihat situasinya, A-Fra langsung paham.
Pria mesum itu hampir menyentuh perempuan tersebut, namun tiba-tiba terhenti karena pantatnya dipukul beberapa kali oleh A-Fra dari belakang.
“Apa kau suka, huh?” kata A-Fra sambil menatapnya tajam. Ia memberi pelajaran dengan cara yang unik tapi tepat sasaran, hingga pria itu ketakutan dan berusaha kabur. Namun A-Fra dengan cepat menarik kerah bajunya dan menampar pipinya ringan.
“Hai, kenapa pergi? Wanita sesungguhnya itu aku,” ucapnya dengan nada menggoda, membuat Calentha menoleh cepat dan menutup wajahnya yang memerah.
“Lihat, aku tidak memukul orang, bukan? Aku hanya menamparnya pelan,” lanjut A-Fra sambil melirik Calentha yang kini berpura-pura tidak mengenalnya.
“Bukan temanku…” Celantha tampak malu, mau bagaimana lagi, dia melarang A-Fra untuk menggunakan kekerasan jadi A-Fra membuat pria mesum itu merasa jijik dan trauma. Tapi hasilnya memang membuat Calentha kesal. "(Bukan teman ku, sungguh...)"
Share this novel